T1 312012708 BAB III

(1)

39 Di dalam Bab ini, pembahasan dibagi dalam dua pokok bahasan. Pertama, yang akan dibahas adalah mengenai kaidah-kaidah dalam Undang-Undang ITE yang mengatur tentang e-commerce. Pokok bahasan ini akan mengkaji kaidah-kaidah e-commerce yang memiliki karakteristik hukum perjanjian baik yang terdapat di dalam Undang-Undang ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012.

Kedua, asas-asas hukum perjajian tersebut akan dianalisis untuk menemukan kedudukan e-commerce dalam perspektif Undang-Undang ITE. Penulis akan menganalisis materi-materi penting yang diperoleh dari hasil penelitian, dan analisis ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan e-Commerce di dalam UU ITE sebagai salah satu bagian dari hukum perjanjian yang tetap mengikuti prinsip-prinsip hukum perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia.

A.

KAIDAH-KAIDAH

E-COMMERCE

1. Kaidah-Kaidah Tentang E-Commerce Dalam UU ITE

Di dalam pembahasan ini, Penulis akan menguraikan pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum di dalam UU ITE yang berbicara atau mengatur tentang E-Commerce dalam kaitannya dengan hukum


(2)

perjanjian. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, di mana E-Commerce tetap memiliki kaitan dengan hukum perjanjian yaitu tentang ciri dan karakter dari E-Commerce yang tetap tunduk pada kaidah-kaidah hukum perjanjian, meskipun E-Commerce diatur secara terpisah dari KUHPerdata Indonesia yang merupakan Lex Generalis hukum perdata di Indonesia.

1.1Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 UU ITE

Pasal 1 angka 2 UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Ketentuan ini sekaligus menjelaskan mengenai ruang lingkup dari E-Commerce yang juga merupakan suatu perbuatan hukum, yang dilakukan dengan menggunakan media komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya. Atau dengan kata lain, transaksi E-Commerce dilakukan di dunia maya.

Mengenai hal tersebut, Atip Latifulhayat, sebagaimana dikutip Abdul Halim Barkatullah menyatakan bahwa:

sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e-commerce telah mereformasi perdagangan konvensional. Interaksi antara konsumen dan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung”.49

Perdagangan melalui dunia maya tersebut disebutkan sebagai suatu model perdagangan yang dilakukan dengan cara baru, di mana

49

Abdul Halim Barkatullah. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce Lintas Negara Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009. Hlm, 33-34.


(3)

antara para pihak yang mengadakan perdagangan tidak saling bertemu secara langsung, namun cukup lewat dunia maya. Sehingga, e-commerce telah merubah paradigma “bisnis klasik” dengan menumbuhkan model-model interaksi antara pelaku usaha dan konsumen di dunia virtual.50

Dimensi tentang e-commerce juga dapat dilihat di dalam Pasal 9 UU ITE menyatakan bahwa, “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawar”.

Rumusan tersebut menghendaki agar kegiatan transaksional (e-commerce) yang dilakukan di dunia maya tersebut harus mengedepankan prinsip the right to obtain information, yaitu konsumen berhak untuk memperoleh suatu informasi yang sebenar-benarnya dari pelaku usaha mengenai hal yang ditawarkan kepada konsumen. Sebailknya, pelaku usaha berkewajiban untuk menyampaikan hal tersebut kepada konsumen.

Dengan demikian, jelas bahwa segala kegiatan e-commerce di dalam dunia maya tetap tunduk pada kaidah hukum yang secara prinsip sudah dikenal terlebih dahulu dalam hukum Indonesia, yaitu hukum perdata. Prinsip a quo selanjutnya secara eksplisit

50


(4)

dituangkan di dalam Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.51

Selanjutnya, perihal transaksi elektronik yang dimaknai sebagai e-commerce sebagaimana diatur di dalam UU ITE sejatinya diatur di dalam Bab V yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Pengaturan mengenai hal tersebut mulai dari Pasal 17 sampai dengan Pasal 22. Uraian mengenai Bab V UU ITE akan dijelaskan di bawah ini, selain dari dua pasal yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.

1.2 Bab V UU ITE

Pertama, Pasal 17 UU ITE secara mendasar mengatur mengenai ruang lingkup dari transaksi elektronik yang dapat dilakukan dalam lingkup publik maupun lingkup privat serta prinsip itikad baik dalam melakukan suatu transaksi elektronik.52 Ruang publik adalah yang berkaitan dengan segala transaksi elektronik yang dijalankan oleh instansi yang melayani kepentingan publik. Sedangkan untuk lingkup privat adalah berkaitan dengan transaksi elektronik antara pelaku usaha, pelaku usaha-konsumen, antarpribadi, dan sebagainya yang berkaitan dengan urusan privat.

Dalam pada itu, Pasal 17 ayat (2) disebutkan pula bahwa para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik

51

Pasal 4 huruf c menyebutkan bahwa, hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

52


(5)

dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung. Ketentuan tersebut merupakan suatu prinsip yang juga dikembangkan atau ditulis kembali dari prinsip hukum perdata yang terkait dengan perjanjian yakni prinsip itikad baik. Sebagaimana diketahui bahwa, Pasal 1338 (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Penulis meyakini bahwa rumusan pasal tersebut lah yang mengilhami para perumus UU ITE agar prinsip itikad baik yang merupakan perintah hukum tersebut dimasukan kembali untuk mengatur suatu aktivitas e-commerce yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU ITE.

Penulis berpendapat pula bahwa, baik ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) hendak diletakan sebagai dasar penting dalam melakukan suatu transaksi elektronik (aktivitas e-commerce), yaitu segala transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan dalam lingkup publik maupun lingkup privat harus dilaksanakan dengan prinsip itikad baik oleh para pihak yang berkepentingan.

Kedua, Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Ketentuan pasal tersebut hendak menggaris bawahi mengenai daya ikat dari suatu kontrak atau perjanjian yang dilakukan melalui transaksi elektronik. Artinya, meskipun perjanjian tersebut


(6)

dilakukan melalui suatu kontrak elektronik53 namun perjanjian tersebut tetaplah perjanjian sebagaimana perjanjian konvensional yang mengikat para pihak, serta melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

Mengenai hal tersebut, prinsip hukum yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE merupakan pengakuan terhadap prinsip pacta sunt servanda jika merujuk pada Pasal 1338 (1) yang menyebutkan bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya, Pasal 18 ayat (1) UU ITE juga tetap mengakui prinsip pacta sunt servanda, meskipun perjanjian yang dilakukan dalam konteks e-commerce dilakukan melalui cara yang berbeda dengan kegiatan perjanjian yang selama ini dikenal dan dipraktikan dalam aktivitas transaksi perdagangan.

Di dalam Pasal 18 ayat (2) jo ayat (3) dan (4) berbicara tentang suatu transaksi elektronik berskala internasional. E-Commerce (transaksi elektronik) yang dilakukan antara para pihak yang berasal dari negara yang berbeda juga telah diatur. Artinya, ketentuan di dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (4) dan (5) merupakan lex specialis bagi suatu e-commerce atau transaksi elektronik internasional. Di dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa, “para pihak memiliki

53

Pasal 1 angka 17 UU ITE mendefinisikan kontrak elektronik sebagai suatu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.


(7)

kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”.

Ketentuan tersebut secara hukum dikenal dengan sebutan Choice of Law oleh para pihak yang membuat perjanjian. Kaidah hukum yang terkandung di dalam Pasal 18 ayat (2) tersebut merupakan manifestasi dari prinsip hukum yang sudah lama dikenal dalam praktik hukum perdata internasional. Artinya, kebebasan dari para pihak untuk menentukan hukum negara mana yang akan diterapkan dan mengikat kedua pihak diakui juga dalam transaksi elektronik internasional. Hal ini sekaligus menentukan Pengadilan mana yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang akan timbul, atau dalam istilah hukum internasional disebut Choice of forum.54

Sebaliknya, rumusan tersebut tidak dimaknai bahwa suatu transaksi elektronik internasional akan secara otomatis tunduk pada hukum dari negara asal pelaku usaha. Sebagaimana dikatakan oleh A. Halim Barkatullah bawha,

Konsumen akan sangat dirugikan, jika terpaksa menyelesaikan sengketa dengan menggunakan hukum dan forum pelaku usaha, yang jauh secara hukum itu accountable. Ketika klaimnya kecil atau sedang, penuntut individu sering tidak mampu membayar biaya mengajukan gugatan di forum asing ”.55

54

Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa, para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan atau arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Dengan demikian para pihak yang terikat pada suatu transaksi elektronik internasional secara hukum memiliki kuasa yang penuh untuk menentukan forum pengadilan atau arbitrase manakah yang akan menyelesaikan sengketa yang terjadi nantinya.

