Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Pasal-pasal ini secara umum dimaknai bahwa setiap warga di dalam sebuah negara berhak untuk memilih dan dipilih, dalam kedudukan yang sama berhak diangkat menjadi pejabat pemerintahan, serta mengajukan pendapatnya melalui perwakilan di parlemen. Sebagai hak asasi manusia, hak politik ini memiliki sifat universal, artinya dimiliki semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. Prinsip-prinsip fundamentalnya melampaui batasan-batasan primordial, geografis, maupun strata kelas sosial. 3 Hak politik ini dalam deklarasi internasionalnya merupakan kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, hak pilih yang bersifat umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Pasal-pasal terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya pada pasal 18 ayat 1 huruf c jelas telah meniadakan hak politik warga negara secara khusus masyarakat Yogyakarta untuk memilih, dan secara umum seluruh warga negara Indonesia untuk dipilih, karena hanya Sultan dan Paku Alam yang memiliki hak penuh atas jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, diangkat melalui penetapan, dan tidak terikat periodesasi seperti halnya Gubernur dan Wakil 3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 212. Gubernur di daerah lain. Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia mengacu pada putusan nomor 011-017PUU-If2003 tertanggal 24 Februari 2004, Mahkamah Konstitusi secara tegas mempertimbangkan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih right to be vote and right to be candidate adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. Hak asasi manusia memang memiliki dua kategori hak, hak yang tidak dapat diderogasi dan hak yang dapat diderogasi. Hak yang tidak dapat diderogasi yakni hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan, larangan perbudakan dan peraturan perundang-undangan pidana yang menyangkut persoalan masa lalu, kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama. Sementara hak lainnya selain yang disebutkan, adalah hak asasi manusia yang dapat diderogasi termasuk hak politik warga negara. Namun, dalam penderogasian hak harus memiliki ketentuan- ketentuan untuk kemudian dapat diderogasi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah bilamana negara memerlukan beberapa fleksibilitas dalam keadaan darurat nasional, kemudian hak tersebut menghilangkan pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Lebih jelas dalam putusan Mahkamah Konsitutusi Nomor 011-017PUU- 12003 menyebutkan “Pasal 28J ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 memungkinkan pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang- undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut harus didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; Pembatasan hak pilih aktif maupun pasif dalam proses pemilihan lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan impossibility misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif. Dengan melihat penjelasan ini, maka hak politik warga negara untuk memilih dan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat diderogasi, karena pelaksanaan hak politiknya tidak masuk ke dalam ketentuan- ketentuan hak yang dapat diderogasi. Kemudian undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur persyaratan calon Gubernur Sultan dan calon Wakil Gubernur Paku Alam jelas telah melakukan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia. Terlihat bagaimana undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta membedakan antara keluarga kerajaan secara khusus Sultan dan Paku Alam dengan masyarakat biasa. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan kepada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dalam kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Persyaratan ini bertentangan dengan pasal 28I ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskri minatif itu”, dan pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Hak Asasi Manusia bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Selain itu juga Pasal 26 ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights yang tegas menyatakan, “All persons are equal before the law and are entitled to the equal protection of the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status .” Dalam rumusan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang “adil” yang langsung dirangkaikan dengan kata “beradab”. Peradaban tidak mungkin tumbuh dalam struktur sosial yang tidak berkeadilan. Jika struktur sosial timpang, maka di dalamnya akan terjadi penindasan antar sesama manusia. Dalam kondisi semacam itu, peradaban umat manusia tidak akan berkembang sehat. Sebabnya ialah bahwa dalam struktur yang menindas itu, kebebasan atau kemerdekaan berpikir tidak akan tumbuh dan karena itu, ilmu pengetahuan juga tidak akan berkembang. Akibatnya, perkembangan peradaban masyarakat atau bangsa yang bersangkutan tidak dapat tumbuh secara sehat. Oleh karena hubungan di antara kedua begitu terkait satu sama lain, maka sila kedua Pancasila dirumuskan oleh the founding fathers dalam satu konsepsi tentang sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak akan ada peradaban yang tidak didasarkan atas peri kehidupan yang berkeadilan, dan tidak akan ada keadilan jika peradaban dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa tidak berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya membangun peradaban bangsa kita yang tinggi dan bermartabat, penting sekali menegakan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sejarah umat manusia pada masa lalu juga mengajarkan betapa banyaknya bangsa-bangsa besar yang timbul tenggelam karena terjadinya perubahan dalam kualitas peradabannya, dan kualitas peradabannya itu berubah karena terjadinya perubahan dalam struktur keadilan dalam peri kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu sendiri. Begitu tinggi peradaban bangsa-bangsa besar dalam sejarah dapat berkembang dikarenakan tegaknya keadilan dalam kehidupan. 