Teori Kekuasaan Kedudukan Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur provinsi daerah istimewa Yogyakarta

untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. 8 Menurut Robert M. Mac Iver kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan kelakuan orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah, maupun secara tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara yang ada. 9 Dengan adanya beberapa penjelasan di atas, maka dikemukakan bahwa setiap hubungan kekuasaan harus memenuhi dua persyaratan, yakni: pertama, tindakan itu dilaksanakan baik oleh yang memengaruhi atau dipengaruhi, kedua, terdapat kontak atau komunikasi antara keduanya baik langsung maupun tidak langsung. Terdapat beberapa konsep yang berkaitan erat dengan kekuasaan power yaitu wewenang authority dan legitimasi legitimacy atau keabsahan. Seperti dengan konsep kekuasaan, di sini pun bermacam-macam perumusan ditemukan. Perumusan yang mungkin paling mengenai sasaran adalah definisi yang dikemukakan oleh Robert Bierstedt yang mengatakan bahwa wewenang authority adalah institutionalized power kekuasaan yang dilembagakan. 10 Hal yang sama dikatakan oleh Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan bahwa 8 Barbara Goodwin, Using Political Ideas, Ed. 4, England: Barbara Goodwin, 2003, h. 307. 9 Robert M. Mac Iver, The Web Goverment, New York: The Mac Millan Company, 1947, h. 87. 10 Robert Bierstedt, An Analysis of Social Power, New York: Amerikan Sociological Review, 1950, h. 732. wewenang authority adalah kekuasaan formal. Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang authority berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturannya. Dalam rangka pembahasan mengenai wewenang perlu disebut pembagiannya menurut Max Weber dalam tiga wewenang, yaitu tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Wewenang tradisional berdasarkan kepercayaan di antara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Wewenang rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin. 11 Selain itu menurut Charles Andrain terdapat lima sumber kewenangan untuk memerintah, yakni : a. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber primordial atau tradisi. Artinya kepercayaan yang telah berakar dipelihara secara terus menerus dalam masyarakat. Orang yang berkuasa menunjukan sumber kewenangannya memerintah sebagai tradisi karena dia keturunan dari pemimpin terdahulu; b. Hak memerintah berasal dari sumber yang dianggap suci 11 S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, Chicago: University Chicago Press, 1968, h. 46. pewahyuan. Atas dasar perwahyuan inilah seseorang atau kelompok penguasa memerintah, dan hak memerintah yang dimilikinya dianggap bersifat sakral dan pantas untuk diikuti; c. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber pribadi atau berasal dari kualitas pribadi, baik penampilannya yang agung dan pribadinya yang popular maupun karena memiliki kharisma; d. Hak memerintah berasal dari sumber-sumber instrumental seperti keahlian dan kekayaan. Keahlian yang dimaksud terletak pada keahlian dalam ilmu pegetahuan dan teknologi; e. Hak memerintah masyarakat berasal dari sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur-prosedur dan syarat-syarat menjadi pemimpin pemerintahan. Undang-Undang Dasar 1945 misalnya tidak hanya mengatur tugas dan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Kelima sumber kewenangan tersebut di atas sumber primordial, sumber yang dianggap suci, sumber pribadi, sumber instrumental, dan sumber legal formal dapat dikategorikan ke dalam dua tipe kewenangan utama, yaitu kewenangan yang bersifat prosedural dan kewenangan yang bersifat substansial. Kewenangan yang bersifat prosedural adalah hak memerintah berdasarkan sumber-sumber legal atau peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan kewenangan yang bersifat substansial adalah hak memerintah berdasarkan pada faktor-faktor yang melekat pada diri pemimpin, seperti tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan sumber instrumental. Semakin kompleks struktur masyarakat suatu negara maka tipe kewenangan yang digunakan cenderung bersifat prosedural. Sebaliknya, di masyarakat yang strukturnya masih sederhana cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karena kehidupan lebih banyak berdasarkan pada tradisi, kepercayaan kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada tokoh pemimpin. 12 Selanjutnya konsep legitimasi legitimacy atau keabsahan yang terutama penting dalam suatu sistem politik. Keabsahan adalah keyakinan anggota- anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok adalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah. Sehingga, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh penguasa dipatuhi. Dalam hubungan ini dikatakan oleh David Easton bahwa keabsahan adalah: “Keyakinan dari pihak anggota masyarakat bahwa sudah wajarnya untuk menerima baik dan menaati penguasa dan memenuhi tuntutan- tuntutan dari rezim itu.” 13 Secara sederhana ada tiga azas legitimasi yang diterima masyarakat secara luas legitimasi subyek kekuasaan menurut istilah dari Franz Magnis 12 Charles Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, h. 194-197. 13 David Easton, A System Analysis of Political Life, New York: John Willey and Sons, 1965, h. 273. Suseno. Pertama, legitimasi religios, yang mendasarkan bahwa hak untuk memerintah dilandasi pada faktor-faktor yang adi-kodrati. Dalam paham ini penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan adikodrati ilahi, ghaib, supranatural sehingga ia mendapat hak ketuhanan the devine right untuk menjadi pemimpin. Kedua, legitimasi elite, legitimasi ini mendasarkan kekuasaan penguasa pada kemampuan khusus yang dimiliki oleh aktor individu ataupun kelompok untuk memerintah. Dalam konteks ini dipahami bahwa penguasa haruslah aktor- aktor yang memiliki kualifikasi khusus atau kualifikasi yang melebihi kualifikasi-kualifikasi aktor lainnya. Terdapat empat macam legitimasi elite yang berkembang: a. Legitimasi aristokratis, legitimasi relatif nihil pada abad modern sekarang. Namun secara sederhana legitimasi aristrokasi hendak mengatakan bahwa satu golongan dalam masyarakat dianggap memiliki hak untuk berkuasa dibandingkan dengan golongan lain karena mereka dianggap lebih unggul daripada yang lainnya; b. Legitimasi teknoratis, kekuasaan penguasa terbangun oleh karena terbentuknya argumen yang menyatakan bahwa dalam dunia yang serba modern serta kompleks seperti saat ini dibutuhkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin yang betul-betul ahli, sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan yang sangat cepat. Pemimpin-pemimpin atau penguasa-penguasa yang sangat ahli dan mampu menerima tanggungjawab tersebut termanifestasi dalam diri para kaum teknokrat; c. Legitimasi ideologis, legitimasi ini mendasarkan kepemilikan kekuasaan pada suatu ideologi negara yang mengikat setiap warga negaranya. Maksudnya, setiap warga negara harus mengakui hak istimewa yang dimiliki oleh aktor-aktor yang mengembangkan ideologi negara untuk menjadi penguasa, oleh karena merekalah yang mengerti betul bagaimana strategi, atau harus dibawa ke mana negara ini mengikuti ideologi yang mereka kembangkan; d. legitimasi pragmatis, adalah bentuk legitimasi yang menempatkan aktor-aktor tertentu yang menganggap dirinya cocok untuk memegang kekuasaan negara dan sanggup mengelola kekuasaan tersebut. 14 Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan legitimasi-legitimasi di atas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter. Maka dari itulah adanya konsepsi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. 15 14 S.N Eisenstadt, Max Weber on Charisma and Institution Building, Chicago: University Chicago Press, 1968, h. 46. 15 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 1 Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 198-199.

C. Sultan Hamengku Buwono

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan yakni kesultanan termasuk di dalamnya Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelffbestrurende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut dengan nama Swapraja. 16 Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendiri Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi, terlahir sebagai Raden Mas Sujono. Dari sejarah dapat kita membuktikan bahwa berdirinya Kesultanan Yogyakarta melewati perjuangan yang ulet dan memerlukan waktu sekitar 9 tahun. Perjuangan ini diawali dari protes Mangkubumi, baik kepada kakaknya sendiri, Paku Buwono II, maupun kepada VOC. Protes ini dilatar belakangi dari sesudah Gegeran Pacina 1740-1743 dapat diselesaikan, masih ada beberapa pemberontak yang meneruskan perjuangan. Diantaranya adalah Raden Mas Said yang masih menguasai daerah Sukawati sekarang Sragen. Said terkenal sakti, karena itu tidak ada satria Mataram yang berani menghadapinya. Kemudian Susuhunan Paku Buwono II kemudian mengeluarkan maklumat, barang siapa yang dapat mengalahkan Said akan diberikan tanah Sukawati. 17 16 Sujanto, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1998, h. 162. 17 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 11-12. Satu-satunya bangsawan yang memberanikan diri untuk mengahadapi Said adalah Mangkubumi. Setelah mendapat persetujuan raja dengan memperoleh pusaka Kyai Plered, Mangkubumi bergerak dengan pasukannya untuk menghadapi Said, namun pemberontak ini berhasil meloloskan diri. Dengan demikian Mangkubumi berhak menerima hadiah tanah Sukawati yang dijanjikan oleh raja. Bersama dengan itu datanglah ke Surakarta Gubernur Jenderal VOC, Van Imhoff yang terkenal licik. Sama halnya dengan Pepatih Dalem Surakarta, Pringgoloyo, ipar Susuhunan dan Mangkubumi. Pringgoloyo digambarkan sebagai patih yang licik, selain juga pengecut ia meninggal dengan bunuh diri. Pringgoloyo pernah menghasut Susuhunan agar tidak menyerahkan tanah Sukawati kepada Mangkubumi karena akan membuat iri para bangsawan lain, juga dapat membahayakan kedudukan Susuhunan sendiri. Namun Susuhunan tidak mengikuti nasihat patihnya, dan tetap berpegang pada prinsip sabda pandhita ratu tan kena wola-wali raja dan pendeta tidak boleh ingkar janji. 18 Van Imhoff yang terkena bujukan Pringgoloyo mengecam Mangkubumi di Paseban. Van Imhoff yang memiliki kesempatan berpidato mengkritik Mangkubumi sebagai bangsawan yang tidak tahu berterima kasih kepada Susuhunan, karena telah menuntut hadiah. Kecaman di muka umum oleh Van Imhoff sangat menyinggung kehormatan Mangkubumi. Oleh karena itu, pada 18 G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta Dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, h. 12. malam harinya Mangkubumi beserta para pengikutnya meninggalkan Surakarta menuju Sukawati untuk memulai perlawanan. Sasaran Mangkubumi adalah Susuhunan yang ingkar janji dan Belanda yang dianggap Murang Tata kurang ajar. 19 Dengan perjuangan selama 9 tahun, baik Susuhunan Paku Buwono III maupun VOC dipaksa untuk memberikan separuh Mataram kepada Mangkubumi, lewat perjanjian Gianti pada tahun 1755. Dalam perjanjian itu Mangkubumi diakui menjadi Sultan Hamengku Buwono I dengan keratonnya di