Jalan Hidup Dimensi Politis

91 Kita akan memungut hasil panen sesuai dengan apa yang kita tanam sebelumnya .” 70 Konsep ketakterpisahan antara jalan dan tujuan Gandhi ini jika kita cermati mirip dengan konsep ketakterpisahan antara pengetahuan dan kepentingan dalam tradisi pemikiran Yunani purba. Pemisahan antara pengetahuan dan kepentingan manusiawi yang terwujud dalam pemisahan teori dan praxis, sebagaimana dianut ilmu pengetahuan modern, tidak dikenal di dalam tradisi pemikiran Yunani purba. Sebaliknya, di dalam pemikiran kuno itu terjalin pertautan yang erat antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari. Pertautan semacam itu senantiasa mengacu pada cita-cita etis seperti kebaikan, kebijaksanaan, atau kehidupan sejati baik secara individual maupun sosial di dalam polis negara kota. Dengan teorilah manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat merealisasikan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, di dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan tidak dipindahkan dari kehidupan konkret. Pemahaman mengenai pengetahuan semacam itu tertuang secara padat dalam istilah bios theoretikos. 71 Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan dalam kebudayaan Yunani kuno. “Theoros” adalah seorang wakil yang dikirim oleh polis untuk keperluan ritus-ritus keagamaan. Di dalam perayaan- perayaan itu, orang ini melakukan “theorea” atau “memandang” ke arah peristiwa-peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ida 70 Ibid., h. 96. 71 Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jugen Habermas Yogyakarta: Buku Baik, 2004, h. 3-4. 92 berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi dari nafsu-nafsu rendah. Di dalam istilah Yunani pengalaman itu disebut katharsis: pembebasan diri dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya, teori memiliki kekuatan emansipatoris. Istilah ini juga tidak mengacu pada teori dalam pengertian modern yang merumuskan suatu pengetahuan demi pengetahuan ke dalam kategori-kategori abstrak yang terlepas dari kehidupan konkret. Bios theoretikos justru merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa pendapat dan dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Pemahaman kata teori semacam itu memperoleh kepadatan isinya bukan dalam pemisahannya dari tindakan, melainkan justru dalam fungsinya bagi kehidupan praktis manusia. Dalam pandangan Gandhi, jalan sebenarnya dapat disamakan dengan bibit tumbuhan, sedangkan tujuan adalah sebatang pohon yang rindang. Lantaran keterhubunganan antara jalan dan tujuan seperti keterhubungan antara bibit dan pohon, keterhubungan di antara keduanya tidak dapat diganggu gugat karena merupakan sifat alami dan cukup logis. Kelogisan itu ditegaskan Gandhi dengan mengatakan, jika ingin mengarungi samudra, dirinya dapat berbuat demikian hanya dengan cara naik kapal. Jika menggunakan kereta untuk mencapai tujuan tadi, Gandhi tentunya akan segera sampai di dasar laut . 72 72 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 96. 93 Gandhi menegaskan bahwa jalan sebagai suatu metode dan cara harus selalu berada dalam jangkauan manusia sehingga harus sesuai dengan kemampuannya dan bukan sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu, “seseorang yang bernafsu kuda, tapi berkemampuan keledai” tidak masuk dalam kategori manusia yang diidealkan Gandhi untuk mampu menerapkan ajaran ahimsa. Gandhi sangat optimistis manusia akan sampai pada kebenaran sejati secara cepat atau lambat jikalau menekuni cara-cara pelaksanaan ahimsa karena itulah tugas atau darma manusia. “Apabila sekali kita menyadari makna butir yang penting ini, kemenangan akhir tidak dapat diragukan lagi. Kesulitan apa pun akan kita hadapi, kemalangan apa pun akan kita alami, kita tidak akan mundur selangkah pun dalam upaya mencari kebenaran yang pada dasarnya adalah Tuhan.” 73 Gandhi sangat tidak percaya pada jalan pintas berupa kekerasan untuk mencapai keberhasilan dan tujuan. Dia mengakui rasa simpati serta kekagumannya begitu besar terhadap alasan-alasan pantas yang mendukung bahwa kekerasan layak dilakukan demi tegaknya keadilan dan perdamaian. Namun, Gandhi memang tetaplah seorang penentang tanpa kompromi metode kekerasan walaupun tujuannya yang paling mulia sekalipun. Keran itu, titik temu antara paham kekerasan dan paham antikekerasan Gandhi benar-benar memang tidak pernah akan ada. Untuk menerapkan ahimsa dalam kehidupan sehari-hari memang tidaklah mudah. Gandhi mengandaikan bahwa ahimsa sebagai jalan tidak ubahnya seperti orang yang berjalan pada seutas tali, yakni dibutuhkan pemusatan pikiran secara penuh agar dapat melintasinya. Demikian juga untuk menyadari 73 Ibid., h. 95. 94 kebenaran melalui ahimsa pun dibutuhkan upaya yang tidak henti-hentinya. Pengertian ahimsa sebagai suatu jalan berarti tidak mengenal kekerasan untuk mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran, ucapan, maupun tindakan. Sebaliknya, ahimsa harus dapat menciptakan suasana membangun, cinta, dan berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya, bahkan terhadap musuh sekalipun. Dengan demikian, keyakinan Gandhi yang begitu mendalam dan teguh terhadap ajaran antikekerasan bukanlah hanya tidak menghalanginya, melainkan juga memaksanya untuk berinteraksi, berkomunikasi, atau bersosialisasi dengan mereka yang percaya pada kekerasan sebagai jalan yang ampuh untuk merealisasikan tujuan dengan segera. Namun, persatuan itu sebenarnya selalu didorong oleh maksud satu-satunya untuk membuat mereka berhenti melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya itu keliru. Hal ini dilakukan Gandhi karena pengalamannya telah makin meyakinkan dia bahwa kebaikan yang permanen tidak mungkin merupakan hasil dari ketidakbenaran dan kekerasan. Walaupun kepercayaan ini merupakan angan-angan yang diidam-idamkan belaka, Gandhi dengan cukup terang harus mengakui bahwa ini merupakan angan-angan yang menarik. 74