55


(8)

Dengan demikan jelas bahwa, dalam e-commerce yang berskala internasional sebagaimana diakui dalam UU ITE tersebut, para pihak harus memperhatikan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang mungkin dapat terjadi dalam e-commerce internasioanl itu.

Namun, bagaimanakah jika para pihak tidak bersetuju mengenai choice of law manapun dalam suatu transaksi elektronik (e-commerce) internasional? jika hal tersebut terjadi, maka prinsip hukum apakah yang akan digunakan dalam hal tersebut? menjawab pertanyaan tersebut, maka Pasal 18 ayat (3) UU ITE secara tegas menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional.

Oleh karena itu, ketiadaan kata setuju tentang choice of law dari para pihak dalam transaksi elektronik internasional tidak berarti dapat mengakibatkan kekosongan hukum, oleh karena prinsip hukum perdata internasional akan secara otomatis berlaku dengan sendirinya. Hal tersebut juga secara mutatis mutandis berlaku dalam hal para pihak tidak menentukan choice of forum dalam penyelesaian sengketa.56

56

Pasal 18 ayat (5) UU ITE menyatakan bahwa, jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas hukum perdata internasional.


(9)

Ketiga, menyangkut ruang atau tempat dilakukannya suatu transaksi elektronik, maka di dalam Pasal 19 dikatakan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Sebelum menjelaskan mengenai rumusan tersebut, hal yang pertama harus dipahami adalah tentang sistem elektronik yang dimaksud.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE, sistem informasi adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Artinya, perangkat dalam sebuah komputer yang dipakai oleh para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) yang di dalamnya terdapat segala macam informasi mengenai suatu hal, maka perangkat yang demikian adalah sistem informasi.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 UU ITE, sistem informasi untuk melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) harus disepakati oleh para pihak. Sehingga, jika para pihak yang hendak melakukan transaksi elektronik harus memperhatikan sistem informasi manakah yang akan digunakan sebagai ruang atau tempat dilakukannya suatu transaksi elektronik. Hal tersebut juga penting untuk menyatakan bahwa suatu transaksi yang dilakukan itu adalah


(10)

transaksi elektronik (e-commerce) karena dilakukan di dalam suatu sistem informasi, dan tunduk pada kaidah dalam Pasal 19 UU ITE.

Keempat, berkaitan dengan kapan terjadinya suatu transaksi elektronik (e-commerce)yang diselenggarakan dalam sebuah sistem informasi, maka di dalam Pasal 20 ayat (1) dikatakan: “kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan

disetujui penerima”. Rumusan tersebut bermakna, suatu transaksi

elektronik (e-commerce) secara hukum dikatakan telah terjadi apabila sudah dilakukan penerimaan penawaran oleh penerima. Namun, hal tersebut dapat saja tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain yakni bukan pada saat diterimannya suatu penawaran, melainkan bergantung pada kesepakatan dari para pihak.

Sejalan dengan itu, untuk mengetahui telah terjadi penerimaan atas penawaran di dalam suatu transaksi elektronik, maka diperlukan suatu pernyataan penerimaan secara elektronik dari penerima. Sebagaimana ditulis dalam Pasal 20 ayat (2) bahwa, persetujuan atas penawaran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

Dengan demikian, kedua kaidah hukum tersebut sudah secara tegas menyatakan bahwa suatu transaksi elektronik terjadi pada saat


(11)

diterimanya penawaran oleh penerima, dan persetujuan penerimaan penawaran tersebut harus dilakukan dalam pernyataan secara elektronik. Akan tetapi, kaidah tersebut tidak berlaku secara imperatif bagi para pihak, mengingat kaidah tersebut dapat saja dinyatakan tidak berlaku apabila para pihak menyatakan lain dari kaidah-kaidah tersebut.

Berkaitan dengan kapan terjadinyan suatu transaksi elektronik menurut UU ITE, maka sejatinya tidak dapat dilupakan atau dikesampingkan perihal kapan terjadinya suatu perjanjian sebagaimana dikenal selama ini di dalam hukum perjanjian Indonesia.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada empat prinsip yang digunakan untuk mengetahui kapan terjadinya suatu kesepakatan dalam perjanjian, yaitu:57

a. Berdasarkan teori kehendak (wilstheorie), mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan.

b. teori penerimaan (verzendstheorie), mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

57

Mariam Darus Badrulzaman. KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cetakan I, Alumni, Bandung, 1983. Hlm. 98.


(12)

c. teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa, pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

d. teori kepercayaan (vertrouventstheorie) mengajarkan bahwa, kesepakatan terjadi pada saat pernyataan kehedak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Berdasarkan pada pendapat Mariam Darus Badrulzaman tersebut di atas, nampaknya transaksi elektronik (e-commerce) dalam UU ITE melalui Pasal 20 ayat (1) jo ayat (2) menerapkan prinsip yang kedua, yaitu teori penerimaan. Hal tersebut jelas dikatakan bahwa, transaksi elektronik dianggap terjadi jika pihak penerima telah menerima penawaran, dan melakukan pernyataan penerimaan secara elektronik.

Sehingga, untuk menjustifikasi kembali bahwa secara hukum saat terjadinya suatu transaksi elektronik (e-commerce) jika tidak disepakati lain oleh para pihak adalah pada saat terjadi penerimaan penawaran oleh penerima, dan harus disertai dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

Kelima, Pasal 21 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai subyek hukum yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik. Subyek hukum tersebut antara lain, Pengirim, Penerima (atau para pihak yang berjanji), pihak yang menerima kuasa, agen elektronik. Empat


(13)

subyek hukum yang disebutkan di atas adalah pihak-pihak yang dapat melakukan suatu transaksi elektronik.58

Pengirim atau penerima adalah para pihak yang berkepentingan langsung atau pihak yang melakukan perjanjian untuk melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkann pihak yang menerima kuasa adalah pihak yang menjalankan transaksi elektronik oleh karena menerima kuasa dari salah satu pihak yang berjanji untuk melakukan suatu transaksi elektronik. Sedangkan agen elektronik59 adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.

Sehingga, jika dalam pelaksanaan sebuah transaksi elektronik yang seyogiyanya menimbulkan akibat hukum, maka segala akibat hukum yang ditimbulkan harus dipertanggung jawabkan. Mengenai hal tersebut, Pasal 21 ayat (2) menyebutkan, pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:

- jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;

58

Pasal 21 ayat (1) UU ITE sendiri berbunyi, Pengirim atau Penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.

59


(14)

- jika dilakukan melalui pemberi kuasa, segala akibat hukum

dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau

- jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat

hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.

Oleh karenanya, dalam pelaksanaan transaksi elektronik baik itu oleh para pihak yang bertransaksi, penerima kuasa, maupun oleh agen elektronik masing-masing memiliki pertanggung jawaban hukum dalam hal terjadi suatu akibat hukum yang ditimbulkan dari pelaksanann transaksi elektronik tersebut.

Selain menimbulkan akibat hukum, dalam hal terjadi kerugian yang ditimbulkan dari suatu pelaksanaan transaksi elektronik, maka akan diikuti pula dengan pertanggung jawaban hukum berupa ganti rugi dari pihak yang menimbulkan kerugian tersebut. Hal penting yang harus dipahami di sini adalah, dalam transaksi elektronik (e-commerce) segala kerugian yang ditimbulkan melalui pelaksanaan transaksi elektronik menjadi perhatian sepenuhnya dari Agen elektronik selaku penyelenggara sistem elektronik, tempat di mana suatu transaksi elektronik dilakukan.

Berkaitan dengan itu, maka Pasal 21 ayat (3) menyatakan, jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap


(15)

sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.

Menurut pendapat Penulis, rumusan tersebut secara implisit mengandung prinsip hukum caveat emptor yakni pelaku usaha harus berhati-hati. Dalam konteks ini, agen elektronik yang menawarkan jasanya sebagai penyelenggara sistem elektronik tempat di mana dilaksanakannya transaksi elektronik, harus benar-benar berhati-hati dalam menjalankan atau menyelenggarakan agen elektronik, agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang menjalankan transaksi elektronik.

Hal yang sama juga berlaku bagi pengguna jasa layanan, di mana dalam Pasal 21 ayat (4) disebutkan, jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.60

Artinya, agen elektronik yang sudah menjalankan sistem elektronik dengan penuh hati-hati, namun oleh penyebab pengguna jasa layanan menimbulkan kerugian bagi pihak yang menjalankan transaksi elektronik, maka agen elektronik dalam hal ini lepas dari

60

Rumusan dalam Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE menurut pendapat Penulis menggunakan prinsip Presumption of liability (asusmsi bersalah), yakni pihak yang berada dalam suatu perikatan di mana menimbulkan kewajiban bagi dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, akan selalu dianggap bersalah jika kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal tersebut ternyata menimbulkan kerugian. Namun, perbuatan tersebut dapat dinyatakan sebaliknya jika ditemukan suatu bukti menyatakan bahwa kerugian tersebut bukan ditimbulkan oleh tindakan orang tersebut. Lihat, AbdulKadir Muhamad. Hukum Pengangkutan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung., Bandung, 2005. Hlm, 189.


