Agama Kemanusiaan Dimensi Teologis

79 keyakinan atau agamanya itu untuk memeluk agama Gandhi. Dia justru hanya bisa berharap dan berdoa semoga setiap sahabat sejati yang setia hidup bahagia dan tumbuh matang dalam lindungan agamanya sendiri sebab di rumah Tuhan terdapat bagian rumah dan semua sama kudusnya. Sebagaimana halnya setiap manusia itu seharusnya saling menghargai seperti antara sanak saudara sendiri. Penghormatan Gandhi sendiri terhadap agama orang lain sama dengan terhadap agamanya sendiri. Oleh karena itu, tidak mungkin ada gagasan untuk berpindah agama. Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, Gandhi akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa 1 semua agama itu benar, 2 semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, 3 semua agama itu bagi Gandhi sama berharganya sebagaimana agamanya sendiri yaitu Hindu. 56 Gandhi percaya bahwa semua agama besar di dunia ini “sedikit banyak” benar. Dia mengatakan “sedikit banyak” karena percaya bahwa segala sesuatu yang telah disentuh oleh tangan manusia––karena fakta bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna—lalu menjadi tidak sempurna. Sempurna sesungguhnya memang satu sifat khusus yang dimiliki oleh Tuhan, dan keadaan itu tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat diterjemahkan. Dia percaya betul bahwa setiap manusia dapat berusaha menjadi sempurna. Kita semua perlu mengejar kesempurnaan, tetapi apabila keadaan itu tercapai, lalu tidak dapat dilukiskan atau diceritakan oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, Gandhi harus mengakui bahwa kitab-kitab Weda, Alquran, atau Injil pun semua merupakan sabda Tuhan yang tidak sempurna dan karena 56 Ibid., h. 69. 80 kita adalah makhluk yang tidak sempurna yang selalu diombang-ambingkan oleh hawa nafsu yang demikian banyak, maka tidak mungkin kita dapat memahami sabda Tuhan ini dengan sepenuhnya. 57 Meski begitu, Gandhi percaya kepada kebenaran fundamental yang terdapat dalam semua agama besar di dunia. Dia percaya bahwa semuanya adalah perberian Tuhan dan Gandhi percaya bahwa agama-agama itu perlu untuk orang-orang memperoleh perwahyuan tersebut. Semua keyakinan merupakan ungkapan-ungkapan kebenaran, tetapi semuanya tidak sempurna, dan sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan. Namun, penghormatan kita terhadap keyakinan-keyakinan lain tidak usah membuat kita menutup mata terhadap kekeliruan mereka. Gandhi yakin bahwa semua agama besar di dunia benar dan merupakan perintah Tuhan. Agama itu ibarat satu pohon dengan banyak cabang. Melihat banyaknya cabang, kita dapat mengatakan, ada banyak agama, tetapi ibarat batangnya, agama itu hanya satu. Sekalipun sebuah pohon hanya mempunyai satu batang, tetapi ia mempunyai banyak cabang dan daun sehingga dapat diumpamakan sehingga dapat diumpamakan hanya ada satu agama yang benar dan sempurna, tetapi kemudian tumbuh menjadi banyak pada waktu melalui perantara manusia. Agama yang satu ini sebenarnya di luar kemampuan kita untuk membicarakannya. Orang-orang yang tidak sempurna ini menerjemahkannya ke dalam bahasa sebagaimana mereka mampu menyusunnya. Selanjutnya kata-kata mereka itu diberi penafsiran oleh orang- orang lain yang sama tidak sempurnanya. Lalu penafsiran siapa yang dianggap 57 Ibid., h. 71. 81 benar? Setiap orang benar bila dilihat dari sudut pandangnya, tetapi tidak mungkin bahwa setiap orang keliru. Gandhi menolak setiap ajaran agama yang tidak sesuai dengan akal sehat dan bertentangan dengan asas moralitas. 58 Namun, dia mengatakan dapat menoleransi perasaan keagamaan yang tidak masuk akal selama tidak bersifat asusila sebab begitu kita kehilangan dasar moralitas kita tidak lagi bersifat religius. Tidak mungkin agama mengesampingkan moralitas manusia misalnya tidak dapat bertindak jujur, kejam, suka marah, dan menyatakan diri paling diridai Tuhan. Kitab-kitab keagamaan menurutnya tidak lebih penting daripada akal sehat dan Kebenaran. Kitab-kitab itu dimaksudkan untuk menjernihkan akal dan menjelaskan Kebenaran. Kekeliruan tidak merupakan pengecualian, sungguhpun dapat ditunjang oleh kitab-kitab suci di dunia. Suatu kekeliruan tidak akan berubah menjadi