Hak Politik Warga Negara Dalam Konstitusi Indonesia
politik, hak subsistensi hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan; dan hak ekonomi, sosial, sosial budaya.
5
Generasi hak asasi manusia kedua menyusul pada keinginan yang kuat masyarakat global untuk memberikan kepastian terhadap masa depan hak asasi
manusia yang melebar pada aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dalam sidang umum PBB 16 Desember 1966 kemudian dirumuskan dua buah Kovenan,
yakni Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya International Covenant on Economic Social, and Cultural Rights, dan Kovenan Internasional
Hak Sipil dan Politik International Covenant on Civil and Politic Rights. Perkembangan pemikiran hak asasi manusia juga mengalami peningkatan ke arah
kesatupaduan antara hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam “satu keranjang” yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan the
Rights of Development. Inilah generasi hak asasi manusia ketiga. Sebagai proses dialektika, pemikiran hak asasi manusia akhirnya memasuki tahap
penyempurnaan sampai munculnya generasi hak asasi manusia keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan
ekonomi, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti diabaikannya berbagai aspek kesejahteraan rakyat. Munculnya generasi keempat hak asasi manusia ini
dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang dikenal dengan Deklarasi Dasar Masyarakat
5
A Ubaedillah, Abdul Razak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014, h. 151.
Asia dan Pemerintah Declaration of The Basic Duties of Asia People and Goverment.
6
Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan Indonesia. Diskursus mengenai hak asasi manusia
ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai awal periode perdebatan
hak asasi manusia, diikuti dengan periode Konstituante tahun 1957-1959 dan periode awal bangkitnya Orde Baru 1966-1968. Dalam ketiga periode ini
perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Tetapi pada periode-
periode tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk
berhasil, yaitu sampai datangnya periode reformasi tahun 1998-2000. Pada periode reformasi ini lahir Ketetapan MPR No. XVIIMPR1998
tentang Hak Asasi Manusia, yang isinya tidak hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga
tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Presiden B.J
Habibie sebagai presiden saat itu dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, Presiden mengajukan
6
Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007, h. 55.
Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke DPR untuk dibahas. Yang kemudian pada 23 September 1999 telah dicapai konsensus untuk mengesahkan
undang-undang tersebut yakni Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hasil pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPRDPR.
Selain berhasil mengangkat K.H Abdurrachman Wahid sebagai Presiden, pada sidang tahunan MPR tahun 2000 perlindungan hak asasi manusia ke dalam
Undang-Undang Dasar 1945 akhirnya berhasil dicapai. MPR sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal hak asasi manusia
dari Pasal 28A-28J pada Amandemen Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-
hak sipil politik, hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
7
Dari sekian banyak hak-hak asasi manusia yang tercakup di dalam Undang-Undang Dasar 1945, salah satu hak-hak penting di Indonesia sebagai
negara penganut sistem demokrasi adalah hak-hak sipil politik yang di dalamnya terdapat hak politik warga negara. Sebelum membahas mengenai hak politik
warga negara, terlebih dahulu akan dibahas mengenai apa itu hak, konsep politik, dan warga negara yang kemudian dijadikan pengertian utuh mengenai hak politik
warga negara serta pembahasanya. Sebagaimana dikemukakan oleh James W. Nickel
unsur-unsur hak
itu antara
lain: a.
Masing-masing hak
mengidentifikasikan satu pihak sebagai pemilik atau pemegangnya, kondisi
7
Rhona K.M Smith, Njal Hostmaelinen, Christian Ranheim, d.k.k, Hukum Hak Asasi Manusia, Cet.1, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, h. 237-244.
kepemilikan suatu hak juga bisa dilihat dengan prosedur-prosedur yang merampas hak tersebut, misalnya menjual, mengingkari, atau menyitanya adalah
kata-kata prosedur yang menunjukan bahwa orang yang menjual, atau mengingkari ataupun menyita barang tertentu misalnya, bisa disimpulkan orang
tersebutlah pemilih hak atas barang tersebut; b. Hak adalah untuk sesuatu kebebasan atau keuntungan, dalam hal ini terlihat jelas bahwa ruang lingkup hak
menentukan kegunaan hak itu sendiri, ruang lingkup suatu hak juga meliputi syarat-syarat operasionalnya yang menggunakan kapan suatu hak diterapkan dan
apa jika memang ada yang mesti dilakukan untuk pengoperasian hak tersebut; c. Suatu hak yang ditetapkan secara lengkap akan mengidentifikasi pihak atau
pihak-pihak yang harus berperan mengusahakan tersedianya kebebasan atau keuntungan yang diidentifikasikan oleh ruang lingkup hak tersebut. Pihak disini
diartikan sebagai pihak penanggung jawab atau pihak yang harus menghormati hak tersebut.