4 Tetapi, tatkala struktur keadilan mengalami keruntuhan, seperti halnya pengaturan pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, itulah yang kemudian menjadi pertanda merosotnya peradaban yang bahkan pada akhirnya mengahancurkan keseluruhan eksistensi bangsa itu sendiri. Hak politik juga merupakan hak konstitusional warga negara. Adanya hak konstitusional ini, maka negara tidak diperkenankan mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa Undang-Undang legislative policy maupun berupa peraturan pelaksanaan beraucratic policy yang dapat mengurangi substansi dari hak tersebut. Lalu kemudian apa yang menjadi dasar disahkannya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh DPR dan disetujui oleh Presiden. Daerah Istimewa Yogyakarta memang merupakan daerah yang memiliki sejarah tersendiri dalam kemerdekaan Indonesia. Sejarah saat itu mencatat, sebagaimana istilah yang digunakan oleh pihak keraton, bahwa keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bukan 4 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, h. 90-91. merupakan pemberian Indonesia, melainkan ijab qabul antara pemerintah Indonesia saat itu dengan kasultanan Yogyakarta. Hingga kemudian sampai dengan saat ini negara terus “melindungi” keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apakah kemudian dengan adanya keistimewaan tersebut, negara melupakan bahwa ada hak konstitusional yang jauh lebih mendasar dalam kehidupan bernegara dan harus dilindungi, bahkan dipenuhi oleh negara. DPR dan Presiden adalah warga negara yang dipilih dari rakyat. Tanpa ditanya lebih mendalam, pastinya DPR dan Presiden juga mengetahui hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Harusnya hal ini dapat diresapi sebagai pelaksanaan pemerintahan terutama dalam pembentukan undang-undang. Rancangan undang-undang yang berpotensi secara jelas mengurangi atau menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara menjadi kewajiban pemerintah untuk kemudian secara tegas menolak membahas undang- undang ini apalagi mengesahkannya menjadi undang-undang. Pernyataan lain disampaikan oleh Zuhrif Hudaya selaku anggota DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Komisi D sekaligus Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 6 Juni 2015, bahwa hak konstitusional warga negara Daerah Istimewa Yogyakarta telah diberikan sepenuhnya kepada Sultan dan Paku Alam. 5 Pertanyaan kemudian, apa yang menjadi dasar dari pernyataan ini. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa secara keseluruhan masyarakat Yogyakarta telah memberikan hak konstitusionalnya kepada Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Memang dalam survei yang telah banyak dilakukan salah satunya oleh Kompas pada tahun 2010 bersumber pada buku Monarki Yogyakarta Inkonstitusional yang diterbitkan oleh Kompas, menunjukan mayoritas warga negara di Daerah Istimewa Yogyakarta masih menginginkan Sultan dan Paku Alam tetap menjadi gubernur dan wakil gubernur seperti pada kondisi saat ini. Tetapi di lain pihak, terdapat juga warga negara yang tidak menginginkan Sultan dan Paku Alam tetap menjadi gubernur dan wakil gubernur dengan segala keberpihakannya. Jika yang menjadi acuan adalah mayoritas warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih menginginkan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, bukan berarti mengesampingkan warga negara lain yang secara minoritas tidak menginginkan itu. Lagipula keinginan mayoritas tersebut juga hanya berdasar pada survei, dan belum terbukti secara langsung dari masyarakat. Bukan tidak mungkin malah justru banyak yang lebih menginginkan Sultan dan Paku Alam tidak menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta Hak dalam pengertiannya mengindikasikan kehadiran pemilik dari hak tersebut. Tanpa pemilik, maka suatu hak diragukan statusnya sebagai hak. 5 Zuhrif Hudaya, Hasil Wawancara Dengan Penulis, Yogyakarta: Kantor Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera, 6 Juni 2015. Karena hak tidak bisa berdiri tanpa pemiliknya. Selain itu juga diketahui hak sebagai sesuatu yang menghasilkan kebebasan atau keuntungan. Jika seseorang dikatakan memiliki hak, maka sudah barang tentu kondisi tersebut menunjukan bahwa orang tersebut mendapatkan keuntungan bukan kerugian. Terakhir kepemilikan atas hak menghadirkan pula pihak terkait lainnya yang bertanggung jawab untuk mengusahakan tersedianya keuntungan yang muncul atas kepemilikan hak tersebut. Disimpulkan hak tidak bisa dimayoritaskan dan diminoritaskan, harus dipenuhi seluruhnya sebagai satu kesatuan utuh pemenuhan hak. Maka secara bijaksana pemilihan umum kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang tepat untuk memenuhi pemenuhan hak politik tersebut. Di sisi lain, berbicara mengenai Sultan dan Paku Alam, takhta Sultan dan Paku Alam adalah takhta turun temurun dalam kerajaan yang diberikan kepada keturunan atau adik laki-laki dari raja yang memiliki takhta tersebut sebelumnya. Takhta ini disebut sebagai kekuasaan berdasarkan wewenang tradisional yakni kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukannya harus dihormati dan bersumber pada primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam masyarakat dan orang yang berkuasa memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu. Takhta Sultan dan Paku Alam juga berdasar pada legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk memerintah dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Sehingga ia mendapat hak ketuhanan the devine right untuk menjadi penguasa. Maka di dalam kedudukannya Sultan disebut juga sebagai khalifatullah wakil tuhan. Sementara itu Gubernur dan Wakil Gubernur disebut sebagai kekuasaan berdasarkan wewenang rasional-legal yakni kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Sebagaimana pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 19 45 menyebutkan “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Hak memerintahnya berasal dari sumber- sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur- prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan. Antara