Hak Politik Warga Negara Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pasal-pasal ini secara umum dimaknai bahwa setiap warga di dalam sebuah negara berhak untuk memilih dan dipilih, dalam kedudukan yang sama
berhak diangkat menjadi pejabat pemerintahan, serta mengajukan pendapatnya melalui perwakilan di parlemen. Sebagai hak asasi manusia, hak politik ini
memiliki sifat universal, artinya dimiliki semua manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau gender. Prinsip-prinsip fundamentalnya
melampaui batasan-batasan primordial, geografis, maupun strata kelas sosial.
3
Hak politik ini dalam deklarasi internasionalnya merupakan kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, hak pilih yang bersifat umum dan setara, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun
dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara. Pasal-pasal terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
dalam undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya pada pasal 18 ayat 1 huruf c jelas telah meniadakan hak politik warga negara
secara khusus masyarakat Yogyakarta untuk memilih, dan secara umum seluruh warga negara Indonesia untuk dipilih, karena hanya Sultan dan Paku Alam yang
memiliki hak penuh atas jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, diangkat melalui penetapan, dan tidak terikat periodesasi seperti halnya Gubernur dan Wakil
3
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 212.
Gubernur di daerah lain. Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia mengacu pada putusan nomor 011-017PUU-If2003 tertanggal 24 Februari 2004,
Mahkamah Konstitusi secara tegas mempertimbangkan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih right to be vote and right to be
candidate adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan
penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
Hak asasi manusia memang memiliki dua kategori hak, hak yang tidak dapat diderogasi dan hak yang dapat diderogasi. Hak yang tidak dapat diderogasi
yakni hak untuk hidup, pelarangan penyiksaan, larangan perbudakan dan peraturan perundang-undangan pidana yang menyangkut persoalan masa lalu,
kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama. Sementara hak lainnya selain yang disebutkan, adalah hak asasi manusia yang dapat diderogasi termasuk hak politik
warga negara. Namun, dalam penderogasian hak harus memiliki ketentuan- ketentuan untuk kemudian dapat diderogasi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah
bilamana negara memerlukan beberapa fleksibilitas dalam keadaan darurat nasional, kemudian hak tersebut menghilangkan pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban
umum dalam masyarakat yang demokratis.
Lebih jelas dalam putusan Mahkamah Konsitutusi Nomor 011-017PUU- 12003 menyebutkan “Pasal 28J ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945
memungkinkan pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang- undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut harus didasarkan atas
alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; Pembatasan hak pilih aktif maupun pasif dalam proses pemilihan
lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan impossibility misalnya karena
telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif. Dengan melihat
penjelasan ini, maka hak politik warga negara untuk memilih dan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dapat
diderogasi, karena pelaksanaan hak politiknya tidak masuk ke dalam ketentuan- ketentuan hak yang dapat diderogasi.
Kemudian undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur persyaratan calon Gubernur Sultan dan calon Wakil Gubernur
Paku Alam jelas telah melakukan diskriminatif terhadap warga negara Indonesia.
Terlihat bagaimana undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta membedakan antara keluarga kerajaan secara khusus Sultan dan Paku Alam
dengan masyarakat biasa. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan kepada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dalam kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Persyaratan ini bertentangan dengan pasal 28I ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskri minatif itu”, dan pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Hak Asasi Manusia
bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Selain itu juga Pasal 26 ICCPR
International Covenant on Civil and Political Rights yang tegas menyatakan, “All persons are equal before the law and are entitled to the equal protection of
the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection against discrimination on any
ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status
.” Dalam rumusan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan
beradab”, prinsip kemanusiaan yang dianggap ideal adalah kemanusiaan yang “adil” yang langsung dirangkaikan dengan kata “beradab”. Peradaban tidak
mungkin tumbuh dalam struktur sosial yang tidak berkeadilan. Jika struktur sosial timpang, maka di dalamnya akan terjadi penindasan antar sesama manusia.
