Hak Konstitusional Warga Negara

dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang. 16 Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Oleh karena itu jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang dimanapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. 17 16 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, h. 89. 17 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, h. 90. 56 BAB IV AMBIVALENSI HUKUM DALAM STATUS POLITIK A. Pengaturan Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur Dan Wakil Gubernur Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta UUK DIY telah disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna yang diselenggarakan pada hari Kamis, 30 Agustus 2012. Undang- undang ini merupakan bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang- undang”. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturendelandchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun, dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Sebelum adanya negara Indonesia, lebih dulu terdapat daerah-daerah yang memiliki ciri khas adat yang berlaku turun temurun, salah satunya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai salah satu daerah yang memiliki keistimewaan, kemudian Negara Indonesia mengakui dan menghormati keistimewaan tersebut dengan membentuk undang-undang yang khusus mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan segala ke-khasan daerahnya. Oleh karena itu disahkan Undang-Undang Keistimewan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu undang-undang yang berlaku di Indonesia. Undang-undang keistimewaan ini pada beberapa aturannya secara jelas mengatur kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam dalam posisinya yang tetap dan tidak tergantikan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Disebutkan dalam Pasal 18 ayat 1 huruf c Undang-Un dang No.13 Tahun 2012 bahwa “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil G ubernur”. Pasal ini mengatur bahwa dalam pengisian jabatan calon gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, selain sebagai warga negara Indonesia, juga harus memiliki takhta Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan Adipati Paku Alam untuk calon wakil gubernur. Maknanya adalah, karena takhta Sultan dan Adipati Paku Alam diduduki masing-masing oleh satu orang saja, maka jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sepenuhnya adalah hak dari Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta. Kemudian Pasal 20 ayat 1 menyebutkan “Dalam penyelenggaraan penetapan Gubernur dan Wakil Gubenur.......”. Pasal ini mengatur bahwa dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur, karena hanya terdapat satu orang Sultan Hamengku Buwono dan satu orang Adipati Paku Alam dilaksanakan dengan cara penetapan terhadap keduanya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Maknanya adalah kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur tidak melalui pemilihan umum yang dilaksanakan seperti halnya Gubernur dan Wakil Gubernur di daerah lain, tetapi melalui penetapan. Aturan-aturan tersebut dalam hubungannya secara vertikal dengan Pasal 18B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tentu telah sesuai. Namun jika dikaitkan dengan beberapa pasal lain di dalam Undang- Undang Dasar 1945, aturan-aturan yang terdapat pada pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pertentangan yang dimaksud di atas adalah, karena aturan dalam pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tidak sejalan dengan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi di atas undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Ketentuan pasal tersebut memberikan pedoman dasar bahwa Guber nur “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilih” menunjukan harus ada mekanisme dan proses pemilihan. Dalam pemilihan tentu harus ada calon yang akan dipilih dan orang yang akan memilih serta tata cara menentukan calon mana yang terpilih. Kata “secara” dalam frasa “dipilih secara demokratis” mengandung arti adanya tata cara, prosedur, dan tahapan. Oleh karena itu kata “secara demokratis” dimaknai sebagai keharusan adanya pemilihan dengan tata cara demokratis yang tentu saja terkait dengan hak memilih dan dipilih, serta prinsip-prinsip pemilihan yang jujur dan adil. 1 Dalam keterangan yang diberikan oleh Patrialis Akbar dan Lukman Hakim Saifuddin sebagai panitia Ad Hoc I BP MPR yang membahas amandemen pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 pada perkara Nomor 072PUU-II2004 Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Mahkamah Konstitusi dijelaskan sebagai berikut. Latar belakang pemikiran Pasal 18 ayat 4 saat itu adalah bahwa sistem pemilihan yang akan diterapkan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan pemilihan dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung pemilihan dilakukan langsung oleh rakyat. Hal itu terkait dengan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih condong untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung 1 Janedjri M Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Jakarta: Konstitusi Press, 2012, h. 131. demokrasi perwakilan dan ada pula daerah yang cenderung menyukai sistem pemilihan langsung demokrasi langsung dalam hal memilih gubernur, bupati, dan walikota. Baik sistem pemilihan secara langsung demokrasi langsung maupun sistem pemilihan secara tidak langsung demokrasi perwakilan sama- sama masuk kategori sistem yang demokratis. Berdasarkan dua pandangan itu kemudian disepakati menggunakan kata demokratis dalam artian karena ayat 7 pada Pasal 18 itu susunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang menentukan apakah pemilihan kepala daerah itu dilakukan langsung oleh rakyat atau sebagaimana sebelumnya dilakukan oleh DPRD, yang penting prinsip dasarnya adalah demokratis. 2 Dari keterangan tersebut di atas, tedapat dua tafsiran dari frasa “dipilih secara demokratis”, yaitu dalam arti pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dan pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Akan tetapi bila merujuk pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, maka lebih tepat jika frasa demokratis dimaknai pemilihan secara langsung oleh rakyat demokrasi langsung. Hal ini juga secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 2 Sodikin. Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Bekasi: Gramata Publishing, 2014, h. 174-175. No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang secara khusus mengatur tata cara pengisian jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota bahwa “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupatenkota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wak il Walikota secara langsung dan demokratis”. Bila melihat aturan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, DPRD saat ini hanya berwenang untuk melaksanakan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang berarti tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada dasarnya, pemilihan umum kepala daerah pemilukada merupakan bentuk nyata dari asas desentralisasi dalam otonomi daerah yang sesungguhnya. Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah. Pemilukada merupakan sarana manisfestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah. Dalam fungsinya, pemilukada adalah memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga ia diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak masyarakat di daerah. Kemudian melalui pemilukada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada visi, misi, program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Selain itu juga, pemilukada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang. Melalui pemilukada, masyarakat di daerah dapat memutuskan apakah akan memperpanjang atau menghentikan mandat seorang kepala daerah. Pengaturan mekanisme pengisian jabatan yang diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan penetapan telah menjadikan sebuah pemerintahan daerah yang tidak terdapat kontrol masyarakat di dalamnya. Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dijalankan bukan berdasar pada keinginan rakyat sebagai hal yang sangat mendasar. Tentu akan berdampak pada pemerintahan yang tidak sehat, dalam arti hanya sesuai pada pemerintah saja tanpa memperdulikan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan rakyat, dan ini jelas adalah sebuah ketimpangan ketatanegaraan. Menurut Nurcholish Madjid, dalam masyarakat demokratis madani harus adanya komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari seluruh lapisan anggota masyarakat, serta keterbukaan lembaga kepemimpinan terhadap pengujian atas data kemampuan yang dicoba melembagakannya dalam pola kepemimpinan yang tidak berdasar pertimbangan keturunan, melainkan melalui permusyawaratan atau syura dan pemilihan. Artinya bahwa dalam negara yang menganut paham demokrasi, mekanisme pemilihan kepemimpinan ditentukan melalui dua cara, yaitu musyawarah atau pemilihan. Cara itu mengedepankan prinsip akuntabilitas dan objektivitas dalam memilih pemimpin serta menghindari pemilihan pemimpin secara subjektif berdasarkan penunjukan dengan dasar keturunan dinasti. Karena itu pada era sekarang, pemilihan kepemimpinan dalam masyarakat yang demokratis, selain mendasarkan pada aspek akuntabilitas dan objektifitas, tetapi juga bagaimana publik diberi ruang untuk berpartisipasi secara luas untuk menentukannya. Pilihan ideal dalam menentukan kepemimpinan sebagaimana dikemukakan di atas, hanya dapat dilakukan dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat, terutama berkaitan dengan jabatanpekerjaan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak. Dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan mempunyai kepentingan secara langsung untuk menentukan masa depannya sendiri. Pengaturan penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam secara otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur pada pasal 20 ayat 1 Undang- Undang No. 13 Tahun 2012 tentu tidak memiliki sifat demokratis karena sama sekali tidak ada unsur pemilihan didalamnya, apalagi tata cara yang demokratis. Disana hanya ada satu calon yang mau tidak mau harus ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dan tidak ada yang dapat menolak penetapan itu. Hal itu jelas menunjukan bahwa penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak sesuai dengan ketentuan “dipilih secara demokratis”. Jika kemudian demokratis yang dimaksud adalah pemilihan melalui DPRD, DPRD tidak melakukan pemilihan dalam proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, melainkan hanya berwenang dalam proses penetapan saja. Selanjutnya penetapan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tentu sangatlah jauh dari prinsip demokrasi yaitu that government of the people, by the people and for the people. Rakyat merupakan pusat dalam proses pemerintahan, yang kemudian menempatkan rakyat bukan sebagai subjek yang didikte oleh sesuatu di luar dirinya, melainkan bersama-sama dengan penguasa turut ke dalam proses pemerintahan tersebut. Jimly Ashiddiqie mengatakan lebih rinci bahwa sesungguhnya rakyat yang menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Disimpulkan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat adalah bentuknya bukan melalui penetapan. Hilangnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum dapat dikatakan hilangnya demokrasi itu sendiri dalam suatu pemerintahan, dan ini terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Kita ketahui bahwa pemilihan umum kepala daerah merupakan salah satu pelaksanaan dari hak politik sekaligus hak konstitusional warga negara. Hak politik atau hak konstitusional ini dijamin kedudukannya baik di dunia internasional maupun nasional oleh konstitusi dan undang-undang Indonesia. Pasal 21 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia DUHAM PBB Tahun 1948 menyebutkan “1 Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; 2 Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 28D ayat 3 menyebutkan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Selain itu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pa sal 5 ayat 1 menyebutkan “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”; Pasal 15 menyebutkan “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”; Pasal 43 ayat 1 menyebutkan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Pasal-pasal ini secara umum dimaknai bahwa setiap warga di dalam sebuah negara berhak untuk memilih dan dipilih, dalam kedudukan yang sama berhak diangkat menjadi pejabat pemerintahan, serta mengajukan pendapatnya melalui perwakilan di parlemen. Sebagai hak asasi manusia, hak politik ini memiliki sifat universal, artinya dimiliki semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. Prinsip-prinsip fundamentalnya melampaui batasan-batasan primordial, geografis, maupun strata kelas sosial. 3 Hak politik ini dalam deklarasi internasionalnya merupakan kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, hak pilih yang bersifat umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Pasal-pasal terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya pada pasal 18 ayat 1 huruf c jelas telah meniadakan hak politik warga negara secara khusus masyarakat Yogyakarta untuk memilih, dan secara umum seluruh warga negara Indonesia untuk dipilih, karena hanya Sultan dan Paku Alam yang memiliki hak penuh atas jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, diangkat melalui penetapan, dan tidak terikat periodesasi seperti halnya Gubernur dan Wakil 3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 212.