Sultan dan Paku Alam dengan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dua bentuk kekuasaan yang berbeda. Seharusnya dua kekuasaan yang berasal dari wewenang dan hak memerintah yang bertolak belakang ini tidak bisa dijadikan sebagai satu kesatuan kekuasaan. Hal ini akan menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan pemerintahan yang dijalankannya. Dengan penyatuan tersebut kita tidak bisa membedakan, mana yang merupakan perilaku kerajaan dan mana yang merupakan perilaku pemerintahan. Di dalam undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pun tidak ada pasal yang membedakan antara keduanya. Imbasnya adalah, bisa dibayangkan bagaimana dalam pelaksanaan pemerintahan aturan pemerintahnya bersifat mutlak dan tak terbantahkan seperti halnya titah raja Sultan yang tidak bisa dibantah. Tentu pemerintahan tersebut akan menjadi pemerintahan yang absolut Absolute Of Power, dan ini tidak dikehendaki berlaku di Indonesia. Sejak bangsa Indonesia merdeka dan membentuk negara modern yang diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 bentuk pemerintahan yang dipilih adalah republik. Karena itu, falsafah dan kultur politik yang bersifat “kerajaan” yang didasarkan atas sistem feodalisme dan paternalisme, tidaklah dikehendaki oleh bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia menghendaki negara modern dengan pemerintahan “res publica”. Berlakunya undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadikan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal 18B ayat 1 dengan pasal 18 ayat 4, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 3, pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 berjalan dengan saling bertentangan, juga antara undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan undang-undang hak asasi manusia. Hal ini tentu menimbulkan ambivalensi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pangkal permasalahannya adalah dimulai dari disahkannya undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh DPR sebagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Terutama terletak pada pengaturan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang berpihak sepenuhnya kepada Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang tidak dikehendaki berlaku di Indonesia. Sebagai negara hukum, konstitusi negara ditegakkan pada posisi tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam konteks hierarki, tata hukum digambarkan sebagai sebuah piramida dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dan peraturan yang berada di bawahnya merupakan penjabaran dari konstitusi itu. Pandangan ini bersifat struktural karena memosisikan konstitusi di puncak piramida. Sementara itu, pandangan kedua digagas Satjipto raharjo, yang mengutip pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa, “this regressus is terminated by highest, the basic norm... ” rangkaian pembentukan hukum diakhiri oleh norma dasar yang tertinggi. Hierarki tata hukum digambarkan sebagai piramida terbalik, dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi berada di dasar piramida. Pandangan ini lebih bersifat fungsional. Meskipun melihat dari perspekif yang berbeda, namun kedua pandangan ini memiliki benang merah yang sama bahwa pembentukan norma lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan rangkaian pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi, yakni konstitusi. Artinya konstitusi merupakan norma abstrak yang perlu dijabarkan dan diuraikan dalam produk-produk hukum yang berada di bawahnya concretiserung process. Produk-produk hukum yang berada di bawah konstitusi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam upaya menjaga agar produk hukum yang berada di bawah konstitusi, maka terdapat kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menjaga agar produk hukum yang dibuat memiliki koherensi, konsistensi, dan korespondensi serta tidak bertentangan dengan konstitusi baik dalam perspektif formil maupun materil. Keseluruhan produk hukum harus merupakan satu kesatuan yang harmonis karena sinkron atau konsisten secara vertikal dan horizontal baik dari aspek materiil yang meliputi asas hukum karena memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dan asas materi muatan, serta sesuai dengan asas hukum yang merupakan latar belakangalasanratio legis dari pembentukan hukum, makna baik makna yang tersurat maupun yang tersirat, hingga penggunaan peristilahannya; maupun dari aspek formil di mana cara penyusunannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlu diketahui juga, bahwa berlakunya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memperlihatkan bagaimana politik telah mempengaruhi hukum itu sendiri. Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dikatakan sebagai hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Terlihat disini bahwa dilihat dari hubungannya antara politik dan hukum, hukum yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Lebih kuatnya konsentrasi energi politik, menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga dalam implementasinya. Prinsip atau sekedar semboyan yang menyatakan politik hukum harus bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, menjadi semacam utopi belaka. Hal itu terjadi karena dalam praktiknya hukum kerap kali menjadi cerminan dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Jelas terlihat bagaimana Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan hukum, telah melegitimasi kekuasaan secara penuh yang dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Melihat seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai perundang-undangan di Indonesia demi menghasilkan produk hukum yang satu kesatuan dan harmonis seharusnya dalam aturannya menyelaraskan baik hubungannya secara horisontal antara Undang- Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 20 ayat 1 dengan undang-undang lain yang berlaku, juga hubungannya secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar 1945.