Dalam kondisi semacam itu, peradaban umat manusia tidak akan berkembang sehat. Sebabnya ialah bahwa dalam struktur yang menindas itu, kebebasan atau
kemerdekaan berpikir tidak akan tumbuh dan karena itu, ilmu pengetahuan juga tidak akan berkembang. Akibatnya, perkembangan peradaban masyarakat atau
bangsa yang bersangkutan tidak dapat tumbuh secara sehat. Oleh karena hubungan di antara kedua begitu terkait satu sama lain, maka
sila kedua Pancasila dirumuskan oleh the founding fathers dalam satu konsepsi tentang sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak akan ada peradaban yang
tidak didasarkan atas peri kehidupan yang berkeadilan, dan tidak akan ada keadilan jika peradaban dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa tidak
berkembang. Oleh karena itu, dalam upaya membangun peradaban bangsa kita yang tinggi dan bermartabat, penting sekali menegakan keadilan dalam
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sejarah umat manusia pada masa lalu juga mengajarkan betapa banyaknya bangsa-bangsa besar yang timbul tenggelam
karena terjadinya perubahan dalam kualitas peradabannya, dan kualitas peradabannya itu berubah karena terjadinya perubahan dalam struktur keadilan
dalam peri kehidupan bermasyarakat dan berbangsa itu sendiri. Begitu tinggi peradaban bangsa-bangsa besar dalam sejarah dapat berkembang dikarenakan
tegaknya keadilan dalam kehidupan.
4
Tetapi, tatkala struktur keadilan mengalami keruntuhan, seperti halnya pengaturan pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, itulah yang kemudian menjadi pertanda merosotnya peradaban yang bahkan pada akhirnya mengahancurkan
keseluruhan eksistensi bangsa itu sendiri. Hak politik juga merupakan hak konstitusional warga negara. Adanya hak
konstitusional ini,
maka negara
tidak diperkenankan
mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baik berupa Undang-Undang legislative policy
maupun berupa peraturan pelaksanaan beraucratic policy yang dapat mengurangi substansi dari hak tersebut. Lalu kemudian apa yang menjadi dasar
disahkannya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh DPR dan disetujui oleh Presiden. Daerah Istimewa Yogyakarta memang
merupakan daerah yang memiliki sejarah tersendiri dalam kemerdekaan Indonesia. Sejarah saat itu mencatat, sebagaimana istilah yang digunakan oleh
pihak keraton, bahwa keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta bukan
4
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Ed. Revisi, Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, h. 90-91.
merupakan pemberian Indonesia, melainkan ijab qabul antara pemerintah Indonesia saat itu dengan kasultanan Yogyakarta. Hingga kemudian sampai
dengan saat ini negara terus “melindungi” keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apakah kemudian dengan
adanya keistimewaan tersebut, negara melupakan bahwa ada hak konstitusional yang jauh lebih mendasar dalam kehidupan bernegara dan harus dilindungi,
bahkan dipenuhi oleh negara. DPR dan Presiden adalah warga negara yang dipilih dari rakyat. Tanpa
ditanya lebih mendalam, pastinya DPR dan Presiden juga mengetahui hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Harusnya hal ini dapat diresapi sebagai
pelaksanaan pemerintahan terutama dalam pembentukan undang-undang. Rancangan undang-undang yang berpotensi secara jelas mengurangi atau
menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara menjadi kewajiban pemerintah untuk kemudian secara tegas menolak membahas undang-
undang ini apalagi mengesahkannya menjadi undang-undang. Pernyataan lain disampaikan oleh Zuhrif Hudaya selaku anggota DPRD
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Komisi D sekaligus Ketua Badan Legislasi DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 6 Juni 2015,
bahwa hak konstitusional warga negara Daerah Istimewa Yogyakarta telah
diberikan sepenuhnya kepada Sultan dan Paku Alam.
