perjanjian. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, di mana E-Commerce tetap memiliki kaitan dengan
hukum perjanjian yaitu tentang ciri dan karakter dari E-Commerce yang tetap tunduk pada kaidah-kaidah hukum perjanjian, meskipun E-
Commerce diatur secara terpisah dari KUHPerdata Indonesia yang merupakan Lex Generalis hukum perdata di Indonesia.
1.1 Pasal 1 angka 2 jo Pasal 9 UU ITE
Pasal 1 angka 2 UU ITE menyatakan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
komputer, jaringan komputer, danatau media elektronik lainnya. Ketentuan ini sekaligus menjelaskan mengenai ruang lingkup dari
E-Commerce yang juga merupakan suatu perbuatan hukum, yang dilakukan dengan menggunakan media komputer, jaringan
komputer, atau media elektronik lainnya. Atau dengan kata lain, transaksi E-Commerce dilakukan di dunia maya.
Mengenai hal tersebut, Atip Latifulhayat, sebagaimana dikutip Abdul Halim Barkatullah menyatakan bahwa:
“sebagai suatu perdagangan yang berbasis teknologi canggih, e- commerce telah mereformasi perdagangan konvensional. Interaksi
antara konsumen dan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan secara lan
gsung menjadi interaksi yang tidak langsung”.
49
Perdagangan melalui dunia maya tersebut disebutkan sebagai suatu model perdagangan yang dilakukan dengan cara baru, di mana
49
Abdul Halim Barkatullah. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E- Commerce Lintas Negara Di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2009. Hlm, 33-34.
antara para pihak yang mengadakan perdagangan tidak saling bertemu secara langsung, namun cukup lewat dunia maya.
Sehingga, e-commerce telah merubah paradigma “bisnis klasik”
dengan menumbuhkan model-model interaksi antara pelaku usaha dan konsumen di dunia virtual.
50
Dimensi tentang e-commerce juga dapat dilihat di dalam Pasal 9 UU ITE menyatakan bahwa,
“pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawar”.
Rumusan tersebut menghendaki agar kegiatan transaksional e- commerce yang dilakukan di dunia maya tersebut harus
mengedepankan prinsip the right to obtain information, yaitu konsumen berhak untuk memperoleh suatu informasi yang sebenar-
benarnya dari pelaku usaha mengenai hal yang ditawarkan kepada konsumen. Sebailknya, pelaku usaha berkewajiban untuk
menyampaikan hal tersebut kepada konsumen. Dengan demikian, jelas bahwa segala kegiatan e-commerce di
dalam dunia maya tetap tunduk pada kaidah hukum yang secara prinsip sudah dikenal terlebih dahulu dalam hukum Indonesia, yaitu
hukum perdata. Prinsip a quo selanjutnya secara eksplisit
50
Ibid. hal: 33-34.
dituangkan di dalam Pasal 4 huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
51
Selanjutnya, perihal transaksi elektronik yang dimaknai sebagai e-commerce sebagaimana diatur di dalam UU ITE sejatinya diatur
di dalam Bab V yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Pengaturan mengenai hal tersebut mulai dari Pasal 17 sampai
dengan Pasal 22. Uraian mengenai Bab V UU ITE akan dijelaskan di bawah ini, selain dari dua pasal yang telah dijelaskan sebelumnya