(16)

tuntutan hukum untuk mengganti kerugian, namun yang bertanggung jawab adalah pengguna jasa layanan.

Akan tetapi, baik agen elektronik maupun pengguna jasa layanan dapat tidak bertanggun jawab atas kerugian yang timbul dalam sebuah transaksi elektronik apabila terjadi keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.61 Hal ini berarti, jika suatu kerugian yang ditimbulkan dalam transaksi elektronik bukan merupakan kesalahan atau kelalaian atau akibat dari perbuatan agen elektronik atau pengguna jasa layanan, maka yang bertanggung jawab adalah pengguna sistem elektronik.

Keenam, Pasal 22 ayat (1) memberikan kewajiban bagi penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur yang memungkinkan perubahan informasi dalam suatu transaksi elektronik. Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) berbunyi, “penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.”

Dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “fitur” adalah fasilitas yang memberikan

kesempatan kepada pengguna Agen Elektronik untuk melakukan

61


(17)

perubahan atas informasi yang disampaikannya, misalnya fasilitas pembatalan (cancel), edit, dan konfirmasi ulang.

Dengan demikian, kewajiban penyelenggara agen elektronik untuk menyediakan fitur dalam sebuah transaksi elektronik adalah untuk memfasilitasi transaksi elektronik berjalan dengan lancar.

2. Kaidah Transaksi Elektronik (e-commerce) Dalam PP No. 82

Tahun 2012

Mengingat ketentuan tentang transaksi elektronik (e-commerce) tidak hanya terdapat dalam UU ITE, oleh karena beberapa ketentuan harus diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 sebagai aturan pelaksana UU ITE, maka Penulis juga akan meneliti kaidah-kaidah yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah a quo, yang dapat digunakan untuk melihat kedudukan e-commerce atau transaksi elektronik dalam perspektif UU ITE. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut, pengaturan tentang transaksi elektronik (e-commerce) diatur dalam Bab IV yakni dari Pasal 40 hingga Pasal 51.

Pertama, ruang lingkup dari transaksi elektronik yakni e-commerce dalam konteks PP No. 82 Tahun 2012 adalah sama seperti yang diatur dalam UU ITE yaitu terdiri dari lingkup publik dan lingkup privat.62 Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik oleh

62

Pasal 40 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sisitem Dan Transaksi Elektronik.


(18)

instansi atau oleh pihak lain yang menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh UU ITE. 63

Artinya, pihak yang dapat menyelenggarakan transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah Instansi atau pihak lain yang memang diberikan tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan dalam UU ITE.

Sedangkan untuk penyelengaraan transaksi elektronik lingup privat diatur dalam Pasal 40 ayat (3) yang berbunyi,

“penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi elektronik:”

a. antar- pelaku usaha;

b. antara pelaku usaha dengan konsumen; c. antarpribadi;

d. antar Instansi;

e. antara Instansi dengan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, transaksi elektronik yang para pihaknya terdiri dari pihak-pihak yang disebutkan di atas, masuk dalam kategori transaksi elektronik lingkup privat. Dalam hal ini, pihak-pihak yang sudah disebutkan tersebut dapat melakukan suatu

63


(19)

transaksi elektronik yang menurut UU ITE merupakan bagian dari lingkup privat.

Kedua, pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa untuk transaksi elektronik terdapat penyelenggaranya. Di dalam Pasal 41 PP No. 82 Tahun 2012, untuk penyelenggara transaksi elektronik dalam lingkup publik maupun privat dilengkapi dengan sertifikat keandalan dan/atau sertifikat elektronik. 64 Berbeda dengan penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat, penyelenggara transaksi elektronik lingkup publik wajib menggunakan sertifikat keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang terdaftar, atau jika menggunakan sertifikat elektronik maka wajib menggunakan sertifikat yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi.65

Sedangkan untuk penyelenggara transaksi elektronik lingkup privat hanya dikatakan dapat menggunakan sertifikat keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga sertfifikasi Keandalan Indonesia yang terdaftar, atau dapat pula menggunakan sertifikat elektronik yang disertifikasi oleh penyelenggara sertifikasi Indonesia yang tersertifikasi.66

64

Pasal 1 angka 18 menyebutkan sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Sedangkan pasal 1 angka 25 menyebutkan bahwa, sertifikat keandalan adalah dokumen yang menyatakan pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik telah lulus audit atau uji kesesuaian dari Lembaga Sertifikasi Keandalan.

65

Pasal 41 ayat (2) dan (3).

66


(20)

Ketiga, Pasal 46 ayat (1) menyatakan, transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak. Rumusan tersebut hendak menegaskan kembali bahwa, transaksi elektronik yang sudah dinyatakan sah oleh para pihak, secara hukum akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak. Sehingga, nantinya para pihak yang terlibat di dalam transaksi elektronik tersebut wajib mempertanggung jawabkan segala akibat hukum yang timbul dari transaksi elektronik yang dilakukan.

Selain itu, dalam menyelenggarakan transaksi elektronik para pihak wajib memperhatikan asas-asas yang terkandung di dalam penyelenggaraan transaksi elektronik. Asas-asas tersebut antara lain,

a. asas itikad baik; b. prinsip kehati-hatian; c. transparansi;

d. akuntabilitas; dan e. kewajaran.

Mengenai asas itikad baik dalam suatu transaksi elektronik dalam kaitannya dengan suatu perjanjian, maka hal tersebut sejatinya adalah asas yang diambil dari hukum perdata, yang diatur dalam Pasal 1338 (3) yang menyebutkan bahwa, perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.


(21)

Berkenaan dengan asas iktikad baik, Wirjono Prodjodikoro

memberikan batasan iktikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”. Sehingga suatu perjanjian yang dilakukan dengan

iktikad baik bermakna, perjanjian itu harus dilaksanakan dengan penuh jujur antar para pihak.67

Selanjutnya, Agus Yudha Hernoko juga menyatakan bahwa,

pengaturan Pasal 1338 (3) yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik, maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan”. 68

Oleh karena itu, dalam konteks transaksi elektronik pun yang dilaksanakan menurut suatu perjanjian, maka asas iktikad baik harus dimaknai dan dilaksanakan seperti yang terdapat di dalam ketentuan hukum perdata Indonesia.

Sedangkan prinsip kehati-hatian adalah prinsip dalam hukum adalah prinsip yang mewajibkan para pihak yang berjanji dalam hal ini melakukan suatu transaksi elektronik (e-commerce) untuk selalu berhati-hati agar segala tindakan yang dilakukan nantinya tidak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.

Prinsip transparansi sejatinya berkaitan dengan keterbukaan akan informasi, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi elektronik. Oleh karena transaksi elektronik dilakukan melalui suatu media yang tidak mempertemukan para pihak secara

67

Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian (Asas Proposionalitas Dalam Kontrak Komersial), Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 134.

68


(22)

langsung, maka sikap transparan akan segala macam informasi harus dikedepankan oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.

Akuntabilitas berkaitan dengan pertanggung jawaban para pihak atas informasi-informasi atau segala sesuatu yang terjadi dalam transaksi elektronik. Artinya, para pihak dalam transaksi elektronik dituntut untuk selalu dapat mempertanggung jawabkan segala sesuatu yang terjadi dalam pelaksanaan transaksi elektronik.

Sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran” adalah mengacu pada unsur kepatutan yang berlaku sesuai dengan kebiasaan atau praktik bisnis yang berkembang. Sehingga, jika para pihak yang melakukan transaksi elektronik diwajibkan untuk tidak melakukan suseuatu hal yang berada di luar kebiasaan atau praktik bisnis yang berkembang atau yang selama ini dipraktikan.69

Keempat, dalam Pasal 47 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi elektronik dapat dilakukan berdasarkan kontrak elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Rumusan pasal ini untuk menjustifikasi kembali bahwa sebuah transaksi elektronik dapat dilakukan melalui kontrak elektronik, atau bentuk-bentuk kontraktual lainnya sesuai dengan kesepakatan para pihak.

69


(23)

Oleh karena itu, dalam transaksi elektronik sebuah kontrak dianggap sah apabila:70

a. terdapat kesepakatan para pihak;

b. dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

c. terdapat hal tertentu; dan

d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Jika ditelusuri lebih jauh, maka sejatinya syarat sahnya sebuah kontrak dalam transaksi elektronik tidak berbeda dengan syarat sahnya sebuah perjanjian dalam hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 disebutkan bahwa, untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu pokok persoalan tertentu;

d. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sahnya suatu perjanjian transaksi elektronik yang terjadi di dunia maya, secara hukum tetap merujuk pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana

70


(24)

diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang selama ini sudah dijalankan di Indonesia.

