Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

3 Sejarah mengungkap bahwa agamalah yang dipilih manusia religius sebagai jalan hidup yang mapan untuk merealisasikan kebahagiaan dunia sekaligus akhirat. Agama tumbuh dari usaha mencari kehidupan yang mengekspresikan dirinya dalam tingkat yang rendah, mencari makan dan bertempat tinggal, atau dalam tingkat yang lebih tinggi, mencari nilai sosial, intelektual, dan spiritual. 7 Agama juga yang menjawab penderitaan eksistensial lahir dan batin dari ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan yang dialami manusia sepanjang sejarahnya. 8 Meski begitu, manusia nonreligius justru lebih mempercayakan pada negara sebagai institusi pemerintahan rasional yang dapat membawa manusia ke kondisi yang lebih baik secara individual ataupun sosial saat ini dan di sini, meski beberapa di antara manusia religius juga berpendapat serupa. Negara terbentuk untuk memudahkan rakyat mencapai tujuan bersama salah satunya kesejahteraan. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut konstitusi. Konstitusi ini merupakan dokumen hukum tertinggi karena ia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Negara seperti inilah yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai institusi pemerintahan yang berdasarkan pada politik rasional. 9 Dengan penjelasan di atas tersebut dapat ditarik benang merah bahwa baik jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama sebagai institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia untuk merealisasikan tujuannya, yakni kebahagiaan, baik di dunia ataupun di akhirat. 7 Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi Jakarta: Bulan Bintang, 1984, h. 415. 8 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, cet. XVI Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 31-32. 9 A.Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, h. 94-95. 4 “Sekali lagi, itu semua bukanlah suatu teori saja, melainkan kesimpulan empiris, yang tidak ditarik dari dalil spekulatif, tetapi dari pengalaman eksistensial manusia dari zaman ke zaman hingga sekarang ini. Dengan kata lain, berdasarkan fakta-fakta konkret yang digumuli oleh setiap manusia yang hidup dan yang pernah hidup di dunia kita ini. Upaya apa yang telah dilakukan manusia untuk merebut dua jenis kebahagiaan itu. Berdasarkan pengalaman sekarang dan catatan sejarah, manusia melakukan dua jenis usaha raksasa, yaitu usaha religius dan usaha nonreligius.” 10 Meski demikian, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi penyimpangan sehingga cita-cita dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Banyak jiwa yang tersesat dan menyesatkan yang lain dengan mengobarkan kebencian dan permusuhan kepada sesama manusia karena keberadaannya sebagai penyejuk kehidupan sudah tidak lagi disadari. Selain itu, akal yang nakal dengan mengklaim dirinya sebagai tuhan dan melegitimasi aksi kekerasan dengan sewenang- wenang juga tak sedikit. Tidak heran jika orang yang mengidap sakit jiwa dan hilang akal semakin mengakar dan menular. Di Indonesia, kekerasan bahkan dilakukan lebih dari semestinya. Aksi kriminal atau kejahatan yang tidak pernah absen dari pemberitaan media cetak maupun elektronik sering berujung pada penghilangan nyawa manusia yang paling berharga. Perampok yang beralasan bahwa aksinya demi sesuap nasi sebetulnya tidak perlu memerkosa dan membunuh. Anehnya lagi, fenomena sakit jiwa ini juga dilakoni orang yang berpendidikan. 11 Tidak sedikit juga dari orang yang dianggap mapan status sosialnya malah kehilangan akal dan rasionalitasnya lantaran hanya ingin menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Mereka biasanya melakukan cara-cara instan untuk meraih apa yang 10 D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 32. 11 “Tawuran Antarpelajar SMK, Satu Siswa Tewas,” Seputar Indonesia, 18 November 2008, h. 27. 5 diinginkan, yakni korupsi. Kita dapat membayangkan berapa ribu jiwa manusia yang akan menjadi korban pembodohan, pelaparan, dan pemiskinan akibat prilaku gila ini. Suguhan berita aksi teror dan pengeboman yang mengakibatkan banyak nyawa hilang dan lingkungan kita luluh lantak di dalam dan luar negeri juga tidak luput dari pengetahuan kita. Kualitas dan kuantitasnya bahkan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Banyak motif memang di balik aksi peledakan bom ini, tapi yang kita saksikan lebih parah dari yang kita duga. Tidak sedikit dari pelaku terkadang mengatasnamakan agama, yang kita pikir sebagai pembawa bahagia, bukan luka atau duka. Menurut data International Terrorism and Political Violence, di berbagai negara pada tahun 1998 terjadi 51 kali peledakan bom menewaskan 516, tahun 1999 sebanyak 21 kali menewaskan 334 orang, dan tahun 2000 sebanyak 49 kali menewaskan 273 orang . 