Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Luar KUHP Kronologis

2. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Luar KUHP

Sanksi hukuman mati bukan saja diatur dalam KUHP, tetapi juga diatur di dalam perundang-undangan di luar KUHP. Hal ini dapat ditemui dalam undag- undang sebagai berikut: 88 a. Tindak pidana ekonomi UU No. 7Drt1955 b. Tindak pidana narkotika dan psikotropika UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997 c. Tindak pidana pemberantasan korupsi UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 d. Tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia UU No. 26 Tahun 2000 e. Tindak pidana terorisme UU No. 15 Tahun 2003. Melihat kelima macam tindak pidana di luar KUHP tersebut, penulis berpendapat bahwa wajar dilakukan hukuman mati karena efek dari kejahatan ini bukan saja berdampak pada pelaku kejahatan, melainkan juga merusak sendi-sendi kehidupan yang berpengaruh kepada masyarakat, bangsa dan negara, seperti korupsi, terorisme, dan lain-lain.

3. Pidana Mati dalam RUU KUHP Nasional Indonesia

Rancangan Undang-undang KUHP Nasional Indonesia yang diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat, menyatakan bahwa hukuman mati itu 88 Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia Elsam, Edisi Maret-April 2007. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 sebagai hukuman pidana yang bersifat khusus. Ancamannya tidak lagi mutlak seperti yang diatur dalam KUHP yang kini masih berlaku dan bersifat alternatif. 89 Tindak pidana yang diancam hukuman mati dalam RUU KUHP yaitu: 90 a. Pasal 242 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa, dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas umum atau fasilitas internasional, dipidana karena melakukan terorisme dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. b. Pasal 244 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang menggunakan bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya untuk melakukan terorisme, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. c. Pasal 247 yang berbunyi sebagai berikut: 89 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Tahun 2006, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 90 Ibid. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 “setiap orang yang merencanakan danatau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 sd pasal 246, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. d. Pasal 249 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pembuat tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 sd pasal 246 RUU KUHP”. e. Pasal 250 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “dipidana karena terorisme setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 256 dan 257 dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan pasal 258 dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. f. Pasal 250 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 252, 255, 260, 261 dan pasal 262, dipidana karena terorisme dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan tujuan atau maksud untuk melakukan terorisme”. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 g. Pasal 251 yang berbunyi sebagai berikut: “permufakatan jahat, persiapan atau percobaan, dan pembantuan melakukan terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 242, 243, 244 dan pasal 250 RUU KUHP, dipidana sesuai dengan pasal-pasal tersebut”. h. Pasal 262 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya orang atau hancurnya pesawat udara tersebut, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. i. Pasal 269 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “jika makar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kepala negara mati, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. j. Pasal 505 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang tanpa hak melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika dalam bentuk tanaman, atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika yang bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 k. Pasal 505 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “tanaman atau yang bukan termasuk jenis narkotika ditetapkan berdasarkan undang-undang”. l. Pasal 506 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memproduksi atau menyediakan narkotika, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. m. Pasal 513 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 505 ayat 1, pasal 506 sd 508 di luar wilayah Negara Republik Indonesia, diberlakukan pula ketentuan undang-undang ini”. n. Pasal 515 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang memproduksi danatau menggunakan dalam proses produksi psikotropika, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. o. Pasal 520 yang berbunyi sebagai berikut: Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 “setiap orang yang melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 515 ayat 1 dan pasal 516 di luar wilayah Negara Republik Indonesia, diberlakukan pula ketentuan undang-undang ini”. p. Pasal 521 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang tanpa hak melawan hukum mengimpor, mengekspor, memproduksi, menjual, mengedarkan, memiliki, atau menggunakan bahan-bahan untuk pembuatan psikotropika, dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun, dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI”. q. Pasal 572 yang berbunyi sebagai berikut: “setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun”. Ancaman pidana mati terhadap beberapa tindak pidana dalam RUU KUHP terlihat tidak jelas indikator penetapannya. Misalnya, apakah diberikan berdasarkan dampak kejahatan, atau dilihat dari segi tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan oleh terpidana gravity of the crime”. Dari uraian yang penulis kemukakan di atas, banyak undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukuman mati, di samping terdapat dalam KUHP, di luar KUHP, dan di dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional RI, terdapat pula Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer KUHPM. Untuk lebih jelasnya pasal-pasal yang mengandung ancaman hukuman mati dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Daftar undang-undang yang mencantumkan ancaman pidana mati 91 No. Undang-undang Pasal 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Pasal 104, 111 ayat 2, 124, 140 ayat 3, 340, 365 ayat 4, 444, 124 bis, 127, 129, 368 ayat 2. 2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer KUHPM Pasal 64, 65, 67, 68, pasal 73 ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4, pasal 74 ke-1 dan ke-2, pasal 76 ayat 1, pasal 82, pasal 89 ke-1 dan ke-2, pasal 109 ke-1 dan ke-2, pasal 114 ayat 1, pasal 133 ayat 1 dan 2, pasal 135 ayat 1 ke-1 dan ke-2, ayat 2, pasal 137 ayat 1 dan 2, psal 138 ayat 1 dan 2, dan pasal 142 ayat 2. 3. UU No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api Pasal 1 ayat 1 91 J.E. Sahetapy, op.cit., hal. xxviii. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 4. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa AgungJaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan. Pasal 2 5. Perpu No. 21 tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi Pasal 1 ayat 1 dan 2 6. UU No. 31 PNPS 1964 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Tenaga Atom Pasal 23 7. UU No. 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang- undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana Prasarana Penerbangan Pasal 3, pasal 479 huruf k dan o 8. UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat 2 9. UU. No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 80 ayat 1, 2 dan 3, pasal 82 ayat 1, 2, dan 3. 10. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat 2 11. UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 36, 37, 41, 42 ayat 3. 12. UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan 16. Lanjutan Tabel 2 Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 BAB III EKSISTENSI PIDANA MATI DI INDONESIA

