Pembagian Waris Muslim HUKUM KEWARISAN
18
dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang harus dimurnikan dari harta
peninggalan orang yang meninggal, diantaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai dikuburkan, termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang
membawa kepada kematian.
25
Pewaris adalah suatu kejadian hukum yang mengalihkan hak milik dari pewaris kepada ahli waris. Peralihan hak milik hanya dapat
berlaku menurut harta itu dimiliki bendanya dan miliknya pula jasa atau mamfaatnya.
26
Bila seseorang hanya memiliki mamfaat dari harta yang ada ditangannya dan tidak memiliki benda atau zat harta itu maka harus itu
tidak dinamakan hak milik pribadinya. Dalam hal ini barang yang disewa, barang yang dipinjam,barang titipan dan lain-lain yang bendanya
masih merupakan hak milik asal, bukan milik penuh dari yang menyewa, atau yang meminjam atau yang menerima titipan. Termasuk ke dalam hal
ini harta pusaka yang terdapat di lingkungan adat Minangkabau.Harta pusaka dalam pengertian adat Minangkabau adalah harta kaum yang
digarap oleh anggota kaum sebagai hak pakai dan bukan hak milik. Sebagai bukti bukan hak milik dari anggota kaum yang menggarap ialah
si penggarap tidak dapat menjual harta yang ada ditangannya itu. Si penggarap hanya berhak memamfaatkan hasil dari tanah pusaka yang
25
Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basriutama 2001, h. 42.
26
Sayuti Thalib, “ Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Sinar Grafika 2008, h. 92.
19
digarapnya tetapi tidak berwenang untuk mengalihkan kepada orang lain, termasuk diwariskan kepada anaknya.
27
Begitu pula sebaliknya, bila seseorang hanya memiliki zat atau bendanya saja dan tidak memiliki mamfaatnya seperti harta yang masih
dalam konrak sewa atau menjadi jaminan suatu utang. Harta itu baru dapat menjadi harta miliknya secara penuh untuk dapat diwariskan bila
telah berakhir kontrak atas mamfaat harta tersebut.Bila harta tersebut bukan hak milik secara penuh bagi seseorang, maka harta itu tidak
memenuhi syarat untuk menjadi harta warisan.
28
Harta yang tercampur di dalamnya hak orang lain, baik sedikit atau banyak, menjadikan harta itu tidak sepenuhnya menjadi milik
seseorang.Harta itu belum semuanya dapat dikatakan harta warisan sebelum dibesihkan dari campuran hak orang lain itu. Dalam hal ini
hukum Islam menentukan milik pribadi supaya jangan sampai seseorang muslim memakan hak orang lain secara tidak sah, sesuai dengan firman
Allah dalam Q.S.al-Baqarah 2: 188 yang artinya:”Janganlah kamu memakan harta diantaramu secara tidak sah”.
Ahli waris terdiri dari 5 lima pihak, yaitu janda, ibu, bapak, anak laki-laki, dan ana perempuan. Keberdaan salah satu pihak tidak
menjadi penghalang bagi pihak untuk menerima waris.Dengan kata lain,
27
Muhibbun dan Abdul Wahid “ Hukum Kewarisan Islam” Jakarta: Sinar Grafika 2011, h. 24.
28
Otje Salaman dan Mustafa haffas, Hukum Waris Islam, Jakarta,: Refika Aditama 2006 ,h.50.
20
mereka secara bersama akan menerima waris dengan bagian yang telah ditentukan.
29
Janda. ibu, dan anak perempuan menerima waris dengan bagian yang pasti, anak laki-laki menerima waris waris dengan bagian yang
tidak pasti sisa dan bapak menerima waris dengan bagian yang pasti dan atau tidak pasti sisa.Oleh sebab itu, jika ada anak laki-laki dan
bapak maka dapat dipastikan bahwa tirkah akan habis dibagi di antara para ahli-waris utama dan para ahli-waris pengganti tidak akan menerima
bagian sedikit pun melalui cara waris. Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang jumlah ahli waris yang
termasuk dalam dzawil al-arham. Di antara para ulama fikih, ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka ada empat. Sementara itu, ada juga
yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada sepuluh atau sebelas orang. Namun, secara umum mereka termasuk dalam dhawi al- arham.
