Adipati Paku Alam Kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi daerah istimewa Yogyakarta
oleh pihak penjajah, semula Inggris dan kemudian Belanda. Dipandang dari konsep kekuasaan Jawa, terpecahnya Mataram menjadi Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta, serta Kesultanan Yogyakarta menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, merupakan perkembangan atau situasi
yang tidak berkesesuaian. Anggapan umum tentang berdirinya Kadipaten Pakualaman adalah bahwa
Kadipaten Pakualaman itu proyek penjajahan, yang ada kaitannya dengan prinsip pecah belah dan kuasai. Akan tetapi menurut sumber Jawa, berdirinya Kadipaten
Pakualaman adalah kehendak Hamengku Buwono III, yang diindikasi merupakan bentuk dukungan Notokusumo terhadap Hemengku Buwono III dalam
menjatuhkan Hamengku Buwono II. Sebagai suatu kadipaten, suatu kerajaan yang kecil, Pakualaman tidak
dapat berbuat banyak untuk mengubah dirinya menjadi kerajaan yang besar. Peluang untuk itu tidak ada, suatu hal yang sangat berbeda dengan moyangnya
dulu, Panembahan Senapati yang dapat mengubah statusnya dari kadipaten bawahan Pajang menjadi kerajaan yang membawahkan Pajang dan banyak
daerah lain. Pemerintah Belanda tentu tidak akan membiarkan peluang itu muncul dan dimanfaatkan oleh Pakualaman.
29
Akan tetapi justru karena
29
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 30.
kekecilannya, dari kalangan pura Pakualaman muncul banyak kaum terpelajar, yang meminjam istilah Van Niel, disebut elite modern Indonesia.
30
Karena mereka berasal dari keluarga raja kecil, maka dari kalangan mereka kemudian muncul kesadaran akan perlunya pembaharuan di kalangan
masyarakat Jawa. Mereka benar-benar sadar, bahwa suasana Jawa sudah berubah. Dengan kekecilannya, bahkan mungkin sekali para bangsawan
Pakualaman tidak akan dapat mempertahankan statusnya sebagai kaum elite. Mereka hanya akan dapat menjalankan peranannya dalam masyarakat Jawa yang
berubah kalau mereka mengikuti perubahan zaman. Bagi mereka mengikuti perkembangan modern adalah suatu hal yang mutlak. Intelektualisasi keluarga
Pakualaman dimulai pada masa Sri Paku Alam V 1878-1900.
31
Oleh karena itu tidak mustahil kalau dari kalangan putra atau keluarga Pakualaman muncul
tokoh-tokoh awal pergerakan kebangsaan seperti Kusumoyudo, Notosuroto, Notodiningrat Wreksodiningrat, Suryapranata, dan yang paling terkenal,
Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Kedua tokoh terakhir sanggup menggocangkan pemerintah kolonial; Suryapranata lewat SI dan Sarekat Buruh
yang dipimpinnya, sedangkan Suwardi Suryaningrat lewat Indische Partij, Komite Bumi Putera dan Tamansiswa yang digerakannya. Dari keterangan di
atas nyatalah bahwa nasionalisme adalah paham yang tela h “menjangkiti”
30
R Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, h. 30.
31
Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985, h. 245.
keluarga Pakualaman. Modernisasi yang diselenggarakan atau diikuti oleh Kadipaten Pakualaman dan Keluarga Pakualaman, serta partisipasi bangsawan
Pakualaman merupakan sumbangan bagi proses integrasi bangsa. Di Kadipaten Pakualaman kepala kadipaten disebut sebagai Paku Alam.
Pemakaian nama Paku Alam dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari harapan untuk melepaskan diri dari ikatan penjajah. Pemberian nama Paku Alam
untuk kepala Kadipaten Pakualaman haruslah seizin atau dengan keputusan dari Gubernur Jendral.
32
Gelar itu diberikan kepada kepala Kadipaten Pakualaman jika sudah berumur 40 tahun. Sebelum berusia 40 tahun mereka bergelar Suryo
Sasraningrat, atau sejak Paku Alam V, Suryodilogo. Akan tetapi kepala Kadipaten Pakualaman yang sekarang menggunakan nama Paku Alam VIII pada
usia 32 tahun 4 windu, pada saat Belanda sudah dikalahkan dan Indonesia diduduki oleh Jepang.
Pada zaman Jepang nasionalisme Indonesia memasuki fase pematangan. Masa penindasan dan pemerasan pada zaman Jepang begitu mencekam, sehingga
rasa senasib dan sepenangguhan di kalangan rakyat Indonesia begitu kuat mendorong lajunya proses penyatuan bangsa nation building. Wawasan
kedaerahan sudah begitu jauh tersingkir, dibarengi dengan merasuknya semangat kebangsaan di seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali Sri Paduka Alam VIII
dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Baik Sri Paku Alam VIII maupun Sri
32
Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985, h. 223, 233, 351.
Sultan Hamengku Buwono IX tidak lagi berwawasan sempit, terbatas pada kerajaan masing-masing, melainkan sudah berwawasan Indonesia. Mereka tidak
lagi berjuang untuk memulihkan kejayaan masing-masing, melainkan untuk kejayaan seluruh Indonesia. Dalam bahasa konsep kekuasaan Jawa, mereka
berjuang bukan lagi untuk keagungbinateraan kerajaan Jawa atau diri mereka masing-masing, melainkan telah beralih untuk negara kebangsaan Indonesia,
yang berkedaulatan rakyat.
33
Dengan alasan itu Sri Paduka Alam VIII “mengembalikan” Kadipaten Pakualaman kepada “induknya”, Kesultanan
Yogyakarta. Sri Paduka Alam VIII sangat sadar apalah artinya Kadipaten Pakualaman dengan empat kecamatan di Kulon Progo dan satu kecamatan di
dalam kota untuk memainkan peranan yang berarti jika sendiri. Oleh karena itu sejak Jepang berkuasa Sri Paku Alam bergabung dengan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX berkantor di Kepatihan.