Sultan Hamengku Buwono Kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi daerah istimewa Yogyakarta

malam harinya Mangkubumi beserta para pengikutnya meninggalkan Surakarta menuju Sukawati untuk memulai perlawanan. Sasaran Mangkubumi adalah Susuhunan yang ingkar janji dan Belanda yang dianggap Murang Tata kurang ajar. 19 Dengan perjuangan selama 9 tahun, baik Susuhunan Paku Buwono III maupun VOC dipaksa untuk memberikan separuh Mataram kepada Mangkubumi, lewat perjanjian Gianti pada tahun 1755. Dalam perjanjian itu Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan keratonnya di Yogyakarta. Gelarnya Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panatogomo Khalifatullah memang masih berarti raja besar, namun dalam kenyataanya ia terikat oleh kontrak politik antara lain mengakui kalau Kesultanan Yogyakarta adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Netherland, sebagai pemegang kedaulatan. Meskipun demikian terhadap rakyat di wilayah Kesultanan, raja tetap diakui sebagai raja Gung Binathara raja besar. 20 Adapun pembagian wilayah kerajaan tersebut menurut perjanjian Gianti adalah, untuk wilayah negara agung, yang masing-masing di sekitar Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Susuhunan menerima 53.100 karya bahu atau cacah, sedangkan Sultan menerima luas yang sama. Untuk daerah –daerah yang disebut 19 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 12. 20 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 13. mancanegara daerah kekuasaan di luar negara agung, Sultan menerima daerah yang sedikit lebih luas dibandingkan dengan Susuhunan karena daerah yang diterima Sultan kurang subur. Menurut Prof Sukanto, dalam bukunya Perdjanjian Gianti, daerah-daerah mancanegara yang masuk ke Kesunanan Surakarta adalah : Jagaraga, Panaraga, separuh Pacitan, Kediri, Blitar, Ladaya, Srengat, Pace Nganjuk-Berbek, Wirasaba Majaagung Blora, Banyumas, dan Kaduwang. Sedangkan daerah Sultan adalah : Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa Tulungagung, Japan Mojokerto, Jipang Bojonegoro, Teras Karas Ngawen, Kedu, Sela, dan Warung Kuwu Wirasari, dan Grobogan. 21 Pembagian daerah tersebut tidak menguntungkan Kesunanan maupun Kesultanan, melainkan lebih menguntungkan VOC. Dengan pembagian daerah yang terpencar, komunikasi yang menjamin kesatuan tidak mungkin dibangun, sebaliknya perselisihan antara Kesunanan dan Kesultanan mudah sekali ditimbulkan, seperti yang terjadi antara daerah Panaraga Kesunanan dan Madiun Kesultanan. Kesultanan ini berturut-turut mengalami pergantian dalam perjalanannya. Sultan Hamengku Buwono I digantikan oleh putranya Hamengku Buwono II pada tahun 1792. Hamengku Buwono II digantikan oleh putra mahkota kedua yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono III pada tahun 1812, Hamengku Buwono III digantikan oleh putra mahkota ketiga yang kemudian diberi gelar 21 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 13. Hamengku Buwono IV pada tahun 1814 yang dalam pemerintahannya dibantu wali Paku Alam I. Hamengku Buwono IV digantikan oleh putra mahkota keempat yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono V pada tahun 1822 yang dalam pemerintahannya dibantu Dewan Perwalian salah satunya Pangeran Diponegoro, Hamengku Buwono V karena tidak memiliki putra digantikan oleh adiknya Pangeran Adipati Mangkubumi yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono VI pada tahun 1855. Hamengku Buwono VI digantikan oleh putra mahkota kelima yakni Gusti Pangeran Hangabehi yang merupakan putra tertua dari selir yang diangkat menjadi parameswari yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono VII pada tahun 1877, Hamengku Buwono VII digantikan oleh putra mahkota keenam yang saat itu sedang studi di Belanda yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921. Hamengku Buwono VIII digantikan oleh putra mahkota ketujuh yakni Dorojatun yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono IX pada tahun 1939 22 dengan sejarah panjangnya melakukan usaha-usaha mengubah birokrasi pemerintahan untuk melepaskan diri dari kontrol penjajah dimulai pada waktu dinobatkan sebagai sultan, 23 Hamengku 22 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 14-22. 23 P. J. Suwarno, Hemangku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 22. Buwono IX digantikan oleh putra mahkota kedelapan yang kemudian diberi gelar Hamengku Buwono X pada tahun 1988. 24 Selanjutnya syarat menjadi pengganti raja harus seorang putra mahkota, yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Pangeran Adipati Anom. Menurut pranata praja kejawen peraturan dalam kerajaan Jawa yang berhak menjadi Pangeran Adipati Anom adalah putra tertua parameswari, yang dalam bahasa Jawa disebut garwa padmi. Namun apabila garwa padmi hanya mempunyai putri saja, kemungkinan pertama, yang diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom adalah adik laki-laki Sultan yang memerintah yang dilahirkan oleh parameswari seibu dengan sultan. Kemungkinan kedua, mengangkat seorang selir menjadi parameswari, sehingga putra tertuanya diangkat menjadi Pengeran Adipati Anom. Menurut pertimbangan kelayakan berdasar pranatan, yang harus diangkat bukan putra parameswari yang tertua, melainkan putra yang lain yang diangkat. Contohnya adalah Sultan hamengku Buwono VII yang merupakan putra keempat Sultan Hamengku Buwono VII yang dilahirkan oleh parameswari. 25