12 Catatan sejarah mengenai kekejaman negara juga tidak luput dari ingatan kita. Banyak contoh soal ini di antaranya pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang dilakukan Jerman di bawah kepemimpinan Hitler, invasi Amerika yang dikepalai George Walker Bush ke Irak hingga terkoyak, dan penyerangan brutal Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina akhir-akhir ini. Di Indonesia sendiri, saat Orde Baru berkuasa, praktik genosida merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pelenyapan dengan kekerasan terhadap satu entitas politik yang berhaluan kiri dijadikan alat politik ampuh oleh pemerintahan Orde Baru. Sungai Brantas-Jawa Timur mungkin menjadi saksi 12 Idam Wasiadi, “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,” KOMPAS, 14 September 2001. 6 bisu penjejalan ribuan jenazah dan jutaan orang yang menjadi korban kekerasan karena keyakinan politiknya. Peristiwa Marsinah, Kedung Ombo, Haur Koneng, Aceh, Irian, Tanjung Priok, Tragedi Semanggi dan Trisakti, serta sederet kasus-kasus yang lain juga menjadi monumen kekerasan dan kejahatan politik alat-alat negara yang dipimpin Soeharto. Di sebuah dunia yang sudah tertata dan terjejaringkan secara global seperti sekarang ini, ada seribu alasan memang ketika kekerasan-kekerasan tersebut terjadi salah satunya ideologi. Walaupun sedikit abstrak, ideologi telah terbukti memberikan sumbangan signifikan bagi merebaknya problem sosial- politik hingga pada tingkat malapetaka dan bencana kemanusiaan seperti genosida dan holocaust seperti yang dipaparkan Dr. Helen Fein––direktur eksekutif sebuah lembaga studi genosida di Kennedy School of Government Harvard University––dalam sebuah artikelnya di Microsoft Encarta Encyclopedia 2003. Dia menunjukkan dengan bernas kaitan erat antara ideologi dan genosida. 13 Kekerasan-kekerasan tersebut terjadi di antaranya karena agama dipahami sebagai ideologi politik kelompok tertentu dan negara dihegemoni oleh satu ideologi tertentu. 14 Misalnya, Islam bagi beberapa kelompok tertentu tidak lagi dipahami dan dihayati sebagai ajaran moral yang mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, tapi lebih sebagai manifesto untuk capaian-capaian politik tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dibanding jalan hidup bersama sehingga kekerasan menjadi konsekuensi logis 13 Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya Yogyakarta: Qalam, 2004, h. XV-XVII. 14 Francis Fukuyama dan Nadav Samin, “Fasisme, Marxisme, dan Fundamentalisme Islam,” dalam Ahmad Norma Permata, ed., Agama dan Terorisme Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005, h. 1-4. 7 yang wajib dilakukan agar tujuan tercapai. Selain itu, negara juga akan berpotensi besar melakukan kekerasan jika didominasi oleh satu ideologi tertentu seperti yang terjadi pada negara Jerman saat dikuasai oleh ideologi fasis yang berbaju Nationalsozialismus Nazi pimpinan Adolf Hitler atau Indonesia ketika dipimpin oleh Soeharto dengan ideologi pembangunannya. Dengan demikian, ideologi yang secara disadari ataupun tidak memberikan legitimasi terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni sedemikian rupa dalam setiap relung kehidupan, meminjam istilah Antonio Gramsci mengenai teori hegemoninya, perlu mendapatkan negasinya atau kontrahegemoni agar dominasi ideologi kekerasan tidak perlu terjadi atau minimal tidak berkelanjutan. Ada banyak model ideologi memang yang bisa dijadikan sebagai kontrahegemoni itu salah satunya ideologi antikekerasan atau ideologi yang dapat melelehkan kekerasan––bukan melawan, meluluhkan, dan menaklukkan kekerasan. 15 Sebuah ideologi yang dapat mentransformasikan nilai-nilai perdamaian pada realitas keseharian dengan cara-cara yang adil dan antikekerasan. Seperti halnya banyak ideologi yang menyimpang dan melahirkan kekerasan, ternyata tidak sedikit juga ajaran dan tokoh yang teguh mengajarkan perdamaian dan antikekerasan. Agama-agama dunia, baik yang kecil maupun yang besar, sejatinya lahir membawa kebenaran untuk menciptakan perdamaian dunia. Setiap tokoh besar maupun kecil dunia yang membawa perubahan bagi kemaslahatan semua manusia dan muncul di setiap 15 Anand Krishna, “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22 November 2008 dari http:www.akcbali.org 8 zaman juga sebenarnya mengabarkan cara bagaimana kita memanusiakan diri kita. Di abad modern yang diwarnai dua perang dunia besar, kita mengenal Mahatma Gandhi sebagai sosok yang paling representatif dalam mengabarkan dan mempraktikkan antikekerasan ahimsa dan perdamaian dunia. 16 Ada banyak kearifan dan kebijaksanaan yang bisa diambil dari eksperimen- eksperimen yang dilakoni Gandhi dengan kebenaran. Keberhasilannya sebagai seorang pemimpin besar tak terlepas dari keteguhan dan ketangguhannya memegang prinsip-prinsip kebenaran satyagraha serta keterpaduan antara kata dan perbuatannya. Memberi teladan nyata adalah bagian dari perjuangan Gandhi. Nilai-nilai gerakan humanis benar-benar dipraktikkannya di tengah- tengah kemodernan zaman yang perlahan-lahan membelenggu eksistensi manusia. Gandhi juga sangat fanatik melaksanakan pola hidup sederhana seperti mencintai produksi dalam negeri swadesi, bahkan ia yang menenun kain yang digunakannya.

