Pengertian Hukum Kewarisan HUKUM KEWARISAN

15 QS.An-nisa 4 : 9                 ا ﺎﺴﻨﻟ ء ٤ ٩ Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” QS.An-nisa4 : 9

B. Pembagian Waris Muslim

1. Menurut Fuqaha Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya. 18 Kalau diperhatikan ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan hukum kewarisan, terlihat bahwa untuk harta warisan Allah SWT. Menggunakan kata” apa-apa yang ditinggalkan” oleh si meninggal. Kata-kata seperti ini didapat 11 kali disebutkan dalam hubungan kewarisan, yaitu dua kali dalam surah al-Nisa” ayat 7, dua kali dalam ayat 11, empat kali dalam ayat 12, satu kali pada ayat 33 dan dua kali pada ayat 176. 18 Asyhari abta dan djunaidi abd syakur” Ilmu Faraid “ Jakarta: Bulan Bintang, h. 206 16 Setiap kata-kata “ ditinggalkan” dalam ayat-ayat tersebut di atas didahului oleh kata “ apa-apa”. Dalam Bahasa Arab kata “maa” itu disebut al-mawshul yang hubungannya dengan maknanya mengandung pengertian ini kata “ apa-apa yang ditinggalkan” itu adalah umum. Keutamaan itu lebih jelas disebutkan pada akhir ayat 7 surah al-Nisa” yang terjemahannya ialah”….. baik apa yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak….”. 19 Bahwa tidak keseluruhan dari “ apa-apa yang ditinggalkan” pewaris itu menjadi hak ahli waris dapat dipahami dari kaitannya pelaksanaan pembagian warisan itu kepada beberapa tindakan yang mendahuluinya, yang dalam ayat tersebut disebutkan dua hal yaitu membayarkan segala wasiat yang dikeluarkannya dan membayarkan segala utang yang dibuat sebelum ia meninggal, sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat 11 sebanyak satu kali dan pada ayat 12 sebanyak tiga kali. 20 Bila diperhatikan bahwa utang si pewaris adalah hak penuh dari orang yang berpiutang dan wasiat secara hukum telah menjadi hak bagi yang diberi wasiat, sedangkan keduanya itu merupakan persyaratan untuk dilaksanakannya pembagian warisan, maka tindakan pertama terhadap harta peninggalan pewaris itu memurnikan untuk membebaskannya dari keterkaitannya kepada hak orang lain didalamnya. 21 19 Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang 1996, h. 12. 20 Moh Muhibbun dan Abdul Wahid” Hukum Waris Islam” jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 23. 21 Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an”Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995, h. 30. 17 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harta warisan ialah apa yang ditinggalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain didalamnya. Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama Hanafi. Ulama Fikih lainnya mengemukakan rumusan yang berbeda dengan yang dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala apa yang ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk harta atau hak-hak. 22 Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain Hanafi sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut mereka tidak berbeda antara harta warisan dengan harta peninggalan. 23 Namun kalau diperhatikan dalam pelaksanaannya selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dulu wasiat dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah dalam ayat 11 dan 12 surah al-Nisa”. Dengan demikian maka jelaslah bahwa kedua kelompok ulama tersebut hanya berbeda dalam perumusan, sedangkan yang menyangkut substansinya sama saja. 24 Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang menjadi harta warisan itu harus murni dari hak orang lain. Di antara usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan utang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang dan wasiat itu 22 Ali Hasan” Hukum Kewarisan Dalam Islam” Jakarta: Bulan Bintang, h. 14. 23 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-azhar “ Hukum Waris “ Jakarta: Senayan Abadi Publising 2004, h. 30. 24 Sajuti Thalib” Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008,h. 92. 18 dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta peninggalan orang yang meninggal, diantaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang membawa kepada kematian. 25 Pewaris adalah suatu kejadian hukum yang mengalihkan hak milik dari pewaris kepada ahli waris. Peralihan hak milik hanya dapat berlaku menurut harta itu dimiliki bendanya dan miliknya pula jasa atau mamfaatnya. 26 Bila seseorang hanya memiliki mamfaat dari harta yang ada ditangannya dan tidak memiliki benda atau zat harta itu maka harus itu tidak dinamakan hak milik pribadinya. Dalam hal ini barang yang disewa, barang yang dipinjam,barang titipan dan lain-lain yang bendanya masih merupakan hak milik asal, bukan milik penuh dari yang menyewa, atau yang meminjam atau yang menerima titipan. Termasuk ke dalam hal ini harta pusaka yang terdapat di lingkungan adat Minangkabau.Harta pusaka dalam pengertian adat Minangkabau adalah harta kaum yang digarap oleh anggota kaum sebagai hak pakai dan bukan hak milik. Sebagai bukti bukan hak milik dari anggota kaum yang menggarap ialah si penggarap tidak dapat menjual harta yang ada ditangannya itu. Si penggarap hanya berhak memamfaatkan hasil dari tanah pusaka yang 25 Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basriutama 2001, h. 42. 26 Sayuti Thalib, “ Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008, h. 92.