5
Pertanyaan kemudian, apa yang menjadi dasar dari pernyataan ini. Sejarah tidak pernah mencatat bahwa
secara keseluruhan
masyarakat Yogyakarta
telah memberikan
hak konstitusionalnya kepada Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Memang
dalam survei yang telah banyak dilakukan salah satunya oleh Kompas pada tahun 2010 bersumber pada buku Monarki Yogyakarta Inkonstitusional yang
diterbitkan oleh Kompas, menunjukan mayoritas warga negara di Daerah Istimewa Yogyakarta masih menginginkan Sultan dan Paku Alam tetap menjadi
gubernur dan wakil gubernur seperti pada kondisi saat ini. Tetapi di lain pihak, terdapat juga warga negara yang tidak menginginkan Sultan dan Paku Alam tetap
menjadi gubernur dan wakil gubernur dengan segala keberpihakannya. Jika yang menjadi acuan adalah mayoritas warga Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih
menginginkan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, bukan berarti mengesampingkan warga negara lain yang secara minoritas tidak
menginginkan itu. Lagipula keinginan mayoritas tersebut juga hanya berdasar pada survei, dan belum terbukti secara langsung dari masyarakat. Bukan tidak
mungkin malah justru banyak yang lebih menginginkan Sultan dan Paku Alam tidak menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di Yogyakarta
Hak dalam pengertiannya mengindikasikan kehadiran pemilik dari hak tersebut. Tanpa pemilik, maka suatu hak diragukan statusnya sebagai hak.
5
Zuhrif Hudaya, Hasil Wawancara Dengan Penulis, Yogyakarta: Kantor Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera, 6 Juni 2015.
Karena hak tidak bisa berdiri tanpa pemiliknya. Selain itu juga diketahui hak sebagai sesuatu yang menghasilkan kebebasan atau keuntungan. Jika seseorang
dikatakan memiliki hak, maka sudah barang tentu kondisi tersebut menunjukan bahwa orang tersebut mendapatkan keuntungan bukan kerugian. Terakhir
kepemilikan atas hak menghadirkan pula pihak terkait lainnya yang bertanggung jawab untuk mengusahakan tersedianya keuntungan yang muncul atas
kepemilikan hak tersebut. Disimpulkan hak tidak bisa dimayoritaskan dan diminoritaskan, harus dipenuhi seluruhnya sebagai satu kesatuan utuh
pemenuhan hak. Maka secara bijaksana pemilihan umum kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang tepat untuk memenuhi pemenuhan hak politik
tersebut. Di sisi lain, berbicara mengenai Sultan dan Paku Alam, takhta Sultan dan
Paku Alam adalah takhta turun temurun dalam kerajaan yang diberikan kepada keturunan atau adik laki-laki dari raja yang memiliki takhta tersebut sebelumnya.
Takhta ini disebut sebagai kekuasaan berdasarkan wewenang tradisional yakni kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta
kedudukannya harus dihormati dan bersumber pada primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam
masyarakat dan orang yang berkuasa memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu. Takhta Sultan dan Paku Alam juga berdasar
pada legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk memerintah
dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Sehingga ia mendapat hak ketuhanan the devine right untuk menjadi penguasa. Maka di dalam
kedudukannya Sultan disebut juga sebagai khalifatullah wakil tuhan. Sementara itu Gubernur dan Wakil Gubernur disebut sebagai kekuasaan
berdasarkan wewenang rasional-legal yakni kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. Sebagaimana pasal 18
ayat 4 Undang-Undang Dasar 19 45 menyebutkan “ Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Hak memerintahnya berasal dari sumber-
sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur- prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan.
Antara Sultan dan Paku Alam dengan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah dua bentuk kekuasaan yang berbeda. Seharusnya dua kekuasaan yang
berasal dari wewenang dan hak memerintah yang bertolak belakang ini tidak bisa dijadikan sebagai satu kesatuan kekuasaan. Hal ini akan menimbulkan kerancuan
dalam pelaksanaan pemerintahan yang dijalankannya. Dengan penyatuan tersebut kita tidak bisa membedakan, mana yang merupakan perilaku kerajaan
dan mana yang merupakan perilaku pemerintahan. Di dalam undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pun tidak ada pasal yang
membedakan antara keduanya. Imbasnya adalah, bisa dibayangkan bagaimana dalam pelaksanaan pemerintahan aturan pemerintahnya bersifat mutlak dan tak
terbantahkan seperti halnya titah raja Sultan yang tidak bisa dibantah. Tentu pemerintahan tersebut akan menjadi pemerintahan yang absolut Absolute Of
Power, dan ini tidak dikehendaki berlaku di Indonesia. Sejak bangsa Indonesia merdeka dan membentuk negara modern yang
diproklamasikan pada tanggal 17 agustus 1945 bentuk pemerintahan yang dipilih adalah republik. Karena itu, falsafah dan kultur politik yang bersifat “kerajaan”
yang didasarkan atas sistem feodalisme dan paternalisme, tidaklah dikehendaki oleh bangsa Indonesia modern. Bangsa Indonesia menghendaki negara modern
dengan pemerintahan “res publica”.