Selain itu, dengan diaturnya syarat sah suatu transaksi elektronik yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1320 KUHPerdata, sekaligus menunjukan bahwa, transaksi elektronik merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian, sebagaimana juga yang telah ditulis oleh Subekti mengenai perikatan-periakatan baik yang lahir dari undang-undang maupun dari perjanjian oleh para pihak.71

Kelima, di dalam transaksi elektronik terkait dengan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, terdapat beberap kewajiban yang dialamatkan kepada pelaku usaha khusus untuk suatu transaksi elektronik. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud antara lain:72

a. pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan.

b. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.

c. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim

71

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan ke- 31, Jakarta, 2003, hlm. 134.

72


(25)

apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.

d. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.

e. Pelaku usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.

Sehingga, di dalam sebuah transaksi elektronik yang berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha dalam hal ini tidak dapat berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Hal tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku usaha dalam menjalankan suatu transaksi elektronik.

Keenam, mengenai kapan suatu transaksi elektronik terjadi, kapan suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik terjadi, dan bagaimana cara untuk melakukan kesepakatan tersebut, maka menurut Pasal 50 ayat (1) disebutkan bahwa, transaksi elektronik terjadi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak.

Sedangkan untuk mengetahui kapan terjadinya kesepakatan, maka pada ayat (2) dinyatakan bahwa, kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirm oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima. Artinya, kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik


(26)

dikatakan terjadi setelah terdapat penerimaan dan persetujuan akan penawaran yang ditawarkan.

Untuk mengetahui hal tersebut, maka kesepaktan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan atau tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh pengguna sistem elektronik.73 Sehingga, setidak-tidaknya suatu kesepakatan dalam transaksi elektronik dapat dilakukan melalui dua cara yang disebutkan.

Ketujuh, di dalam transaksi elektronik diatur pula mengenai jaminan yang dilakukan oleh para pihak dalam penyelenggaraan transaksi elektronik. Oleh karena itu di dalam Pasal 51 ayat (1) menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib menjamin pemberian data dan informasi yang benar serta ketersediaan sarana dan layanan serta penyelesaian pengaduan.

Hal ini bertujuan untuk memudahkan bagi para pihak dalam melakukan suatu transaksi elektronik di mana para pihak masih ragu atau belum memperoleh suatu informasi yang pasti mengenai suatu hal yang berkaitan dengan transaksi elektronik.

Selain itu, dalam transaksi elektronik yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2) memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukum (choice of law) dalam melaksanakan suatu transaksi

73


(27)

elektronik, sebagaimana juga telah diatur secara tegas di dalam UU ITE.74

B.

KEDUDUKAN

E-COMMERCE

SEBAGAI

SUATU

PERJANJIAN

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan

Hukum Siber. Istilah “hukum siber” diartikan sebagai padanan kata dari cyber law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology) hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.75

Dalam konteks transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan di Indonesia, telah diatur secara rinci di dalam UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik serta peraturan pelaksanaannya yakni PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen-dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan

74

Pasal 51 ayat (2) menyebutkan, dalam penyelenggaraan transaksi elektronik para pihak wajib menentukan pilihan hukum secara setimbang terhadap pelaksanaan transaksi elektronik.

75

H. Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 1.


(28)

dokumen-dokumen dibuat di kertas,76 sekaligus transaksi elektronik (e-commerce) dalam pelaksanaannya juga tetap mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum perjanjian sebagaimana diterapkan pada perjanjian-perjanjian konvensional selama ini.

Oleh karena itu, berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis, maka untuk menjawab rumusan masalah yang ada pada penelitian ini, adapun analisa terhadap kedudukan e-commerce dalam perspektif UU ITE adalah sebagai berikut.

1. Ruang Lingkup E-Commerce Dalam UU ITE

Berbicara tentang kegiatan e-commerce yang dilakukan setiap hari, maka hal yang tidak dapat dipungkiri adalah ruang lingkup dari e-commerce itu sendiri. Hal ini adalah sebuah keniscayaan mengingat, kegiatan e-commerce yang selama ini dilakukan melalui dunia maya tersebut hampir tidak memiliki ruang lingkup yang pasti, atau dalam bahasa lain limitless.

Hal ini benar adanya, oleh karena ruang siber (cyber space) tidak memiliki batasan-batasan tertentu, seperti dalam kehidupan nyata. Sehingga, hal tersebut berdampak pada kegiatan e-commerce dan membuat kegiatan e-commerce seperti tidak terbatas pada suatu batasan tertentu, atau dengan kata lain tidak ada pemilahan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-commerce (transaksi elektronik), mengenai subyek hukum mana

76


(29)

sajakah yang melakukan kegiatan e-commerce dalam ruang siber itu.77

Namun, sebagai payung hukum dari kegiatan e-comemrce di Indonesia, maka UU ITE sudah memberikan batasan ruang lingkup dari suatu kegiatan e-commerce atau transaksi elektronik. Secara hukum, kegiatan e-commerce (transaksi elektronik) adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya.78

Pembatasan tersebut tidak hanya pada definisi mengenai apa itu transaksi elektronik, akan tetapi secara hukum ruang lingkup dari suatu transaksi elektronik atau e-commerce juga telah dibagi dalam dua kategori, yang di dalam UU ITE disebut sebagai transaksi elektronik lingkup publik dan transaksi elektronik lingkup privat.79

1.1 E-Commerce Lingkup Publik

Ruang lingkup dalam suatu transaksi elektronik (e-commerce) dalam rezim UU ITE telah dibagi menjadi dua lingkup. Lingkup publik adalah penyelenggaraan transaksi elektronik yang dilaksanakan oleh Instansi atau pihak lain yang

77

Ibid, hlm. 3.

78

Pasal 1 angka 2 UU ITE.

79


(30)

menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang.80

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, Instansi dalam hal ini adalah Instansi Pemerintah, atau dalam hal ini penyelenggara negara. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa, Undang-Undang ini memberikan peluang terhadap pemanfaatan Teknologi Informasi oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.81

Artinya, e-commerce dalam konteks lingkup publik adalah kegiatan e-commerce yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau penyelenggara negara atau pihak lain yang diberikan wewenang untuk itu oleh karena perintah undang-undang. Sehingga jika dilihat secara seksama, maka jenis e-commerce tersebut masuk dalam kategori perikatan yang lahir dari undang-undang.

Atau dengan kata lain, undang-undang memberikan kewajiban kepada subyek hukum dalam hal ini Instansi Pemerintah atau pihak lain untuk melakukan suatu e-commerce (transaksi elektronik).

Bukti bahwa transaksi elektronik (e-commerce) lingkup publik merupakan perikatan yang lahir undang-undang adalah adanya UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, di

80

Pasal 40 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012.

81


(31)

mana disebutkan bahwa: dalam rangka memberikan dukungan informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik perlu diselenggarakan sistem informasi yang bersifat nasional.82

Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa, Sistem informasi yang bersifat nasional berisi informasi seluruh penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan untuk merumuskan kebijakan nasional tentang pelayanan publik.83 Artinya, segala macam informasi tentang pelayanan publik akan dimuat dalam sistem informasi yang juga tunduk pada rezim UU ITE. Oleh karenanya, jika dalam pelayanan publik tersebut menyelenggarakan transaksi elektronik (e-commerce) maka hal tersebut secara otomatis tunduk pada kaidah hukum UU ITE mengenai transaksi elektronik lingkup publik.

Dengan demikian, transaksi elektronik (e-commerce) yang dapat dikategorikan sebagai perikatan yang lahir dari undang-undang turut melahirkan kewajiban pada pihak yang dituju sehingga tindakan pihak tersebut adalah tindakan yang sah. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Pasal 1353

KUHPerdata yang menyebutkan: “perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akbat perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah, atau dari perbuatan yang melanggar hukum”.

82

Pasal 23 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

83


(32)

Dalam contoh yang diuraikan dari UU No. 25 Tahun 2009 adalah bentuk dari tindakan yang sah oleh karena penyelenggara negara diberikan kewajiban untuk menjalankan suatu pelayanan publik melalui sistem informasi, yang akan dilakukan melalui suatu transaksi elektronik bagi publik.

Contoh lain yang dapat dikaitkan dengan e-commerce dalam lingkup publik adalah pembayaran listrik dan air oleh orang atau badan hukum secara on line kepada PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT. Perusahaan Air Minum Negara (PAM) yang menyelenggarakan e-commerce, dalam hal ini menerima bayaran secara on line oleh karena diberikan kewajiban oleh undang-undang untuk melaksanakan itu.

