Ideologi antikekerasan gandhi

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I.)

Oleh

Iman Fauzan

NIM.102033124723

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I.)

Oleh

Iman Fauzan

NIM.102033124723

Pembimbing

Dr. Syamsuri, M.A.

NIP.195904051989031003

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

Skripsi berjudul IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI telah

diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi

Aqidah Filsafat.

Jakarta, 18 Maret 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rahmatin, M.A. NIP.196108271993031002 NIP. 196808031994032002

Anggota,

Dr. Syamsuri, M.A. Dr. M. Amin Nurdin, M.A. NIP.195904051989031003 NIP.195503031987031003


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Maret 2010 Iman Fauzan


(6)

Tidak mudah rasanya untuk mengingkari bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan sebab tak ada seorang pun yang ingin sengsara meski pemaknaan kita atas itu mungkin saja sungguh-sungguh berbeda. Terciptanya ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian atau absennya kekerasan dalam hidup juga bisa disebut sebagai bentuk lain dari kebahagiaan.

Baik jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama sebagai institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia untuk merealisasikan tujuannya, kebahagiaan, baik di dunia ataupun di akhirat.

Namun, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi penyimpangan sehingga cita-cita dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya malah tidak tercapai.

Ideologi yang secara disadari ataupun tidak memberikan legitimasi terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni sedemikian rupa dalam setiap relung kehidupan perlu mendapatkan antitesisnya atau kontrahegemoni agar dominasi kekerasan tidak perlu terjadi atau minimal tidak berkelanjutan.

Penelitian ini ingin menyajikan antitesis tersebut yang memang pernah digagas dan diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi pada masa Perang Dunia abad ke-20. Antitesis tersebut tidak lain adalah ideologi antikekerasan Gandhi.


(7)

ﷲﺍ ﻢﺴﺑ

ﻢﻴﺣ ﺮﻟﺍ ﻦﲪ ﺮﻟﺍ

Dengan segenap keyakinan dan upaya, penulis bersyukur kepada Allah S.W.T. yang telah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat direalisasikan. Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. sebagai pembawa risalah dan suri tauladan terbaik. Dengan ini pula disampaikan terima kasih kepada dosen, keluarga, dan teman yang telah memberikan pencerahan. Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yakni:

1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah)

2. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. (Ketua Program Studi Aqidah Filsafat)

3. Dra. Tien Rahmatin, MA. (Sekretaris Program Studi Aqidah Filsafat)

4. Dr. Syamsuri, MA. (Dosen Pembimbing Skripsi) 5. H. Djuhaeni dan Hj. Muslimah (orang tua penulis) 6. Ka Ridho dan Teh Imas (keluarga besar penulis)

7. A Abay, Teh Imas, Farhan, Neng Imas, Abu, dan Zaki (adik-kakak penulis)

8. Neng Yuli Fitriyani (pendamping setia sejagat) 9. Keluarga Besar Neng Yuli Fitriyani


(8)

(Kompak)

11. Keluarga Besar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

12. Keluarga Besar Aqidah Filsafat Angkatan 2002 13. Keluarga Besar Harian Seputar Indonesia

14. Hafid-Sidik-Felik yang telah meminjamkan buku-bukunya, Isa-Aan yang telah memperbaiki komputer-monitor, Suheli yang telah meminjamkan laptopnya, Aconk yang telah mengantar ke pembimping, Tata-Bahtiar-Robi yang membantu mengetik, Efri yang meminjamkan alat untuk mengabadikan sidang skripsi, dan Neng Yuli yang mendampingi setiap hari.

15. Dan semua sahabat karib yang tidak disebutkan satu per satu.

Jakarta, 18 Maret 2010 Iman Fauzan


(9)

(10)

ABSTRAK... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTARA ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tinjauan Pustaka ... 8

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II IDEOLOGI A. Akar Ideologi ... 14

B. Definisi Ideologi ... 17

C. Kerja Ideologi ... 23

BAB III BIOGRAFI GANDHI A. Riwayat Pribadi ... 31

B. Dunia Intelektual ... 34

C. Karier Politik ... 40


(11)

A. Dimensi Filosofis ... 48

1. Ahimsa ... 48

2. Satyagraha ... 56

3. Swadesi ... 62

B. Dimensi Teologis ... 70

1. Kebenaran Sejati ... 70

2. Agama Kemanusiaan ... 77

3. Surga Dunia ... 84

C. Dimensi Politis ... 89

1. Jalan Hidup ... 89

2. Mahatma Diri ... 94

3. Harmoni Kuasa ... 101

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 110

C. Harapan ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111


(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana secara ontologis butuh mengada dan secara epistemologis butuh mengetahui, secara aksiologis juga ternyata manusia butuh berbahagia. Tidak mudah rasanya untuk mengingkari bahwa tujuan hidup kita adalah kebahagiaan (eudaimonia) sebab tak ada seorang pun di antara kita yang ingin sengsara meski pemaknaan kita atas itu mungkin saja sungguh-sungguh berbeda. Terciptanya ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian atau absennya kekerasan dalam hidup kita juga bisa disebut sebagai bentuk lain dari kebahagiaan.

Masalah kebahagiaan dan kesengsaraan ini, kata Nurcholish Madjid, masalah kemanusiaan yang paling hakiki karena tujuan hidup manusia tak lain ialah memeroleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran dan ideologi, baik yang bersifat keagamaan (sakral) maupun keduniaan (profan) semata, tentunya menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya.1 Karena itulah, menurut Aristoteles, kekayaan dan kekuasaan bukanlah tujuan terakhir hidup manusia sebab keduanya terkadang pada kenyataannya dapat menyengsarakan hidup.2

Sokrates dan Plato juga berpendapat serupa mengenai tujuan hidup manusia. Namun, kebahagiaan yang dimaksud mereka tidak sama dengan

1

Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan,” dalam Budhy Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. II (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 103.

2


(13)

kebahagiaan yang dimaksud orang-orang modern, yang memaknai kebahagiaan sama dengan happiness atau “kesenangan” yang menunjukkan suatu keadaan subjektif, tapi bukan berarti pula bahwa kebahagiaan tidak memiliki unsur kesenangan.

Bagi bangsa Yunani, eudaimonia juga berarti kesempurnaan, atau lebih tepat lagi, eudaimonia berarti mempunyai daimon (jiwa) yang baik.3 Sementara menurut Aristoteles, manusia bahagia adalah manusia yang menjalankan seluruh gerak kehidupannya sesuai keutamaan (arete). Keutamaan tertinggi atau yang paling baik dalam diri kita yaitu bakat rasional.4 Keutamaan ini juga bisa dikatakan sebagai jalan tengah dari dua oposisi biner pilihan manusia yang paling ekstrem.

Manusia religius (homo religiosus) yang percaya bahwa jiwa atau daimon

berperan cukup signifikan dalam kehidupan, sebab segala materi yang ada di semesta ini diyakininya memiliki jiwa termasuk manusia, mungkin akan lebih mengasah dan menyempurnakan jiwanya untuk mencapai kebahagiaan hidup yang lebih abadi.5 Sementara manusia nonreligius akan lebih mempertajam daya inteleknya secara berkelanjutan guna memenuhi semua kebutuhannya dari berbagai dimensi agar dapat hidup bahagia terutama di dunia saat ini. Menurut Harun Nasution, orang yang berakal adalah orang yang memiliki kecakapan dalam menyelesaikan masalah.6

3

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. IXX (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.108. 4

K. Bertens, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, cet. VI (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 47.

5

Mangunhardjono, “Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade,” dalam Sastrapratedja, ed.,

Manusia Multidimensional (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 37-49. 6


(14)

Sejarah mengungkap bahwa agamalah yang dipilih manusia religius sebagai jalan hidup yang mapan untuk merealisasikan kebahagiaan dunia sekaligus akhirat. Agama tumbuh dari usaha mencari kehidupan yang mengekspresikan dirinya dalam tingkat yang rendah, mencari makan dan bertempat tinggal, atau dalam tingkat yang lebih tinggi, mencari nilai sosial, intelektual, dan spiritual.7 Agama juga yang menjawab penderitaan eksistensial lahir dan batin dari ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan yang dialami manusia sepanjang sejarahnya.8

Meski begitu, manusia nonreligius justru lebih mempercayakan pada negara sebagai institusi pemerintahan rasional yang dapat membawa manusia ke kondisi yang lebih baik secara individual ataupun sosial saat ini dan di sini, meski beberapa di antara manusia religius juga berpendapat serupa. Negara terbentuk untuk memudahkan rakyat mencapai tujuan bersama salah satunya kesejahteraan. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut konstitusi. Konstitusi ini merupakan dokumen hukum tertinggi karena ia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Negara seperti inilah yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai institusi pemerintahan yang berdasarkan pada politik rasional.9

Dengan penjelasan di atas tersebut dapat ditarik benang merah bahwa baik jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama sebagai institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia untuk merealisasikan tujuannya, yakni kebahagiaan, baik di dunia ataupun di akhirat.

7

Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 415.

8

D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, cet. XVI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 31-32. 9

A.Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 94-95.


(15)

“Sekali lagi, itu semua bukanlah suatu teori saja, melainkan kesimpulan empiris, yang tidak ditarik dari dalil spekulatif, tetapi dari pengalaman eksistensial manusia dari zaman ke zaman hingga sekarang ini. Dengan kata lain, berdasarkan fakta-fakta konkret yang digumuli oleh setiap manusia yang hidup dan yang pernah hidup di dunia kita ini. Upaya apa yang telah dilakukan manusia untuk merebut dua jenis kebahagiaan itu. Berdasarkan pengalaman sekarang dan catatan sejarah, manusia melakukan dua jenis usaha raksasa, yaitu usaha religius dan usaha nonreligius.”10

Meski demikian, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi penyimpangan sehingga cita-cita dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya malah tidak tercapai. Banyak jiwa yang tersesat dan menyesatkan yang lain dengan mengobarkan kebencian dan permusuhan kepada sesama manusia karena keberadaannya sebagai penyejuk kehidupan sudah tidak lagi disadari. Selain itu, akal yang nakal dengan mengklaim dirinya sebagai tuhan dan melegitimasi aksi kekerasan dengan sewenang-wenang juga tak sedikit. Tidak heran jika orang yang mengidap sakit jiwa dan hilang akal semakin mengakar dan menular.