30
Para Ulama berbeda pendapat tentang warisan dhawi al- arham, karena tidak ada nash qath’i, yang memberikan kepastian, apakah mereka
dapat mewarisi atau tidak.Secara umum, ada dua mazhab atau pendapat mengenai hal tersebut. Berikut ini kedua mazhab yang dimaksud.
Menurut mazhab ini, dhawi al-arham tidak dapat memperoleh warisan sedikitpun.Ada pun ulama termasuk dalam mazhab ini, yang
mengungkapkan hal yang sama, adalah Zaid bin Tsabit,Ibnu Abbas, Said
29
Eman Suparman” Hukum Waris Indonesia” Jakarta: Refika Aditama 2005, h. 20.
30
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL- azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta, .Senayan Abadi Publising 2000.h. 342.
21
bin Musayyab, dan Said bin Jubair. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama Malikiyyah, Syafiiyyah
31
.Mereka mendasarkan pendapatnya pada dalil dan argumentasi sebagai berikut ini.
a. ‘Atha’ bin Yasir meriwayatkan bahwa pada suatu hari,Rasulullah
saw. Menunggang kuda ke Quba. Beliau memohon petunjuk kepada Allah tentang paman dan bibi dari pihak bapak dan ibu. Lalu
menurunkan wahyu yang menyatakan bagi mereka berdua tidak bisa mendapatkan warisan.
b. Persoalan waris-waris tidak boleh ditetapkan oleh seseoran, kecuali
ada nash atau ijma’ulama mengenai warisan dhawi al-arham.Allah swt. Telah menjelaskan dalam ayat-ayat waris tentang siapa saja
yang termasuk dalam ash-hubul firudh dan ashabah. Apabila dhawil al –arham mendapatkan bagian, tentu nash yang menerangkan hal
tersebut. c.
Persoalan ini dapat juga dilihat dengan qiyas al-jaly, yakni anak perempuan saudara kandung, yang ada bersama anak laki-laki
saudara kandung, tidak berhak mendapatkan apa pun, hanya anak laki-laki dari saudara kandung yang mendapatkan warisan. Apabila
anak perempuan dari saudara kandung itu tidak bisa mewarisi- walaupun anak laki-laki yang sederajat dan sama kuat dengannya-
bibi dari pihak bapak, yang ada bersama paman dari pihak bapak,
31
Ali Parman” Kewarisan Dalam Al-Qur’an” Jakarta: Raja Grafindo Persada 1995,h.92.
22
juga tidak dapat menerima warisan. Terlebih lagi jika bibi hanya seorang diri,tidak bersama paman.
Mazhab kedua, menurut mazhab ini, dhawil al-arham dapat mewarisi jika tidak ada ash- habul fufudh dan ashabah.
32
Adapun para ulama yang termasuk dalam mazhab ini adalah Umar ibnul Khattab r.a, Abdullah ibnu Abbas r.a, Mu’adz bin Jabal
generasi sesudah sahabat, juga mengatakan hal yang sama. Mereka dari kalangan tabiin itu antara lain: Syuraih, Ibnu Sirin,” Atha, Mujahid,
Alqamah,an- Naksa”i dan Hasan.
33
Mazhab kedua ini juga didukung oleh kalangan Hanafiyah, Hanabilah, Zaidiyah,Ibnu Abi Laila, dan Ishaq bin Rahawaih.Pendapat
ini juga di pegang oleh al-Mazani dan Ibnu Suraij berikutnya juga mengatakan hal ini pada permulaan abad ke-3 H, dan ulama Fikih
Syafi’iyyah pun mengatakannya pada akhir abad ke-4 H, ketika kerusakan sudah mengakar di baitulmal
Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama dalam mazhab ini adalah sebagai berikut.
a. Firman Allah swt,,” dan orang-orang yang mempunyai hubungan
darah satu sama lain lebih berhak waris-mewarisi di dalam kitab Allah…”Al-ahzab33 : 6. Ayat ini menjadi dalil bahwa Allah swt,
memberikan keutamaan untuk mewarisi bagi dhawil al-arham.
32
Komite Fakultas Syari’ah Universitas AL-Azhar” Hukum Waris” Jakarta: Senayan Abadi Publishing 2004,h. 50.
33
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy: Fiqh Mawaris,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2001.
