BAB III EKSISTENSI PIDANA MATI DI INDONESIA
A. Pro dan Kontra Pidana Mati dari Perspektif HAM
Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia, tampaknya tidak akan pernah selesai dan
tidak lekang seiring perkembangan zaman. Dari berbagai literatur dapat ditelusuri bahwa pro kontra pidana mati sudah mulai sejak abad ke-18, tepatnya sejak tahun
1764
92
ketika Cesare Beccaria mengatakan pendiriannya bahwa pidana mati tidak manusiawi dan tidak efektif inhumane and ineffective.
93
Pihak yang menentang
94
pidana mati paling tidak menggunakan basis argumentasi, antara lain adanya kemungkinan eksekusi terhadap orang yang tidak
bersalah the possibility of the execution of an innocent person, kurangnya efek jera terhadap kejahatan kekerasan the lack of deterrence of violent crime. Di samping
itu, mereka juga mendasarkan pada argumen moral dan agama based on moral or
92
J.E. Sahetapy, op.cit., hal. xxi-xxii.
93
Lebih lanjut dia katakan “that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other”. Lihat: Roger Hood, The
Death Penalty, A Worldwide Perspective, Third Edition-Revised and Updated, Oxford University Press, 2002.
94
Amnesty International adalah organisasi yang sejak tahun 1977 telah mengkampanyekan penghapusan total pidana mati bagi semua jenis kejahatan. Organisasi ini menganggap that the death
penalty violates the right to life and is the ultimate cruel, inhuman and degrading punishment. Lihat: J.E. Sahetapy, loc.cit., hal. xxi.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
religious basic.
95
Sebaliknya pendukung pidana mati memandang bahwa pidana mati dapat menimbulkan efek jera the deterrence of violent crime, adil bagi teman
dan keluarga korban closure to the families and friends of the victims, dan kelompok ini percaya pemidanaan dalam bentuk lain tidak akan efektif.
96
Dari pendekatan historis
97
dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan dari teori absolut balas dendam, an eye for an eye yang oleh sebagian orang
dianggap sudah ketinggalan zaman dalam ilmu hukum pidana. Namun sejalan dengan dinamisasi hukum pidana dan pemidanaan lebih ditujukan kepada teori rehabilitation
rehabilitasi atau perbaikan kepada terpidana. Pro kontra pidana mati tidak terlepas dari aliran-aliran yang berkembang
dalam hukum pidana, khususnya tentang filosofi pemidanaan. Pada abad ke-18 dengan ditandai munculnya Aliran Klasik di Eropa yang merupakan reaksi terhadap
95
Seringkali muncul pertanyaan bagaimana jika terjadi kesalahan dalam menjatuhkan pidana mati error in persona, ketika yang bersangkutan dijatuhi pidana mati dan dieksekusi maka peluang
untuk mengembalikan keadaan seperti semula menjadi tidak ada. Dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di
Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Lihat: Ibid.
96
Capital Debate Punishment, http:en.wikipedia.orgwikiCapital_punishmet_debate
, diakses 19 April 2009.
97
Belanda telah menghapuskan pidana mati pada tahun 1870 17 September 1870, dengan Stb. 162. Penentang hukuman mati Beccaria pada abad 18, Volatire Marat dan Robespierre.