Kebenaran karena alasan perambatan iman yang berlipat ganda, seperti juga Kebenaran tidak akan menjadi kekeliruan karena tidak ada yang menyaksikannya Kaidah moral yang tinggi adalah bahwa kita harus bekerja demi kebaikan umat manusia secara terus-menerus. Keinginan-keinginan dan alasan bertindak kita dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok egois atau mementingkan diri sendiri dan kelompok tidak mementingkan diri sendiri. Semua keinginan yang mementingkan diri sendiri adalah tidak bermoral, sementara keinginan untuk memperbaiki diri sendiri dengan maksud berbuat baik bagi sesama manusia adalah benar-benar bermoral. 58 Ibid., h. 89. 82 Agama yang benar dan moralitas yang benar terjalin erat satu sama lain secara tidak terpisahkan. Bagi moralitas, agama ibarat air bagi benih yang disemaikan dalam tanah. 59 Sesungguhnya tiada agama yang lebih tinggi daripada Kebenaran dan Keadilan. Keyakinan yang hidup ini telah memecahkan banyak persoalan kehidupan. Keyakinan ini telah ikut meringankan penderitaan kita. Keyakinan ini telah membuat kita bertahan dalam kehidupan dan satu-satunya pelipur kita dalam menghadapi kematian. Pencarian terhadap Kebenaran yang sebenarnya menjadi menarik dan bermanfaat karena keyakinan ini. Tetapi sesungguhnya, mencari Kebenaran sama dengan mencari Tuhan. Kebenaran adalah tuhan. Tuhan ada karena Kebenaran ada. Untuk dapat melihat semangat Kebenaran yang universal dan mencakup segalanya itu, seseorang harus mampu menyayangi ciptaan paling buruk sebagaimana dirinya sendiri. 60 Dan orang yang beraspirasi demikian tidak akan mampu menghindari setiap bidang kehidupan. Inilah sebabnya mengapa kecintaan Gandhi terhadap Kebenaran telah membawanya masuk ke bidang politik. Dia bahkan dapat mengatakan tanpa ragu sedikit pun, tetapi tetap dengan segala kerendahan hati, mereka yang menyatakan bahwa agama tidak ada hubungannya dengan politik tentunya tidak tahu apakah sebenarnya agama itu. Gandhi mengaku tidak akan dapat menjalani suatu kehidupan beragama kecuali jika dapat mengidentifikasi diri dengan seluruh umat manusia, dan ini tidak dapat dilakukan jika ia tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan politik. 59 Ibid., h. 88. 60 Ibid., h. 67. 83 Seluruh aktivitas orang dewasa ini merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi. “Andaikata saya seorang diktator, agama dan negara tentunya terpisah. Saya bersumpah atas nama agama saya. Saya ingin mati untuk agama. Tetapi, itu adalah urusan pribadi saya. Tidak ada kaitannya dengan negara. Negara akan mengurus kesejahteraan sekuler, kesehatan, perhubungan, hubungan luar negeri, mata uang, dan sebagainya, tetapi tidak mengurus agama saya atau agama anda. Agama adalah urusan setiap orang secara pribadi .” 61 Tanpa agama Gandhi mengaku tidak akan dapat hidup walaupun untuk sedetik pun sebab kegiatan politik dan kegiatan lain Gandhi memang selalu berasal dari agamanya. Lebih lagi dia menyatakan bahwa setiap aktivitas orang yang beragama harus berasal dari agamanya, karena memeluk agama berarti terikat kepada Tuhan, atau boleh dikatakan Tuhan memang mengatur setiap tarikan nafas kita. Gandhi tidak membayangkan agama sebagai salah satu di antara aktivitas umat manusia. Aktivitas yang sama mungkin saja dilakukan dengan semangat keagamaan atau semangat nonkeagamaan. Maka baginya, tidak akan mungkin misalnya meninggalkan dunia politik karena agama sebab setiap tindakan, sampai yang kecil sekalipun, ditentukan oleh apa yang dia anggap sebagai agamanya. Tujuan akhir manusia adalah mencapai Tuhan dan aktivitasnya baik di bidang politik maupun sosial harus dibimbing oleh tujuan akhir ini. Pelayanan langsung terhadap semua umat manusia menjadi bagian penting dari upaya ini, hanya karena satu-satunya jalan untuk menemukan Tuhan adalah melihat- Nya melalui ciptaan-Nya dan menjadi satu dengannya. Ini hanya dapat 61 Ibid., h. 92. 84 dilakukan melalui pelayanan kepada semua orang. 62 Gandhi berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menatap Tuhan dengan jalan memberikan pelayanan kepada umat manusia karena tahu bahwa Tuhan itu tidak ada di surga juga tidak ada di bawah, tetapi ada di dalam diri setiap orang.