Di Indonesia, kekerasan bahkan dilakukan lebih dari semestinya. Aksi kriminal atau kejahatan yang tidak pernah absen dari pemberitaan media cetak maupun elektronik sering berujung pada penghilangan nyawa manusia yang paling berharga. Perampok yang beralasan bahwa aksinya demi sesuap nasi sebetulnya tidak perlu memerkosa dan membunuh. Anehnya lagi, fenomena sakit jiwa ini juga dilakoni orang yang berpendidikan.11 Tidak sedikit juga dari orang yang dianggap mapan status sosialnya malah kehilangan akal dan rasionalitasnya lantaran hanya ingin menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Mereka biasanya melakukan cara-cara instan untuk meraih apa yang

10

D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 32. 11

“Tawuran Antarpelajar SMK, Satu Siswa Tewas,” Seputar Indonesia, 18 November 2008, h. 27.


(16)

diinginkan, yakni korupsi. Kita dapat membayangkan berapa ribu jiwa manusia yang akan menjadi korban pembodohan, pelaparan, dan pemiskinan akibat prilaku gila ini.

Suguhan berita aksi teror dan pengeboman yang mengakibatkan banyak nyawa hilang dan lingkungan kita luluh lantak di dalam dan luar negeri juga tidak luput dari pengetahuan kita. Kualitas dan kuantitasnya bahkan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Banyak motif memang di balik aksi peledakan bom ini, tapi yang kita saksikan lebih parah dari yang kita duga. Tidak sedikit dari pelaku terkadang mengatasnamakan agama, yang kita pikir sebagai pembawa bahagia, bukan luka atau duka. Menurut data International Terrorism and Political Violence, di berbagai negara pada tahun 1998 terjadi 51 kali peledakan bom (menewaskan 516), tahun 1999 sebanyak 21 kali (menewaskan 334 orang), dan tahun 2000 sebanyak 49 kali (menewaskan 273 orang).12

Catatan sejarah mengenai kekejaman negara juga tidak luput dari ingatan kita. Banyak contoh soal ini di antaranya pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang dilakukan Jerman di bawah kepemimpinan Hitler, invasi Amerika yang dikepalai George Walker Bush ke Irak hingga terkoyak, dan penyerangan brutal Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina akhir-akhir ini. Di Indonesia sendiri, saat Orde Baru berkuasa, praktik genosida merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pelenyapan dengan kekerasan terhadap satu entitas politik yang berhaluan kiri dijadikan alat politik ampuh oleh pemerintahan Orde Baru. Sungai Brantas-Jawa Timur mungkin menjadi saksi

12

Idam Wasiadi, “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,” KOMPAS, 14 September 2001.


(17)

bisu penjejalan ribuan jenazah dan jutaan orang yang menjadi korban kekerasan karena keyakinan politiknya. Peristiwa Marsinah, Kedung Ombo, Haur Koneng, Aceh, Irian, Tanjung Priok, Tragedi Semanggi dan Trisakti, serta sederet kasus-kasus yang lain juga menjadi monumen kekerasan dan kejahatan politik alat-alat negara yang dipimpin Soeharto.

Di sebuah dunia yang sudah tertata dan terjejaringkan secara global seperti sekarang ini, ada seribu alasan memang ketika kekerasan-kekerasan tersebut terjadi salah satunya ideologi. Walaupun sedikit abstrak, ideologi telah terbukti memberikan sumbangan signifikan bagi merebaknya problem sosial-politik hingga pada tingkat malapetaka dan bencana kemanusiaan seperti genosida dan holocaust seperti yang dipaparkan Dr. Helen Fein––direktur eksekutif sebuah lembaga studi genosida di Kennedy School of Government Harvard University––dalam sebuah artikelnya di Microsoft Encarta Encyclopedia (2003). Dia menunjukkan dengan bernas kaitan erat antara ideologi dan genosida.13

Kekerasan-kekerasan tersebut terjadi di antaranya karena agama dipahami sebagai ideologi politik kelompok tertentu dan negara dihegemoni oleh satu ideologi tertentu.14 Misalnya, Islam bagi beberapa kelompok tertentu tidak lagi dipahami dan dihayati sebagai ajaran moral yang mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, tapi lebih sebagai manifesto untuk capaian-capaian politik tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok dibanding jalan hidup bersama sehingga kekerasan menjadi konsekuensi logis

13

Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya

(Yogyakarta: Qalam, 2004), h. XV-XVII. 14

Francis Fukuyama dan Nadav Samin, “Fasisme, Marxisme, dan Fundamentalisme Islam,” dalam Ahmad Norma Permata, ed., Agama dan Terorisme (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), h. 1-4.


(18)

yang wajib dilakukan agar tujuan tercapai. Selain itu, negara juga akan berpotensi besar melakukan kekerasan jika didominasi oleh satu ideologi tertentu seperti yang terjadi pada negara Jerman saat dikuasai oleh ideologi fasis yang berbaju Nationalsozialismus (Nazi) pimpinan Adolf Hitler atau Indonesia ketika dipimpin oleh Soeharto dengan ideologi pembangunannya.

Dengan demikian, ideologi yang secara disadari ataupun tidak memberikan legitimasi terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni sedemikian rupa dalam setiap relung kehidupan, meminjam istilah Antonio Gramsci mengenai teori hegemoninya, perlu mendapatkan negasinya atau kontrahegemoni agar dominasi ideologi kekerasan tidak perlu terjadi atau minimal tidak berkelanjutan. Ada banyak model ideologi memang yang bisa dijadikan sebagai kontrahegemoni itu salah satunya ideologi antikekerasan atau ideologi yang dapat melelehkan kekerasan––bukan melawan, meluluhkan, dan menaklukkan kekerasan.15

Sebuah ideologi yang dapat mentransformasikan nilai-nilai perdamaian pada realitas keseharian dengan cara-cara yang adil dan antikekerasan.

Seperti halnya banyak ideologi yang menyimpang dan melahirkan kekerasan, ternyata tidak sedikit juga ajaran dan tokoh yang teguh mengajarkan perdamaian dan antikekerasan. Agama-agama dunia, baik yang kecil maupun yang besar, sejatinya lahir membawa kebenaran untuk menciptakan perdamaian dunia. Setiap tokoh besar maupun kecil dunia yang membawa perubahan bagi kemaslahatan semua manusia dan muncul di setiap

15

Anand Krishna, “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22 November 2008 dari http://www.akcbali.org


(19)

zaman juga sebenarnya mengabarkan cara bagaimana kita memanusiakan diri kita.

Di abad modern yang diwarnai dua perang dunia besar, kita mengenal Mahatma Gandhi sebagai sosok yang paling representatif dalam mengabarkan dan mempraktikkan antikekerasan (ahimsa) dan perdamaian dunia.16 Ada banyak kearifan dan kebijaksanaan yang bisa diambil dari eksperimen-eksperimen yang dilakoni Gandhi dengan kebenaran. Keberhasilannya sebagai seorang pemimpin besar tak terlepas dari keteguhan dan ketangguhannya memegang prinsip-prinsip kebenaran (satyagraha) serta keterpaduan antara kata dan perbuatannya. Memberi teladan nyata adalah bagian dari perjuangan Gandhi. Nilai-nilai gerakan humanis benar-benar dipraktikkannya di tengah-tengah kemodernan zaman yang perlahan-lahan membelenggu eksistensi manusia. Gandhi juga sangat fanatik melaksanakan pola hidup sederhana seperti mencintai produksi dalam negeri (swadesi), bahkan ia yang menenun kain yang digunakannya.

B. Tinjauan Pustaka

Meski demikian, paparan yang akan dilakukan penulis mengenai pemikiran Ganhdi ini tidak bisa dipisahkan dari jasa para penulis sebelumnya yang terlebih dahulu mengulas pemikirannya melalui berbagai tulisan di antaranya Stanley Wolpert, Thomas Merton, dan I Ketut Wisarja.

Stanley Wolpert adalah seorang sejarawan yang terkenal dengan kekuatan analisis dan narasinya. Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa

16

Hagen Berndt, Agama yang Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi


(20)

Indoneisa berjudul Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya, Stanley menampilkan Gandhi sebagai manusia biasa, bukan setengah dewa seperti yang digambarkan oleh murid-muridnya. Stanley juga memberikan representasi semangat kepribadian Gandhi sejak masa kecil hingga kematiannya serta kerumitan personalitas yang mengiringi tindakannya yang melahirkan kemerdekaan India. Sementara Thomas Merton, dengan bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Gandhi tentang Pantang Kekerasan, mengumpulkan petikan-petikan tulisan Gandhi dalam Non-Violence In Peace and War khusus mengenai falsafah perjuangan pantang kekerasan. Sedangkan I Ketut Wisarja, dengan bukunya berjudul

Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, melakukan penelitian tentang konsepsi masyarakat menurut Gandhi. Bangunan dasar masyarakat ini adalah masyarakat tanpa kekerasan yang mengamalkan prinsip-prinsip etik yang diterapkan dalam komunitas yang dinamai Gandhi sebagai ashram.