D. Adipati Paku Alam

Kadipaten Pakualaman merupakan hadiah pemerintah Inggris pimpinan Letnan Gubernur Raffles 1811-1815 kepada Pangeran Notokusumo, putra 24 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 23-25. 25 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 99-100. Hamengku Buwono I, yang kemudian bergelar Paku Alam I. Pangeran Notokusumo berjasa kepada Inggris karena ia berusaha melunakan hati Hamengku Buwono II, yang sebenarnya saudara se-ayah. Pendirian Pakualaman sebenarnya merupakan situasi disintegrasi lebih lanjut bagi kerajaan Mataram. Pada tahun 1755 lewat perjanjian Gianti yang ditanda tangani oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I, Mataram telah terbagi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, 26 disintegratif ini merupakan hal yang dikehendaki oleh VOC pada saat itu, dengan tujuan agar VOC menjadi yang terkuat. Kadipaten Pakualaman merupakan proses intergrasi dari wilayah Kesultanan Yogyakarta yang berwilayah satu kecamatan di dalam kota Yogyakarta dan empat kecamatan di wilayah Kulon Progo, yaitu daerah yang bernama Kabupaten Adikarto. 27 Pada abad ke-19 berbagai kerajaan yang pada hakikatnya merupakan kesatuan politik pusat kekuasaan di berbagai daerah mengalami integrasi, 28 dan dilanjutkan pada abad ke-20 dengan semakin kuatnya koloni Nederlansch Indie atau India-Belanda. Sehingga pada tahun 1813 kesultanan Yogyakarta tidak kuasa menolak kehadiran Kadipaten Pakualaman. Lahirnya Kadipaten Pakualaman dengan status penguasanya sebagai Pangeran Merdiko ditentukan 26 M.C Riklefs, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, New York-Toronto- Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974, h. 42. 27 Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985, h. 223. 28 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Jakarta: Gramedia, 1987, h. 9. oleh pihak penjajah, semula Inggris dan kemudian Belanda. Dipandang dari konsep kekuasaan Jawa, terpecahnya Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, serta Kesultanan Yogyakarta menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, merupakan perkembangan atau situasi yang tidak berkesesuaian. Anggapan umum tentang berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah bahwa Kadipaten Pakualaman itu proyek penjajahan, yang ada kaitannya dengan prinsip pecah belah dan kuasai. Akan tetapi menurut sumber Jawa, berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah kehendak Hamengku Buwono III, yang diindikasi merupakan bentuk dukungan Notokusumo terhadap Hemengku Buwono III dalam menjatuhkan Hamengku Buwono II. Sebagai suatu kadipaten, suatu kerajaan yang kecil, Pakualaman tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah dirinya menjadi kerajaan yang besar. Peluang untuk itu tidak ada, suatu hal yang sangat berbeda dengan moyangnya dulu, Panembahan Senapati yang dapat mengubah statusnya dari kadipaten bawahan Pajang menjadi kerajaan yang membawahkan Pajang dan banyak daerah lain. Pemerintah Belanda tentu tidak akan membiarkan peluang itu muncul dan dimanfaatkan oleh Pakualaman. 29 Akan tetapi justru karena 29 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 30.