8
Dari ketiga unsur yang dikemukakan di atas diketahui menurut James W. Nickel setiap hak pasti mengindikasikan kehadiran pemilik dari hak tersebut.
Tanpa pemilik, maka suatu hak diragukan statusnya sebagai hak. Karena hak tidak bisa berdiri tanpa pemiliknya. Selain itu juga diketahui hak sebagai sesuatu
yang menghasilkan kebebasan atau keuntungan. Jika seseorang dikatakan memiliki hak, maka sudah barang tentu kondisi tersebut menunjukan bahwa
8
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia Making Sense Of Human Rights, Philosophical Reflection On The Universal Declaration Of Human Rights, diterjemahkan oleh Titis Eddy
Arini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 20.
orang tersebut menunjukan bahwa orang tersebut mendapatkan keauntungan bukan kerugian. Terakhir kepemilikan atas hak menghadirkan pula pihak terkait
lainnya yang bertanggung jawab untuk mengusahakan tersedianya keuntungan yang muncul atas kepemilikan hak tersebut. Pihak terkait ini beragam
konteksnya, tergantung konteks substansi dari hak itu sendiri. Di dalam demokrasi dalam hal politik berarti yang menjamin hak tersebut adalah negara.
Jadi hak adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dan dilaksanakan oleh dirinya sendiri dengan melibatkan pihak yang bertanggung jawab akan
pelaksanaannya. Selanjutnya melihat ruang lingkup konsepsi politik Miriam Budiarjo
segala kegiatan yang menyangkut pokok politik adalah Negara State, Kekuasaan Power, Pengambilan keputusan Decision Making, Kebijaksanaan
Policy, Beleid, Pembagian Distribution atau alokasi Allocation.
9
Menurut Ramlan Surbakti konsep politik mengandung tujuh istilah, yakni interaksi,
pemerintah, masyarakat, proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat, kebaikan bersama, dan wilayah tertentu yang kemudian disimpulkan
dalam pengertian politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang tinggal dalam
suatu wilayah.
10
Terakhir warga negara adalah sekelompok manusia yang ada
9
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 17.
10
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Grasinda, 2010, h. 14.
dalam wewenang suatu negara.
11
Berangkat dari uraian di atas dapat diambil garis pemahaman bahwa hak politik adalah segala sesuatu menyangkut politik
yang dapat dituntut oleh sekelompok manusia kepada negara untuk memenuhinya. Dengan begitu bisa dipahami hak entitlement dalam konteks hak
politik warga negara adalah segala sesuatu yang dimiliki seseorang pada bidang politik dan dilaksanakan oleh dirinya sendiri dimana negara berkewajiban
memenuhinya. Hak politik warga negara di Indonesia diatur dalam Pasal 27 ayat 1,
Pasal 28, Pasal 28D ayat 3, dan Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang tertulis sebagai berikut: Pertama, Pasal 27 ayat 1 menyatakan
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”. Rumusan pasal tersebut dengan jelas menegaskan bahwa konstitusi Indonesia mengakui prinsip equality before the law atau persamaan
kedudukan dihadapan hukum dan siapapun orangnya memiliki kedudukan yang sama untuk berada dalam pemerintahan; Kedua, Pasal 28 menyatakan
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-
undang”. Menurut Jimly Ashiddiqie Pasal 28 ini sama sekali bukan jaminan hak asasi manusia seperti
yang seharusnya menjadi muatan konstitusi negara demokrasi karena hak
11
Hendra Nur Tjahjo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 302.
tersebut ditetapkan dengan undang-undang. Karena itu sebenarnya ketentuan asli Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 ini bukanlah rumusan hak asasi manusia
seperti umumnya dipahami; Ketiga, Pasal 28D ayat 3 men yatakan “Setiap
warga negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pasal ini menegaskan bahwa akses publik kepada pemerintahan adalah hak setiap
warga negara. Dengan ketentuan ini setiap warga negara memiliki hak memperoleh perlakuan dan pelayanan publik yang sama dalam pemerintahan,
termasuk pula hak untuk menduduki jabatan publik; Keempat, Pasal 28E ayat 3 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Sepintas bunyi pasal ini sama dengan rumusan Pasal 28, namun sebagaimana dijelaskan oleh Jimly Ashiddiqie bahwa Pasal 28
bukanlah jaminan hak asasi manusia dalam konstitusi. Sedangkan bunyi Pasal 28E ayat 3 dengan tegas menjamin hak berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat itu.