B. Tinjauan Pustaka

Meski demikian, paparan yang akan dilakukan penulis mengenai pemikiran Ganhdi ini tidak bisa dipisahkan dari jasa para penulis sebelumnya yang terlebih dahulu mengulas pemikirannya melalui berbagai tulisan di antaranya Stanley Wolpert, Thomas Merton, dan I Ketut Wisarja. Stanley Wolpert adalah seorang sejarawan yang terkenal dengan kekuatan analisis dan narasinya. Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa 16 Hagen Berndt, Agama yang Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi Yogyakarta: Kanisius, 2006, h. 78. 9 Indoneisa berjudul Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya, Stanley menampilkan Gandhi sebagai manusia biasa, bukan setengah dewa seperti yang digambarkan oleh murid-muridnya. Stanley juga memberikan representasi semangat kepribadian Gandhi sejak masa kecil hingga kematiannya serta kerumitan personalitas yang mengiringi tindakannya yang melahirkan kemerdekaan India. Sementara Thomas Merton, dengan bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Gandhi tentang Pantang Kekerasan, mengumpulkan petikan-petikan tulisan Gandhi dalam Non-Violence In Peace and War khusus mengenai falsafah perjuangan pantang kekerasan. Sedangkan I Ketut Wisarja, dengan bukunya berjudul Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, melakukan penelitian tentang konsepsi masyarakat menurut Gandhi. Bangunan dasar masyarakat ini adalah masyarakat tanpa kekerasan yang mengamalkan prinsip-prinsip etik yang diterapkan dalam komunitas yang dinamai Gandhi sebagai ashram. Namun, ulasan yang akan dilakukan penulis di sini tentunya berbeda dengan para penulis tersebut karena objek kajian di sini merupakan konsepsi ideologi antikekerasan menurut Ganhdi.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Kajian mengenai kekerasan dan antitesisnya dipandang perlu agar tergambar secara menyeluruh meskipun penulisan di sini hanya akan membatasi dan memfokuskan pada kajian tentang antikekerasan Gandhi dari sudut pandang ideologi. Lantaran konsep ideologi antikekerasan Gandhi akan tergambar dengan jelas jika kita sebelumnya dapat mengetahui definisi 10 ideologi, mengenal sosok Gandhi, dan memahami ajaran antikekerasan, kajian ini akan fokus pada paparan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang penulis rumuskan. Pertanyaan itu: Apakah ideologi? Siapakah Gandhi? Serta bagaimanakah antikekerasan yang diajarkan Gandhi?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Menampilkan sisi lain wajah ideologi yang selama ini dipandang negatif 2. Memperkenalkan wacana kekerasan dan antikekerasan 3. Mencoba merekonstruksi tujuan hidup manusia melalui kearifan Gandhi 4. Mengabarkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian 5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana S-1 Manfaat penelitian ini sebagai berikut: 1. Menjadi ideologi alternatif di tengah ideologi-ideologi besar yang kadang melegitimasi aksi kekerasan 2. Memberikan landasan logis bagi para pejuang perdamaian dan antikekerasan 3. Melahirkan gerakan sosial yang dapat melelehkan kekerasan

E. Metode Penelitian

Model analisis kualitatif sengaja dipilih dalam penulisan ini sebab model ini lebih bertumpu pada kajian kepustakaan library research dan terfokus pada tipe penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif yang dimaksud adalah bentuk penelitian yang memberi gambaran secermat