Sehingga dimensi transaksi elektronik (e-commerce) lingkup publik yang diatur di dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 merupakan bentuk dari perikatan yang lahir dari undang-undang, oleh karena e-commerce dalam lingkup publik merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang. 1.2 E-Commerce lingkup Privat

Selain e-commerce yang diselenggarakan dalam lingkup publik, terdapar pula e-commerce atau transaksi elektronik yang diselenggarakan dalam lingkup privat. Sebagaimana diatur dalam UU ITE yaitu, penyelenggaraan transaksi elektronik lingkup privat meliputi, transaksi elektronik antara pelaku


(33)

usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen, antarpribadi, antarInstansi, dan antar Instansi dengan pelaku usaha.84

Dari rumusan tersebut jelas bahwa, e-commerce atau transaksi elektronik dalam lingkup publik adalah transaksi elektronik yang dilakukan berdasarkan pada perjanjian dari para pihak. Atau singkat kata, transaksi elektronik (e-commerce) lingkup privat lahir dari perjanjian antara para pihak.

Jika transaksi elektronik lingkup publik melibatkan banyak pihak, yaitu antara negara dengan warga negara, maka dalam transaksi elektronik lingkup privat terbatas pada para pihak yang ada di dalamnya. Atau dengan kata lain, sifat dari transaksi elektronik tersebut terbatas antara pihak yang berjanji tersebut.

Hal tersebut juga sama dengan sifat perjanjian dalam hukum perjanjian yang selama ini dipraktikan dalam suatu transaksi antara para pihak. Di mana kalau seorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan pada orang lain, meskipun yang diperjanjikan adalah soal barang atau sesuatu hal, akan tetapi pada dasarnya hubungan hukum timbul antara para pihak.85

Dipilah berdasarkan pada subyek hukum yang menjalankan transaksi elektronik di atas, maka kelima subyek

84

Pasal 17 ayat (1) UU ITE jo Pasal 40 ayat (3) PP No. 82 Tahun 2012.

85


(34)

hukum yang disebutkan di atas adalah para pihak yang selama ini menjalankan transaksi elektronik (e-commerce) baik itu jual beli barang, sewa-menyewa, atau pemakaian jasa menurut UU ITE.

Sebgai contoh, dapat saja dikatakan bahwa, Perusahaan A yang memproduksi celana Jeans membeli kain jeans dari produsen kain jeans yang dalam hal ini Perusahaan B. Kedua perusahaan tersebut melakukan transaksi melalui on line, yaitu segala kontrak dan pembayaran dilakukan secara on line. Hal tersebut adalah contoh transaksi elektronik (e-commerce) yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha.

Sedangkan untuk contoh pelaku usaha dengan konsumen, dapat saja dicontohkan dengan program Internetan Super Murah dari Kartu AsTelkomsel, di mana para pengguna jasa telepon seluler yang ingin menikmati tarif murah internet melalui telepon seluer, maka dapat mengaksesnya lewat menekan tombol *100*99#. Untuk selanjtnya pengguna kartu AsTelkomsel dapat melakukan transaksi elektronik dengan mengikuti syarat-syarat yang berlaku.

Contoh tersebut adalah praktik transaksi elektronik (e-commerce) yang terjadi secara on line di mana pelaku usaha melakukan transaksi elektronik dengan konsumen, di mana


(35)

transaksi elektronik tersebut dapat terjadi apabila terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak.

Contoh menarik lainnya mengenai transaksi elektronik lingkup publik dalam hal Instansi dengan pelaku usaha adalah dalam kasus Federal Trade Commission (FTC) melawan American Online, Inc., Compuserve, dan Prodigy Services Corp.

Setelah munculnya keluhan-keluhan bahwa jasa-jasa online ini tidak memberitahukan dengan semestinya kepada konsumen, bahwa biaya secara otomatis akan dikenakan setelah kadaluarsa suatu periode percobaan yang gratis. Padahal, kontrak membutuhkan pemberitahuan yang jelas tentang semua hal dan melarang penggambaran keliru atas barang yang ditawarkan dengan syarat-syarat penawaran.86

Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa transaksi elektronik lingkup privat sebagaimana diatur dalam UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 pada dasarnya adalah transaksi elektronik yang dilaksanakan berdasarkan pada perjanjian anatar para pihak. Dengan kata lain, jika dilihat dari persepktif hukum perdata jenis perikatan dalam transaksi elektronik lingkup privat lahir dari sebuah perjanjian.

86


(36)

2. Asas-Asas E-Commerce Dalam UU ITE

Setelah mengetahui ruang lingkup dari transaksi elektronik (e-commerce) dalam UU ITE, maka selanjutnya hal yang akan dijelaskan adalah tentang asas hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan suatu transaksi elektronik (e-commerce) yang terdapat dalam UU ITE dan aturan pelaksanaannya yaitu PP No. 82 Tahun 2012.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, pada dasarnya dalam suatu aktivitas e-commerce yang dilakukan secara virtual tidak secara otomatis menghilangkan prinsip-prinsip hukum yang ada sebelumnya.87 Seperti contoh dalam perjajian jual beli secara online, asas-asas yang melandasi kedua belah pihak untuk melakukan perjanjian pada dasarnya sama seperti asas-asas hukum yang berlaku pula dalam hukum perdata Indonesia.

Oleh karena itu, Penulis akan menjelaskan tentang asas-asas hukum suatu aktivitas e-commerce berdasarkan pada kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dituliskan di dalam UU ITE maupun aturan pelaksanannya yakni PP No. 82 Tahun 2012.

2.1 Asas Personalia

Berbicara mengenai asas personalia, maka hal yang tidak dapat dihindari adalah rumusan dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang

87


(37)

berbunyi, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

Rumusan Pasal 1315 tersebut menjadi titik penting untuk mengetahui letak dari asas personalia. Namun, apakah yang dimaksud dengan asas personalia itu? Dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.88

Di dalam pengaturan mengenai transaksi elektronik dalam hal ini e-commerce yang diatur dalam UU ITE, khususnya di dalam Pasal 18 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.

Rumusan tersebut jelas, bahwa siapa saja dapat melakukan perjanjian atas namanya sendiri, dan mengikat dirinya sehingga akan melahirkan kewajiban atasnya. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa, setiap orang bebas untuk melakukan e-commerce atas dan untuk dirinya, dan terikat dalam perjanjian e-comemrce tersebut.

Oleh karena itu, UU ITE pun menyadari bahwa setiap orang memiliki hak untuk melakukan perjanjian dengan siapa saja melalui dunia maya, sehingga terikat oleh perjanjian itu, dan hal tersebut tidak mungkin akan dilakukan oleh orang lain atas nama seseorang.

88

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 15.


(38)

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa:

Dalam hal, orang perorangan tersebut melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya yang berbeda, yaitu tidak untuk kepetingan dirinya sendiri, maka kewenangannya harus disertai bukti yang menunjukan bahwa memang orang perorangan tersebut tidak membuat dan/atau menyetujui dilakukannya suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ”.89

Artinya, tidak mungkin seorang dapat terikat pada suatu perjanjian yang bukan atas kehendaknya sendiri atau yang bukan dilakukannya. Hal ini secara hukum juga dikenal dalam Hukum Dagang, yakni pada Pasal 107 KUHD tentang wesel yaitu:

Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya di dalam sesuatu surat wesel sebagai wakil orang lain atas nama siapa ia berwenang untuk bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat karena surat wesel itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibat-akibat yang sama berlaku abgi seorang wakil yang bertindak dengan melampaui batas kewenangannya”.

Oleh karena itu, asas personalia dalam e-commerce menjadi sangat penting terlebih aktivitas di dunia maya yang tidak mengenal ruang dan waktu, sehingga asas ini harus diletakkan sebagai asas fundamental dalam pelaksanaan transaksi elektronik (e-commerce).

Asas ini juga diterapkan dalam kegiatan e-commerce untuk menjamin bahwa, orang yang sudah melakukan suatu perjanjian e-commerce, maka atas orang itu terjadi perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban atasnya.

89


(39)

Rumusan tentang asas personalia juga dapat ditemukan dalam PP No. 82 Tahun 2012, di mana disebutkan bahwa, transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum bagi para pihak.90 Artinya, pihak di sini adalah subyek hukum yang dapat melakukan suatu perjanjian atas namanya sendiri. Sehingga, atas perjanjian itu maka pihak tersebut harus menerima akibat hukum yang ditimbulkan dari perjanjian itu.

Dengan demikian, jelas bahwa e-commerce dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 tetap menggunakan asas Personalia yang juga telah dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Asas ini bertujuan untuk menjamin kegiatan e-commerce benar-benar dilakukan oleh pihak yang berkepentingan.

2.2 Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas berkaitan dengan kesepakatan antara para pihak dalam melakukan suatu perjanjian. Kesepakatan dari para pihak tersebut menjadi titik penting, oleh karena dengan kesepakatan tersebut maka suatu perjanjian dapat dikatakan sah, dan dapat melahirkan suatu hak dan kewajiban bagi para pihak.91

Ketentuan mengenai asas konsensualitas sudah dikenal dalam sistem hukum Indonesia yaitu dalam Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata, yaitu untuk perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, dan syarat yang pertama adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

90

Pasal 46 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012.