C. Masa Depan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Di Tengah Negara Hukum

Indonesia secara eksplisit telah menyatakan sebagai negara hukum. Hal ini secara jelas disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum Rechtsstaat dan tidak berdasar pada kekuasaan belaka Machtsstaat. Selain itu disebutkan juga pada pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum dalam berbagai cirinya telah banyak diungkapkan. Beberapa hal penting yang tidak bisa dihilangkan dalam ciri negara hukum tersebut adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham Negara Hukum itu, hukum yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Sesungguhnya yang memimpin dalam penyelenggaraan negara itu adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip “the Rule of Law, and not of Man’, yang sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, ‘nomos’. Dalam paham Negara Hukum yang demikian, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendak dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat Democratische Rechtsstaat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka Mactsstaat. Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Undang-Undangnya kita yakini sebagai usaha untuk tetap mempertahankan ketradisonalan khas daerah yang dimiliki Yogyakarta sejak dahulu. Tetapi tidak tepat, jika aturan yang berlaku di Kasultanan Yogyakarta dalam pengisian jabatan Sultan dan Paku Alam juga diberlakukan untuk pemerintahan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan aturan pengisian jabatannya telah mencakup ciri-ciri negara hukum yang dijalankan oleh Indonesia. Sementara kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam tidak menghendaki adanya ciri-ciri negara hukum tersebut. Akan menjadi bom waktu yang sedikit demi sedikit mengikis keistimewaan Yogyakarta, bila tetap dipertahankan seperti saat ini. Karena tidak dapat dipungkiri kebijakan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dengan segala kemajuannya, memengaruhi juga dalam kebijakannya di kasultanan yang seharusnya bersifat statis dan tetap secara turun temurun. Contoh nyata hal ini adalah Titah Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono X yang menimbulkan konflik di dalam kerajaan Yogyakarta karena tidak sesuai dengan aturan kerajaan yang telah berlaku turun temurun. 6 Dari penjelasan di atas, saran yang baik bagi keberlangsungan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lagi seperti saat ini. Sultan dan Paku Alam tetap dalam kedudukannya di Kasultanan Yogyakarta, namun tidak lagi otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pengisian jabatannya berlaku aturan umum seperti daerah lain dengan dilaksanakannya pemilihan umum kepala daerah secara bebas, adil, dan berkala. Saran ini memang terlihat sulit untuk dilaksanakan, namun perlu menjadi pertimbangan apabila keistimewaan Yogyakarta yang bersifat statis dan turun temurun tidak ingin hilang keberadaannya di Indonesia sebagai negara hukum yang terus berubah masyarakatnya seiring dengan perkembangan zaman dan telah meninggalkan sistem monarki absolut seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 28I Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman”. Maknanya, ketradisionalan dalam suatu daerah memang harus dihormati 6 Sultan HB X mengeluarkan sabda sebagai dhawuh, sabda tersebut adalah: 1 kata Buwono menjadi Bawono; 2 Gelar Khalifatullah dihilangkan; 3 kata kaping Sedoso diganti menjadi kaping Sepuluh; 4 Mengubah perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan; 5 menyempurnakan Keris Kiai Ageng Kopek dengan Kiai Ageng Joko Piturun. Sebagai dhawuh, yang didapatkan melalui datangnya bisikan wangsit, dan dapat pula berupa isyarat sasmito dari para leluhur sebagai hasil sinergi antara ketajaman intuisi, olah batin, dan olah rasa yang dilakukan terus menerus, sabda ini hanya dapat dilaksanakan dan tidak dapat dibantah terlebih lagi kalau melulu mengandalkan rasionalitas. Perspektif publik dan sementara anggota kerabat keraton melihat dari sisi rasional. Sehingga menjadi kontroversi dalam menyikapi sabda ini.