3. Surga Dunia

Surga tentunya masih menjadi impian bagi semua orang, terutama bagi orang-orang yang beragama, karena tempatnya bukan di bumi yang kita hidupi saat ini. Namun, mereka tentunya tidak menginginkan apa yang telah dilakukannya di dunia sia-sia begitu saja tanpa ada balasan yang setimpal pahala. Keyakinan ini jualah yang telah memotivasi mereka untuk berlomba- lomba berbuat kebajikan. Orang-orang yang berbuat kebajikanlah yang akan mendapatkan balasannya di surga, sedangkan neraka diperuntukkan bagi mereka yang berbuat dosa. Surga yang diyakini orang yang beragama ini umumnya merupakan suatu puncak kebahagiaan dan kenikmatan yang tidak mudah untuk dilukiskan dan digambarkan. Dari keseluruhan pemikiran Gandhi memang kita tidak akan menemukan konsep dunia dan akhirat ataupun surga dan neraka secara khusus dan eksplisit. Namun, tidak ada salahnya jika penulis mencoba menggali gagasan ini dari data-data yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Langkah pertama adalah menegaskan dan mengingatkan kembali bahwa Gandhi juga seorang agamawan yang taat dan tekun meski konsep dan prilaku keagamaannya tidaklah kaku. Sebagai seorang yang beragama Hindu yang taat, Gandhi tentu percaya bahwa surga itu ada. 62 Ibid., h. 72. 85 Menurut agama Hindu, yang dijelaskan oleh Raimon Panikkar, di atas dunia dan di atas antariksa yang terbuka, ada “dunia ketiga”. Dunia yang penuh dengan cahaya dan sinar. Matahari tak pernah tenggelam. Kata “svarga” sendiri berasal dari suku kata “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya, dan “ga” artinya perjalanan. Dengan demikian, surga pada mulanya berarti perjalanan ke dunia cahaya atau menjadi satu dengan cahaya. Dan cahaya di dunia yang namanya surga tak pernah sedikit pun mengalami padam atau kegelapan. Di dalam surga ada “swargaloka”, yaitu tempat para makhluk yang bercahaya seperti dewa, maharesi, dan orang-orang suci yang telah mencapai keabadian. Meskipun di dalamnya penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan, tetapi surga tetap sebuah dunia. Jelas sudah di surga terdapat “loka”, tempat tinggal. Ada tempat bagi para dewa. Ada tempat bagi para maharesi yang moksa. Pun ada tempat bagi para jiwa orang-orang suci atau penuh kebajikan prilakunya. 63 “Surga adalah bagian dari tiga dunia triloka dalam agama Hindu. Surga adalah dunia atas. Tetapi, tetap sebagai dunia. Bukan tempat tujuan akhir. Bukan pemberhentian yang terakhir. Ia hanyalah stasiun menuju alam spiritual sejati. Memang, di surga digambarkan tidak ada kematian lagi. Tempat istirahat yang nyaman serta abadi. Tak ada duka dan derita di surga. Tetapi, sekali lagi, ia hanyalah tempat sementara untuk melanjutkan perjalanan kepada-Nya .” 64 Dalam kepercayaan agama Hindu, surga hanyalah sasaran antara untuk dapat melanjutkan perjalanan spiritual manusia. Perjalanan akhir spiritual manusia adalah bersatunya “atman” dan “Brahman”. Menyatunya jiwa individu ke Jiwa Universal. Sebuah perjalanan spiritual yang bisa ditempuh 63 Ahmad Chodjim, Membangun Surga; Bagaimana Hidup Damai di Bumi agar Damai Pula di Akhirat, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004, h. 12. 64 Ibid., h. 13. 86 ketika manusia masih hidup di dunia. Bila perjalanan spiritualnya sempurna, maka ia akan mengalami moksa setelah kematian menjemputnya. Atau, bila ia tidak dilahirkan kembali, maka perjalanan spiritualnya dilanjutkan setelah kematiannya. 65 Istilah “svarga” juga diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi “swagra”. Menurut kamus Bahasa Jawa yang disusun oleh Balai Pustaka Yogyakarta, surga merupakan alam kenikmatan tempanya para sukma orang-orang yang hidupnya penuh dengan kebajikan. Surga juga tempat para dewa. Karena itu, juga disebut khayangan. Dalam pengertian semula, surga itu adanya ya sekarang ini. Tidak menunggu hancur leburnya alam semesta. Sekarang ini para dewa bertempat tinggal di surga. Para sukma orang-orang yang berprilaku penuh dengan kebajikan ada di surga. 66 Terlepas dari apakah Gandhi menyetujui konsep surga yang disebutkan di atas ataupun malah tidak, ia sepertinya lebih menyetujui bahwa jalan ataupun cara menentukan segalanya karena apa pun yang akan dituju, dicapai, dan dihasilkan oleh manusia akan sesuai dengan apa yang dia diperbuat, diusahakan, dan diperjuangkannya. Inilah yang dalam agama Hindu disebut dengan karma. Suatu perbuatan dan buah atau balasan dari perbuatan akan setimpal. Karena hanya percaya pada satu jalan atau cara yakni ahimsa, Gandhi akan menerapkannya pada semua tujuannya baik moksa, Tuhan, kemerdekaan India, Kebenaran, realisasi jiwa, Keadilan, ataupun surga. Dan seperti sudah kita ketahui sebelumnya bahwa jalan dan tujuan inilah yang kadang-kadang 65 Ibid., h. 14. 66 Ibid., h. 13.