Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama
56
saat terjadi sengketa salah satu pihak beralih agama dari Islam ke agama lain. Dalam kasus yang seperti itu penyelesaian perkara tetap tunduk ke lingkungan
Peradilan Agama, lebih lanjut sampai sejauh mana ruang lingkup kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama, Jawabnya, hanya meliputi bidang
perkara-perkara perdata”tertentu”. Inilah yang digariskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat I UU No. 14 Tahun 1970 UU no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman lembaran negara republik Indonesia tahun 2009 nomor 157 tambahan lembaran negara republik Indonesia nomor 5076. Akan, masih mengambang.
Bisa menimbulkan keisruhan dalam menentukan batas-batas kompetensi absolut. Oleh karna itu, apa yang dimaksud dengan bidang bidang perkara-perkara
perdata“tertentu”sangat memerlukan konkretisasi dan rincian yang tegas dan jelas. Ketidakjelasan bidang perkara tertentu dimasa lalu,merupakan pengalaman pahit
dalam menentukan batas menyangkut perkara harta bersama dan warisan.Tentang masalah kekalutan tersebut sudah disinggung pada uraian yang membicarakan
kedudukan Pengadlian Agama. Pada bagian itu sudah ditegaskan salah satu misi utama UU No. 7 Tahun 1989, untuk memperjelas batas kewenangan mengadili
antara lingkungan Peradilan Agama. Misi penegasan batas kewenangan mengadili yang lebih jernih dari masa yang lalu seperti yang diamanatkan St. 1937-116
maupun PP No.45 Tahun 1957,memang terdapat dalam UU No.7 Tahun 1989.
70
Penegasan tersebut dapat dilihat pada penjelasan umum UU no 3 tahun 2006 angka 2 alinia ketiga yang sama bunyinya dengan apa yang tercantum dalam
pasal 49 Ayat I dihubungkan dengan penjelasan Uuno 3 tahun 2006 pasal 49
70
Abdul Manan Dan M. Fauzan “ Pokok-Pokok Hukum Perdata: Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002,h.105
57
ayat2 serta penjelasan Umum angka 2 alinia kelima dan keenam dihubungkan dengan ketentuan pasal 49 ayat3 dan pasal 50 maupun dengan penjelasan pasal
50.
71
Ketentuan-ketentuan dimaksud merupakan landasan pokok menentukan batas- batas yang jernih fungsi ini,tidak timbul lagi kekisruhan yuridiksi
mengadili antara lingkungan Peradilan Umum dengan lingkungan Peradilan Agama.
Dari berbagai ketentuan pasal dan penjelasan yang dikemukakan, secara umum fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama telah
ditentukan dalam Pasal 49 ayat I yang meliputi perkara-perkara di bidang perdata:
Perkawinan Kewarisan,wasiat,dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
Wakaf dan shadaqah.
72
Bidang-bidang hukum perdata di ataslah yang menjadi porsi fungsi kewenangan mengadili lingkungan Peradialan Agama. Dengan sendirinya bidang-
bidang tersebut yang diistilahkan dengan bidang “tertentu”. Berarti juga bidang tertentu yang menjadi kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama
dihubungkan dengan asas personalitas ke Islaman sebagai golongan rakyat tertentu,meliputi perkara perdata dalam kasus perkawinan,hibah,wakaf,dan
shadaqah.Itulah batas kewenangan mengadili yang diberikan undang-undang
71
Jaenal Arifin” Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia” Jakarta: Kencana Media Group 2008,h. 343.
72
Sulaikin Lubis, dkk “ Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia” , Jakarta:. Kencana Prenada Media Group 2005 H. 103.
58
kepadanya. Lewat dari itu, dianggap melampaui batas kewenangan yuridiksi,dan batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan tersebutlah yang
dimaksud dengan “kompetensi absolut”. Artinya, apa yang telah ditegaskan menjadi kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Lingkungan
peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya. Hal itu sudah dijelaskan pada pembahasan yang menyangkut kompetensi absolut.
Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan Di atas sudah dijelaskan kewenangan umum lingkungan Peradilan Agama secara global,
meliputi perkawinan,wasiat,hibah,wakaf,dan shadaqoh.Jadi di antara kewenangan global tersebut, yang pertama termasuk bidang perkara perdata
perkawinan.Namun, kita ingin mengetahui, sejauh mana jangkauan kewenangan Peradilan Agama mengadili perkara yang berhubungan dengan didang
perkawinan , keinginan itu timbul bertitik tolak dari kenyataan di masa yang lalu.Pada masa yang lalu baik sebelum dan sesudah diundangkannya UU No.1
Tahun 1974 sebagai undang-undang dan hukum perkawinan nasional,kewenangan Peradilan Agama mengadili kasus perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, tidak utuh secara menyeluruh. Dari sekian luas jangkauan hukum yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974, tidak secara menyeluruh kewenangan
mengadili perkara yang timbul dari padanya menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama.
73
Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis tingkatan dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan
73
M.Fauzan SH, MM,” Pokok-pokok hukum acara perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia”Jakarta:. Kencana Pranada Media Group 2007. H. 190
59
yang sama jenisnya dan sama tingkatan. Misalnya, antara Pengadilan Negeri Subang dengan Pengadilan Negeri Bogor.Pengadilan Agama Muara Enim dan
Pengadilan Agama Baturaja.
74
Pengadilan Negeri Bogor dan Subang sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama Pengadilan Tingkat Pertama, sedangkan Pengadilan
Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturaja Sama-sama tingkat pertama, dan sama –sama satu tingkat.
Mengenai Kekuasaan Absolut, yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan tingkatan pengadilan
dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan Pengadilan lainnya, sebagai contoh:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam , sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan
Umum.Pengadilan Agamalah yang memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkatan pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama
atau di Mahkamah Agung. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah adalah untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara dalam ekonomi syari’ah. Kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara dalam ekonomi syari’ah bisa dilihat secara komulatif dan bisa juga dilihat secara alternatif.Dalam perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk
memeriksanya, maka Pengadilan Agama juga harus menjatuhkan putusan
74
Basiq Djalil “ Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Prenada Media Group 2006, h. 139.
60
terhadap yang disengketakan.Ini berarti secara kumulatif Pengadilan Agama lah yang memeriksa dan memutus sengketa dalam ekonomi syar’ah tersebut.
Sedangkan untuk menyelesaikan perkara yang diputus Pengadilan Agama tersebut tergugat dapat melaksanakannya secara sukarela tanpa perlu melalui Pengadilan
Agama dan dapat pula melalui eksekusi putusan oleh Pengadilan Agama atas permohonan penggugat apabila Tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak
bersedia melaksanakan putusan oleh Pengadilan Agama tersebut secara suka rela. Dengan demkian menyelesaikan perkara, dalam hal ini melalui eksekusi putusan
Pengadilan Agama adalah opsional bukan kemestian.
75
Kalau demikian halnya, maka tugas dan kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memutus perkara ekonomi syari’ah adalah secara kumulatif.
Dengan perkataan lain, setiap perkara ekonomi syari’ah yang diajukan kepada Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama harus memeriksa perkara tersebut
dan selanjutnya memberikan putusan terhadap apa yang disengketakan oleh para pihak.
1. Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan
Di atas telah dijelaskan bahwa kewenangan absolut Peradilan Agama meliputi bidang-bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah,wakaf, dan sedekah. Mengenai bidang Perkawinan, pasal 49 ayat 2 menyatakan bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku,
75
Chatib Rasyid dan Syaifuddin” Hukum acara prtdata dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama” Jakarta: UII Press Yogyakarta 2009, h.160.
61
pasal 49 2 ini dalam penjelasannya dirinci lebih lanjut ke dalam 22 butir, yaitu:
76
a. Izin beristri lebih
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berumur 21
tahun, dalam hal ini orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
c. Dispensasi kawin
d. Pencengahan Perkawinan
e. Penolakan perkawinan oleh Pengawai Pencatat Nikah
f. Pembatalan perkawinan
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri
h. Perceraian karena talak
i. Gugatan perceraian
j. Penyelesaian harta bersama
k. Penguasaan anak
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mampu memenuhinya.
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri. n.
Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak o.
Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
76
Roihan A.Rasyid “ Hukum Acara Peradilan Agama” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002,h. 30.
62
p. Pencabutan kekuasaan wali,
q. Penunjukan orng lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut. r.
Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup berumur 18 tahun yang ditinggalkan oleh kedua orng tuanya
padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya s.
Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya. t.
Penetapan asal- usul anak u.
Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan berlaku yang dijalankan menurut peraturan yang lain.
2. Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Kewarisan, Wasiat, dan hibah.
Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau dari sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui
pendekatan Pasal 49 ayat 3 jo. Penjelasan Umum angka 2 alinia keenam. Jadi, uraian singkat dari ketentuan Pasal tersebut adalah bahwa
63
pokok-pokok Hukum Waris Islam yang akan ditetapkan pada golongan rakyat yang beragama Islam terdiri atas:
77
a. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok
ahli waris, siapa yang berhak mewarisi, siapa yang terhalang menjadi ahli waris, dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris.
b. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang
penentuan tirkah yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan
c. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur
dalam Al-Qur’an , as-Sunnah, dan ijtihat pendapat prof.Hazairin dan KHI dan
d. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.
3. Kewenangan mengadili perkara bidang Wakaf, Zakat, Infaq, dan
Shadaqah Pasal 1 ayat 1 PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik menentukan pengerian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
kekayaan yang berupa tanah milik dan melembangakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam
78
. Wakaf ini sangat penting
77
Sulaikin Lubis, Wismar Ain Marzuki, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2006, h.110.
78
Erfaniah Zuhriah” Peradilan Agama Di Indonesia” Jakarta: Uin Malang Press 2008,h. 213.
64
ditinjau dari sudut pelembagaan keagamaan.PP No. 28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam Islam yang telah menjadi hukum
positif, dan peraturannya memiliki kelengkapan. Oleh karena itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya
dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketntuan perundang-undangan yang berlaku.
79
Mengenai shadaqah, masih ada sementara orang yang berpandangan sempit, yaitu merupakan pemberian sesuatu benda atau
sejumlah uang yang bernilai kecil atas dasar karena Allah. Padahal dalam perbendaharaan hukum Islam, shadaqah mempunyai dua makna, yaitu
shadaqah biasa seperti diatas, dan shadaqah wajib. Shadaqah wajib ini disebut zakat. Oleh karena itu, Peradilan Agama berwenang pula
menyelesaikan masalah yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat yang disebut shadaqah dalam pasal 49 ayat 1 huruf c UU No. 7 Tahun
1989. Dengan diundang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat dan mulai berlaku tahun 2001 maka dewasa ini telah bertambah
lagi bagian hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis sebagai hukum positif. Dalam bab VIII Padal 21 Undang- undang ini ditentukan
tentang sanksi pidana bagi setiap pengelola zakat yang melakuakan pelanggaran. Namun, tidak tegas ditentukan pengadilan mana yang
79
Sulaikin Lubis, Wismar dkk, “ Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia” h. 112
65
berwenang menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karena itu banyak usulan disampaikan sehubungan dengan hal ini.
80
4. Kewenangan Mengadili Bidang Ekonomi Syari’ah
Dalam penjelasan Pasal 1 angka 37, mengenai Perubahan Bunyi Pasal 49 UU.No 7 Tahun 1989, pada poin, i diatas disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah meliputi:
a. Bank syari’ah
b. Asuransi Syari’ah
c. Reasuransi Syari’ah
d. Reksa dana syari’ah
e. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
f. Sekuritas Syariah
g. Pembiayaan syari’ah
h. Pegadaian syari’ah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j. Bisnis syari’ah
k. Lembaga keuangan syariah.
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat ada 11 macam perkara yang termasuk bidang ekonomi syari’ah ini. Dalam hal ini yang menarik
adalah adanya perluasan terhadap pengertian” orang-orang” yang meliputi juga lembaga syari’ah yang berupa bank ataupun perusahaan
80
Roihan A.Rasyid” Hukum Acara Peradilan Agama” Jakarta: Raja Grafindo Persada 2002.h. 30.
66
asuransi yang berbentuk badan hukum.Pada bagian awal dari penjelasan pasal 49 UU ini disebutkan bahwa lembaga keuangan bank sebagai
badan hukum disini dimaksudkan sebagai pihak yang tunduk pada ketentuan hukum Islam.
81
81
Mom Muhibbun Dan Rasyid Wahid “ Hukum Kewarisan Islam” Jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 49.