Gerakannya menjalar dari Italia, Austria, Perancis, terus ke Jerman. Penyair-penyair Jerman seperti Lessing, Klosptock, Mosser dan Schiller sampai juga terpengaruh karenanya. Di Jerman, dalam
Nationalversamlung di Frankfurt pada 3 Desember 1948 diputuskan bahwa di dalam hak-hak dasar bangsa Jerman haruslah dimasukkan hal ditiadakannya pidana mati. Berturut-turut banyak negara
beradab menghapuskan ancaman pidana mati dari undang-undang pidananya 1874 dihapuskan di Michigan, 1848 di San Marino, 1849 di Venezuela, 1852 di Rhode Island, 1853 Wiscounsin, 1859 di
Toskane, 1864 di Colombia dan Rumania, 1890 di Italia, 1891 di Brazilia, 1895 di Equador dan Peru, 1902 di Norwegia, 1921 di Swedia, 1922 di Lithaunia, 1926 di Uruguay, 1930 di Chili, 1933 di
Denmark, 1941 di New Zealand walaupun beberapa dari negara ini kemudian mengadakan kembali pidana mati. Raja yang sedang berkuasa menentang hukuman mati Raja Louis dari Portugal, Raja
Yohann dari Saksen dan Raja Oskar dari Swedia. Lebih lanjut baca: Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta: Aksara Baru, 1978, hal. 83. Dan lihat: Roger Hood, op.cit.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
pemerintahan absolut. Hukum pidana yang berkembang pada abad ini berorientasi pada perbuatan daadstrafrecht, konsep ini menekankan bahwa pemidanaan harus
sesuai dengan kejahatannya proporsional. Pada abad ke-19 muncul aliran modern yang dinamakan sebagai aliran positif, yang berorientasi pada pelaku dan individu-
individu daderstrafrecht, aliran ini menolak definisi hukum dari kejahatan-pidana harus disesuaikan dengan pelaku tindak pidana. Berikutnya muncul aliran neo-klasik
sebagai aliran gabungan dengan karakteristik daad dader strafrecht yang mempunyai ciri-ciri modifikasi dari doktrin kebebasan kehendak free will.
98
Perdebatan mengenai hukuman mati dari perspektif hak asasi manusia menghasilkan berbagai pendapat, baik di kalangan akademisi, para pakar hukum
maupun pemuka agama. Ada yang setuju diberlakukannya pidana mati, dan ada pula yang tidak setuju diberlakukan, bahkan meminta agar dihapuskan dari hukum
Indonesia, dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang mengkaitkan tentang asal hukum dari Belanda, dimana Negara Belanda sendiri telah menghapuskan pidana
mati sejak tahun 1870, dan ada pula yang berpendapat mengatakan bahwa walaupun pidana mati telah diberlakukan di Indonesia tetapi kenyataannya kejahatan di
Indonesia bukan berkurang bahkan semakin meningkat, walaupun secara konkrit hal ini sulit untuk dibuktikan.
Pendapat yang saat ini berkembang adalah bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dan sering dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi
98
Roeslan Saleh, op.cit., hal. 85.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
manusia. Hal ini semakin terangkat sejak adanya Amandemen UUD 1945 Pasal 28 A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
99
Polemik yang berkepanjangan mengenai hukuman mati ini menimbulkan berbagai pendapat, yaitu:
1. Hukuman mati masih relevan untuk dilaksanakan.
2. Hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, yang menjamin hak untuk
hidup sesuai dengan amandemen kedua dari UUD 1945. Kebijakan pemberlakuan hukuman mati ini merupakan pengembangan dari
teori absolut teori pembalasan yang mendekatkan diri kepada efek jera. Namun sejalan dengan dinamisasi hukum pidana dan pemidanaan, lebih ditujukan kepada
teori rehabilitation rehabilitasi atau perbaikan kepada terpidana. Hal ini didukung oleh pendapat Muladi yang mengatakan bahwa “Hukum pidana modern yang
bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku, dimana stelseel sanksinya tidak hanya meliputi pidana straf ; punishment yang bersifat penderitaan, tetapi juga tindakan
tata tertib maatregel ; treatment yang secara relatif lebih bermuatan pendidikan.
100
Apabila ini dapat dilaksanakan, maka terpidana yang selesai menjalani hukumannya akan kembali bersosialisasi dengan baik kepada masyarakatnya.
99
A. Gunawan Sunarja, Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta: Kanisius, 1993, hal. 73.
100
Lihat: Muladi, dalam Andi Hamzah, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 73.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Peraturan nasional tentang hak asasi manusia jelas merupakan suatu instrumen peraturan perundangan yang melindungi setiap orang dari penyiksaan.
Fakta yang dapat diperoleh bahwa kasus-kasus kekerasan di tanah air masih terus berlangsung, sehingga manfaat Ratifikasi Konvensi HAM masih belum terlihat. Ini
berarti pula bahwa peran peraturan perundang-undangan hak asasi manusia belum maksimal. Banyak terjadi tindak kekerasan yang tidak terselesaikan, belum lagi satu
kekerasan diselesaikan secara hukum telah timbul kekerasn yang lainnya.
101
Pada dasarnya hukum hak asasi manusia adalah sebagai pelindung masyarakat, yang terkait erat dengan pembicaraan tentang prinsip pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia, dan prinsip negara hukum yang memiliki filosofi tentang kehidupan dan keamanan, serta ketenangan bagi masyarakat dalam wilayah
Negara Republik Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari dasar pemikiran pembentukan UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut:
102
1. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya.