91


(40)

Rumusan itulah yang menjadi landasan yuridis bagi suatu aktivitas perjanjian yang selama ini dilakukan. Namun, di dalam konteks e-commerce yang merupakan suatu jenis perdagangan baru, aturan tersebut tetap berlaku akan tetapi diatur tersendiri dalam peraturan tentang itu.

Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU ITE yang menyebutkan bahwa, kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirm pengirim telah diterima dan disetujui, dan selanjutnya persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan pernyataan penerimaan secara elektronik.

Rumusan pasal tersebut menegaskan bahwa para pihak yang akan melakukan suatu transaksi elektronik (e-comemrce) memerlukan suatu kesepakatan. Jika para pihak sudah bersepakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu transaksi elektronik sudah terjadi.

Dalam hal ini, pernyataan kesepakatan harus dilakuakn melalui suatu pernyataan penerimaan atau pernyataan persetujuan yang dilakukan secara elektronik pula. Atau dengan kata lain, consensus antara para pihak dalam transaksi elektronik (e-commerce) adalah melalui suatu pernyataan elektronik.

Hal ini berbeda dengan perjanjian bisnis atau perjanjian jual beli pada ruang nyata yang dapat dilakukan secara lisan. Mengingat e-commerce dilakukan pada suatu ruang yang virtual, maka pernyataan


(41)

secara elektronik diperlukan untuk mengetahui bahwa para pihak telah bersepakat untuk melakukan transaksi elektronik (e-commerce).

Selain dari rumusan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UU ITE, di dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a PP No. 82 Tahun 2012 juga secara eksplisit mengatur bahwa, kontrak elektronik dianggap sah apabila ada kesepakatan para pihak.

Rumusan tersebut nampaknya merupakan penulisan kembali atas rumusa Pasal 1320 KUHPerdata, yang memuat tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Artinya, hukum siber baik itu UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 yang merupakan umbrella act bagi e-commerce tetap mempraktikan prinsip hukum yakni asas konsensualitas yang sudah dipraktikan juga sebelum lahirnya UU ITE dan Peraturan Pelaksananya.

Oleh karenanya, asas konsensualitas dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012 yang mengatur tentang e-commerce tetap mendudukan asas konsensualitas sebagai salah satu asas penting untuk dilangsungkannya suatu aktivitas e-commerce.

2.3 Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam hukum perjanjian, asas kebebasan berkontrak juga mendasarkan dirinya pada Pasal 1320 KUHPerdata, khususnya angka 4 yaitu, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaiitu, syarat keempat adalah suatu sebab yang tidak terlarang.


(42)

Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saj, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.92

Suatu sebab yang tidak terlarang dalam hal ini harus memperhatikan pula ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang

oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesulilaan baik

atau ketertiban umum”.

Asas kebebasan berkontrak juga dapat dipahami dalam hal berkaitan dengan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk menentukan dengan siapa seseorang akan mengadakan perjanjian, apa bentuk perjanjian, serta memberikan kebebasan kepada subyek hukum untuk menentukan isi perjanjian.93

Dalam konteks e-commerce UU ITE sendiri tidak menjabarkan secara rinci asas kebebasan berkontrak sebagaimana mestinya. Ketentuan tersebut justru ditemukan dalam Pasal 47 ayat (2) huruf d PP Nomor 82 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa, kontrak elektronik dianggap sah apabila objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

92

Ibid, hlm. 46.

93

Christiana Tri Budhayati. Dinamika Perkembangan Hukum Kontrak Di Indonesia, Universitas Kristem Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 48.


(43)

Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa sejatinya dalam sebuah e-commerce atau transaksi elektronik sekalipun, masih tetap menggunakan asas kebebasan berkontrak yang selama ini juga dijalankan dalam perjanjian-perjanjian konvensional.

Rumusan Pasal 47 ayat (2) huruf d PP No. 82 Tahun 2012 sudah membuktikan bahwa, asas kebebasan berkontrak yang diakui dalam KUHPerdata yang merupakan Lex Generalis hukum perdata Indonesia, juga diakomodir di dalam transaksi elektronik (e-commerce). Sehingga, suatu kontrak elektronik yakni e-commerce juga tetap menjalankan prinsip atau asas kebebasan berkontrak bagi para pihak.

2.4 Asas Pacta Sunt Servanda

Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.94

Sudah barang tentu, asas pacta sunt servanda tersebut merupakan ekstraksi dari rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, daya ikat dari perjanjian itu secara hukum hanya

94


(44)

mengikat para pihak yang terdapat di dalam perjanjian itu, atau perjanjian mengikat sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak.

Pacta sunt servanda juga mempunyai pengertian bahwa suatu pactum, yaitu persesuaian kehendak, tidak perlu dilakukan dibawah sumpah, atau dibuat dengan tindakan atau formalitas tertentu, menurut hukum, persesuaian kehendak itu membentuk suatu kontrak yang mengikat.95

Dalam konteks e-commerce yakni suatu transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam UU ITE menyebutkan bahwa, transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.96 Dalam pengertian dengan asas pacta sunt servanda, maka kontrak elektronik mengenai suatu e-commerce mengikat para pihak yang terdapat di dalam kontrak/ perjanjian tersebut.

Rumusan dalam Pasal 18 ayat (1) tersebut memang pada dasarnya tidak secara rinci meyebutkan mengenai daya berlaku dari sebuah kontrak /perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, namun dari bunyi Pasal 18 ayat (1) a quo secara inheren mengandung prinsip pacta sunt servanda.

Dengan demikian, segala macam kontrak elektronik dalam suatu e-comemerce harus tunduk pada prinsip pacat sunt servanda. Artinya, para pihak yang sudah masuk ke dalam perjanjian tersebut, memiliki

95

Peter Mahmud Marzuki. Keberlakuan Doktrin Contra Proferentem Dalam Hukum Kontrak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2013, hlm. 5.

96


(45)

kewajiban secara hukum untuk patuh dan taat kepada isi dari perjanjian tersebut.

Sejalan dengan itu pula, Christiana Tri Budhayati menggariskan bahwa,

asas pacta sunt servanda ini menunjukan adanya jaminan kepastian hukum pada para pihak yang berjanji, para pihak akan terikat pada apa yang diperjanjikan, terkandung makna bahwa ia tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan, pengingkaran tentu akan mendatangkan sanksi hukum bagi yang bersangkutan”.97

Dengan demikian, Penulis hendak mempertegas kembali bahwa e-commerce menurut UU ITE, juga menerapkan asas pacta sunt servanda bagi para pihak yang melakukan atau melaksanakan e-commerce.

2.5 Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik berkiatan dengan pelaksanaan perjanjian, di mana para pihak yang berada dalam suatu perjajian diharuskan untuk menjalankan perjanjian itu dengan iktikad baik. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang menyebutkan, perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Dengan demikian secara tegas undang-undang mengharuskan para pihak melaksanakan satu kewajiban hukum yang muncul karena adanya perjanjian yakni bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.98

97

Ibid, hlm. 50.

98


(46)

Berkenaan dengan iktikad baik itu pula, Ridwan Khirandy menyatakan bahwa, pengertian iktikad baik mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi subyektif yang berarti iktikad baik mengarah pada makna kejujuran serta dimensi kedua adalah dimensi yang memaknai iktikad baik sebagai rasionalitas dan kepatutan atau keadilan.99

Berkenaan dengan e-comemrce atau transaksi elektronik, di dalam UU ITE disebutkan bahwa, para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.100

Rumusan dalam Pasal 17 ayat (2) tersebut secara eksplisit menegaskan bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik (e-comemrce) untuk harus beriktikad baik, agar arus transaksi elektronik tidak menimbulkan permasalahan yang akan merugikan para pihak.

Sudah jelas bahwa, meskipun di era globalisasi seperti sekarang di mana transaksi sudah dilakukan melalui transaksi elektronik di mana para pihak tidak saling bertatap muka secara langsung, namun hukum tetap mewajibkan bagi para pihak yang melakukan transaksi elektronik tersebut untuk menerapkan asas iktikad baik.

Selain diatur dalam Pasal 17 ayat (2), ketentuan mengenai iktikad baik juga dijumpai di dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a PP No. 82

99

Ridwan Khirandy. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI, Jakarta, 2003, hlm. 13.

100


(47)

Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa, “penyelenggaraan transaksi elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan iktikad baik.”

Asas iktikad baik dalam transaksi elektronik (e-comemrce) kembali dimunculkan dalam hukum formil dari UU ITE yakni PP No, 82 Tahun 2012, di mana para pihak yang melaksanakan transaksi elektronik harus melakukan transaksi itu dengan iktikad baik. Artinya, meskipun para pihak itu tidak pernah bertemu secara langsung untuk membicarakan perihal perjanjian, namun hanya melalui transaksi elektronik pun para pihak harus tetap beriktikad baik.