A. Pro dan Kontra Pidana Mati dari Perspektif HAM

Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia, tampaknya tidak akan pernah selesai dan tidak lekang seiring perkembangan zaman. Dari berbagai literatur dapat ditelusuri bahwa pro kontra pidana mati sudah mulai sejak abad ke-18, tepatnya sejak tahun 1764 92 ketika Cesare Beccaria mengatakan pendiriannya bahwa pidana mati tidak manusiawi dan tidak efektif inhumane and ineffective. 93 Pihak yang menentang 94 pidana mati paling tidak menggunakan basis argumentasi, antara lain adanya kemungkinan eksekusi terhadap orang yang tidak bersalah the possibility of the execution of an innocent person, kurangnya efek jera terhadap kejahatan kekerasan the lack of deterrence of violent crime. Di samping itu, mereka juga mendasarkan pada argumen moral dan agama based on moral or 92 J.E. Sahetapy, op.cit., hal. xxi-xxii. 93 Lebih lanjut dia katakan “that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other”. Lihat: Roger Hood, The Death Penalty, A Worldwide Perspective, Third Edition-Revised and Updated, Oxford University Press, 2002. 94 Amnesty International adalah organisasi yang sejak tahun 1977 telah mengkampanyekan penghapusan total pidana mati bagi semua jenis kejahatan. Organisasi ini menganggap that the death penalty violates the right to life and is the ultimate cruel, inhuman and degrading punishment. Lihat: J.E. Sahetapy, loc.cit., hal. xxi. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 religious basic. 95 Sebaliknya pendukung pidana mati memandang bahwa pidana mati dapat menimbulkan efek jera the deterrence of violent crime, adil bagi teman dan keluarga korban closure to the families and friends of the victims, dan kelompok ini percaya pemidanaan dalam bentuk lain tidak akan efektif. 96 Dari pendekatan historis 97 dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan dari teori absolut balas dendam, an eye for an eye yang oleh sebagian orang dianggap sudah ketinggalan zaman dalam ilmu hukum pidana. Namun sejalan dengan dinamisasi hukum pidana dan pemidanaan lebih ditujukan kepada teori rehabilitation rehabilitasi atau perbaikan kepada terpidana. Pro kontra pidana mati tidak terlepas dari aliran-aliran yang berkembang dalam hukum pidana, khususnya tentang filosofi pemidanaan. Pada abad ke-18 dengan ditandai munculnya Aliran Klasik di Eropa yang merupakan reaksi terhadap 95 Seringkali muncul pertanyaan bagaimana jika terjadi kesalahan dalam menjatuhkan pidana mati error in persona, ketika yang bersangkutan dijatuhi pidana mati dan dieksekusi maka peluang untuk mengembalikan keadaan seperti semula menjadi tidak ada. Dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Lihat: Ibid. 96 Capital Debate Punishment, http:en.wikipedia.orgwikiCapital_punishmet_debate , diakses 19 April 2009. 97 Belanda telah menghapuskan pidana mati pada tahun 1870 17 September 1870, dengan Stb. 162. Penentang hukuman mati Beccaria pada abad 18, Volatire Marat dan Robespierre. Gerakannya menjalar dari Italia, Austria, Perancis, terus ke Jerman. Penyair-penyair Jerman seperti Lessing, Klosptock, Mosser dan Schiller sampai juga terpengaruh karenanya. Di Jerman, dalam Nationalversamlung di Frankfurt pada 3 Desember 1948 diputuskan bahwa di dalam hak-hak dasar bangsa Jerman haruslah dimasukkan hal ditiadakannya pidana mati. Berturut-turut banyak negara beradab menghapuskan ancaman pidana mati dari undang-undang pidananya 1874 dihapuskan di Michigan, 1848 di San Marino, 1849 di Venezuela, 1852 di Rhode Island, 1853 Wiscounsin, 1859 di Toskane, 1864 di Colombia dan Rumania, 1890 di Italia, 1891 di Brazilia, 1895 di Equador dan Peru, 1902 di Norwegia, 1921 di Swedia, 1922 di Lithaunia, 1926 di Uruguay, 1930 di Chili, 1933 di Denmark, 1941 di New Zealand walaupun beberapa dari negara ini kemudian mengadakan kembali pidana mati. Raja yang sedang berkuasa menentang hukuman mati Raja Louis dari Portugal, Raja Yohann dari Saksen dan Raja Oskar dari Swedia. Lebih lanjut baca: Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta: Aksara Baru, 1978, hal. 83. Dan lihat: Roger Hood, op.cit. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 pemerintahan absolut. Hukum pidana yang berkembang pada abad ini berorientasi pada perbuatan daadstrafrecht, konsep ini menekankan bahwa pemidanaan harus sesuai dengan kejahatannya proporsional. Pada abad ke-19 muncul aliran modern yang dinamakan sebagai aliran positif, yang berorientasi pada pelaku dan individu- individu daderstrafrecht, aliran ini menolak definisi hukum dari kejahatan-pidana harus disesuaikan dengan pelaku tindak pidana. Berikutnya muncul aliran neo-klasik sebagai aliran gabungan dengan karakteristik daad dader strafrecht yang mempunyai ciri-ciri modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak free will. 98 Perdebatan mengenai hukuman mati dari perspektif hak asasi manusia menghasilkan berbagai pendapat, baik di kalangan akademisi, para pakar hukum maupun pemuka agama. Ada yang setuju diberlakukannya pidana mati, dan ada pula yang tidak setuju diberlakukan, bahkan meminta agar dihapuskan dari hukum Indonesia, dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang mengkaitkan tentang asal hukum dari Belanda, dimana Negara Belanda sendiri telah menghapuskan pidana mati sejak tahun 1870, dan ada pula yang berpendapat mengatakan bahwa walaupun pidana mati telah diberlakukan di Indonesia tetapi kenyataannya kejahatan di Indonesia bukan berkurang bahkan semakin meningkat, walaupun secara konkrit hal ini sulit untuk dibuktikan. Pendapat yang saat ini berkembang adalah bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dan sering dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi 98 Roeslan Saleh, op.cit., hal. 85. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 manusia. Hal ini semakin terangkat sejak adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 99 Polemik yang berkepanjangan mengenai hukuman mati ini menimbulkan berbagai pendapat, yaitu: 1. Hukuman mati masih relevan untuk dilaksanakan. 2. Hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, yang menjamin hak untuk hidup sesuai dengan amandemen kedua dari UUD 1945. Kebijakan pemberlakuan hukuman mati ini merupakan pengembangan dari teori absolut teori pembalasan yang mendekatkan diri kepada efek jera. Namun sejalan dengan dinamisasi hukum pidana dan pemidanaan, lebih ditujukan kepada teori rehabilitation rehabilitasi atau perbaikan kepada terpidana. Hal ini didukung oleh pendapat Muladi yang mengatakan bahwa “Hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku, dimana stelseel sanksinya tidak hanya meliputi pidana straf ; punishment yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan tata tertib maatregel ; treatment yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan. 100 Apabila ini dapat dilaksanakan, maka terpidana yang selesai menjalani hukumannya akan kembali bersosialisasi dengan baik kepada masyarakatnya. 99 A. Gunawan Sunarja, Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta: Kanisius, 1993, hal. 73. 100 Lihat: Muladi, dalam Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 73. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Peraturan nasional tentang hak asasi manusia jelas merupakan suatu instrumen peraturan perundangan yang melindungi setiap orang dari penyiksaan. Fakta yang dapat diperoleh bahwa kasus-kasus kekerasan di tanah air masih terus berlangsung, sehingga manfaat Ratifikasi Konvensi HAM masih belum terlihat. Ini berarti pula bahwa peran peraturan perundang-undangan hak asasi manusia belum maksimal. Banyak terjadi tindak kekerasan yang tidak terselesaikan, belum lagi satu kekerasan diselesaikan secara hukum telah timbul kekerasn yang lainnya. 