23
Mereka adalah kerabat secara umum. Sedangkan orang yang paling dekat hubungannya adalah ash-habul furudh dan “ashabah, dimana
bagian untuk mereka masing-masing telah dijelaskan dan ditetapkan oleh nash.Jika salah satu dari kerabat terdeka itu tidak ada, kerabat
yang diutamakan adalah kerabat yang masih mempunyai hubungan rahim, sekali pun nasabnya. Sebab, berdasarkan ayat di atas, mereka
masih dipandang sebagai kerabat yang berhak mendapatkan warisan, jika tidak ada ahli waris lain.
b. Firman Allah swt…..”bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya….”an-
Nisa:7 c.
.Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah kerabat yang berhak mendapatkan warisan berdasarkan lafal umum ayat di atas, sekalipun
mereka bukan ash-habul furudh dan ashabah. d.
Para ulama dalam mazhab ini juga berargumentasi dengan hadist Nabi saw., yang diriwayatkan oleh Miqdam bin Ma’dikarib.
Rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka hartanya itu untuk ahli warisnya. Aku bisa mengikat dan
mewarisi. Paman dari pihak ibu adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Dia bisa mengikat dan mewarisi.
Abu Umamah Ibnu Sahl meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang memanah laki-laki yang lain dan menewaskannya. Ia
24
tidak mempunyai ahli waris ataupun paman dari pihak ibu. Oleh karna itu, Abu Ubaidillah bin Jarrah menulis surat kepada Umar r.a.
Dalam surat yag tidak balasan itu Umer menuliskan bahwa Nabi saw ,”pernah bersabda,”Allah dan Rasul-Nya adalah ahli waris bagi
mereka yang tidak mempunyai ahli waris,” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah
saw.menjanjikan warisan anak al-mula’anah anak durhaka untuk ahli waris ibunya.Mereka itulah yang termasuk dhawil al-arham.
Rasulullah saw, juga pernah memberikan warisan tsabit bin Dahdah untuk anak saudara perempuan nya yang bernama Abu Lubabah bin
Mundhir. Diriwayatkan bahwa ketika Tsabit bin Dahdah wafat, Nabi saw.bersabda,”Apakah kalian mengetahui bahwa dia mempunyai
hubungan nasab atau kerabat?” Qais bin “Ashim bin “ Ady berkata,”Dia adalah orang asing dan kami tidak mengenal
kerabatnya yang lain, kecuali anak saudara perempuannya yang bernama Abu Lubadah bin Munzhir.”Rasulullah saw, lalu
memanggil Abu Labadah bin Munzhir dan membetikan kepadanya harta warisan dan betermasuk kerabat”.bersabda,”Anak saudara
perempuan termasuk kerabat”. e.
Para ulama yang termasuk dalam mazhab kedua ini berdalih dengan logika: Apabila dhawil al-arham tidak mewarisi dar kerabat mereka
yang tidak mempunyai ahli waris ash-habul furudh dan ashabah, pastilah seluruh harta si mayit diserahkan ke baitulmal kaum
25
muslimin Dalam persoalan ini, kita mendapati keduanya - baitulmal dan kerabat dekat- mempunyai ikatan yang sama, yaitu yang ikatan
agama.Sementara itu, selain ikatan agama, dhawi al-arham juga mempunyai ikatan lain, yakni hubungan kekerabatan yang harus
didahulukan. Oleh karna itu, harta waris diberikan kepada dhawil al–arham, jika tidak ada ahli waris yang lebih utama dari mereka.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Faraid dan Kompilasi Hukum Kompilasi Hukum Islam ini meskipun oleh banyak pihak tidak
diakui sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksana di peradilan-peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai
pedoman dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan telah menjadi buku hukum lembaga
peradilan agama
34
. Kalau dulu hukum kewarisan itu berada dalam kitab- kitab fiqih yang tersusun dalam bentuk buku ajaran, maka saat ini,
kompilasi tersebut telah tertuang dalam format perundangan- undangan.Hal ini dilakukan untuk mempermudah hakim di Pengadilan
Agama dalam merujuknya.
35
Apakah dengan demikian hukum kewarisan dari fikih mawaris atau faraid telah digantikan oleh Kompilasi Hukum Islam? Suatu hal
34
Muhammad Amin Suma” Keadilan Hukum Waris Islam” Jakarta: Raja Grafindo Persada2013, h. 102.
35
Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010, h. 156.