Berlakunya undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadikan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni pasal
18B ayat 1 dengan pasal 18 ayat 4, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 3, pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 berjalan dengan saling bertentangan,
juga antara undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan undang-undang hak asasi manusia. Hal ini tentu menimbulkan ambivalensi
hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pangkal permasalahannya adalah dimulai dari disahkannya undang-undang keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta oleh DPR sebagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Terutama terletak pada pengaturan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur yang berpihak sepenuhnya kepada Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang tidak dikehendaki berlaku di Indonesia.
Sebagai negara hukum, konstitusi negara ditegakkan pada posisi tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam konteks hierarki, tata
hukum digambarkan sebagai sebuah piramida dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dan peraturan yang berada di bawahnya merupakan penjabaran dari
konstitusi itu. Pandangan ini bersifat struktural karena memosisikan konstitusi di puncak piramida. Sementara itu, pandangan kedua digagas Satjipto raharjo, yang
mengutip pendapat Hans Kelsen yang menyatakan bahwa, “this regressus is terminated by highest, the basic norm...
” rangkaian pembentukan hukum diakhiri oleh norma dasar yang tertinggi. Hierarki tata hukum digambarkan
sebagai piramida terbalik, dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi berada di dasar piramida. Pandangan ini lebih bersifat fungsional. Meskipun melihat dari
perspekif yang berbeda, namun kedua pandangan ini memiliki benang merah yang sama bahwa pembentukan norma lebih rendah, ditentukan oleh norma lain
yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan rangkaian pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma
dasar tertinggi, yakni konstitusi. Artinya konstitusi merupakan norma abstrak yang perlu dijabarkan dan diuraikan dalam produk-produk hukum yang berada di
bawahnya concretiserung process. Produk-produk hukum yang berada di bawah konstitusi tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi. Dalam upaya menjaga agar produk hukum yang berada di bawah konstitusi, maka terdapat kaidah-kaidah yang berfungsi untuk
menjaga agar produk hukum yang dibuat memiliki koherensi, konsistensi, dan korespondensi serta tidak bertentangan dengan konstitusi baik dalam perspektif
formil maupun materil. Keseluruhan produk hukum harus merupakan satu kesatuan yang harmonis karena sinkron atau konsisten secara vertikal dan
horizontal baik dari aspek materiil yang meliputi asas hukum karena memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dan asas materi
muatan, serta
sesuai dengan
asas hukum
yang merupakan
latar belakangalasanratio legis dari pembentukan hukum, makna baik makna yang
tersurat maupun yang tersirat, hingga penggunaan peristilahannya; maupun dari aspek formil di mana cara penyusunannya harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Perlu diketahui juga, bahwa berlakunya Undang-Undang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta memperlihatkan bagaimana politik telah mempengaruhi hukum itu sendiri. Undang-Undang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta dapat dikatakan sebagai hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling
bersaingan. Terlihat disini bahwa dilihat dari hubungannya antara politik dan hukum, hukum yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih
lemah. Lebih kuatnya konsentrasi energi politik, menjadi beralasan adanya
konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga dalam
implementasinya. Prinsip atau sekedar semboyan yang menyatakan politik hukum harus
bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman, menjadi
semacam utopi belaka. Hal itu terjadi karena dalam praktiknya hukum kerap kali menjadi cerminan dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak
sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Jelas terlihat bagaimana Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
yang merupakan hukum, telah melegitimasi kekuasaan secara penuh yang dimiliki oleh Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam.
Melihat seluruh uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Undang-Undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai perundang-undangan di Indonesia demi menghasilkan produk hukum yang satu kesatuan dan harmonis seharusnya dalam
aturannya menyelaraskan baik hubungannya secara horisontal antara Undang- Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus pasal 18 ayat
1 huruf c dan pasal 20 ayat 1 dengan undang-undang lain yang berlaku, juga hubungannya secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar 1945.