101 Pada dasarnya hukum hak asasi manusia adalah sebagai pelindung masyarakat, yang terkait erat dengan pembicaraan tentang prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, dan prinsip negara hukum yang memiliki filosofi tentang kehidupan dan keamanan, serta ketenangan bagi masyarakat dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari dasar pemikiran pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut: 102 1. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya. 2. Pada dasarnya manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan dan kemauan, serta berbagai kemudahan oleh penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya. 101 M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis, Yogyakarta: Universitas Islam Darul Ulum UNISDAL bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2005, hal. 158. 102 Ibid. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 3. Untuk melindungi, mempertahankan, meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia yang lainnya homo homini lupus. 4. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia lain, sehingga kebebasan akan hak asasi manusia bukanlah tanpa batas. 5. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. 6. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar. 7. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi dan ditegakkan, untuk itu pemerintah, aparatur negara dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Terhadap uraian UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, maka dapat disimpulkan bahwa “hak asasi manusia” yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa harus diakui, dilindungi dan tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun oleh setiap orang maupun negara. Sedangkan dalam kewajiban untuk Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 menghormati terletak pada setiap orang, namun demikian negara wajib menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Namun demikian, pelaku kekerasan dalam kasus hak asasi manusia tanah air, justru banyak dilakukan oleh pejabat publik penegak hukum, polisi, militer, dan sebagainya 103 bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang dalam melakukan tugas dan wewenangnya pada saat melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Penghilangan nyawa seseorang dengan tidak berdasarkan prosedur hukum bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 I tentang hak hidup warga negara, pasal 4 dan pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, mengenai hak untuk hidup seseorang, yang tidak dapat dihilangkan dalam bentuk dan perbuatan apapun. Melihat perdebatan pro dan kontra terhadap pidana mati dari perspektif hak asasi manusia yang telah penulis kemukakan di atas, para pakar hukum pidana banyak memberikan komentar tentang hal ini, antara lain: 1. J. E. Sahetapy, salah seorang pakar hukum pidana dan pernah menjadi Ketua Komisi Hukum Nasional, berpendapat: 104 Bahwa tidak setuju diterapkannya pidana mati, karena bertentangan dengan weltanschauung Pancasila yang bukan hanya menjadi leitstar kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga menjadi sumber dari segala sumber hukum. Itulah sebabnya aanhef putusan Pengadilan “Demi keadilan berdasarkan 103 Ibid. 104 Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal 218-219. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah keliru, sebab Pancasila dengan demikian telah dipreteli. Putusan Pengadilan harus memuat semua pertimbangan bertalian dengan kelima sila. Konsekuensinya pidana mati tidak mempunyai raison d’etre dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa pidana mati tidak dapat dijelaskan dari segi hukum pidana, apalagi secara “legalistik positivistik”. Kalaupun ingin dijelaskan dari segi retributif dan aspek “deterrent”-nya, maka harus dikaji dari segi fungsional dan dari perspektif “law in action”. Singkat kata, ini pun tidak akan berhasil dari penelusuran literatur hukum pidana. Bila ingin dianalisis dari segi hukum penitentier juga tidak akan berhasil, kecuali memasuki disiplin penologi. Ini berarti harus ada pendekatan dari segi kriminologi dan viktimologi, yang justru menolak raison d’etre pidana mati. 2. Arief Sidharta Pakar Filsafat Hukum dan Guru Besar Universitas Parahyangan menyatakan pendapatnya sebagai berikut: 105 Bahwa hukuman mati dipandang sebagai sanksi pidana yang paling berat. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi pidana harus konkrit tentang penilaian masyarakat terhadap perbuatannya. Di samping itu, sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu, dan harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya, 105 Ibid, hal. 236-237. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. Hukuman mati sebagai sanksi pidana tidak memenuhi aspek ketiga yang harus ada pada sanksi pidana tersebut. Hukuman mati hanya memenuhi aspek pertama dan kedua. Jadi pada hakikatnya, hukuman mati menetapkan manusia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang bukan manusia yang dikenainya sendiri. Ini berarti bahwa hukuman mati itu mendegradasi atau mereduksi manusia hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan lain yang bukan dirinya, dengan demikian secara langsung bertentangan dengan titik tolak dan tujuan dari hukum itu sendiri, serta bertentangan dengan hak asasi manusia. 3. Bambang Poernomo Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gajah Mada mengemukakan alasan sebagai berikut: 106 Beliau berargumentasi bahwa harus dipisahkan antara ancaman pidana mati, penerapan pidana mati dan eksekusi pidana mati. Dalam hal ancaman merupakan rumusan dalam undang-undang, penerapan adalah putusan hakim, sedangkan eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim oleh jaksa. Hal itu sesuai dengan perkembangan hukum pidana yang meliputi tiga dimensi: dimensi pertama hukum pidana materiil yakni ancaman pidana mati, dimensi kedua hukum acara pidana yakni penerapan pidana mati oleh hakim, dan dimensi ketiga 106 Pendapat Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2 – 3 PUU- V2007, hal. 394. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 adalah hukum eksekusi pidana yang dalam kasus pidana mati timbul kritik-kritik tajam, karena eksekusinya memakan waktu yang lama. Indonesia termasuk salah satu negara yang menerapkan hukuman mati sejak tahun 1915, walaupun Negara Belanda yang mewariskan hukum pidana telah menghapuskan hukuman mati pada tahun 1970, sehingga negara yang pro pidana mati disebut retentive country atau negara yang mengakui pidana mati secara dejure dan defacto. Sementara masyarakat internasional cenderung menolak pidana mati abolisi bahkan “completely abolitionist”. 4. Arif Gosita Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia mengemukakan pandangan sebagai berikut: 107 Bahwa ketentuan mengenai pidana mati dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia banyak sekali kurang lebih ada dua belas, oleh karena itu usaha-usaha menghapus pidana mati dari peraturan perundang-undangan harus bersifat holistik. Negara Belanda telah menghapus pidana mati, tetapi KUHP di Hindia Belanda masih mempertahankan pidana mati, karena bertujuan untuk menghukum orang-orang pribumi dalam mengusahakan ketertiban dan keamanan di Hindia Belanda. Indonesia tetap mempertahankan pidana mati, karena meskipun memiliki Pancasila dan UUD 1945 tetapi tidak menghayatinya dengan baik. Oleh karena itu, jika hukum Indonesia harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka 107 Ibid, hal. 396. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 pidana mati harus dihapuskan demi 4 K, yakni Kebenaran, Keadilan, Kerukunan, dan Kesejahteraan rakyat. Bahwa menghukum manusia dengan pidana mati tidak dibenarkan, tidak adil dan tidak mengembangkan kesejahteraan rakyat. Menghukum mati manusia adalah suatu tindakan yang menimbulkan korban sesama manusia. 5. Mardjono Reksodiputro Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia memberikan pendapat tentang Konsep Rancangan KUHP yang berkaitan dengan pidana mati, sebagai berikut: 108 Berdasarkan Konsep Rancangan KUHP versi ke-2 tahun 1999-2000, terdapat pendapat yang mempertahankan pidana mati yang mendasarkan diri bahwa pidana mati masih diperlukan di Indonesia untuk menangkal for deterrence, khususnya kejahatan pembunuhan menghilangkan jiwa korban. Di samping itu, ada yang menolak pidana mati dengan argumentasi bahwa pidana mati tidak manusiawi, bertentangan dengan moral dan mengandung bahaya akan adanya suatu putusan pengadilan yang keliru yang tidak dapat diperbaiki bila terpidana sudah mati. Argumentasi lain, bahwa di Belanda sendiri pidana mati telah dihapus sejak tahun 1970, dan di negara-negara lain pidana mati juga dihapuskan karena “sifat menangkalnya” tidak pernah dapat dibuktikan, serta perlu diingat bahwa sejak tahun 1961 Indonesia mengkuti pandangan, bahwa 108 Ibid, hal. 396-397. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 tujuan pemidanaan adalah reformasi, resosialisasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat melalui konsep pemasyarakatan narapidana. Tim ahli akhirnya memutuskan bahwa pidana mati merupakan “pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif”, sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat; pelaksanaannya terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda; baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi ditolak Presiden; pelaksanaan dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun. Jika selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka dapat diubah dengan pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun dengan Keputusan Menteri; jika permohonan grasi ditolak maka pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri. Ini dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri. 6. Rachland Nashidik Direktur Eksekutif Imparsial, menyatakan hal-hal sebagai berikut: 109 Bahwa agak sulit untuk mengidentifikasi karakter dari non derogable rights dengan pemahaman yang tunggal, karena mengenai apa yang termasuk di dalamnya berbeda-beda, antara yang dimuat dalam International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR menyebutkan tujuh macam, dalam European Convention on Human Rights ECHR hanya ada empat macam, sedangkan dalam American Convention on Human Rights ACHR ada sebelas macam. 109 Pendapat Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2 – 3 PUU- V2007, hal. 376. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Menurut para ahli yang benar-benar merupakan non derogable , intinya ada empat macam yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat dan hak untuk tidak dianiaya, hak untuk diakui sebagai subyek hukum dan sama di muka hukum, serta hak untuk tidak diadili oleh hukum yang berlaku surut post facto law. Bahwa hak untuk hidup harus benar-benar dapat dinikmati oleh setiap orang, sehingga Mahkamah Konstitusi harus berani menghapuskan pidana mati di Indonesia. 7. Muladi menjelaskan bahwa hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang diatur dalam pasal 10 KUHP yang merupakan hukum positif. Terlepas dari landasan yang sifatnya legalistik, secara realistispun kondisi hukum di Indonesia masih sangat membutuhkan pelaksanaan hukuman mati. Tentunya khusus bagi kejahatan-kejahatan spesifik. Penjatuhan pidana mati hanya diputuskan oleh hakim apabila kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat meyakinkan beyond reasonable doubt. Berkaitan dengan penilaian pidana mati dianggap melanggar hak asasi manusia, maka Muladi menandaskan bahwa tidak sependapat atas anggapan tersebut karena pada hakikatnya terpidana mati tersebut juga telah melanggar hak asasi manusia yang lebih besar. 110 8. Mahmud Mulyadi Pakar Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara, menyatakan hal-hal sebagai berikut: 110 Ibid, hal. 200. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Ide penghapusan pidana mati dikembangkan oleh paham abolisionis yang menganggap pidana mati adalah bentuk pemidanaan yang kejam dan tidak manusiawi, dan bersumber dari teori retributif yang melegitimasi pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan. Gerakan yang diusung oleh kaum abolisionis bertujuan tidak hanya untuk menghapuskan pidana mati, melainkan bertujuan untuk menghapuskan seluruh bentuk pemidanaan. Gerakan ini lahir dari pemikiran aliran positif dengan menggagas metode treatment sebagai tujuan pemidanaan. Aliran positif kemudian diteruskan oleh aliran social defence radikal yang dikembangkan oleh Filippo Gramatica. Metode treatment telah menginspirasi lahirnya aliran social defence, baik yang radikal maupun moderat yang ingin menggantikan hukum pidana dengan hukum perlindungan sosial. Dalam kenyataannya, metode treatment ini tidak mulus dan banyak menuai kritik, karena hanya sedikit negara yang memiliki fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi, dinilai mengundang tirani individu dan menolak hak asasi manusia. 111 Bahwa dalam falsafah tujuan pemidanaan, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam hukum pidana yang dianut di berbagai negara dan juga ilmu, yaitu pertama retributive, kedua deterrent, ketiga treatment, keempat merupakan varian dari treatment yakni social defence, dan yang sekarang berkembang adalah restorative justice dalam hukum pidana. Adanya berbagai aliran pemidanaan memang menjadi dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pemidanaan dalam aliran 111 Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal. 272. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrent dianggap telah gagal dengan fakta, dimana semakin meningkatnya jumlah pelaku kejahatan yang menjadi residivis. Sementara aliran treatment dengan program rehabilitasi dan mengusung penghapusan pidana, termasuk pidana mati telah kehilangan arahnya. Kemudian aliran retributif dan deterrent menguat kembali, yakni untuk mengakomodasi secara legal kecenderungan alami manusia untuk melakukan pembalasan terhadap orang yang telah membuat penderitaan. Penentang terhadap aliran abolisionis juga datang dari paham social defence moderat new social defence. 112 Pembicaraan pidana mati dalam perspektif Pancasila dan UUD 1945 tidak akan terlepas dari pembicaraan dalam perspektif keagamaan. Setiap agama pasti mengajarkan kebaikan dan perlawanan terhadap kebatilan, serta melarang setiap orang untuk berbuat zholim, menindas aspek kemanusiaan, termasuk mencabut nyawa seseorang dari kehidupannya karena yang menentukan hidup atau matinya seseorang hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hak untuk hidup merupakan hak asasi yang diberikan oleh Allah SWT kepada semua manusia di muka bumi. 113 112 Ibid, hal. 282. 113 Ibid, hal. 286. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 9. Jeffrey Fagan Guru Besar Bidang Hukum dan Kesehatan Masyarakat di Universitas Columbia, Amerika Serikat memberikan argumentasi sebagai berikut: 114 Dalam berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa hukuman mati death penalty tidak berdampak efek jera deterrent effect, juga dalam hal kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang drugs crimes pada umumnya dan kejahatan penjualan manusia drugs trafficking pada khususnya. Di samping itu, tidak dapat dijamin presisi atau akurasi putusan hakim dalam penjatuhan hukuman mati, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan cukup besar, dan sistem pembinaan life sentence without parole lebih efektif di dalam menimbulkan efek jera deterrent effect. 