BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengenalan jenis kopi Robusta pada masa awal abad XX menjurus ke arah suatu kebangkitan kembali nasib-nasib industri. Jenis yang baru ini tahan penyakit,
keras dan memberi hasil yang tinggi. Walaupun kopi ini memperoleh harga yang lebih rendah daripada kopi Arabica, namun pertumbuhan permintaan dunia
menuntut adanya pasar yang cukup kuat. Tetapi hanya sampai tahun 1925-1929, ketika produksi rata-rata sebesar 114.000 ton per tahun 75 diantaranya
diekspor, puncak abad XIX dilampaui. Selama periode ini struktur industri yang sekarang ada muncul. Untuk pertama kali pada abad XX, produksi petani rakyat
melampaui produksi perkebunan, dan hasil dari Sumatera melebihi hasil dari Jawa. Untuk selanjutnya, mesin penggerak industri kopi di Indonesia adalah
petani rakyat dari Sumatera Spillane,1990:44. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering
dibudidayakan hanya kopi arabika, robusta dan liberika. Penggolongan kopi tersebut umumnya didasarkan pada spesiesnya, kecuali kopi robusta. Kopi robusta
bukan merupakan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi, terutama Coffea
canephora Najiyati dan Danarti, 1990:15.
Dari segi produksi yang paling menonjol dalam kualitas dan kuantitas adalah jenis Arabika, andilnya dalam pasokan dunia tak kurang dari 70. Jenis Robusta yang
Universitas Sumatera Utara
mutunya dibawah Arabika, mengambil bagian 24 produksi dunia, sedangkan Liberika dan Excelsa masing-masing 3. Arabika dianggap lebih baik daripada
Robusta karena rasanya lebih enak dengan jumlah kafein yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan kopi Arabika lebih mahal dari kopi Robusta Spillane,1990: 11.
Pengembangan kopi Arabika di Indonesia diharapkan dapat mencapai 30 dari total ekspor nasional, atau ekivalen dengan
± 150.000 ton per tahun. Pada saat ini ekspor kopi Arabika dari Indonesia baru mencapai sekitar 30.000 ton per tahun,
sehingga defisit terhadap target nasional sekitar 120.000 ton per tahun. Dengan asumsi produktivitas kopi Arabika sekitar 750 kgha, maka peluang perluasan
kopi Arabika di Indonesia mencapai 180.000 Ha. Anonymous, 2009 Komoditas kopi merupakan ekspor Indonesia non migas yang memberikan
kontribusi dalam peningkatan devisa Negara. Pada tahun 2007, ekspor non migas meningkat sebesar 15,5 dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 4,3, sektor
manufaktur 82,6, dan sektor pertambangan sebesar 13,1. Ekspor pertanian dan pertambangan tumbuh sebesar 17,0 dan 7,8 Bab 16, Peningkatan Investasi
dan Ekspor Non Migas 2008:II. 16-3 Pada saat ini tanaman kopi Robusta di Indonesia lebih dari 95, sedang
selebihnya adalah kopi Arabika dan jenis lain. Meskipun kopi Robusta ini semula ditanam dan diusahakan oleh perkebunan besar, namun dalam perkembangannya
tanaman ini telah banyak menjadi tanaman rakyat atau pertanian rakyat AAK, 2009:20.
Kopi Arabika di Indonesia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan negara- negara lain. Hanya Indonesia satu-satunya negara pengekspor kopi yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
lima jenis kopi Arabika, yang tersebar di lima wilayah yakni Toraja Sulawasi Selatan, Bali, Jawa, Sumatera Utara Mandailing, dan Aceh Anonymous,2009
Selama 30 tahun terakhir, areal tanaman kopi di Indonesia telah meningkat tiga kali lipat. Perluasan ini diakibatkan oleh perubahan perkebunan besar menjadi
perkebunan rakyat. Dimana pada saat pengalihan perkebunan besar menjadi perkebunan rakyat, diikuti juga dengan penggantian komoditas pertanian yang
ditanam. Dan tanaman kopi merupakan salah satu tanaman yang banyak ditanam di perkebunan rakyat menggantikan tanaman sebelumnya AAK,2009: 21.
Tabel 1. Produksi Kopi dan Luas Lahan yang Digunakan di Provinsi NAD
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2006-2008 dan Peluang Investasi Bahan Galian Energi di Provinsi NAD
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa Provinsi NAD merupakan salah satu penghasil kopi terutama di Kabupaten Aceh Tengah Dan Kabupaten Bener Meriah.
No Kabupaten
Luas Lahan yang Digunakan Ha
Produksi
1 Aceh Barat
533 181 ton
2 Bener Meriah
39.490 12.840 ton
3 Aceh Selatan
1.590 504 ton
4 Aceh Besar
1.466 760 ton
5 Aceh Jaya
1.326 300 ton
6 Aceh Singkil
1.322 49 ton
7 Aceh Tamiang
105 14 ton
8 Aceh Tengah
46.493 22.757 ton
9 Aceh Tenggara
316 45 ton
10 Aceh Timur
281 60 ton
11 Aceh Utara
975 243 ton
12 Bireuen
724 461 ton
13 Aceh Barat Daya
560 225 ton
14 Gayolues
2.489 815 ton
15 Naganraya
1.360 565 ton
16 Pidie
9.522 2048 ton
17 Simeulue
158 13 ton
Universitas Sumatera Utara
Tanaman kopi dapat dijumpai dengan mudah di hampir semua kecamatan di kabupaten Bener Meriah. Tanaman kopi yang ada di kabupaten Bener Meriah
terdapat di hamparan kebun yang dimiliki oleh penduduk, bukan di kebun kopi yang diusahakan oleh perusahaan besar. Di antara tujuh kecamatan di Bener
Meriah, daerah selatan menghasilkan lebih banyak kopi yaitu kecamatan Bandar, Bukit, dan Timang Gajah.
Tabel 2. Sektor Perkebunan Unggulan dan Jumlah Produksi Komoditi Perkebunan di Kabupaten Bener Meriah tahun 2006
No Sektor Komoditi
Unggulan Tidak
Produksi Tahun Terakhir 2006
1 Primer-Perkebunan: Kelapa Sawit
Unggulan 79 ton
2 Primer-Perkebunan: Kakao
Unggulan 45 ton
3 Primer-Perkebunan: Tebu
Unggulan 1,122 ton
4 Primer-Perkebunan: Kopi
Unggulan 12,840 ton
5 Primer-Perkebunan: Kelapa
Unggulan 8 ton
6 Primer-Perkebunan: Lada
Unggulan 100 ton
7 Primer-Perkebunan: Nilam
Non Unggulan 8 ton
8 Primer-Perkebunan: Tembakau
Non Unggulan 44 ton
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2006-2008
Dari Tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa sektor perkebunan unggulan yang paling tinggi produksinya di kabupaten Bener Meriah adalah tanaman kopi yaitu sebesar
12,840 ton yang kemudian diikuti tanaman tebu sebesar 1.122 ton, lada, kelapa sawit dan lainnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Tabel 1. dan Tabel 2. yang menunjukkan bahwa kopi merupakan salah satu sektor perkebunan unggulan baik di Provinsi
NAD secara umum dan Kabupaten Bener Meriah secara khusus, maka penulis ingin mengetahui pengaruh dari tingginya produksi kopi terhadap pendapatan
petani dan kondisi sosial ekonomi petani di Kabupaten Bener Meriah.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Identifikasi Masalah