26
yang dapat dipastikan ialah bahwa hukum kewarisan islam selama ini yang bernama fikih mawaris atau faraid itu dijadikan salah satu bahkan
sumber utama dari Kompilasi. Sumber lainnya adalah hukum perundang- undangan tentang kewarisan yang terdapat pada BW yang sampai waktu
itu masih berlaku, dan kenyataan yang berlaku di tengah masyarakat yang tertuang dalam Yurisprudensi Pengadilan Agama.
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sekedar perbandingan
antara fikih faraid menurut apa adanya dengan Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat dilihat dalam gambaran berikut:
Pasal 171 tentang Ketentuan Umum. Anak pasal a. menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab
fikih dengan rumusan yang berbeda. Anak Pasal b. membicarakan tentang pewaris dengan syarat beragama Islam dan anak pasal c.
membicarakan tentang ahli waris yang di samping mensyaratkan adanya hubungan kekerabatan dengan pewaris juga harus beragama Islam
36
. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Anak pasal d dan e. Juga tidak berbeda dengan fikih.Anak angkat dan baitul mall telah disinggung sebelum ini. Dengan
demikian keseluruhan pasal ini sejalan dengan fikih.
36
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, : Akademik Pressindo 2010, h.155.
27
Pasal 172 yang membicarakan identitas ke-Islam-an seseorang hanya hal yang bersifat administratif, walaupun tidak disinggung dalam
fikih, dengan rumusan: Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
37
, dihukum karena: a.
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dinyatakannya pembunuhan sebagai penghalang kewarisan dalam anak pasal a. telah sejalan dengan fikih. Namun dijadikannya
percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan, jelas tidak sejalan dengan fikih mazhab mana pun. Dalam fikih
hanya pembunuhan yang menyebabkan kematian yang dijadikan penghalang kewarisan, itu pun pembunuhan sengaja, sedangkan yang
tidak disengaja masih merupakan perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
38
Fikih beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al-qur’an dan
tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti Hadist Nabi. dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan atau
penganiayaan, apalagi memfitnah meskipun ini merupakan kejahatan
37
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta: Akademika Pressindo 2010.h. 156.
38
Muhammad Abu Zuhrah” Hukum Waris” Jakarta: Lentera Basritama 2001, h. 90.
28
namun tidak dapat menghilangkan hak yang pasti, apalagi bila pewaris sebelum meninggal telah memberikan maaf. Oleh karena itu, pasal ini
masih perlu diperkatakan.
39
Pasal 174 tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan, telah sejalan dengan fikih faraid sebagaimana diuraikan
dalam Bab IV.
40
Pasal 175 tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikan harta tersebut kepada ahli waris terhadap harta tersebut kepada
ahli waris telah sejalan dengan fikih mawaris, sebagaimana diuraikan dalam Bab IV.
Pasal 176 tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Qur’an dan
rumusannya dalam fikih faraid. Pasal 177 tentang bagian ayah dirumuskan sebagai berikut:
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ia meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian.
Walaupun rumusan pasal ini konon telah mengalami perubahan tetapi tidak mengubah secara substansial. Bahwa ayah menerima
seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan dengan al- Qur’an, maupun rumusannya dalam fikih. tetapi
menetapkan ayah menerima bagian baca furudh sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, tidak terdapat dalam al- Qur’an, tidak tersebut
39
Habiburrahman” Rekonruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia” Jakarta: Kementrian Agama RI, h. 85.
40
Abdurrahman “ Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” h.151.
29
dalam kitab fikih mana pun, termasuk Syi’ah. Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh. Itu dalam kasus tertentu seperti
bersama dengan ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga harta, sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlu
Sunnah. Namun bukan bagian sepertiga untuk ayah yang disebutkan dalam kompilasi. Kalau al-Qur’an dan fikih yang dijadikan ukuran, pasal
ini jelas salah secara substansial. Pasal 178 tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan
pasal 179-180 tentang tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya telah sesuai dengan al-Qur’an dan rumusannya dalam
fikih, sebagaimana dijelaskan sebelum ini.
41
Pasal 181 tentang bagian seibu dan pasal 182 tentang bagian saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya telah sejalan
dengan al- Qur’an dan rumusannya dalam fikih sebagaimana diuraikan di atas.
Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk namun atas dasar kerelaan
bersama, memang dalam dalam kitab-kitab fikih pada umumnya tidak dijelaskan dalam waktu membahas kewarisan. Meskipun secara formal
menyalahi ketentuan fikih, namun dapat diterima dengan menggunakan pendekatan takharuj yang dibenarkan dalam mazhab Hanafi.
41
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia” Jakarta Akademika Persindo 2010, h.158
30
Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk mengurus hak warisannya. Meskipun tidak dinyatakan
dalam kitab-kitab fikih faraid, namun karena telah sejalan dengan kehendak al-Qur’an surah al-Nisa ayat’5, pasal ini dapat diterima:
a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut pada pasal 173.
b. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Pasal ini memerlukan perhatian:
Anak pasal 1 secara tersurat mengakui ahli waris pengganti, yang merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Baru karena di
Timur Tengah- pun belum ada Negara yang mengakukan hal seperti itu, sehingga mereka perlu merampungkannya dalam lembaga wasiat
wajibah. Ini suatu kemajuan. Adalah bijaksana anak pasal ini menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperatif.
Hal ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun
dalam keadaan tertentu bila keadaan menghendaki, tidak diberlakukan adanya ahli waris pengganti. penjelasan tentang ini telah diuraikan
sebelumnya pada IV-C.
42
42
Abdurrahman” Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia”h. 80.
31
Anak pasal secara tersirat mengakui hak kewarisan cucu melalui anak perempuan yang terbaca dari rumusan “ahli waris yang meninggal
lebih dahulu” yang digantikan anaknya itu mungkin laki-laki dan mungkin pula perempuan. Ketentuan ini menghilangkan sifat
diskriminatif yang ada pada hukum kewarisan ulama Ahlu Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan budaya Indonesia yang kebanyakan
menganut kekeluargaan parental dan lebih cocok lagi dengan Adat Minangkabau yang justru menggunakan nama” cucuuntuk anak dari
anak perempuan tersebut. Anak pasal 2 menghilangkan kejanggalan penerima adanya ahl
waris pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system Barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak
perempuan. Pasal 186 tentang kewarisan anak yang lahir di luar nikah telah
sesuai dengan kewarisan anak zina dalam fikih yang menempatkan hanya menjadi ahli waris bagi ibunya dan orang yang berkerabat dengan ibu itu,
sebagaimana diuraikan sebelumnya IV-CPasal 187 tentang pelaksana pembagian warisan, pasal 188 berkenaan dengan pengajuan permintaan
untuk pembagian harta warisan dan pasal 189 berkenaan dengan pewaris tanah pertanian, walaupun tidak diatur dalam fikih, namun karena hal-hal
ini hanya menyangkut masalah administratif dan sesuai dengan prinsip maslahat, pasal-pasal ini dapat diterima.
32
Pasal 190 tentang hak istri atas bagian gono-gini secara tidak menyangkut hak kewarisan dan kewarisan dan dalam kedudukan
sebagian yang menjadi pewaris, tidak menyalahi ketentuan fikih dan diuraikan terdahulu.IV-d.
Pasal 191 tentang pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris atau ahli warisnya tidak diketahui keadaannya diatur dalam fikih faraid.
Tentang ahli waris yang tidak memiliki keturunan telah diuraikan sebelumnya pada masalah sisa harta III-d, sedangkan ahli waris yang
tidak diketahui keberadaannya dijelaskan fikih pada kewarisan mafqud yang telah disebutkan sebelum ini.IV-d.
Pasal 192 tentang penyelesaian secara” aul dan pasal 193 tentang penyelesaian secara radd secara panjang lebar dibicarakan dalam fikih
dan diuraikan panjang lebar dalam tulisan ini. III-d dan IV-d. Dari uraian pasal demi pasal yang berkenaan dengan ketentuan
kewarisan dapat dikatakan bahwa pada umumnya pasal-pasal kewarisan dari Kompilasi Hukum Islam, kecuali beberapa hal krusial seperti
dijelaskan di atas, meskipun mungkin di sana-sini ada perbedaan dengan kitab fikih, dapat ditempatkan sebagai Hukum Kewarisan Islam dalam
bentuknya yang baru. Sedangkan beberapa poin krusial tetap dikembangkan dalam wacana.
Adapun pasal-pasal berikutnya yaitu 194 sampai dengan pasal 209 tentang wasiat dan pasal-pasal 210 sampai dengan 214 tentang hibah,
memang berada di luar wilayah kewarisan. Namun tidak salahnya
33
dianggap menumpang dalam buku II tentang kewarisan, karena adanya titik kesamaan yaitu peralihan hak milik dari seseorang kepada orang
lain.