Namun, ulasan yang akan dilakukan penulis di sini tentunya berbeda dengan para penulis tersebut karena objek kajian di sini merupakan konsepsi ideologi antikekerasan menurut Ganhdi.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Kajian mengenai kekerasan dan antitesisnya dipandang perlu agar tergambar secara menyeluruh meskipun penulisan di sini hanya akan membatasi dan memfokuskan pada kajian tentang antikekerasan Gandhi dari sudut pandang ideologi. Lantaran konsep ideologi antikekerasan Gandhi akan tergambar dengan jelas jika kita sebelumnya dapat mengetahui definisi


(21)

ideologi, mengenal sosok Gandhi, dan memahami ajaran antikekerasan, kajian ini akan fokus pada paparan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang penulis rumuskan. Pertanyaan itu: Apakah ideologi? Siapakah Gandhi? Serta bagaimanakah antikekerasan yang diajarkan Gandhi?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Menampilkan sisi lain wajah ideologi yang selama ini dipandang negatif 2. Memperkenalkan wacana kekerasan dan antikekerasan

3. Mencoba merekonstruksi tujuan hidup manusia melalui kearifan Gandhi 4. Mengabarkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian

5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S-1) Manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Menjadi ideologi alternatif di tengah ideologi-ideologi besar yang kadang melegitimasi aksi kekerasan

2. Memberikan landasan logis bagi para pejuang perdamaian dan antikekerasan

3. Melahirkan gerakan sosial yang dapat melelehkan kekerasan

E. Metode Penelitian

Model analisis kualitatif sengaja dipilih dalam penulisan ini sebab model ini lebih bertumpu pada kajian kepustakaan (library research) dan terfokus pada tipe penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif yang dimaksud adalah bentuk penelitian yang memberi gambaran secermat


(22)

mungkin mengenai suatu masalah, individu, keadaan, gejala, dan kelompok tertentu.17 Penelitian ini akan menekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki.

Penulisan ini menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang dapat dipercaya keakuratannya baik berupa buku, majalah, maupun artikel ilmiah. Data-data primer maupun sekunder tersebut tentunya hasil seleksi dan berhubungan dengan objek penelitian. Data primer di antaranya Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi; Sebuah Autobiografi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, cet. I. Penerjemah Andi Tenri W (Yogyakarta: Nasari, 2009); Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume I (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1942); Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume II (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1949); dan Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara: Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, cet. II. Penerjemah Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991).

Sedangkan data sekunder di antaranya Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya. Penerjemah Sugeng Hariyanto, dkk (Jakarta: Murai Kencana, 2001); Thomas Merton, ed., Gandhi on Non-Violence: A Selection from the Writings of Mahatma Gandhi (Gandhi tentang Pantang Kekerasan). Penerjemah A. M. Fatwan Hasan Basari (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992); I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005); Bagus

17


(23)

Takwin, Akar-Akar Ideologi; Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2003); Jorge Larrain, Konsep Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan (Yogyakarta: LKPSM, 1996); John B. Thomson, Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Penerjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003); dan Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).

Di samping mengungkapkan fakta seobjektif mungkin, penulisan ini juga berupaya memberikan interpretasi guna mendapatkan manfaat yang lebih luas. Interpretasi terhadap sumber-sumber data yang diperoleh terkait fokus analisis akan dilakukan. Dengan demikian, model analisis ini juga mencoba untuk mengangkat hubungan dialektis antara teks sebagai sumber informasi dan wacana konteks yang terbangun di balik teks tersebut sehingga tercipta pemahaman yang holistik.

Penulisan ini juga mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cet I, 2007 serta buku karya Dr. Anton Bakker dan Drs. Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

F. Sistematika Penulisan

Penulisan ini akan membagi pembahasan ke dalam lima bab yakni pendahuluan, ideologi, biografi Gandhi, antikekerasan Gandhi, serta punutup. Bab pendahuluan akan mengungkap secara argumentatif latar belakang


(24)

masalah, tinjauan pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ideologi akan menginvestigasi secara kronologis dan filosofis kajian tentang ideologi baik akar, definisi, maupun kerjanya. Bab biografi Gandhi akan mendeskripsikan secara naratif kehidupan Gandhi sebagai pribadi, akademisi, dan politisi.

Sementara bab antikekerasan Gandhi akan memaparkan dan mengelaborasi konsepsi dan pemahaman antikekerasan menurut Gandhi dari tiga dimensi yaitu filosofis, teologis, dan politis. Antikekerasan secara filosofis akan dimaknai sebagai ahimsa, satyagraha, dan swadesi. Antikekerasan secara teologis akan diyakini sebagai manifestasi kebenaran sejati, ajaran cinta manusia, dan realisasi kehidupan surgawi di dunia. Antikekerasan secara politis akan dipahami sebagai tujuan sekaligus jalan hidup manusia, mahatma diri atau proses penyempurnaan jiwa dan akal, dan harmoni kuasa atau penyeimbang segala relasi yang ada baik personal maupun struktural. Sedangkan bab penutup akan menyajikan kesimpulan, saran, dan harapan.


(25)

14

IDEOLOGI

A. Akar Ideologi

Ideologi adalah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal (meragukan) dan elusif (sukar ditangkap), tidak hanya karena beragamnya pendekatan teoritis yang menunjuk arti dan fungsi yang berbeda-beda, tetapi juga karena ideologi adalah konsep yang sarat dengan konotasi politik dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna yang beragam.

Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Antoine Desttut de Tracy (1754-1836) pada abad ke-18. Akar-akar pengertiannya dapat ditarik jauh ke belakang pada Francis Bacon (1561-1626), Niccolo Machiavelli (1469-1520), bahkan Plato (429-347). Meskipun pembahasan tentang ideologi diduga sudah dilakukan oleh Machiavelli dan Bacon, namun de Tracy secara tegas menyebut ideologi dalam pembahasannya dan mencoba menggarapnya secara sistematis. Tracy-lah yang dianggap memiliki jasa yang amat besar dalam kajian ideologi sistematis. Ia hampir selalu disinggung dalam literatur-literatur ideologi.1

Pengertian tentang ide dapat dirunut asalnya ke konsep idea dan “dunia

idea” Plato, filsuf besar Yunani yang hidup di abad ke-3 SM. Idea di “dunia

idea” dalam pandangan Plato merupakan kebenaran sejati, rujukan bagi benda-benda yang ada di dunia fisik yang ditempati manusia sekarang. Bagi dia, idea merupakan sesuatu yang objektif, terlepas dari subjek yang berpikir.

1


(26)

Idea tidak diciptakan oleh pemikiran. Idea juga tidak bergantung pada pemikiran. Sebaliknya, pemikiranlah yang bergantung pada idea. Karena ada

idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak lain daripada menaruh perhatian kepada idea.2

Sementara logos dalam bahasa Yunani juga mempunyai arti yang lebih luas daripada kata “rasio”. Logos

berarti baik kata (tuturan, bahasa) maupun juga rasio. Namun, kita dapat menerjemahkan logos dengan “rasio” jika dipertentangkan dengan kata

mythos. Pada abad ke-6 logos merupakan suatu pendekatan yang sama sekali baru. Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang problem-problem yang diajukan alam semesta. Logos (akal budi, rasio) menggantikan mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan.3

Pengertian ideologi sebagai kebenaran sejati menjadi dasar ideologi dalam arti positif yang secara kasar dapat disimpulkan sebagai seperangkat nilai dan aturan atau hukum yang dipercaya dapat membantu manusia menjalani hidupnya. Pendekatan ini menekankan bahwa manusia tinggal menganut nilai dan mengikuti aturan-aturan itu agar dapat menjalani hidupnya dengan baik.4

Istilah idea dari Plato yang merujuk pada pengertian kebenaran sejati dari “dunia idea” digunakan oleh Aristoteles dengan pengertian lain. Idea menurut Aristoteles berarti “representasi mental (dalam benak) dari sesuatu yang ada pada kenyataannya”. Di sini idea berarti konsep atau gagasan. Untuk membedakan dari istilah idea dalam pengertian Plato, digunakan istilah “ide” saja untuk merujuk pada pengertian menurut Aristoteles.5

2

K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 129. 3

Ibid., h. 22. 4

Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra Yogyakarta, 2003), h. 12. 5


(27)

Meskipun menganggap badan sebagai hal yang penting pada manusia, Aristoteles juga memandang pikiran (benak) yang menjadi tempat terbaik bagi pengetahuan yang benar. Ide-ide yang benar ada dalam pikiran diperoleh dari proses inderawi yang diabstraksi mengikuti metode berpikir yang sekarang kita kenal dengan nama logika. Kesalahan proses informasi yang tidak mengikuti logika akan menghasilkan pengetahuan yang salah karena ide yang terbentuk salah pula. Ide dan pengetahuan yang salah ini kemudian membentuk kesadaran yang salah atau dalam istilah Marx adalah “kesadaran palsu” (false consciousness).6

Sementara Karl Mannheim lebih melihat asal-usul istilah dan kajian ideologi bermula dari konsep idola Francis Bacon.7 Bacon dalam usahanya menerapkan metode induksi dalam ilmu pengetahuan menggunakan konsep

idola yang merujuk pada hal-hal irasional yang mengaburkan pikiran manusia.

Idola dapat diartikan sebagai “bayang-bayang” atau “prasangka-prasangka”. Kesamaan pengertian antara konsep idola dari Bacon dengan konsep ideologi modern dalam pengertian Marxian adalah keduanya sama-sama merupakan sumber kesesatan.8 Bacon mengelompokkan hal-hal irasional itu menjadi empat golongan : 1) idola terhadap bangsa (idola tribus), yaitu kecenderungan untuk menerima begitu saja berbagai proposisi dengan alasan mempertahankan nilai adat dan kepercayaan mistis; 2) idola terhadap gua/penjara (idola specus), yaitu kecenderungan untuk menerima realitas begitu saja dan tidak bisa bersikap kritis; 3) idola terhadap pasar (idola fori),

6

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 121-125.