2. Pada dasarnya manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan dan
kemauan, serta berbagai kemudahan oleh penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidupnya.
101
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis, Yogyakarta: Universitas Islam Darul Ulum UNISDAL
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2005, hal. 158.
102
Ibid.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
3. Untuk melindungi, mempertahankan, meningkatkan martabat manusia,
diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat
mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia yang lainnya homo homini lupus.
4. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu
dibatasi oleh hak asasi manusia lain, sehingga kebebasan akan hak asasi manusia bukanlah tanpa batas.
5. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun. 6.
Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban
dasar. 7.
Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi dan ditegakkan, untuk itu pemerintah, aparatur negara dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
Terhadap uraian UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, maka dapat disimpulkan bahwa “hak asasi manusia” yang merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa harus diakui, dilindungi dan tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun oleh setiap orang maupun negara. Sedangkan dalam kewajiban untuk
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
menghormati terletak pada setiap orang, namun demikian negara wajib menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
Namun demikian, pelaku kekerasan dalam kasus hak asasi manusia tanah air, justru banyak dilakukan oleh pejabat publik penegak hukum, polisi, militer, dan
sebagainya
103
bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang dalam melakukan tugas dan wewenangnya pada saat melakukan penangkapan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana. Penghilangan nyawa seseorang dengan tidak berdasarkan prosedur hukum
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 I tentang hak hidup warga negara, pasal 4 dan pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, mengenai hak untuk
hidup seseorang, yang tidak dapat dihilangkan dalam bentuk dan perbuatan apapun. Melihat perdebatan pro dan kontra terhadap pidana mati dari perspektif hak
asasi manusia yang telah penulis kemukakan di atas, para pakar hukum pidana banyak memberikan komentar tentang hal ini, antara lain:
1. J. E. Sahetapy, salah seorang pakar hukum pidana dan pernah menjadi Ketua
Komisi Hukum Nasional, berpendapat:
104
Bahwa tidak setuju diterapkannya pidana mati, karena bertentangan dengan weltanschauung Pancasila yang bukan hanya menjadi leitstar kehidupan
berbangsa dan bernegara, tetapi juga menjadi sumber dari segala sumber hukum. Itulah sebabnya aanhef putusan Pengadilan “Demi keadilan berdasarkan
103
Ibid.
104
Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal 218-219.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah keliru, sebab Pancasila dengan demikian telah dipreteli. Putusan Pengadilan harus memuat semua pertimbangan bertalian
dengan kelima sila. Konsekuensinya pidana mati tidak mempunyai raison d’etre dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahwa pidana mati tidak dapat dijelaskan dari segi hukum pidana, apalagi secara “legalistik positivistik”. Kalaupun ingin dijelaskan dari segi retributif dan
aspek “deterrent”-nya, maka harus dikaji dari segi fungsional dan dari perspektif “law in action”. Singkat kata, ini pun tidak akan berhasil dari penelusuran
literatur hukum pidana. Bila ingin dianalisis dari segi hukum penitentier juga tidak akan berhasil, kecuali memasuki disiplin penologi. Ini berarti harus ada
pendekatan dari segi kriminologi dan viktimologi, yang justru menolak raison d’etre pidana mati.
2. Arief Sidharta Pakar Filsafat Hukum dan Guru Besar Universitas Parahyangan
menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
105
Bahwa hukuman mati dipandang sebagai sanksi pidana yang paling berat. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi pidana harus
konkrit tentang penilaian masyarakat terhadap perbuatannya. Di samping itu, sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang
dapat membawa akibat pengenaan pidana itu, dan harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya,
105
Ibid, hal. 236-237.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
sehingga akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif.
Hukuman mati sebagai sanksi pidana tidak memenuhi aspek ketiga yang harus ada pada sanksi pidana tersebut. Hukuman mati hanya memenuhi aspek
pertama dan kedua. Jadi pada hakikatnya, hukuman mati menetapkan manusia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang bukan manusia yang
dikenainya sendiri. Ini berarti bahwa hukuman mati itu mendegradasi atau mereduksi manusia hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan lain yang bukan
dirinya, dengan demikian secara langsung bertentangan dengan titik tolak dan tujuan dari hukum itu sendiri, serta bertentangan dengan hak asasi manusia.