2. Mahatma Diri

Manusia secara esensial terdiri atas jasmani dan rohani. Selain itu, manusia juga memiliki kesadaran, rasio, kehendak, emosi, dan rasa keindahan. Dari keberadaan itu, esensi aktivitas manusia di dunia adalah pembebasan. Pembebasan manusia merupakan satu langkah ke arah pembebasan seluruh 74 Ibid., h. 96. 95 umat manusia dari kezaliman dan kekerasan dari orang lain dan dari diri sendiri. Gandhi menyatakan bahwa manusia tidak akan bebas jika ia tidak mengetahui bahwa dirinya dikuasai oleh kebutuhan, sebab kebebasannya selalu dimenangkan melalui upaya yang tidak pernah berhasil seluruhnya untuk melepaskan diri manusia dari kebutuhan hidup dan sampai penyatuan dengan hidup. Manusia memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya menuju kepada penyatuan dengan hidup atau malah terjerumus dalam kejahatan. Setiap perbuatan memiliki karmanya sendiri-sendiri. Dalam hal ini Gandhi menekankan pelaksanaan enam kebajikan tertinggi yang dijiwai oleh filsafat India yakni ahimsa, satyagraha, brachmacharya, asteya, aparigraha, dan abhaya. Ahimsa secara harfiah berarti tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun, satyagraha bermakna berpegang teguh pada kebenaran, brachmacharya adalah suatu sikap yang sesuai dengan ajaran Brahma atau kebenaran dan biasanya diwujudkan dengan pantang berhubungan seksual, asteya mengandung arti bahwa seseorang tidak boleh mencuri, aparigraha menghindari dari kepemilikan barang yang tidak diperlukan, sementara abhaya bermakna tidak pernah merasa takut atau selalu berani . Manusia yang berjiwa agung dalam pandangan Gandhi bersifat antropokosmoteosentris. Manusia seperti ini adalah manusia dengan pengendalian diri yang baik antropos, kedewasaan sosial dan mencintai alam kosmos, serta penghayatan terhadap keberadaan Tuhan teos melalui agama yang dianutnya dalam kehidupannya yang dijalani secara damai dan 96 antikekerasan. Dengan konsep seperti ini, Gandhi mencoba menciptakan sebuah lingkup kemanusiaan universal di mana tiap-tiap kelompok, baik kaum penguasa maupun kaum tertindas, saling mengakui sebagai manusia yang sama derajat dan harkatnya sebagai manusia, bahkan menghidupkan kembali potensi kebaikan orang lain dalam kehidupan manusia . 75 Menurut Gandhi, manusia perlu mengendalikan diri karena peradaban dalam makna kata yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghendaki dilipatgandakannya kebutuhan, melainkan menghendaki pembatasan segala kebutuhan dengan sengaja dan sukarela. Hanya dengan cara demikian akan dapat diperoleh kebahagiaan dan kepuasan sejati yang akan meningkatkan kemampuan manusia dalam mengabdi kepada Tuhan. 76 Hal ini bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh manusia modern yang menggunakan tolak ukur tingkat kesejahteraan manusia dengan mengukurnya berdasarkan tingkat besarnya konsumsi. Manusia modern justru berasumsi bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi kebutuhan hidup, manusia berarti lebih kaya dan sejahtera . Gandhi sendiri menegaskan bahwa manusia memerlukan keserasian dan kenyamanan fisik pada tingkat tertentu, namun jika melebihi tingkat itu, ia akan menjadi hambatan bagi manusia. Karena itu, cita-cita manusia menciptakan dan memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terbatas, hanya merupakan khayalan dan jerat belaka. Pemuasan kebutuhan fisik dan intelektual manusia pada titik tertentu harus dihentikan sepenuhnya sebelum ia berubah menjadi nafsu keserakahan fisik dan intelektual. Manusia perlu 75 Suratno, “ Mahatma Gandhi 1869-1948 dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,” h. 118 76 Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 127.