7

Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 41. 8


(28)

yaitu kecenderungan untuk terpengaruh oleh opini publik (gosip) yang pada masa Bacon biasa diajukan di pasar; dan 4) idola terhadap teater (idola theatri), yaitu kecenderungan untuk menerima begitu saja teori-teori dan dogma-dogma tradisional.9

B. Definisi Ideologi

Dari asal katanya, ideologi dapat dipecah menjadi kata idea (ide/gagasan) dan logos (studi/ilmu) dalam bahasa Yunani. Secara harfiah dan sebagaimana digunakan dalam metafisika klasik, ideologi merupakan ilmu pengetahuan tentang ide-ide atau studi tentang asal-usul ide-ide. Dalam penggunaan modern, ideologi mempunyai arti pejoratif (negatif/jelek) sebagai teorisasi atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yang tidak betul atau tidak realistis, bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya. Sementara dalam arti melioratif, ideologi adalah setiap sistem gagasan yang memelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis, dan sosial.10

Dalam konteks kelompok atau masyarakat, ideologi seringkali digunakan sebagai dasar bagi usaha pembebasan manusia. Dalam hal ini, ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu. Dengan cara menurunkan gagasan-gagasan dalam ideologi menjadi sejumlah kerangka aksi dan aturan-aturan tindakan, sekelompok manusia bertindak membebaskan diri dari sesuatu yang dipersepsi sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi

9

Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1999), h. 18.

10


(29)

memberi arah bagi gerakan pembebasan. Ideologi menjadi keyakinan (belief) bagi kelompok itu. Dalam makna ideologi sebagai acuan manusia, terjadi pula pertarungan antarideologi. Pertarungan antarkelas merupakan contoh pertarungan antarideologi. Begitu juga pertarungan antarpartai politik serta pertarungan antardua negara.11

Selain itu, ada pula kelompok manusia yang memandang pembebasan manusia sebagai upaya pembebasan dari ideologi. Di sini ideologi dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Contohnya pandangan Karl Marx yang menilai ideologi sebagai kesadaran palsu yang memutarbalikkan realitas.12

Konotasi negatif dari istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Napoleon yang kecewa atas perlakuan teman-temannya yang tidak setuju dengan tindakan-tindakan lalimnya selama ia menjadi penguasa Prancis. Napoleon memusuhi teman-temannya itu dan menamakan mereka kaum “idologues” dengan arti merendahkan bahwa mereka adalah intelektual-intelektual yang doktriner dan tidak realistis. Di sini terkandung pengertian bahwa istilah ideologis diterapkan pada mereka yang menempatkan tujuan-tujuan ideal tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan material yang dibutuhkan masyarakat.13

Pertentangan antara Napoleon dan teman-temannya yang disebut “ideologues” ini memberi konotasi politis pada makna ideologi, serta ditambah lagi dengan keterlibatan de Tracy dalam politik. Keterlibatan de Tracy ini, serta ambisinya untuk menyebarkan ideologi sebagai ilmu,

11

Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 142-143.

12

Jorge Larrain, Konsep Ideologi, h. 49. 13


(30)

memengaruhi persepsi banyak pihak pada masa itu terhadap makna ideologi. Ideologi mengalami perubahan makna dari sekadar ilmu tentang ide-ide yang netral menjadi suatu aliran atau paham tersendiri. Di sini makna ideologi tidak lagi netral. Bagi pendukung de Tracy dan orang-orang yang bertentangan dengan Napoleon, ideologi memiliki makna positif. Akan tetapi, bagi para pendukung Napoleon dan lawan politik de Tracy, ideologi memiliki arti negatif seperti yang dimaksudkan oleh Napoleon.14

Mannheim juga menggambarkan tiga golongan distorsi ideologi. Pertama,

dia menganggap perilaku etik yang cacat “jika diorientasikan dengan norma, dalam lingkungan sejarah tertentu, bahkan dengan maksud terbaik yang tidak dapat terpenuhi”.15 Sifat ideologis dari teori itu dibuktikan bilamana kategori yang ada mencegah manusia menyesuaikan diri dengan periode sejarah. Contoh yang dikemukakan Mannheim adalah norma yang melarang meminjam dengan suku bunga. Norma ini hanya dapat bekerja dalam masyarakat tradisional karena dalam periode kapitalisme praktik tersebut tidak dapat diterima. Jenis distorsi kedua mempunyai tempat berlindung kepada hal-hal yang absolut dan ideal untuk menutupi hubungan-hubungan yang sesungguhnya. Sebagaimana ketika kita menciptakan “mitos-mitos”, memuja-muja “kebesaran sendiri”, mengaku setia kepada “cita-cita”, selagi kelakuan kita yang sebenarnya mengikuti kepentingan lain yang kita coba sembunyikan dengan berpura-pura adil secara tak sadar. Jenis distorsi ideologis yang ketiga

timbul bilamana bentuk pengetahuan tidak lagi cukup untuk memahami dunia yang sebenarnya, seperti ketika pemilik tanah yang mengurus estate

14

Ibid., h. 45-46. 15

Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik


(31)

(perkebunan)-nya dengan cara kapitalistis mendesak untuk menyatakan secara tegas kategori patriarkal dalam menggambarkan hubungan dengan para pekerja.16

Sementara itu, Bagus Takwin sampai pada kesimpulan bahwa mereka yang menganggap ideologi sebagai seperangkat nilai dan aturan tentang kebenaran yang dianggap terberi, alamiah, universal, dan menjadi rujukan bagi tingkah laku manusia juga dapat dimasukkan dalam kelompok aliran rasionalisme-idealis. Di sini ideologi memiliki arti yang positif. Sedangkan ideologi sebagai studi yang mengkaji bagaimana ide-ide tentang berbagai hal diperoleh manusia dari pengalaman serta tertata dalam benak untuk kemudian membentuk kesadaran yang memengaruhi tingkah laku. Berdasarkan kategori aliran, para penganut aliran ini dapat digolongkan dalam kelompok aliran empirisme-realis. Dalam pengertian ini, ideologi dapat bernilai negatif maupun positif bergantung pada ide-ide apa yang berpengaruh dan bagaimana akibatnya terhadap kehidupan manusia.17

Dalam perkembangannya ideologi juga memiliki banyak arti sesuai disiplin ilmunya. Pertama, ideologi sebagai suatu ilmu tentang ide-ide yang berambisi memisahkan pengetahuan dari metafisika dan agama serta kepercayaan-kepercayaan lainnya (pengertian dari Condilac dan de Tracy masuk di sini).18Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu yang menyebabkan manusia mengalami distorsi dalam menangkap dan memahami realitas (Marx dan beberapa penerusnya termasuk dalam kelompok pengertian ini).19 Ketiga,

16

Ibid., h. 86. 17

Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 9-10. 18

Ibid., h. 43-44. 19


(32)

ideologi sebagai suatu ketidaksadaran yang tertanam sangat dalam pada diri setiap manusia sebagai akibat dari adanya berbagai struktur. Pengertian ketiga dibedakan menjadi dua, yaitu pemikiran yang menyatakan ideologi sepenuhnya menentukan manusia (Althusser)20

di satu sisi dan ideologi sebagai pembatas, bukan penentu, di sisi lainnya (Bourdieu).21 Pengertian

keempat dari ideologi menunjukkan ideologi sebagai konstruksi linguistik. Pengertian keempat pun dibagi dua : 1) ideologi yang tertanam melalui proses semiotik yang mempengaruhi bahasa dan kesadaran manusia, seperti yang dikemukakan Voloshinov; dan 2) ideologi yang dibentuk oleh proses pemaknaan tanda yang dibekukan, seperti yang dikemukakan Barthes.22

Franz Magnis-Suseno membagi ideologi menjadi tiga macam yakni ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit.23 Sebagai contoh ideologi dalam arti penuh atau lengkap dapat diambil Marxisme-Leninisme.24

Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan ideologi dalam arti sepenuh-penuhnya yaitu ajaran atau pandangan dunia atau filsafat sejarah yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial, yang diklaim sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, tapi yang sudah dan harus dituruti. Ideologi dalam arti sepenuhnya juga disebut ideologi tertutup.

20

Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultur Studies

(Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 35-63. 21

Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 133-137. 22

Ibid., h. 119-125. 23

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark, h. 232. 24

Marxisme-Leninisme adalah sebuah teori [1] tentang hakikat relitas seluruhnya [sebuah teori metafisika berisi materialisme dialektis dan ateisme], [2] tentang makna sejarah [bahwa sejarah menuju ke masyarakat tanpa kelas], [3] yang memuat norma-norma ketat tentang bagaimana masyarakat harus ditata [secara “sosialis”, tanpa hak milik pribadi, seluruh kehidupan masyasrakat ditetapkan langsung oleh negara, jadi totaliter], bahkan tentang bagaimana individu harus hidup [tentang gaya rekreasinya, tantang karya seni yang boleh dan tidak boleh, tentang bentuk pendidikan, tentang tidak diperbolehkannya pelajaran agama, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibaca dsb], yang pada hakikatnya melegitimasikan monopoli kekuasaan sekelompok orang [partai komunis] di atas masyarakat.


(33)

Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah bahwa dia tidak diambil dari masyarakat, tapi merupakan pikiran sebuah elit yang harus dipropagandakan dan disebarkan kepada masyarakat.25

Sementara Belanda, Italia, Republik Federasi Jerman, dan cukup banyak negara “demokrasi Barat” lainnya mendasarkan penyelenggaraan kehidupan masyarakat pada nilai-nilai dan cita-cita tertentu tentang martabat manusia serta pada sedaftar hak-hak asasi manusia [yang termuat dalam undang-undang dasar negara-negara itu]. Cita-cita etika politik semacam itu bersifat terbuka dalam arti bahwa mereka mengizinkan pelbagai pengejewantahan. Cita-cita itu menjamin kebebasan masyarakat untuk menentukan kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan berpolitik. Dalam bahasa logika, cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui falsifikasi.26 Cita-cita itu tidak dibebankan dari luar kepada masyarakat, melainkan diangkat daripadanya, jadi berupa cita-cita masyarakat sendiri yang disepakati harus dibela. Maka motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak perlu dipacu, apalagi dipaksakan, karena dengan sendirinya diminati oleh masyarakat. Rumusan cita-cita semacam itu dalam sebuah “falsafah negara” dapat saja disebut “ideologi terbuka”. Ia terbuka karena hanya mengenai orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya.

25

Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark, h. 233. 26

Artinya: menetapkan batas-batas kebebasan; asal tetap batas-batas itu, misalnya selama tidak melanggar hak-hak asasi orang lain dan taat pada hukum, orang bebas menentukan kehidupannya.