Rumusan kedua pasal tersebut, baik yang diatur di dalam UU ITE maupun PP No. 82 Tahun 2012, menunjukan bahwa kemajuan teknologi informasi yang mana merubah cara melaksanakan suatu perjanjian, yaitu melalui dunia maya sekalipun, tetap diwajibkan oleh hukum bagi para pihak yang bertransaksi atau berjanji itu untuk tetap menjalankan perjanjian atau transaksi elektronik dengan iktikad baik.

Berikut Penulis rumuskan dalam tabel asas-asas E-commerce UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 dengan yang terdapat di dalam KUHPerdata:


(48)

Tabel 1. Asas-asas Hukum Perjanjian

Asas-asas UU ITE dan PP 82

Tahun 2102

KUHPerdata

Asas Personalia Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 46 ayat (1).

Pasal 1315

Asas konsensualitas Pasal 20 ayat (2) dan (2) jo pasal 47 ayat (2) huruf a.

Pasal 1320 (1)

Asas kebebasan berkontrak

Pasal 47 ayat (2) huruf d. Pasal 1320 (4)

Asas pacta sunt servanda

Pasal 18 ayat (1) Pasal 1338

Asas iktikad baik Pasal 17 ayat (2) jo Pasal 46 ayat (2) huruf a

Pasal 1338 (3)

3. Sahnya Perjanjian E-Commerce Dalam Perspektif UU ITE

Di dalam melakukan suatu perjanjian, maka hal utama yang harus dilakukan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya atau berlakunya suatu perjanjian tersebut. Oleh karenanya, secara a contrario jika syarat-syarat dalam perjanjian tidak dipenuhi maka suatu perjanjian tidak dapat dikatakan sah atau berlaku, dan tidak akan melahirkan hak dan kewajiban bagi siapapun.

Begitu pula dengan transaksi elektronik (e-commerce), sudah barang tentu para pihak yang yang akan melakukan perjanjian dalam


(49)

transaksi elektronik harus memenuhi syarat-syarat perjanjian, sehingga perjanjian tersebut dapat menjadi sah dan dapat dilakukan transaksi elektronik, yang akan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak tersebut.

Undang-undang ITE (UU No. 11 Tahun 2008) yang mengatur tentang transaksi elektronik, tidak menguraikan secara rinci syarat sahnya suatu perjanjian sehingga suatu transaksi elektronik dapat dilakukan.

Dari Hasil Penelitian yang dilakukan, ketentuan dalam Bab V UU ITE yang mengatur secara khusus tentang transaksi elektronik tidak mengatur secara khusus tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara elektronik (e-commerce).

Namun ketentuan tentang syarat sahnya suatu perjanjian elektronik dalam hal ini suatu transaksi elektronik (e-commerce) diatur di dalam Pasal 47 ayat (2), yang menyatakan, “kontrak elektronik dianggap sah apabila:”

- Terdapat kesepakatan para pihak;

- Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang

mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

- Terdapat hal tertentu; dan

- Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan


(50)

Rumusan mengenai syarat sahnya suatu kontrak elektronik di atas pada dasarnya sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata juga merumuskan empat syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak jika akan melakukan suatu perjanjian atau kontrak.

Oleh karena dalam syarat sahnya kontrak elektronik yang mengatur tentang e-commerce sama dengan syarat kontrak atau perjanjian pada umumnya, maka berikut ini akan diuraikan atau dijelaskan keempat syarat tersebut.

Pertama, baik Pasal 47 ayat (2) maupun Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak lain. 101

Secara umum kesepakatan antara para pihak tersebut berawal dari penawaran dan penerimaan. Akan selalu ada pihak yang menawarkan serta pihka yang menerima tawaran. Hal tersebut juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh E. Allan Fansworth & William F. Young bahwa, kesepakatan yang merupakan pernyataan

101


(51)

kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan.102

Begitu juga dalam suatu transaksi elektronik (e-commerce), kesepakatan para pihak yang dilakukan melalui kontrak elektronik menjadi bukti bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan, sehingga dapat dikatakan telah terjadi kesepakatan antara para pihak.

Penawaran yang disampaikan secara elektronik dapat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan setuju dari pihak yang ditawari. Dalam transaksi elektronik, pernyataan secara elektronik dianggap sebagai persetujuan atau telah terjadi persesuaian kehendak atau kesepakatan para pihak, sehingga transaksi elektronik (e-commerce) dianggap telah terjadi.

Berkaitan dengan kesepakatan itu pula, maka berlaku pula prinsip kesepakatan bebas, artinya kesepakatan yang dibuat oleh para pihak tersebut dilakukan dalam keadaan bebas merdeka tanpa paksaan, buak karena khilaf atau karena penipuan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

Dalam kaitannya dengan kesepakatan para pihak dalam transaksi elektronik, maka dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 82 Tahun

102

E. Allan Fansworth & William F. Young. Contracts (Cases & Materials), The Foundation Press Inc. New York, 1980, hlm. 179-195.


(52)

2012 telah ditetapkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan produk secara elektronik harus memberikan informasi yang benar, jelas dan lengkap mengenai produk tersebut.

Sehingga, jika pihak penerima akan memperoleh informasi yang lengkap dan akan menuntunnya pada pernyataan bahwa ia akan bersepakat atau setuju dengan apa yang ditawarkan, sehingga transaksi elektronik dapat dilakukan.

Oleh karena itu, Penulis berpendapat di dalam transaksi elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a tetap memerlukan kesepakatan para pihak yakni melalui pernyataan penerimaan secara elektronik untuk menyatakan bahwa suatu kesepakatan telah terjadi.

Kedua, perihal kecakapan. Baik di dalam Pasal 1320 KUHPerdata maupun Pasal 47 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa, salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya kecakapan dari para pihak. Kecakapan di sini adalah menyangkut kemampuan secara hukum untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.

Kecakapan diukur berdasarkan subyek hukum yang melakukannya, yakni jika itu adalah orang (person) akan dilihat dari usia kedewasaan menurut hukum, dan jika itu adalah badan hukum (rechtspersoon) akan dilihat dari aspek kewenangan.103

103


(53)

Seseorang yang sudah dinyatakan dewasa secara hukum, maka orang tersebut dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dalam hal ini adalah perjanjian. Sedangkan untuk badan hukum, maka yang akan dilihat adalah status (kesahan) badan hukum tersebut, serta apakah badan hukum tersebut memang memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perjanjian.

Dalam konteks transaksi elektronik, kecakapan dari para pihak menjadi kendala tersendiri, oleh karena dilakukan melalui dunia virtual. Artinya, antara para pihak tidak dapat mengetahui secara pasti apakah pihak yang akan diajak berjanji sudah cakap atau tidak.

Oleh karena itulah, di dalam Pasal 49 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012 mengharuskan agar setiap penyelenggara transaksi elektronik untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada siapa saja yang akan melakukan perjanjian dengannya.

Hal ini penting, mengingat jika dikemudian hari terbukti bahwa salah satu pihak yang melakukan kontrak elektronik tersebut tidak cakap, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Implikasi hukum yang mungkin dapat timbul adalah, ada kemungkinan bahwa salah satu pihak akan mengalami kerugian.

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan kecakapan, dan hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan tidak cakap adalah: orang-orang belum dewasa, mereka yang ditaruh


(54)

dibawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perjanjian.104

Dengan demikian, perjanjian dalam suatu transaksi elektronik tetap memerlukan kecakapan dari para pihak agar perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Untuk itu, para pihak dalam bertransaksi diwajibkan untuk selalu memberitahukan informasi yang sebenar-benarnya kepada sesama pihak yang akan bertransaksi secara elektronik.

Ketiga, terdapat hal tertentu. Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Artinya, dalam suatu perjanjian harus ada suatu hal yang diperjanjikan oleh para pihak, sehingga hal tersebut akan menjadi prestasi sekaligus kontrprestasi bagi masing-masing pihak.

Sejalan dengan itu, perlu diperhatikan Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Rumusan tersebut hendak menjelaskan bahwa, dalam perjanjian harus ada hal yang diperjanjikan. Hal ini penting untuk mengetahui sejauh mana para pihak akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar kewajibannya terpenuhi. Atau dengan kata lain, hal tertentu yang diperjanjikan harus diketahui

104

Mengenai substansi terakhir telah dihapus berdasarkan SEMA Nomor. 3 Tahun 1963 dan Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(55)

oleh para pihak sehingga segala tindakan yang akan dilakukan nanti dapat terukur atau pasti.