3. Bambang Poernomo Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gajah Mada
mengemukakan alasan sebagai berikut:
106
Beliau berargumentasi bahwa harus dipisahkan antara ancaman pidana mati, penerapan pidana mati dan eksekusi pidana mati. Dalam hal ancaman
merupakan rumusan dalam undang-undang, penerapan adalah putusan hakim, sedangkan eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim oleh jaksa. Hal itu sesuai
dengan perkembangan hukum pidana yang meliputi tiga dimensi: dimensi pertama hukum pidana materiil yakni ancaman pidana mati, dimensi kedua
hukum acara pidana yakni penerapan pidana mati oleh hakim, dan dimensi ketiga
106
Pendapat Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2 – 3 PUU- V2007, hal. 394.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
adalah hukum eksekusi pidana yang dalam kasus pidana mati timbul kritik-kritik tajam, karena eksekusinya memakan waktu yang lama.
Indonesia termasuk salah satu negara yang menerapkan hukuman mati sejak tahun 1915, walaupun Negara Belanda yang mewariskan hukum pidana
telah menghapuskan hukuman mati pada tahun 1970, sehingga negara yang pro pidana mati disebut retentive country atau negara yang mengakui pidana mati
secara dejure dan defacto. Sementara masyarakat internasional cenderung menolak pidana mati abolisi bahkan “completely abolitionist”.
4. Arif Gosita Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia
mengemukakan pandangan sebagai berikut:
107
Bahwa ketentuan mengenai pidana mati dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia banyak sekali kurang lebih ada dua belas, oleh karena itu
usaha-usaha menghapus pidana mati dari peraturan perundang-undangan harus bersifat holistik. Negara Belanda telah menghapus pidana mati, tetapi KUHP di
Hindia Belanda masih mempertahankan pidana mati, karena bertujuan untuk menghukum orang-orang pribumi dalam mengusahakan ketertiban dan keamanan
di Hindia Belanda. Indonesia tetap mempertahankan pidana mati, karena meskipun memiliki
Pancasila dan UUD 1945 tetapi tidak menghayatinya dengan baik. Oleh karena itu, jika hukum Indonesia harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka
107
Ibid, hal. 396.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
pidana mati harus dihapuskan demi 4 K, yakni Kebenaran, Keadilan, Kerukunan, dan Kesejahteraan rakyat. Bahwa menghukum manusia dengan pidana mati tidak
dibenarkan, tidak adil dan tidak mengembangkan kesejahteraan rakyat. Menghukum mati manusia adalah suatu tindakan yang menimbulkan korban
sesama manusia. 5.
Mardjono Reksodiputro Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia memberikan pendapat tentang Konsep Rancangan KUHP yang berkaitan dengan
pidana mati, sebagai berikut:
108
Berdasarkan Konsep Rancangan KUHP versi ke-2 tahun 1999-2000, terdapat pendapat yang mempertahankan pidana mati yang mendasarkan diri
bahwa pidana mati masih diperlukan di Indonesia untuk menangkal for deterrence, khususnya kejahatan pembunuhan menghilangkan jiwa korban. Di
samping itu, ada yang menolak pidana mati dengan argumentasi bahwa pidana mati tidak manusiawi, bertentangan dengan moral dan mengandung bahaya akan
adanya suatu putusan pengadilan yang keliru yang tidak dapat diperbaiki bila terpidana sudah mati. Argumentasi lain, bahwa di Belanda sendiri pidana mati
telah dihapus sejak tahun 1970, dan di negara-negara lain pidana mati juga dihapuskan karena “sifat menangkalnya” tidak pernah dapat dibuktikan, serta
perlu diingat bahwa sejak tahun 1961 Indonesia mengkuti pandangan, bahwa
108
Ibid, hal. 396-397.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
tujuan pemidanaan adalah reformasi, resosialisasi dan reintegrasi ke dalam masyarakat melalui konsep pemasyarakatan narapidana.
Tim ahli akhirnya memutuskan bahwa pidana mati merupakan “pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif”, sebagai upaya terakhir
untuk mengayomi masyarakat; pelaksanaannya terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda; baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi
ditolak Presiden; pelaksanaan dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun. Jika selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji,
maka dapat diubah dengan pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun dengan Keputusan Menteri; jika permohonan grasi ditolak maka pidana mati tidak
dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri. Ini dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri.