(34)

Semua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama yakni merupakan cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, dipercayai, dan diperjuangkan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu baru muncul bersamaan dengan zaman modern yang ditandai oleh rasionalisme dan sekulerisasi [rupa-rupanya masyarakat memahami seluruh kehidupannya melalui kacamata agama, belum ada ruang di mana ideologi-ideologi dapat muncul].27

Namun, di zaman tradisional pun masyarakat memiliki keyakinan-keyakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia harus hidup di dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu sering hanya implisit, jadi tidak dirumuskan dan diajarkan, tapi keyakinan-keyakinan itu meresap dalam seluruh gaya hidup, merasa, dan berpikir, bahkan beragama masyarakat [dan dapat digali melalui analisa sastra, tulisan, dll masyarakat itu]. Cita-cita dan keyakinan-keyakinan tidak eksplisit itu sering ada segi ideologisnya karena mendukung tatanan sosial yang ada, jadi memberikan legitimasi kepada kekuasaan sebuah kelas atau lapisan sosial atas kelas-kelas sosial lainnya.

C. Kerja Ideologi

Ada beberapa pendapat tentang bagaimana sebuah ideologi menyebar dan bekerja dalam memengaruhi tingkah laku manusia. Pendapat-pendapat itu saling melengkapi. Di sini dikemukakan strategi-strategi yang diajukan oleh Terry Eagleton (1991) dan John B. Thompson (1990). Menurut Terry Eagleton (1991), strategi penyebaran ideologi terdiri atas rasionalisasi,

27


(35)

universalisasi, dan naturalisasi. Rasionalisasi adalah usaha untuk memberikan argumentasi-argumentasi yang seakan-akan rasional dan diusahakan tersusun selogis mungkin bagi gagasan-gagasan yang terkandung dalam ideologi. Universalisasi adalah usaha menampilkan gagasan-gagasan yang diklaim berlaku universal dan diberlakukan di mana-mana. Naturalisasi merupakan usaha untuk menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu yang tampak alamiah.28

Pada umumnya strategi ideologi berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan. Pihak yang berkuasa cenderung mempertahankan dominasinya terhadap pihak yang dikuasai. Berbagai kajian ideologi menunjukkan ada persinggungan antara makna dan dominasi dalam persoalan ideologi. Berbagai makna yang terkandung dalam ideologi disebar sedemikian rupa dan diinternalisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan upaya dominasi terhadap pihak-pihak tertentu.

Bagaimana makna dapat berfungsi untuk membentuk dan mempertahankan hubungan dominasi? Thompson (1990) menyebutkan lima modus dari cara ideologi beroperasi untuk mempertahankan suatu dominasi melalui penyebaran dan penularan makna. Lima modus umum itu terdiri atas (1) legitimasi (legitimation), (2) disimulasi (dissimulation), (3) unifikasi (unification), (4) fragmentasi (fragmentation), dan (5) reifikasi (reification). Tiap modus umum ini memiliki strategi-strategi khusus untuk mengonstruksi makna-makna. Konstruksi simbolik ini kemudian bertahan dan menetap sebagai pelanggeng dominasi.29

28

Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 147. 29


(36)

Penjelasan Thompson (1990) tentang modus operandi serta strategi penyebaran dan pengukuhan ideologi lebih rinci dibanding penjelasan Eagleton (1991). Yang dikemukakan Eagleton hanyalah sebagian dari yang dikemukakan oleh Thompson. Tabel berikut ini menunjukkan strategi-strategi yang digunakan pada masing-masing modus umum dapat pengoperasian ideologi merujuk pada Thompson (1990). Masing-masing modus umum itu akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikut ini.30

Modus Operandi dan Strategi Penyebaran Ideologi

Modus Umum Strategi Konstruksi Simbolik

Legitimasi

(Legitimation)

 Rasionalisasi (Rationalization)  Universalisasi (Universalization)  Narativisasi (Narrativization)

Disimulasi

(Dissimulation)

 Pemindahan (Displacedment)  Euphemisasi (Euphemization)

Trope, seperti: sinekdot (synecdoche), metonimi (metonymy), metafora (metaphor)

Unifikasi

(Unification)

 Standardisasi (Standardization)

 Simbolisasi kesatuan (Symbolization of unity)

Fragmentasi

(Fragmentatio)

 Diferensiasi (Differentiation)

 Penolakan “yang lain” (Expurgation of the other)

30


(37)

Reifikasi

(Reification)

 Narturalisasi (Naturalization)  Eternalisasi (Eternalization)  Nominalisasi (Nominalization)  Pasifisasi (Passivization)

Legitimasi

Konsep legitimasi dalam kaitannya dengan hubungan dominasi secara jelas dikemukakan oleh Max Weber. Max Weber (dalam Thompson, 1990) menyatakan bahwa hubungan dominasi yang dibentuk dan dipertahankan harus memiliki legitimasi, dalam arti memiliki kesan bahwa hubungan dominasi itu secara sosial dipandang sebagai sesuatu yang baik dan layak didukung. Penilaian terhadap hubungan dominasi itu bisa didasari oleh aspek hukum, politik, moral, religius, budaya, atau keseluruhan aspek tersebut. Klaim atas legitimasi dapat diekspresikan dalam strategi-strategi konstruksi simbolik tertentu yang mencakup:

Rasionaliasi, strategi konstruksi simbolik yang membentuk serangkaian penalaran yang cenderung mempertahankan atau membenarkan sebuah hubungan sosial atau lembaga sehingga dapat mempengaruhi orang lain untuk mendukungnya.

Universalisai, strategi konstruksi yang berusaha menjadikan susunan kelembagaan yang melayani interest sekelompok orang sebagai sesuatu yang seolah-olah melayani interest semua orang. Susunan kelembagaan ini ditampilkan terbuka bagi semua orang yang memiliki kemampuan dan keinginan berhasil di dalamnya.


(38)

Narativisasi, strategi konstruksi untuk menghasilkan klaim-klaim akan legitimasi di dalam kerangka cerita/narasi yang di dalamnya masa lalu dan masa kini ditampilkan seolah-olah bagian dari tradisi yang abadi dan agung. Tradisi-tradisi seringkali diciptakan untuk membentuk sense of belonging

dalam satu komunitas dan sejarah bersama sehingga mengatasi dan melampaui pengalaman konflik, perbedaan, dan perpecahan.

Disimulasi

Secara umum disimulasi merupakan usaha mendistorsi atau mengubah realitas dengan cara mengaburkan, menyembunyikan, menutup-nutupi realitas atau memberi pemaknaan lain bagi realitas. Dengan disimulasi, hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan. Realitas disembunyikan, disangkal, dikaburkan, dan direpresentasikan sedemikian rupa sehingga mengalihkan perhatian dari kondisi yang sesungguhnya. Disimulasi dapat dicapai dengan strategi:

Pemindahan, strategi untuk mengalihkan perhatian dari satu objek ke lain objek sehingga konotasi positif atau negatif yang ada pada objek pertama beralih kepada objek kedua. Objek di sini merujuk pada semua hal yang dapat dipersepsi oleh manusia dalam kenyataan.

Euphemisasi/penghalusan,strategi yang digunakan untuk memaparkan atau memaparkan ulang tindakan, lembaga, atau hubungan sosial sehingga menimbulkan kesan positif. Dengan strategi ini, sesuatu yang buruk dapat diperhalus sedemikian rupa sehingga kesan negatifnya hilang berganti dengan kesan positif.


(39)

Trope, strategi yang menggunakan bahasa figuratif, seperti: sinekdot (pergeseran semantik antara bagian dan keseluruhan), metonimi (penggunaan bentuk simbolik yang mewakili karakteristik dari suatu hal untuk memaknai hal itu sendiri), dan metafora (penerapan suatu bentuk simbolik pada suatu objek atau tindakan). Bentuk-bentuk simbolik itu sesungguhnya tidak sesuai secara literal dengan kenyataan. Bentuk-bentuk simbolik itu ditampilkan sedemikian rupa sehingga kesan positifnya tertampil jelas, sedangkan makna-makna dan efek-efek negatifnya tertutupi.

Univikasi

Univikasi secara umum merupakan usaha untuk menyatukan proses dan hasil pemaknaan terhadap realitas. Hubungan dominasi dapat dibentuk serta dipertahankan dengan cara membentuk suatu kesatuan pada tingkat simbolik (kesatuan pemahaman makna) dalam suatu identitas kolektif tanpa menghiraukan perbedaan dan perpecahan yang ada. Unifikasi dapat dicapai dengan beberapa strategi:

Standardisasi, strategi yang kegiatannya terdiri atas usaha-usaha penyesuaian bentuk-bentuk simbolik pada kerangka standar/baku yang dianggap milik bersama dan dipandang sebagai dasar pertukaran simbolik.

Simbolisasi kesatuan, strategi yang berupa konstruksi simbol-simbol kesatuan, identitas kolektif, dan identitas kolektif yang mengatasi kelompok atau pluralitas kelompok-kelompok.


(40)

Fragmentasi

Secara umum fragmentasi merujuk pada semua aktivitas memecah-mecah suatu hal menjadi beberapa bagian. Hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan dengan cara memecah-mecah individu-individu atau kelompok-kelompok yang menentang kelompok-kelompok dominan. Bentuk lain dari fragmentasi adalah mengarahkan kekuatan dari kelompok oposisi ke sasaran yang diproyeksikan sebagai sesuatu yang jahat, berbahaya, dan mengancam. Fragmentasi dapat dicapai dengan strategi:

Diferensiasi,strategi konstruksi simbolik yang menekankan perbedaan antarindividu atau antarkelompok serta memusatkan pada karakteristik yang memecah-mecah mereka agar tidak menentang sistem sosial yang ada.

Penolakan terhadap “yang lain”, strategi konstruksi dengan menggambarkan sebuah kelompok sebagai kelompok yang jahat, berbahaya, dan mengancam sehingga individu-individu secara kolektif melawan atau menolaknya. Secara awam, strategi ini dapat disamakan dengan aktivitas menciptakan musuh bersama.