Keempat, kausa yang diperbolehkan. Dalam bahasa UU ITE hal tersebut disebutkan sebagai objek perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Di dalam menentukan suatu hal tertentu yang akan menjadi objek perjanjian, maka para pihak diwajibkan untuk melihat dan menentukan apakah objek yang diperjanjikan tersebut merupakan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau tidak, atau hal itu tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Perjanjian secara elektronik yang akan melaksanakan suatu transaksi elektronik pun mensyaratkan agar suatu hal yang diperjanjikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketetiban umum. Hal ini akan berimplikasi pada batalnya perjanjian itu.

Artinya, jika dalam suatu transaksi elektronik diperjanjikan suatu objek yang senyatanya bertentangan dengan apa yang dilarang, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut sejak awal dianggap tidak pernah ada (never existed) atau batal demi hukum.

Dengan demikian, para pihak dalam suatu transaksi elektronik jika ingin agar perjanjian yang dilakukannya tetap sah, maka syarat


(56)

keempat tersebut pun harus diperhatikan dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka Penulis melihat bahwa secara hukum, syarat sahnya suatu perjanjian e-commerce menurut UU ITE adalah sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia.

Berikut akan digambarkan sahnya perjanjian E-commerce dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Syarat Sahnya Perjanjian Sahnya

Perjanjian

UU ITE KUHPerdata

Pasal 47 ayat (2) yaitu:

a. kesepakatan para pihak

b. adanya kecakapan para pihak

c. terdapat hal tertentu

d. objek transaksi tidak boleh

bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 1320, yaitu:

- Kesepakatan para pihak - kecakapan yang

membuat janji

- terdapat hal tertentu - causa yang halal


(57)

4. E-Commerce Internasional Menurut UU ITE

Karakter e-commerce berupa kemampuan untuk melintasi batas antar negara menyebabkan pengaturannya menjadi persoalan kebijakan dan hukum perdagangan Internasional. Paling tidak persoalan berkaitan dengan sifat dan substansi hukum yang dapat diterapkan adalah persoalan yurisdiksi dan pelaksanaanya yang berkaitan dengan transaksi online perlu dipecahkan secara memuaskan sesuai keinginan agar media tersebut mendapatkan kepercayaan dan dapat diterima lebih luas oleh pihak-pihak dari negara berbeda.105

Dalam hal e-commerce yang dilakukan lintas negara, maka hal yang akan menjadi permasalahan adalah selalu berkisar pada dua hal, yaitu menyangkut pilihan hukum yang akan berlaku bagi para pihak dan pilihan forum pengadilan yang akan menyelesaikan sengketa yang mungkin akan terjadi.

Oleh karena itu, di dalam e-commerce internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa,

“para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”. Ketentuan tersebut secara jelas menunjukan bahwa, e-commerce berskala internasional yang dilakukan oleh para pihak harus memperhatikan pilihan hukum yang akan mengikat bagi para pihak tersebut.

105

Assafa Endeshaw. Hukum E-Commerce Dan Internet Dengan Fokus Di Asia pasifik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 254.


(1)

oleh para pihak sehingga segala tindakan yang akan dilakukan nanti dapat terukur atau pasti.

Keempat, kausa yang diperbolehkan. Dalam bahasa UU ITE hal

tersebut disebutkan sebagai objek perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Di dalam menentukan suatu hal tertentu yang akan menjadi objek perjanjian, maka para pihak diwajibkan untuk melihat dan menentukan apakah objek yang diperjanjikan tersebut merupakan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang atau tidak, atau hal itu tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Perjanjian secara elektronik yang akan melaksanakan suatu transaksi elektronik pun mensyaratkan agar suatu hal yang diperjanjikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketetiban umum. Hal ini akan berimplikasi pada batalnya perjanjian itu.

Artinya, jika dalam suatu transaksi elektronik diperjanjikan suatu objek yang senyatanya bertentangan dengan apa yang dilarang, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut sejak awal dianggap tidak pernah ada (never existed) atau batal demi hukum.

Dengan demikian, para pihak dalam suatu transaksi elektronik jika ingin agar perjanjian yang dilakukannya tetap sah, maka syarat


(2)

keempat tersebut pun harus diperhatikan dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka Penulis melihat bahwa secara hukum, syarat sahnya suatu perjanjian e-commerce menurut UU ITE adalah sama dengan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata Indonesia.

Berikut akan digambarkan sahnya perjanjian E-commerce dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Syarat Sahnya Perjanjian Sahnya

Perjanjian

UU ITE KUHPerdata

Pasal 47 ayat (2) yaitu:

a. kesepakatan para pihak

b. adanya kecakapan para pihak

c. terdapat hal tertentu

d. objek transaksi tidak boleh

bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 1320, yaitu:

- Kesepakatan para pihak - kecakapan yang

membuat janji

- terdapat hal tertentu - causa yang halal


(3)

4. E-Commerce Internasional Menurut UU ITE

Karakter e-commerce berupa kemampuan untuk melintasi batas antar negara menyebabkan pengaturannya menjadi persoalan kebijakan dan hukum perdagangan Internasional. Paling tidak persoalan berkaitan dengan sifat dan substansi hukum yang dapat diterapkan adalah persoalan yurisdiksi dan pelaksanaanya yang berkaitan dengan transaksi

online perlu dipecahkan secara memuaskan sesuai keinginan agar media

tersebut mendapatkan kepercayaan dan dapat diterima lebih luas oleh pihak-pihak dari negara berbeda.105

Dalam hal e-commerce yang dilakukan lintas negara, maka hal yang akan menjadi permasalahan adalah selalu berkisar pada dua hal, yaitu menyangkut pilihan hukum yang akan berlaku bagi para pihak dan pilihan forum pengadilan yang akan menyelesaikan sengketa yang mungkin akan terjadi.

Oleh karena itu, di dalam e-commerce internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa,

“para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”. Ketentuan tersebut secara jelas menunjukan bahwa, e-commerce berskala internasional yang dilakukan oleh para pihak harus memperhatikan pilihan hukum yang akan mengikat bagi para pihak tersebut.

105

Assafa Endeshaw. Hukum E-Commerce Dan Internet Dengan Fokus Di Asia pasifik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 254.


(4)

Para pihak yang melakukan suatu transaksi elektronik internasional lah yang akan menentukan hukum mana yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional tersebut. Hal ini berarti, UU ITE sudah membatasi secara tegas bagi para pihak untuk harus melakukan kesepakatan mengenai pilihan hukum (choice of law) yang akan mengikat bagi para pihak.

Namun, apabila ternyata para pihak dalam transaksi elektronik internasional tersebut tidak menentukan pilihan hukum bagi mereka, maka hukum perdata internasioanl berlaku secara otomatis.106

Artinya, untuk menentukan yurisdiksi hukum negara manakah yang akan mengikat bagi transaksi elektronik internasional tersebut dapat dilihat dari domisili para pihak, kewarganegaraan, atau tempat menjalankan usaha, atau tempat di mana kontrak elektronik dilakukan.

Oleh karena itu, meskipun para pihak tidak menentukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, tidak berarti bahwa terjadi kekosongan hukum dan akan menimbulkan masalah hukum, sebab yang berlaku secara otomatis adalah asas hukum perdata internasional dalam menentukan pilihan hukum untuk itu.

Selain pilihan hukum (choice of law) bagi para pihak dalam melakukan suatu transaksi elektronik internasional, hal penting lain yang harus diperhatikan dalam e-commerce internasional adalah pilihan

106


(5)

forum yang akan menyelesaikan sengketa yang akan timbul dari perjanjian tersebut.

Di dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE disebutkan bahwa, “para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.”

Rumusan tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan mengenai pilihan hukum bagi para pihak dalam melakukan transaksi elektronik internasional sebagaimana diatru dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE. Artinya, kewenangan sepenuhnya mengenai pilihan forum

(choice of forum) yang akan dipakai menyelesaikan sengketa tergantung

pada kesepakatan dari para pihak.

Sehingga, jika dalam suatu transaksi elektronik internasional di mana para pihaknya sudah menentukan tempat akan diselesaikannya sengketa, maka tempat yang dipilih dalam perjajian tersebutlah yang akan memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul.

Sebagai contoh, dalam isi perjanjian antara PT. Waskita Karya dengan PT. Manunggal, menyatakan klausula bahwa apabila di kemudian hari timbul sengketa dalam perjanjian ini, maka sengketa akan diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan pada klausul tersebut, maka yang berwenang menangani perkara di dalam


(6)

perjanjia elektronik internasional antara kedua pihak adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sebaliknya, jika ternyata para pihak dalam transaksi elektronik internasional tidak mencantukan pilihan forum (choice of forum) untuk penyelesaian sengketa, maka yang akan berlaku adalah prinsip-prinsip hukum perdata internasioan.

Hal tersebut sama halnya dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) tentang tidak dicantumkannya pilihan hukum oleh para pihak dalam transaksi elektronik internasioan. Maka, asas hukum perdata internasional yang berlaku secara otomatis.