10. Philip Alston Guru Besar Universitas New York, Amerika Serikat dan Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitry Executions PBB. Ia memberikan komentar bahwa pasal 6 ICCPR sesungguhnya menolak pidana mati, namun masih mentolerir adanya negara-negara yang menganut hukuman mati, meskipun dibatasi hanya untuk scope kejahatan paling serius most serious crime. 115 114 Ibid, hal. 144. 115 Ibid, hal. 210. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 11. William A. Schabas Guru Besar Universitas Nasional Irlandia dan Direktur Pusat Hak Asasi Manusia Irlandia, memberikan argumentasi sebagai berikut: 116 Bahwa dari perspektif hukum internasional, pidana mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup, bukan sekedar pembatasan atau pengecualian atas hak untuk hidup. Ada kecenderungan semakin meningkatnya jumlah negara- negara yang menghapuskan pidana mati, dibandingkan dengan negara-negara yang masih mempertahankan pidana mati. Bahwa memang benar pasal 6 ICCPR masih memberikan kemungkinan pengecualian pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang paling serius most serious crimes. Bahwa dari sudut hukum konstitusi, Konstitusi Indonesia berbeda dengan ICCPR telah menempatkan hak untuk hidup rights to life bersifat non-derogable, sehingga sudah sepantasnya pidana mati dihapuskan dalam semua perundang-undangan di Indonesia. Bahwa dari sudut efek jera deterrent effect, pidana mati berdasarkan oleh berbagai kajian ilmiah tidak berhasil menimbulkan efek jera. 12. Dewan Perwakilan Rakyat RI memberikan keterangan dan pandangan mengenai pidana mati sebagai berikut: 117 116 Pendapat Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2 – 3 PUU- V2007, hal. 374. 117 Ibid, hal. 398. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Bahwa selama sistem pemidanaan dalam KUHP yang merupakan hukum positif masih menganut pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, maka pidana mati masih sah berlaku di Indonesia. Bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh pasal 28 A UUD 1945, karena sesuai dengan ketentuan pasal 28 J ayat 2 hak tersebut tidak mutlak, tetapi dapat dibatasi. Analisis Terhadap Pendapat Pakar di atas Setelah memperhatikan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh pakar hukum pidana di atas, dapat penulis bagi kepada dua kelompok. Pertama; Kelompok yang kontra terhadap hukuman mati, dan kedua; kelompok yang tetap mempertahankan hukuman mati. Kelompok yang kontra tidak setuju diterapkannya hukuman mati yaitu J.E. Sahetapy, Arief Sidharta, Arif Gosita, Mardjono Reksodiputro, Rachland Nashidik, Jeffrey Fagan, Philip Alston, dan William A. Schabas. Sedangkan kelompok yang tetap mempertahankan hukuman mati pro yaitu Bambang Poernomo, Muladi, dan Mahmud Mulyadi. Adapun argumentasi yang menentang dihapuskannya hukuman mati, pada prinsipnya karena bertentangan dengan Pancasila, yaitu sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagaimana J.E. Sahetapy mengemukakan bahwa “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan hak hidup adalah milik Tuhan”, artinya Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 tidak tepat apabila pelaku kejahatan dijatuhi hukuman mati. Di samping itu, pidana mati tidak mempunyai raison d’etre dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara Arief Sidharta mengemukakan bahwa hukuman mati terlalu berat untuk dipertanggungjawabkan oleh pelaku, dan tidak akan mampu merubah tingkah laku kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan lebih tegas Beliau menegaskan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak manusiawi, dan bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri dan hak asasi manusia. Rachland Nashidik berargumen, yang intinya sama dengan dua orang pakar hukum pidana di atas, yang menekankan bahwa hak untuk hidup harus benar-benar dapat dinikmati oleh setiap orang, sehingga Mahkamah Konstitusi harus berani menghapuskan pidana mati di Indonesia. Sedangkan Arif Gosita menentang, bahwa pidana mati perlu dihapuskan karena pidana mati berdasarkan hukum adalah suatu viktimisasi bagi manusia terhadap sesama manusia, merugikan dan menimbulkan korban, serta tidak melindungi hak asasi manusia. Mardjono Reksodiputro menurut analisis penulis berpandangan lebih liberal, karena mengajukan beberapa alternatif terhadap pelaksanaan hukuman mati. Dapat dipertahankan hukuman mati, tetapi harus benar-benar selektif dan memenuhi syarat kehati-hatian, dengan mengacu kepada rumusan konsep Rancangan KUHP. Di samping itu, ia juga mengacu kepada UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Negara Indonesia yang menentang berlakunya hukuman mati. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Penulis berpendapat bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, apabila diancamkan kepada tindak pidana yang sangat membahayakan bagi keselamatan masyarakat Indonesia, dijatuhkan oleh hakim dengan mempertimbangkan secara seksama kemungkinan penggunaan alternatif di samping pidana mati, dan keputusan telah disepakati secara aklamasi oleh semua hakim dalam majelis hakim yang bersangkutan. Untuk kasus di pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, pengadilan dipersilahkan mempergunakan persyaratan dan pertimbangan tersebut, dan untuk putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kepada Mahkamah Agung dipersilahkan untuk memerintahkan penundaan pelaksanaan pidana mati dengan kesepakatan Jaksa Agung selama sepuluh tahun ditambah ketentuan bahwa apabila terpidana dalam masa percobaan selama sepuluh tahun ini menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka putusan pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM. Hal ini merupakan indikator, bahwa pandangan Mardjono Reksodiputro lebih mengarah kepada proses edukatif untuk merubah tingkah laku pelaku kejahatan menjadi manusia berguna, dan menyadari kesadaran yang telah dia lakukan. Pendapat kelima orang pakar hukum pidana yang menentang diberlakukannya hukuman mati sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, sejalan dengan pakar hukum dari Barat seperti Jeffrey Fagan, Philip Alston, dan William A. Schabas, yang dengan tegas menentang hukuman mati. Seperti William A. Schabas Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 mengemukakan bahwa dilihat dari sudut efek jera, hukuman mati tidak berhasil untuk membuat pelaku kejahatan menjadi jera. Hal ini dikuatkan oleh Jeffrey Fagan, bahwa dalam kajian ilmiah menunjukkan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap efek jera, di samping putusan hakim dalam penjatuhan hukuman mati tidak dapat dijamin presisi dan akurasinya. Bahkan yang lebih efektif sistem pembinaan lebih berhasil untuk membina pelaku kejahatan menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan Philip Alston dengan tegas menolak hukuman mati, tetapi dia mentolerir terhadap negara yang menganut hukuman mati, meskipun dibatasi untuk scope kejahatan yang paling serius. Hal ini wajar Philip Alston berpendapat demikian, karena ia sebagai warga negara Amerika menganut hak asasi manusia yang menentang menghilangkan nyawa orang lain, dan bertentangan dengan Declaration of Human Rights. Adapun kelompok kedua, penulis kategorikan sebagai kelompok yang tetap mempertahankan hukuman mati, antara lain Bambang Poernomo, Muladi, dan Mahmud Mulyadi. Seperti Bambang Poernomo menyatakan bahwa tidak tertarik pada persoalan pro dan kontra pidana mati, karena menurut Beliau memisahkan antara ancaman pidana mati, penerapan pidana mati dan eksekusi pidana mati. Sesuai pula dengan perkembangan hukum pidana yang meliputi tiga dimensi, yaitu hukum pidana materiil yaitu ancaman hukuman mati, hukum acara pidana yaitu penerapan pidana mati oleh hakim, dan hukum eksekusi pidana yang dalam kasus pidana mati menimbulkan pro dan kontra, karena memakan waktu yang cukup lama. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Muladi berargumen bahwa penjatuhan pidana mati hanya diputuskan oleh hakim apabila kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat meyakinkan. Berkaitan dengan penilaian pidana mati dianggap melanggar hak asasi manusia, maka Muladi menandaskan bahwa tidak sependapat atas anggapan tersebut karena pada hakikatnya terpidana mati tersebut juga telah melanggar hak asasi manusia yang lebih besar. Pendapat Mahmud Mulyadi tentang dipertahankannya hukuman mati, telah mengemukakan beberapa argumentasinya yang pada intinya penulis simpulkan sebagai berikut: Ide penghapusan pidana mati yang dipelopori oleh aliran positif dengan metode treatment dan juga diadopsi oleh aliran social defence radikal merupakan ide yang telah gagal, karena kenyataannya hanya sedikit negara yang mampu memfasilitasi program rehabilitasi, menimbulkan tirani individu, dan semua ilmu tak mampu merehabilitasi seseorang yang mempunyai sikap anti sosial. Kegagalan ini akhirnya menyebabkan para ahli kembali ke aliran retributive dan deterrent dengan alasan bahwa secara alami manusia cenderung kepada balas dendam, sehingga perlu dilegalkan, penjatuhan pidana sesuai dengan kualitas moral dari perbuatan pidana seseorang, melindungi individu dan masyarakat. Sanksi pidana mati tidak berakar dari falsafah balas dendam, melainkan berdasarkan pemberian hukuman yang sesuai atau proporsional antara perbuatan pelaku dengan tetap memperhatikan kualitas dari perbuatan kejahatan tersebut, yang meliputi niat, kehendak bebas untuk menentukan perbuatan, kualitas moral dari Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 perbuatan kejahatan, dan pertanggungjawaban individu atas perbuatan jahatnya. Sanksi pidana mati juga secara filosofis ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada individu dan masyarakat keseluruhan. Pidana mati tidak bertentangan dengan agama, pancasila dan UUD 1945, karena hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang tercantum dalam pasal 28 A dan 28 I ayat 1 yang sesungguhnya didasarkan atas argumentasi bahwa hidup dan matinya seseorang memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan matinya ditentukan oleh seseorang, karena Tuhan telah memberikan alternatif dan acuan-acuan dalam menjalani kehidupan ini. Pembatasan dalam rumusan pasal 28 J UUD 1945 berlaku pula untuk ketentuan pasal 28 I ayat 1, karena hak asasi seseorang harus diimbangi dengan kewajiban asasi untuk menghormati hak asasi orang lain, termasuk hak untuk hidup orang lain, sehingga kalau melanggar dihukum. Dengan demikian pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Muladi, sejalan dengan pendapat Mahmud Mulyadi dan Bambang Poernomo, maka kaitannya dengan opini saya yaitu pada prinsipnya melanggar hak atas hidup seseorang dan melanggar kedaulatan negara termasuk kejahatan berat. Sebagai contoh: tindak pidana pembunuhan dan pengkhianatan terhadap negara yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini, ia telah melanggar kewajiban asasi manusia. Karena hak asasi seseorang itu harus diimbangi dengan kewajiban asasi Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 untuk menghormati hak asasi orang lain, termasuk hak untuk hidup orang lain. Sehingga apabila melanggar, harus dihukum. Penulis berpendapat bahwa adanya pro dan kontra dikalangan para pakar tersebut, semuanya kembali kepada landasan agama. Negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini membenarkan adanya hukuman mati. Berhubungan dengan pandangan Islam tentang hukuman mati. Sebagaimana diungkapkan oleh Eldin H. Zainal dalam disertasinya tentang hukuman mati, sebagai berikut: sebagai wujud dari keadilan ini adalah keadilan yang menyangkut dengan hukum jinayah tentang pidana mati, dalam hal ini Al-Qur’an menyebutkan beberapa bentuk kejahatan yang mengakibatkan dijatuhi pidana mati dan selebihnya dijelaskan oleh Al-Sunnah. Hukuman mati dalam pidana jinayah Islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an dan Al-Sunnah untuk menegakkan keadilan dan menjauhi kezaliman. Realisasi dari keadilan hukum sebagai bagian yang integral dari berbagai macam keadilan terlihat dalam sistem jinayah Islam, di mana hukuman pidana mati hanya diberlakukan pada beberapa bentuk kejahatan yang amat terbatas jumlahnya dan dilaksanakan dengan berbagai persyaratan yang detail dan ketat. 118 Secara khusus hukuman pidana mati dalam sistem jinayah Islam hanya diperuntukkan atas kejahatan dalam bentuk pembunuhan dengan sengaja yang 118 Lihat: Eldin H. Zainal, Paradigma Hukum dan Keadilan Tentang Pidana Mati Disertasi, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam, 2008, hal. 2-3. Dan lihat: Perbandingan Hukum Pidana Islam, Medan: IAIN SU, 2004. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 menyebabkan diberlakukan qisas bagi pelaku pembunuhan. Hal itu didasarkan Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Pemberlakuan qisas dalam tindak pidana pembunuhan merupakan hukum asal yang bersifat ‘azimah. Akan tetapi si pembunuh tidak dapat dihukum qisas apabila diminta untuk membayar diat atau mendapat maaf dari mustahiq al-qisas yaitu keluarga terbunuh. Dalam konteks ini, Ibn Quddamah mengemukakan tentang cara pelaksanaan hukuman mati terhadap orang yang murtad yaitu dilakukan pemancungan dengan pedang. Sedangkan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja telah diuraikan oleh para fuqaha secara detail, karena qisas meskipun bertujuan untuk mematikan pelaku pembunuhan sebagai suatu hukuman atas perbuatannya, namun qisas mempunyai konsep dan pengertian tersendiri. 119 Berdasarkan pengertian qisas sebagai hukuman dalam bentuk persamaan atau keserupaan, maka sebagian besar fuqaha menganggap tidak ada bentuk khusus dalam pelaksanaan qisas. Hal itu terkait dengan keberadaan qisas sebagai hak mutlak keluarga si terbunuh dan keluarga dibolehkan untuk melaksanakan qisas seperti apa yang dilakukan pembunuh terhadap si terbunuh atau dengan cara lain tanpa mempertimbangkan alat atau senjata yang dipergunakan oleh si pembunuh. Kebolehan hal yang demikian dengan syarat tidak sampai melampaui batas yang bersifat kezaliman. 119 Ibid, hal. 6. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum memberikan perlindungan hukum kepada seluruh warga negaranya dengan meletakkan kepastian hukum sebagai asas dalam penegakan hukum berdasarkan kaedah umum bahwa penjatuhan hukum harus setimpal dengan kesalahannya. Hal itu pula yang menyebabkan sistem hukum Indonesia yang menganut Civil Law menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berisikan tentang berbagai bentuk tindak pidana sebagai Law in Book yang di dalamnya mengatur tentang hukum pidana mati sebagai hukuman dari berbagai tindak pidana termasuk tindak pidana menghilangkan nyawa seseorang Dalam sistematika KUHP sebagai hukum pidana materiil yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918, tindak pidana terhadap nyawa dimuat dalam Bab XIX dengan judul “Kejahatan Terhadap Nyawa Orang” yang diatur dalam Pasal 338-349. Kejahatan terhadap nyawa dalam pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut; a. Pembunuhan Pasal 338; b. Pembunuhan dengan pemberatan Pasal 339; c. Pembunuhan berencana Pasal 340; d. Pembunuhan bayi oleh ibunya Pasal 341; e. Pembunuhan bayi berencana Pasal 342; f. Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan Pasal 344; g. Membujukmembantu orang agar bunuh diri Pasal 345; h. Pengguguran kandungan dengan izin ibunya Pasal 346; i. Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya Pasal 347; j. Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya Pasal 348; k. Dokterbidantukang obat yang membantu pengguguranmatinya kandungan Pasal 349. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Pidana mati selain disebabkan kejahatan terhadap nyawa orang dalam berbagai bentuknya seperti diatur dalam pasal 340 tentang pembunuhan berencana, juga dikenakan terhadap kejahatan pembajakan di udara, seperti diatur dalam KUHP Pasal 479 ayat 2 yang menyebutkan bahwa; jika perbuatan itu menyebabkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Di samping itu dalam sistem hukum positif Indonesia dikenal pula beberapa bentuk kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati seperti tindak pidana subversi, psikotropika dan terorisme yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri. Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa dalam tata hukum Indonesia pidana mati merupakan bagian dari proses pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan oleh BPHN tentang rencana KUHP Nasional. Secara eksplisit disebutkan bahwa pemidanaan bersifat pencegahan terhadap berulangnya suatu perbuatan dan bimbingan untuk tidak melakukan perbuatan serupa. Pada dasarnya pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan yang dapat merendahkan martabat manusia, namun dalam realitanya hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia bertentangan dengan prinsip dasar dimaksud. Mengacu kepada beberapa pendapat pakar hukum pidana di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hukuman mati masih diperlukan di Indonesia Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, bahkan melindungi hak asasi manusia karena masa depan bangsa Indonesia menjadi taruhannya. Terselamatkannya masa depan bangsa ini, tergantung kepada bangsa Indonesia sendiri dengan memperbaiki sistem hukum menjadi lebih baik lagi, serta dilandasi oleh komitmen yang tinggi terhadap masa depan Indonesia. Menurut penulis, bahwa hukum itu ada berdasarkan kepada nilai budaya yang digali dari dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia, dan nilai-nilai agama. Apalagi dalam ketentuan agama Islam telah jelas membenarkan diberlakukannya hukuman mati, agar kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana, yang melanggar kewajiban asasi manusia itu tidak menimbulkan penderitaan bagi orang banyak, dan bagi calon penjahat akan timbul rasa takut untuk melakukan suatu kejahatan lagi. Mengenai masalah kontroversi biarkanlah tetap ada, sebagai warna dari hidup dan kehidupan.

B. Keberadaan Pidana Mati Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2- 3PUU-V2007 tentang Pidana Mati, bahwa “ hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi ”. Hal ini berdasarkan argumentasi sebagai berikut: Bahwa setelah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan dan kesimpulan para Pemohon, alat-alat bukti tertulis, keterangan para ahli, keterangan tertulis DPR RI, keterangan dan kesimpulan para Pihak Terkait, maka Mahkamah sampai pada Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 pendirian mengenai isu pokok permohonan a quo, yakni apakah ketentuan pidana mati death penalty; capital punishment sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a, pasal 81 ayat 3 huruf a, serta pasal 82 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a UU Narkotika bertentangan dengan UUD 1945. Menurut alasan pemohon, ketentuan dalam pasal-pasal UU Narkotika tersebut bertentangan dengan: 1. Pasal 28 A UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 2. Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. 120 Argumentasinya juga memperhatikan sifat irrevocable pidana mati, terlepas dari pendapat Mahkamah perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun 120 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2-3PUU-V2007 tentang Pidana Mati, hal 403-404. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut: 121 1. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. 2. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. 3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. 4. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Menimbang bahwa terlepas dari gagasan pembaruan hukum sebagaimana tersebut di atas, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde segera dilaksanakan sebagaimana mestinya. Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah nyata bahwa pasal 80 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a, pasal 81 ayat 3 huruf a, serta pasal 82 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga tidak melanggar kewajiban hukum 121 Ibid, hal. 430-431. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 internasional Indonesia yang lahir dari perjanjian internasional. Oleh karenanya, telah nyata pula bahwa permohonan para pemohon tidak beralasan. 122 Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan uraian tersebut di atas, maka Mahkamah berpendapat: 1. Para Pemohon yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki kedudukan hukum legal standing, sedangkan para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidak mempunyai kedudukan hukum legal standing; 2. Pemohon III dan Pemohon IV dalam Perkara Nomor 2PUU-V2007 yang berkewarganegaraan asing yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, dan Pemohon Perkara Nomnor 3PUU-V2007 yaitu Scott Athony Rush tidak memiliki kedudukan hukum legal standing, sehingga permohonan para Pemohon a quo tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard; 3. Ketentuan pasal 80 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a, pasal 81 ayat 3 huruf a, serta pasal 82 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, sehingga permohonan pengujian pasal-pasal a quo tidak beralasan, dan oleh karena itu permohonan para Pemohon harus ditolak. 123 Pendirian Mahkamah terhadap pokok permohonan dan berbagai pertimbangan menghasilkan suatu “ amar putusan ” . 122 Ibid. 123 Ibid, hal. 432. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Dengan mengingat Pasal 56 ayat 1 dan ayat 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316: 124 MENGADILI: 1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II dalam Perkara Nomor 2PUU-V2007 ditolak untuk seluruhnya. 2. Menyatakan permohonan Pemohon III dan Pemohon IV dalam Perkara Nomor 2PUU-V2007 tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard. 3. Menyatakan permohonan Perkara Nomor 3PUU-V2007 tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard. 124 Ibid. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA MATI TERHADAP KASUS AHMAD SURADJI

A. Kasus Posisi

Bahwa Ahmad Suradji alias Nasib alias Datuk, pada tahun 1986 sd 1997 telah melakukan kasus pembunuhan terhadap 42 orang wanita di desa Amandamai, Deli Serdang Sumatera Utara. Atas perbuatannya tersebut, Ahmad Suradji dihukum dengan pidana “ mati ”. Hal ini berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 513Pid.B1997PN.LP tanggal 27 April 1998. Kemudian Ahmad Suradji melakukan upaya hukum banding, dan Pengadilan Tinggi di Medan mengeluarkan putusannya tanggal 27 Juni 1998 Nomor 80Pid1998PT.Mdn, yang amar putusannya tetap sama: menghukum terpidana dengan pidana “ mati ”. Akhirnya pada tanggal 25 Juli 1998, terpidana mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut. Memperhatikan risalah kasasi bertanggal 7 Agustus 1998, dari kuasa terpidana yang diajukan untuk dan atas nama terdakwa berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 23 Juli 1998, risalah kasasi mana telah diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri di Lubuk Pakam pada tanggal 7 Agustus 1998. Lalu pada hari Selasa tanggal 22 September 1998 Mahkamah Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Agung RI mengeluarkan putusan Nomor 1076 KPid1998, yang menyatakan bahwa terpidana dihukum dengan pidana “ mati ”.