Reifikasi

Secara umum reifikasi dapat diartikan sebagai kegiatan merepresentasi suatu kondisi yang bersifat sementara sebagai kondisi yang permanen dan alamiah. Istilah reifikasi ini merujuk pada konsep ideologi dari Lukacs. Hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan dengan cara merepresentasikan suatu kondisi yang bersifat sementara atau historis dengan gambaran seolah-olah bersifat permanen dan alamiah. Reifikasi dapat tercapai dengan strategi:


(41)

Naturalisasi, strategi konstruksi simbolik yang menggambarkan suatu kondisi historis dan sosial sebagai kondisi alamiah atau hasil dari proses alamiah.

Eternalisasi, strategi konstruksi simbolik yang menghilangkan aspek historis dari suatu gejala sosio-historis sehingga gejala itu dapat digambarkan sebagai suatu yang permanen, tidak dapat berubah, dan selalu berulang.

Nominaslisasi, strategi konstruksi simbolik dengan mengubah kalimat-kalimat atau bagian dari kalimat-kalimat yang merujuk pada tindakan atau individu-individu yang terlibat dalam tindakan menjadi kata benda yang terkesan netral.

Pasifisasi, strategi konstruksi simbolik yang mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Nominalisasi dan pasifisasi merupakan konstruksi simbolik yang menghilangkan tanggung jawab sang pelaku tindakan (agent) dan merepresentasikan suatu proses dengan benda (thing).31

31


(42)

31

BIOGRAFI GANDHI

A. Riwayat Pribadi

Salah satu founding father bangsa India ini memiliki nama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Lelaki yang identik dengan kacamata bulat dan kain putih melilit di tubuhnya yang kurus kering, kepala botak, serta kaki yang tak beralas, ini lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, Kathiawad, Gujarat, dari kasta modh vania dalam agama Hindu, yang terkenal dengan kekayaan, kedermawanan, keahlian berdagang, dan kejujurannya. Ayahnya bernama Karamchand Gandhi, atau yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi, adalah seorang perdana menteri (diwan) negara bagian Porbandar India di Gujarat yang cukup tegas dan dihormati. Gandhi menceritakan tentang ayahnya sebagai seorang laki-laki “yang dianugerahi kesenangan duniawi”.1 Ibunya bernama Putlibai, istri keempat ayahnya, ialah seorang wanita yang mengesankan bagi Gandhi karena ketaatan dan kesalehannya. Ia dalam pandangan Gandhi merupakan istri dan ibu yang setia bagi suami dan anak-anaknya.2

Pemimpin kharismatik bangsa India yang terlahir ketika situasi sosial, ekonomi, dan politik India dalam cengkeraman imperialisme dagang Inggris ini putra termuda di keluarganya. Dia memiliki tiga kakak perempuan (dua di antaranya kakak tiri) dan seorang pengasuh anak-anak (inang) bernama

1

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 15-16.

2

Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 3.


(43)

Rambha. Dia juga memiliki dua kakak laki-laki. Salah satunya Lakshmidas, enam tahun lebih tua darinya, kuliah hukum di India dan bekerja sebagai pegawai keuangan Porbandar. Sementara Karasandas, tiga tahun lebih tua darinya, setelah dewasa mendaftarkan diri di kepolisian negara bagian tetangga, Rajkot.3

Ketika sedang menjalani pendidikan menengahnya pada Kathiawar High School atau saat berusia sekitar 13 tahun, Gandhi dinikahkan oleh orangtuanya dengan gadis sebayanya yang bernama Kasturba. Pasangan hidup Gandhi ini adalah putri Gokuldas Makanji, seorang pedagang kaya di Porbandar. Kasturba dibesarkan sebagai putri dari kasta vaishnava.4 Meski kurang pendidikan formal, dia lebih berani daripada suaminya, yang tak pernah bisa tidur di kamar yang gelap dan selalu takut diserang hantu dan ular.5 Kasturba juga sekeras kepala dan selembut hati Gandhi.

Sebagai pasangan muda, kehidupan pernikahan Gandhi dengan Kasturba mulanya tidaklah begitu stabil, terutama menyangkut seks. Suatu peristiwa yang selanjutnya mengubah pola hidup Gandhi adalah peristiwa menjelang ayahnya meninggal dunia. Dia menyesali kecerobohannya saat meninggalkan sang ayah yang sakit kemudian meninggal hanya untuk memenuhi keinginan Kasturba yang tengah hamil. Peristiwa ini yang membuat Gandhi melaksanakan penghentian berhubungan seks (brahmacary) di akhir-akhir kehidupannya.6 Sementara putra-putra Gandhi hasil pernikahannya dengan Kasturba yakni Harilal, Manilal, Ramdas, dan Devadas.

3

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 15. 4

Ibid., h. 17. 5

Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 6. 6


(44)

Suami Kasturba yang memiliki panggilan masa kecil Mohan ini punya sobat karib saat sedang menempuh sekolah menengahnya. Gandhi terpesona dengannya karena mampu melompat cukup jauh dan berlari kencang. Kawan yang punya keberanian dan kekuatan fisik yang tak dimiliki Gandhi kecil ini bernama Mehtab. Dialah yang mengajarkan kenakalan-kenakalan remaja kepada Gandhi saat sudah memiliki istri. Mehtab mengajarkan Gandhi untuk memakan daging dengan sembunyi-sembunyi, bahkan membawa Gandhi ke lokasi pelacuran meski akhirnya Gandhi diselamatkan oleh “ketidakjantanannya”.7

Meskipun Gandhi kemudian menyadari dan mulai muak dengan kebodohan dan kekejaman atas identitas negatif Mehtab, keakraban mereka berlangsung sampai beberapa puluh tahun. Gandhi bahkan membawa Mehtab ke Afrika Selatan dan tinggal bersama selama beberapa waktu, sebelum mengusirnya setelah tepergok bersama seorang pelacur.

Masalah Gandhi dengan putra tertuanya, Harilal, bahkan dinilai para pakar psiko-sejarah karena anak laki-laki pertamanya itu mengidentifikasikan diri dengan Mehtab, mengidentifikasi diri dengan sisi kepribadian yang “dibunuh dalam diri ayahnya”. Harilal memang sedikit berbeda dengan saudara-saudara kandungnya yang lain. Problematika Harilal yang masuk Islam setengah-setengah, mengubah nama dan memalsukan identitas, ingin menikah keduanya dengan murid ashram Gandhi, menyetok kain impor dan menjualnya saat harganya mulai melambung, serta menjadi pemabuk dan pemboros ini menunjukkan kegagalan seorang Mahatma mendidik anaknya.8

7

Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 6-7. 8


(45)

Meski begitu, barister atau pengacara jebolan salah satu universitas di Inggris ini sangat berjasa meminimalisasi rasisme terinstitusi dan diskriminasi warga kelas dua di Afrika Selatan dengan metode satyagraha-nya, mengangkat martabat kasta terendah dalam hierarki Hindu yakni Paria atas nama persamaan derajat, membangkitkan kemandirian bangsa India dari cengkeraman Inggris dengan swadesi-nya, dan membangun kembali toleransi antaragama yang ternoda oleh politik kekuasaan India-Pakistan dengan metode antikekerasan (ahimsa) dan persaudaraan umat manusia. Putra terbaik India yang mendapat gelar Mahatma dari penyair besar semasanya Rabindranath Tagore ini bahkan menjadi bukti yang tragis atas persoalan terakhir itu. Sang Mahatma mengingatkan Pemerintah India yang baru terbentuk memenuhi janjinya kepada Pemerintah Pakistan, yakni menyerahkan aset yang telah disepakati, dengan puasa tanpa batas supaya kekerasan dihentikan. Pada pagi 30 Januari 1948, Gandhi malah ditembak mati oleh seorang nasionalis Hindu fanatik Nathuram Godse setelah pertemuan doa perdamaian di New Delhi.9

B. Dunia Intelektual

Gandhi di masa kanak-kanaknya memang termasuk anak yang mengalami kesulitan belajar, terutama dalam berhitung dan perkalian, tapi ia merupakan pribadi yang tekun.10

Sejak kecil Gandhi membaca Kitab Weda dan Upanishad melalui terjemahan karena dia tidak mempelajari bahasa Sanskerta secara mendalam. Ia bahkan tidak mempelajari kitab yang sudah melekat dalam

9

Ibid., h. 402. 10


(46)

kehidupan orang India ini secara ilmiah sebagaimana kaum cendekiawan. Meski begitu, ia mengaku dapat menghayatinya seperti semestinya seorang pemeluk Hindu dan dapat menangkap spiritnya.11 Gandhi bahkan sering mendengarkan diskusi-diskusi ayahnya dengan para pemuka agama lain seperti Jainisme, Islam, dan Kristen, yang datang ke rumahnya untuk berdialog tentang agama-agama. Sementara ibunyalah yang telah memberi ia banyak pelajaran berharga mengenai makna sebuah kepatuhan, keteguhan, ketulusan, dan kelembutan.

Pendidikan dasar Gandhi dijalani di Rajkot, sebuah kota yang berjarak 12 mil dari Porbandar. Setelah lulus, ia pun meneruskan jenjang pendidikan menengahnya pada Kathiawar High School. Semasa pendidikan menengah, Gandhi remaja masih malu-malu sampai ia mengakui bahwa ia tidak punya banyak teman kecuali buku-buku pelajaran yang dia baca.12

Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, ia berhasil diterima belajar di Samaldas College di Bhavnagar. Karena merasa kurang cocok, Gandhi pun berniat belajar di Inggris dan meninggalkan kampus lamanya.13 Akan tetapi, muncul larangan keras terutama dari ibunya yang khawatir dengan pergaulan dan budaya masyarakat Inggris, sehingga Gandhi pun bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita, minum anggur, dan makan daging jika diterima belajar di Inggris.14 Setibanya di Inggris dia memilih Fakultas Hukum, Inns of Court, Inner Temple, London, sebagai fokus studinya. Gandhi yang cara belajarnya sedikit metodis ini juga mahasiswa

11

Ibid., h. 8. 12

Ibid., h. 3. 13

Ibid., h. 9. 14


(47)

yang produktif. Di sana ia belajar cara hidup Eropa, bahasa Prancis dan Latin, ilmu alam, hukum adat, dan hukum Romawi.15 Pada usia 22 dia menyelesaikan semua pelajarannya dengan lumayan sempurna.