6. Rachland Nashidik Direktur Eksekutif Imparsial, menyatakan hal-hal sebagai
berikut:
109
Bahwa agak sulit untuk mengidentifikasi karakter dari non derogable rights dengan pemahaman yang tunggal, karena mengenai apa yang termasuk di
dalamnya berbeda-beda, antara yang dimuat dalam International Covenant on Civil and Political Rights ICCPR menyebutkan tujuh macam, dalam European
Convention on Human Rights ECHR hanya ada empat macam, sedangkan dalam American Convention on Human Rights ACHR ada sebelas macam.
109
Pendapat Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2 – 3 PUU- V2007, hal. 376.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Menurut para ahli yang benar-benar merupakan non derogable , intinya ada empat macam yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang merendahkan martabat dan hak untuk tidak dianiaya, hak untuk diakui sebagai subyek hukum dan sama di muka hukum, serta hak untuk tidak
diadili oleh hukum yang berlaku surut post facto law. Bahwa hak untuk hidup harus benar-benar dapat dinikmati oleh setiap
orang, sehingga Mahkamah Konstitusi harus berani menghapuskan pidana mati di Indonesia.
7. Muladi menjelaskan bahwa hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman
yang diatur dalam pasal 10 KUHP yang merupakan hukum positif. Terlepas dari landasan yang sifatnya legalistik, secara realistispun kondisi hukum di Indonesia
masih sangat membutuhkan pelaksanaan hukuman mati. Tentunya khusus bagi kejahatan-kejahatan spesifik. Penjatuhan pidana mati hanya diputuskan oleh
hakim apabila kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat meyakinkan beyond reasonable doubt. Berkaitan dengan penilaian pidana mati
dianggap melanggar hak asasi manusia, maka Muladi menandaskan bahwa tidak sependapat atas anggapan tersebut karena pada hakikatnya terpidana mati tersebut
juga telah melanggar hak asasi manusia yang lebih besar.
110
8. Mahmud Mulyadi Pakar Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara,
menyatakan hal-hal sebagai berikut:
110
Ibid, hal. 200.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Ide penghapusan pidana mati dikembangkan oleh paham abolisionis yang menganggap pidana mati adalah bentuk pemidanaan yang kejam dan tidak
manusiawi, dan bersumber dari teori retributif yang melegitimasi pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan. Gerakan yang diusung oleh kaum abolisionis
bertujuan tidak hanya untuk menghapuskan pidana mati, melainkan bertujuan untuk menghapuskan seluruh bentuk pemidanaan. Gerakan ini lahir dari
pemikiran aliran positif dengan menggagas metode treatment sebagai tujuan pemidanaan. Aliran positif kemudian diteruskan oleh aliran social defence radikal
yang dikembangkan oleh Filippo Gramatica. Metode treatment telah menginspirasi lahirnya aliran social defence, baik yang radikal maupun moderat
yang ingin menggantikan hukum pidana dengan hukum perlindungan sosial. Dalam kenyataannya, metode treatment ini tidak mulus dan banyak menuai kritik,
karena hanya sedikit negara yang memiliki fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi, dinilai mengundang tirani individu dan menolak hak asasi manusia.
111
Bahwa dalam falsafah tujuan pemidanaan, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam hukum pidana yang dianut di berbagai negara dan juga ilmu, yaitu
pertama retributive, kedua deterrent, ketiga treatment, keempat merupakan varian dari treatment yakni social defence, dan yang sekarang berkembang adalah
restorative justice dalam hukum pidana. Adanya berbagai aliran pemidanaan memang menjadi dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pemidanaan dalam aliran
111
Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal. 272.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
retributif dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan tujuan pemidanaan sebagai deterrent dianggap telah
gagal dengan fakta, dimana semakin meningkatnya jumlah pelaku kejahatan yang menjadi residivis. Sementara aliran treatment dengan program rehabilitasi dan
mengusung penghapusan pidana, termasuk pidana mati telah kehilangan arahnya. Kemudian aliran retributif dan deterrent menguat kembali, yakni untuk
mengakomodasi secara legal kecenderungan alami manusia untuk melakukan pembalasan terhadap orang yang telah membuat penderitaan. Penentang terhadap
aliran abolisionis juga datang dari paham social defence moderat new social defence.