1. Kronologis

Identitas Terpidana: Nama : Ahmad Suradji alias Nasib alias Datuk Tempat Lahir : Desa Sei Semayang, Kec. Sungai Kab. Deli Serdang Tanggal Lahir : 12 Desember 1952 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat Tinggal : Dusun I Aman Damai, Desa Sei Semayang No. 260 Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Agama : Islam Pekerjaan : Petani Kasus pembunuhan terhadap 42 wanita oleh Ahmad Suradji dilakukan pada sekitar tahun 1986 sd 1997, secara bersama-sama dengan saksi Tumini yang penuntutannya dilakukan terpisah atau masing-masing bertindak sendiri-sendiri. Hampir seluruh korbannya yang datang menemui Ahmad Suradji yang berpraktek sebagai Dukun, meminta untuk dibuatkan “pemanis dan pelaris” bagi korban. Lalu Dukun Suradji mengemukakan beberapa persyaratan, antara lain membawa kembang telon, kemenyan putih, kemenyan Arab, sepasang jeruk purut dan harus bersedia diikat, dikubur setengah badan yang dilakukan pada malam hari di tempat yang sunyi, Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain. Persyaratan-persyaratan tersebut disetujui oleh korbannya. Beberapa hari kemudian, sekitar bulan Desember 1986 pada pukul 18.00 Wib, korban pertama yang bernama Tukiyem alias Iyem datang menemui Dukun Suradji di rumahnya, dan menyerahkan kembang telon, kemenyan putih, kemenyan Arab, dan sepasang jeruk purut. Setelah itu sekitar pukul 19.30 Wib, Dukun Suradji membawa korban Tukiyem alias Iyem ke Perkebunan Tebu Sei Semayang di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, dan Dukun Suradji membawa alat-alat berupa: a. Satu cangkul dipakai untuk menggali dan menutup lubang tanah. b. Satu tali sepanjang ± 2 meter untuk mengikat kaki dan tangan korban Tukiyem. c. Satu karung untuk tempat pakaian korban setelah dibuka dari mayat korban Tukiyem, untuk dibawa ke rumah Dukun Suradji. d. Satu senter untuk dinyalakan pada saat menggali lubang tanah. Setelah sampai di Perkebunan Tebu Sei Semayang di Desa Sei Semayang Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang yang jaraknya ± 1 km dari rumah Dukun Suradji, lalu Dukun Suradji menggali satu lubang tanah ukuran panjang ± 1 meter, lebar ± 70 cm, dan dalamnya ± 1 meter dengan cangkul yang dibawanya. Kemudian Dukun Suradji menyuruh korban Tukiyem memegang senter ke arah lubang tanah yang sedang digali tersebut. Selesai menggali lubang tanah, Dukun Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Suradji menyuruh korbannya masuk ke dalam lubang tanah tersebut dengan posisi berdiri. Dukun Suradji juga masuk ke dalam lubang tanah tersebut, lalu mengikat kedua kaki dan tangan korban dengan tali yang dibawanya. Setelah itu Dukun Suradji naik dari dalam lubang tanah tersebut ke atas, sedangkan korban Tukiyem tetap berada dalam lubang tanah. Kemudian Dukun Suradji menimbun lubang tanah dengan tanah sehingga korban Tukiyem tertimbun dari kaki sampai sebatas dada dalam posisi berdiri, dalam keadaan kedua kaki dan kedua tangan diikat dengan tali. Perbuatan Dukun Suradji mulai dari menggali lubang tanah, menyuruh korban Tukiyem masuk ke dalam lubang tanah tersebut, mengikat kedua kaki dan kedua tangan dengan tali, dan menimbun korban dari kaki sampai sebatas dada dengan tanah, dimaksudkan untuk memudahkan Dukun Suradji menghilangkan nyawa korbannya. Setelah korban Tukiyem ditimbun dengan tanah dari kaki sampai sebatas dada, Dukun Suradji jongkok di dekat kepala korban, lalu menyandarkan kepala korban di atas paha, kemudian Dukun Suradji menutup mulut dan hidung korban dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya mencekik batang tenggorokan korban dengan kuat, sehingga korban langsung meninggal dunia. Mulut mayat korban Tukiyem dibuka dan dihisap air liurnya oleh Dukun Suradji. Perbuatan Dukun Suradji menghilangkan nyawa dan menghisap air liur mayat korban, dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan ilmu perdukunannya. Selanjutnya Dukun Suradji mengkorek kembali lubang tanah yang telah ditimbun Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 tersebut, lalu mengangkat mayat korban Tukiyem dari dalam lubang tanah dan meletakkannya di pinggir lubang tanah. Dukun Suradji memperbesar lubang tanah tersebut agar muat mayat korban. Lalu membuka tali yang mengikat kedua kaki dan kedua tangan mayat korban. Akhirnya Dukun Suradji membuka seluruh pakaian mayat korban sehingga telanjang, dan memasukkannya ke dalam lubang tanah, lalu menimbun lubang tanah yang telah berisi mayat korban tersebut dengan tanah, dan menginjak-injaknya dari atas. Pada tanggal 11 Maret 1987, datang korban kedua yang bernama Yusniar alias Niar ke rumah Dukun Suradji, dengan tujuan yang sama yaitu meminta untuk dibuatkan “pemanis dan pelaris”. Ahmad Suradji yang berpraktek sebagai Dukun lalu mengemukakan beberapa persyaratan, sama halnya dengan korban yang pertama. Proses menghilangkan nyawa korban dan menghisap air liur mayat korban juga sama. Sekitar tahun 1988, datanglah korban ketiga bernama Tomblok. Lalu di bulan Agustus 1989, Rusmina alias Popi korban keempat datang dengan maksud yang sama. Kemudian pada tanggal 19 Juni 1991, korban kelima bernama Diduk, Rusmiani alias Ani korban keenam datang sekitar bulan Juli 1992. 1 bulan kemudian korban ketujuh bernama Sulianti alias Yanti. Tanggal 28 Oktober 1992 Irdayanti korban kedelapan, Sadiem korban kesembilan datang pada tanggal 17 Desember 1992, Kunyil korban kesepuluh datang pada bulan Januari 1993, Farida, Nurmala alias Kak Pen, Sutri Emida Hanum, Sutri Ermayanti, Suriani Gultom, Sri Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Ratna, Imelda, Mimi, Sariah Lubis alias Mak Eka, Sri Erningsih, Asriani boru Tarigan, Maria, Nuriati, Supiah, Suwarni, Tukini, Titik dan anaknya, Supiatik dan kedua anaknya bernama Ponatik dan Halimah, Ngadiem Lely alias Angau, Kartini, Marni, Anita, Tumini dan anaknya Sri Susanti, Aluh, Susiani, Sri Kumala Dewi, dan akhirnya pada tanggal 23 April 1997 sampai pada korban terakhir berjumlah 42 orang. Perbuatan Dukun Suradji yang telah menghilangkan nyawa 42 wanita secara sengaja dan direncanakan terlebih dahulu itu, dilakukan mulai dari tahun 1986 sampai dengan 1997 pada waktu dan tempat yang sama.

2. Dakwaan dan Tuntutan