Pada satu kesempatan ia sempat dibacakan isi buku Theory of Utility

karangan Bentham oleh seorang kawan yang berharap Gandhi makan daging seperti orang kebanyakan karena makanan tanpa daging sulit dicari di Inggris. Namun, Gandhi akhirnya menemukan rumah makan yang menyediakan lauk sayur-mayur dan menjual buku-buku vegetarian, tepatnya di Farringdon Street. Salah satu buku yang berhasil ia beli di sana yakni Plea for Vegetarianism karya Salt. Di lingkungan tempat tinggalnya di Bayswater, Gandhi pun membentuk sebuah forum para vegetarian dan menerbitkan majalah The Vegetarian.16

Dua di antara anggota vegetariannya yang masih muda mengajak Gandhi bersama-sama menerjemahkan The Song Colestial karya Edwin Arnold ke versi Sanskerta aslinya, Bhagavadgita (lagu orang-orang yang diberkahi). Edwin Arnold inilah yang kemudian menjadi Wakil Presiden Food Society Reform Baywaster yang didirikan Gandhi. Gandhi juga mendapati bahwa

Light of Asia, karya Arnold yang lain tentang kehidupan Budha, sama menariknya dengan Bhagavadgita.

Mereka berdua yang namanya tak didapatkan penulis tersebut penganut teosofi dan pernah membawa Gandhi ke Pondok Blavatsky di London, di mana dia bertemu penggagas teosofi Madame Helena Blavatsky. Key of Theosophy-nya, kenang Gandhi, “Merangsang hasrat saya untuk membaca

15

I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 26.

16


(48)

buku-buku tentang Hindu dan membebaskan saya dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh para misionaris bahwa Hindu penuh takhayul,”.17 Di Theosophical Society London itu Gandhi pertama kali bertemu calon murid

ashram-nya dan wanita Inggris pertama yang mengetuai Indian National Congress , Annie Besant.

Seorang kritikus reformis masyarakat Victoria yang jeli terhadap masalah-masalah besar seperti polusi industri perkotaan dan degenerasi manusia akibat modernisasi, John Ruskin, juga sangat berjasa bagi Gandhi. Buku Unto the Last, salah satu karya Ruskin, adalah buku karangan lepas pertama yang Gandhi baca. Buku yang kemudian diterjemahkan Gandhi ke bahasa Gujarat dengan judul Sarvodayo, yang berarti Kesejahteraan bagi Semua, inilah yang memberikan perubahan praktis signifikan kepada Gandhi.18 Dia pun segera melaksanakan cita-cita Ruskin ini dengan membeli perkebunan Phoenix seluas 46,6 hektare sebulan setelah tiba di Durban, Afrika Selatan dan mendirikan

ashram pertamanya bernama Phoenix Colony. Ashram ini akhirnya menjadi komunitas yang sehat dan vital serta menjadi model dari transformasi sosial yang akan disebarkan Gandhi sepanjang hidupnya.19

Dalam diri Henry David Thoreau yang berkebangsaan Amerika, Gandhi pun menemukan seorang guru. Esai Thoreau yang berjudul The Duty of Civil Disobedience telah memberikan legitimasi ilmiah tentang apa yang telah dilakukan Gandhi di Afrika Selatan.20 Selain pemogokan massal (hartal), di sana Gandhi juga melakukan perlawanan opini dengan mendirikan Indian

17

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 28. 18

Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 29. 19

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 75-76. 20


(49)

Opinion pada 4 Juni 1903.21 Ia menyadari tujuan jurnalistik adalah pelayanan terhadap masyarakat. Surat kabar baginya kekuatan besar yang bisa digunakan untuk sebuah perubahan masyarakat. Selain itu, dia juga menerbitkan surat kabar tak terdaftar, Satyagrahi, enam belas tahun kemudian untuk memublikasikan instruksi-instruksi bagaimana membuka diri terhadap penangkapan.22 Pada Februari 1933, Gandhi bahkan meluncurkan penerbitan mingguan, Harijan, untuk mengampanyekan penghapusan akar dan cabang ketaktersentuhan kaum harijan dari kasta paria.23

Saat perjalanan pulang sementara dari Afrika Selatan ke India untuk menjemput keluarganya, ia sempat meluangkan waktu untuk menulis dan menerbitkan The Green Pamphlet, sebuah buku yang isinya mengulas rinci tentang keluhan orang-orang India di Afrika Selatan.24 Buku yang memicu kemarahan sebagian warga Afrika Selatan kepada Gandhi ini membuat ia diserang segerombolan orang yang akan membunuhnya.

Ketika dalam perjalanan menuju London bersama Haji Ally (1906), Gandhi juga menulis artikel tentang keberanian moral Wat Tyler, John Hampden, dan John Bunyan, untuk membantu mempersiapkan masyarakat menentang ordonasi ketika diberlakukan mulai 1 Januari 1907. John Bunyan adalah penentang penindasan keagamaan uskup-uskup pada zamannya. Selama 12 tahun terkurung di Penjara Bedford, John Bunyan menulis The

21

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 71. 22

Ibid., h. 145. 23

Ibid., h. 267-268. 24


(50)

Pilgrim’s Progress, yang dipuji Gandhi sebagai “buku terindah dalam bahasa Inggris”.25

Rusia bahkan telah menganugerahi Gandhi seorang Leo Tolstoy, yang telah meletakkan dasar yang sehat mengenai gerakan antikekerasan lewat karya-karyanya di antaranya A Confession, What I Believe, The Kingdom of God Is Within You, A Calendar of Wisdom. Tolstoy juga telah merestui gerakan satyagraha Gandhi di Afrika Selatan ketika masih tumbuh dan kemungkinan-kemungkinannya akan berkembang. Tolstoylah yang dalam suratnya kepada Gandhi meramalkan bahwa Gandhi sedang memimpin satu gerakan yang ditakdirkan akan membawa pesan berisi harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi.26Ashram kedua yang didirikannya lima tahun setelah

ashram pertamanya di Afrika pun dinamakan Tolstoy Farm.27 Tolstoy telah mengajarkannya sebuah arti kejujuran, moralitas, kesederhanaan, dan independensi.

Di India, tepatnya di Kochrab, Gandhi membuka ashram yang diberi nama Ashram Satyagraha.28 Di Gujarat, Gandhi pun mendirikan ashram yang diberi nama Ashram Sabarmati. Ashram ini yang menampung para pekerja yang memang tidak memiliki uang, tapi memiliki kekayaan yang melebihi uang. Mereka memiliki tangan, keberanian, dan ketakutan kepada Tuhan.29

Selain itu, di Wardha pun Gandhi mendirikan ashram yang kebanyakan pengikutnya kaum harijan dan diberi nama Sevagram (Desa Pelayanan).30

25

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 84-85. 26

Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 55. 27

Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 77. 28

Ibid., h. 121. 29

Ibid., h. 134. 30


(51)

Gandhi bahkan pernah memperoleh tidak kurang dari tiga eksemplar buku

Life of Sister Theresa dengan harapan agar mengikuti teladan Theresa dan mengakui Yesus sebagai satu-satunya Juru Selamat ketika dipenjara. Dia pun membaca buku-buku tersebut dengan tekun. Meski begitu, hal itu tidak membuatnya mengakui kesaksian suster Theresa sebab Gandhi tetap berpegang teguh kepada ajaran agama Hindu.31

Selain sebagai seorang aktivis produktif, Gandhi juga meninggalkan tulisan yang cukup banyak dan kebanyakan dapat kita lihat corak humanismenya. Karya-karya tersebut antara lain Autobiography: The Story of My Experiments with The Truth (1940), Non-Violence in Peace and War (Vol. 1/1945 dan 2/1949), Towards Non-Violence Socialism (1951), Sarvodaya

(1951), For Pacifists (1949), Harijan (1948), The History of Satyagraha

(1951), Rebuilding Our Villages (1952), Swadeshi, True, and False (1939), To the Students (1949), Woman and Social Unjustice (1942), dan Young India

(1932). Selain karya-karya tersebut, masih banyak lagi kumpulan-kumpulan tulisan Gandhi yang tersebar di berbagai surat kabar pada zamannya.32

C. Karier Politik

Setelah menyelesaikan pendidikan di London (1891), Gandhi membuka klinik hukum di Bombay meski kemudian tidak begitu berhasil. Gandhi lantas berangkat ke Durban, Afrika Selatan untuk menyelesaikan sebuah kasus yang melilit Dada Abdulla. Keberhasilannya yang memberikan rasa keadilan bagi

31

Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 52. 32

Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2 (Juli 2007), h. 114.


(52)

kliennya itu membuat ia dipercaya kembali untuk memperjuangkan hak-hak warga India di Afrika Selatan yang mayoritas muslim selama hampir dua puluh tahun. Langkah pertama yang ia tempuh adalah mendeklarasikan Indian Natal Congress (1894).

