Latar Belakang Masalah Kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi daerah istimewa Yogyakarta
langsung tidak mendapatkan pengakuan dari rakyat dan dengan alasan itu kepala daerah dapat diturunkan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir.
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan proses politik yang tidak saja merupakan mekanisme politik untuk mengisi jabatan demokratis melalui
pemilu, tetapi juga sebuah implementasi pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi politik yang sesungguhnya.
5
Pemilihan kepala daerah secara langsung dilandasi semangat yang kuat untuk mengoreksi apa yang terjadi selama periode berlakunya Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan kata lain, semangat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah pilkada langsung adalah koreksi
terhadap sistem demokrasi tidak langsung perwakilan di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi
demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat. Oleh karena itu, keputusan politik untuk menyelenggarakan pilkada adalah sebuah langkah strategis dalam
rangka memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi.
6
Pada tahun 2014, tepat sejak disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sempat diatur lagi mengenai pemilihan kepala daerah secara tidak langsung yang dipilih oleh DPRD. Namun
5
Mochamad Isnaeni Ramdan, Laporan Akhir Kompendium Pilkada, Jakarta: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2011, h. 69.
6
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, h. 42.
dengan berbagai permasalahan dan penolakan yang terjadi di dalam masyarakat, kemudian dikembalikan menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat
berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang kemudian dijadikan Undang- Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan aturannya pada pasal 1 ayat 1 yang secara
eksplisit menyebutkan “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut
pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupatenkota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Selain itu pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan
implementasi pasal 28D ayat 3 Undang- Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Hak turut serta dalam pemerintahan hak politik yang dilindungi hukum
internasional pada Kovenan Hak Asasi Manusia mengenai Hak Sipil dan Politik maupun hukum nasional pada Undang-Undang Dasar 1945 intinya terdiri dari
empat bagian, yakni: pertama, hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum; kedua, hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan
langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya; ketiga, hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada
pemerintah baik dengan lisan maupun dengan tulisan; keempat, hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik di dalam pemerintahan.
7
Disahkannya Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta telah menghilangkan aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas.
Karena di dalam pasal 18 ayat 1 huruf c Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tertulis “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara
Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku
Alam untuk calon wakil Gubernur”. Kemudian Pasal 20 ayat 1 menyebutkan “Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur.......”. Ini
berarti Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam tanpa melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat secara otomatis diangkat sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentunya hal ini menjadi permasalahan, karena selain menghilangkan pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur secara
langsung oleh rakyat, juga telah meniadakan hak politik warga negara yang seluruhnya diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Berlatar belakang dari permasalahan di atas maka penulis mengambil inisiatif untuk meneliti lebih dalam tentang permasalahan ini yang kemudian
diberi judul “Kedudukan Sultan Hamengku Buwono Dan Adipati Paku
7
Nur Widyastanti, Kedudukan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Dalam Tatanan Konsep Demokrasi Di Indonesia, Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,
2009, h. 2.
Alam Sebagai Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
”. B.
Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan mengenai permasalahan tentang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka ruang lingkup permasalahan penulis
batasi hanya dilihat dari kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, pengaturan mekanisme
pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Hak Politik Warga Negara di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan.