Masa Depan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Di Tengah Negara Hukum

yang menimbulkan konflik di dalam kerajaan Yogyakarta karena tidak sesuai dengan aturan kerajaan yang telah berlaku turun temurun. 6 Dari penjelasan di atas, saran yang baik bagi keberlangsungan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lagi seperti saat ini. Sultan dan Paku Alam tetap dalam kedudukannya di Kasultanan Yogyakarta, namun tidak lagi otomatis sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pengisian jabatannya berlaku aturan umum seperti daerah lain dengan dilaksanakannya pemilihan umum kepala daerah secara bebas, adil, dan berkala. Saran ini memang terlihat sulit untuk dilaksanakan, namun perlu menjadi pertimbangan apabila keistimewaan Yogyakarta yang bersifat statis dan turun temurun tidak ingin hilang keberadaannya di Indonesia sebagai negara hukum yang terus berubah masyarakatnya seiring dengan perkembangan zaman dan telah meninggalkan sistem monarki absolut seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasal 28I Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman”. Maknanya, ketradisionalan dalam suatu daerah memang harus dihormati 6 Sultan HB X mengeluarkan sabda sebagai dhawuh, sabda tersebut adalah: 1 kata Buwono menjadi Bawono; 2 Gelar Khalifatullah dihilangkan; 3 kata kaping Sedoso diganti menjadi kaping Sepuluh; 4 Mengubah perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan; 5 menyempurnakan Keris Kiai Ageng Kopek dengan Kiai Ageng Joko Piturun. Sebagai dhawuh, yang didapatkan melalui datangnya bisikan wangsit, dan dapat pula berupa isyarat sasmito dari para leluhur sebagai hasil sinergi antara ketajaman intuisi, olah batin, dan olah rasa yang dilakukan terus menerus, sabda ini hanya dapat dilaksanakan dan tidak dapat dibantah terlebih lagi kalau melulu mengandalkan rasionalitas. Perspektif publik dan sementara anggota kerabat keraton melihat dari sisi rasional. Sehingga menjadi kontroversi dalam menyikapi sabda ini. oleh negara, namun tetap harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang terus berkembang. 84 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat penulis kemukakan kesimpulan sebagai jawaban atas dua pertanyaan yang terdapat pada Bab I bagian rumusan masalah sebagai berikut: 1. Pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta UUK DIY secara khusus Pasal 20 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Dalam penyelenggaraan penetapan Guber nur dan Wakil Gubenur.......”. Satu sisi merupakan amanat Pasal 18B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang- undang”. Namun di sisi lain bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4 Undang- Undang Dasar 1945 bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” yang menghendaki pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. 2. Kemudian pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus pada aturan lain yakni Pasal 18 ayat 1 huruf c yang menyebutkan bahwa “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur” satu sisi juga merupakan amanat Pasal 18B ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang- undang”. Namun disisi lain bertentangan dengan Pasal 28D ay at 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan” yang melindungi hak politik warga negara untuk memilih kepada masyarakat Yogyakarta dan dipilih untuk seluruh warga negara Indonesia. 3. Kemudian pengaturan mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah menimbulkan ambivalensi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena antara pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni pasal 18B ayat 1 dengan pasal 18B ayat 1 pasal 18 ayat 4, pasal 27 ayat 1, pasal 28D ayat 3, pasal 28I ayat 3 dan antara undang-undang yakni Undang-Undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berjalan dengan saling bertentangan satu sama lain.

B. Saran

1. Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta demi menghasilkan produk hukum yang satu kesatuan dan harmonis seharusnya dalam aturannya menyelaraskan hubungannya baik secara horisontal antara Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta secara khusus pasal 18 ayat 1 huruf c dan pasal 20 ayat 1 dengan undang-undang lain yang berlaku, juga hubungannya secara vertikal dengan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta demi terbentuknya sebuah pemerintahan yang baik, maka perlu diubah aturannya khusus dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernurnya tidak lagi melalui proses penetapan melainkan pemilihan umum dan dapat diduduki jabatanya oleh seluruh warga negara di Indonesia. 3. Warga negara sebagai pemilik dari hak politik harusnya lebih kritis lagi terhadap hak-hak yang dimilikinya. Jika kemudian menemukan perundang-undangan yang melanggar bahkan menghilangkan substansi dari hak-hak yang dimiliki, dengan tegas menolak untuk kemudian melakukan judicial review atas undang-undang tersebut.