Tidak seperti Ali Jinnah yang langsung melejit ke jajaran barister atau pengacara top dan kalangan elit Bombay dengan penampilannya yang tenang dan kemahirannya beretorika di ruang sidang, Gandhi ternyata ditakdirkan untuk meniti karier politiknya dari bawah. Gandhi di Afrika Selatan mengajak warga India untuk belajar sejarah dan sastra India, memetakan kondisi mereka di Afrika Selatan, menginformasikan apa yang terjadi di sana kepada Indian National Congress, dan memajukan kerukunan antara warga India dan Inggris yang tinggal di koloni Inggris wilayah Afrika Selatan.33

Satu tahun yang direncanakan Gandhi di Afrika Selatan ternyata memakan waktu bertahun-tahun. Kemahirannya yang berhasil menurunkan pajak sebesar £25 yang dibebankan kepada mantan budak kontrak yang memilih tinggal di Afrika Selatan hingga £3 membuat Gandhi diminta berpidato di depan rapat Indian National Congress (1896). Di sinilah dia mulai diperhitungkan oleh jajaran petinggi Indian National Congress seperti Tilak dan Gokhale. Kejujuran, kecerdasan, dan integritas Gokhale yang menyeluruh di hari kemudian menginspirasi perjuangan sosial dan tindakan politik Gandhi. Dari pemimpin sayap radikal pergerakan nasional India seperti Tilak, Gandhi juga banyak belajar tentang kekuatan besar dari penggunaan simbol-simbol keagamaan Hindu, tempat-tempat suci, perayaan-perayaan, dan metode

33


(53)

memikat dukungan massa dengan bahasa setempat yang dipahami orang awam yang tidak pernah belajar bahasa Inggris.34

Pertemuan itu tidak membutakan Gandhi. Dia lantas kembali ke Afrika Selatan dan melanjutkan tugas barunya yakni menentang ekspansi Inggris ke Boer (1897) meski akhirnya dia tidak bisa mengelak bahwa statusnya sebagai hamba Inggris harus patuh dan memberikan bantuan korps ambulans India bagi tentara Inggris dalam perang dengan harapan warga India mendapatkan hak-hak layaknya. Keputusan ini membuat Gandhi berjuang mendefinisikan dirinya dan berusaha menghubungkan realitas kehidupan keseharian yang ambivalen dengan jangkar keyakinan yang koheren.

Namun, balasan Inggris justru sebaliknya. Warga India yang tinggal di sana diwajibkan mendapatkan izin khusus untuk memasuki Transvaal, kecuali mereka menyuap pegawai Departemen Asiatik.35 Gandhi yang kecewa akhirnya membangun aliansi untuk menentang Undang-Undang Asiatik dengan satyagraha dan hartal. Di Masyarakat Islam Hamidiya Johannesburg (1906), Gandhi lantang bicara mengecam peraturan daerah (ordonasi) yang diskriminatif dan tiranis itu, serta menyeru boikot pendataan warga meski berujung pada penderitaan.36 Akibatnya, Gandhi ditahan dan diajukan ke pengadilan untuk pertama kalinya di Persidangan Kriminal Johannesburg (1907), karena dituduh dan terbukti tidak mendatakan diri sebagai warga koloni.37 Bolak-balik penjara untuk menghapus peraturan itu tidak membuatnya patah semangat. Perjuangan satyagraha-nya pun tidak sia-sia

34

Ibid., h. 59. 35

Ibid., h. 69. 36

Ibid., h. 82. 37


(1)

ideal yang terbebas dari tindak kekerasan. Dengan cara menurunkan gagasan-gagasan dalam sejumlah kerangka aksi dan aturan-aturan tindakan, Gandhi selama hidupnya bertindak membebaskan diri dari sesuatu yang dipersepsi sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi antikekerasan yang dihidupinya memberi arah bagi gerakan pembebasan diri, masyarakat, negara, dan dunia.

Antikekerasan Gandhi akan menjadi suatu ideologi yang bersifat negatif apabila hanya dihidupi dan praktikkan secara parsial, misalnya hanya dipahami sebagai tindakan etis untuk tidak melukai tubuh manusia. Sementara di sisi lain mengabaikan atau bahkan melegitimasi tindak kekerasan struktural dan kultural yang lebih bersifat global.

Antikekerasan yang diajarkan Gandhi sebenarnya bersifat menyeluruh dalam segala bidang kehidupan. Dengan begitu, ideologi antikekerasan Gandhi akan bekerja jika kita a) tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun, b) selalu berpegang teguh kepada kebenaran, c) tidak bergantung kepada orang lain, d) selalu berupaya menuju kebenaran sejati, e) berdoa dan bekerja bagi orang lain jua, f) selalu menciptakan suasana damai, g) mengutamakan proses daripada tujuan, h) selalu mengasah jiwa agar melahirkan kelembutan, dan i) membangun kesetaraan, bukan ketimpangan.

Sebagaimana juga tokoh revolusioner seperti Karl Marx dkk yang belakangan menuai kritik terlalu utopia untuk ukuran zaman sekarang, Gandhi juga dapat dimasukan ke dalam bayangan utopia yang mengandaikan bahwa perjuangan antikekerasan akan berhasil. Namun, pengandaian ini sangat mungkin bersifat utopia karena ada ruang-waktu yang berbeda dengan kondisi sekarang.


(2)

110

B. Saran

Ketika suatu masyarakat berada dalam cengkeraman hegemoni yang melegitimasi tindak kekerasan, konterhegemoni (counterhegemony) diperlukan yaitu penyadaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang disebabkan oleh hegemoni. Dengan demikian, tidak ada salahnya jika ideologi antikekerasan Gandhi ini disarankan sebagai kontrahegemoni dari hegemoni yang melegitimasi tindak kekerasan.

C. Harapan

Gagasan mengenai ideologi antikekerasan Gandhi ini diharapkan juga dapat menciptakan suatu masyarakat antikekerasan atau masyarakat yang damai. Suatu masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari gagasan pokok tentang prinsip-prinsip pola relasi antarmanusia untuk hidup berdampingan secara damai, toleran, dan jauh dari prilaku kekerasan. Konsepsi masyarakat yang diharapkan oleh ideologi antikekerasan merupakan wujud manifestasi dari ajaran religius atau keyakinan keagamaan. Nilai kemanusiaan yang menjadi titik puncak bagi setiap bentuk pengabdian menjadi kata kunci untuk memberikan suatu penilaian bahwa setiap manusia adalah sama dan bersaudara, tidak boleh ada yang dilebihkan atau merasa lebih dibanding dengan yang lainnya.


(3)

111

Adam, Ian. Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya. Penerjemah Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam, 2004 Alappatt, Francis. Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik, dan

Konsep Ekonomi. Penerjemah S. Farida. Bandung:

Nusamedia-Nuansa, 2005

Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra, 2008

Arendt, Hannah. Teori Kekerasan. Penerjemah Ghafna Raiza W. Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan (LPIP), 2003 B. Thomson, John. Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-Ideologi

Dunia. Penerjemah Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000 Berndt, Hagen. Non-Violence in The World Religions (Agama yang

Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi). Penerjemah A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 2006

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001

–––––––– Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001

–––––––– Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2006 –––––––– Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Kanisius, 2003

Budi Hardiman, Fransisco. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jugen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, 2004

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996

Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Penerjemah Mestika Zed dan Zulfami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003

Chodjim, Ahmad. Membangun Surga; Bagaimana Hidup Damai di Bumi agar Damai Pula di Akhirat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004


(4)

112

Gandhi, Mohandas Karamchand. Mahatma Gandhi; Sebuah Autobiografi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, cet. I. Penerjemah Andi Tenri W. Yogyakarta: Nasari, 2009

–––––––– Non-Violence in Peace and War, Volume I. Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1942

–––––––– Non-Violence in Peace and War, Volume II. Ahmedabad:

Navajivan Publishing House, 1949

–––––––– Semua Manusia Bersaudara: Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, cet. II. Penerjemah Kustiniyati Mochtar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991

Gorda, Gusti Ngurah. Budaya dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma. Singaraja: Pusat Kajian Hindu, 2004

Hadi, RD. P. Hardono. Jati Diri Manusia; Berdasarkan Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2002

Hendropuspito, Sosiologi Agama.Yogyakarta: Kanisius, 2000

Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1989 Krishna, Anand. “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22

November 2008 dari http://www.akcbali.org

Larrain, Jorge. Konsep Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan. Yogyakarta: LKPSM, 1996

Lubis, Mochtar. Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988

Madjid, Nurcholish. “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan.” Tulisan dalam Munawar-Rachman, Budhy, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. II. Jakarta: Paramadina, 1995

Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999 Mangunhardjono. “Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade.” Tulisan

dalam Sastrapratedja, ed. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982

Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Penerjemah F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1993


(5)

Merton, Thomas, ed. Gandhi on Non-Violence: A Selection from the Writings of Mahatma Gandhi (Gandhi tentang Pantang Kekerasan). Penerjemah A. M. Fatwan Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992

Mulia, Dr. T.S.G. India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1959

Munawar-Rachman, Budhy. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1986 Permata, Ahmad Norma. Agama dan Terorisme. Surakarta: Muhammadiyah

University Press, 2005

Santosa, Toni. “Ahimsa dalam Pandangan Mahatma Gandhi”, Driyarkara, No. 1/Th. XV, 1998

Sastrapratedja. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982

Sri Poerbasari, Agnes. “Nasionalisme Humanistik Mahatma Gandhi”, dalam

Ideologi dan Pemikiran Kebangsaan. Wacana: Jurnal Ilmu

Pengetahuan dan Budaya, Vol. 9, 2007

Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2 (Juli 2007) Takwin, Bagus. Akar-Akar Ideologi; Pengantar Kajian Konsep Ideologi

dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2003

Titus, Harold H.. Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Tjahjadi, Simon Petrus L. Sejarah Filsafat Barat Modern. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1999

Wasiadi, Idam. “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,” KOMPAS, 14 September 2001

Wegig, Wahana. Dimensi Etis Ajaran Gandhi. Yogyakarta: Kanisius, 1986 Windhu, I. Marsana. “Dimensi Kekerasan, Tinjauan Teoritis atas Fenomena

Kakerasan” ad. Melawan Kekeresan Tanpa kekerasan. Yogyakatra: Pustaka Pelajar, 2000

–––––––– Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. cet. VI. Yogyakarta, Kanisius, 1992


(6)

114

Wisarja, I Ketut. Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005

Wolpert, Stanley. Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya. Penerjemah Sugeng Hariyanto, dkk. Jakarta: Murai Kencana, 2001

Zaehner, Robert C. Kebijaksanaan dari Timur; Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme cet. II. Penerjemah Dr. A. Sudiarja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993

Zainuddin, A.Rahman. Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992

Zimmer, Heinrich. Sejarah Filsafat India. Penerjemah Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003