112
Pembicaraan pidana mati dalam perspektif Pancasila dan UUD 1945 tidak akan terlepas dari pembicaraan dalam perspektif keagamaan. Setiap agama pasti
mengajarkan kebaikan dan perlawanan terhadap kebatilan, serta melarang setiap orang untuk berbuat zholim, menindas aspek kemanusiaan, termasuk mencabut
nyawa seseorang dari kehidupannya karena yang menentukan hidup atau matinya seseorang hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, hak untuk hidup
merupakan hak asasi yang diberikan oleh Allah SWT kepada semua manusia di muka bumi.
113
112
Ibid, hal. 282.
113
Ibid, hal. 286.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
9. Jeffrey Fagan Guru Besar Bidang Hukum dan Kesehatan Masyarakat di
Universitas Columbia, Amerika Serikat memberikan argumentasi sebagai berikut:
114
Dalam berbagai kajian ilmiah menunjukkan bahwa hukuman mati death penalty tidak berdampak efek jera deterrent effect, juga dalam hal kejahatan
narkotika dan obat-obatan terlarang drugs crimes pada umumnya dan kejahatan penjualan manusia drugs trafficking pada khususnya. Di samping itu, tidak
dapat dijamin presisi atau akurasi putusan hakim dalam penjatuhan hukuman mati, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan cukup besar, dan sistem
pembinaan life sentence without parole lebih efektif di dalam menimbulkan efek jera deterrent effect.
10. Philip Alston Guru Besar Universitas New York, Amerika Serikat dan Special
Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitry Executions PBB. Ia memberikan komentar bahwa pasal 6 ICCPR sesungguhnya menolak
pidana mati, namun masih mentolerir adanya negara-negara yang menganut hukuman mati, meskipun dibatasi hanya untuk scope kejahatan paling serius
most serious crime.
115
114
Ibid, hal. 144.
115
Ibid, hal. 210.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
11. William A. Schabas Guru Besar Universitas Nasional Irlandia dan Direktur Pusat
Hak Asasi Manusia Irlandia, memberikan argumentasi sebagai berikut:
116
Bahwa dari perspektif hukum internasional, pidana mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup, bukan sekedar pembatasan atau pengecualian atas
hak untuk hidup. Ada kecenderungan semakin meningkatnya jumlah negara- negara yang menghapuskan pidana mati, dibandingkan dengan negara-negara
yang masih mempertahankan pidana mati. Bahwa memang benar pasal 6 ICCPR masih memberikan kemungkinan
pengecualian pidana mati bagi kejahatan-kejahatan yang paling serius most serious crimes. Bahwa dari sudut hukum konstitusi, Konstitusi Indonesia
berbeda dengan ICCPR telah menempatkan hak untuk hidup rights to life bersifat non-derogable, sehingga sudah sepantasnya pidana mati dihapuskan
dalam semua perundang-undangan di Indonesia. Bahwa dari sudut efek jera deterrent effect, pidana mati berdasarkan
oleh berbagai kajian ilmiah tidak berhasil menimbulkan efek jera.
12. Dewan Perwakilan Rakyat RI memberikan keterangan dan pandangan mengenai
pidana mati sebagai berikut:
117
116
Pendapat Ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 2 – 3 PUU- V2007, hal. 374.
117
Ibid, hal. 398.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Bahwa selama sistem pemidanaan dalam KUHP yang merupakan hukum positif masih menganut pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, maka
pidana mati masih sah berlaku di Indonesia. Bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang
dijamin oleh pasal 28 A UUD 1945, karena sesuai dengan ketentuan pasal 28 J ayat 2 hak tersebut tidak mutlak, tetapi dapat dibatasi.
Analisis Terhadap Pendapat Pakar di atas
Setelah memperhatikan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh pakar hukum pidana di atas, dapat penulis bagi kepada dua kelompok. Pertama; Kelompok
yang kontra terhadap hukuman mati, dan kedua; kelompok yang tetap mempertahankan hukuman mati.
Kelompok yang kontra tidak setuju diterapkannya hukuman mati yaitu J.E. Sahetapy, Arief Sidharta, Arif Gosita, Mardjono Reksodiputro, Rachland Nashidik,
Jeffrey Fagan, Philip Alston, dan William A. Schabas. Sedangkan kelompok yang tetap mempertahankan hukuman mati pro yaitu Bambang Poernomo, Muladi, dan
Mahmud Mulyadi. Adapun argumentasi yang menentang dihapuskannya hukuman mati, pada
prinsipnya karena bertentangan dengan Pancasila, yaitu sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebagaimana J.E. Sahetapy mengemukakan bahwa “demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan hak hidup adalah milik Tuhan”, artinya
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
tidak tepat apabila pelaku kejahatan dijatuhi hukuman mati. Di samping itu, pidana mati tidak mempunyai raison d’etre dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara Arief Sidharta mengemukakan bahwa hukuman mati terlalu berat untuk dipertanggungjawabkan oleh pelaku, dan tidak akan mampu merubah tingkah
laku kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan lebih tegas Beliau menegaskan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang tidak
manusiawi, dan bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri dan hak asasi manusia. Rachland Nashidik berargumen, yang intinya sama dengan dua orang pakar
hukum pidana di atas, yang menekankan bahwa hak untuk hidup harus benar-benar dapat dinikmati oleh setiap orang, sehingga Mahkamah Konstitusi harus berani
menghapuskan pidana mati di Indonesia. Sedangkan Arif Gosita menentang, bahwa pidana mati perlu dihapuskan karena pidana mati berdasarkan hukum adalah suatu
viktimisasi bagi manusia terhadap sesama manusia, merugikan dan menimbulkan korban, serta tidak melindungi hak asasi manusia.
Mardjono Reksodiputro menurut analisis penulis berpandangan lebih liberal, karena mengajukan beberapa alternatif terhadap pelaksanaan hukuman mati. Dapat
dipertahankan hukuman mati, tetapi harus benar-benar selektif dan memenuhi syarat kehati-hatian, dengan mengacu kepada rumusan konsep Rancangan KUHP. Di
samping itu, ia juga mengacu kepada UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Negara Indonesia yang menentang berlakunya hukuman mati.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Penulis berpendapat bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, apabila diancamkan kepada tindak pidana yang sangat membahayakan bagi
keselamatan masyarakat Indonesia, dijatuhkan oleh hakim dengan mempertimbangkan secara seksama kemungkinan penggunaan alternatif di samping
pidana mati, dan keputusan telah disepakati secara aklamasi oleh semua hakim dalam majelis hakim yang bersangkutan. Untuk kasus di pengadilan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, pengadilan dipersilahkan mempergunakan persyaratan dan pertimbangan tersebut, dan untuk putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, kepada Mahkamah Agung dipersilahkan untuk memerintahkan penundaan pelaksanaan pidana mati dengan kesepakatan Jaksa
Agung selama sepuluh tahun ditambah ketentuan bahwa apabila terpidana dalam masa percobaan selama sepuluh tahun ini menunjukkan sikap dan perbuatan yang
terpuji, maka putusan pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM.
Hal ini merupakan indikator, bahwa pandangan Mardjono Reksodiputro lebih mengarah kepada proses edukatif untuk merubah tingkah laku pelaku kejahatan
menjadi manusia berguna, dan menyadari kesadaran yang telah dia lakukan. Pendapat kelima orang pakar hukum pidana yang menentang diberlakukannya
hukuman mati sebagaimana yang telah penulis kemukakan di atas, sejalan dengan pakar hukum dari Barat seperti Jeffrey Fagan, Philip Alston, dan William A. Schabas,
yang dengan tegas menentang hukuman mati. Seperti William A. Schabas
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
mengemukakan bahwa dilihat dari sudut efek jera, hukuman mati tidak berhasil untuk membuat pelaku kejahatan menjadi jera. Hal ini dikuatkan oleh Jeffrey Fagan, bahwa
dalam kajian ilmiah menunjukkan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap efek jera, di samping putusan hakim dalam penjatuhan hukuman mati tidak dapat dijamin
presisi dan akurasinya. Bahkan yang lebih efektif sistem pembinaan lebih berhasil untuk membina pelaku kejahatan menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan Philip
Alston dengan tegas menolak hukuman mati, tetapi dia mentolerir terhadap negara yang menganut hukuman mati, meskipun dibatasi untuk scope kejahatan yang paling
serius. Hal ini wajar Philip Alston berpendapat demikian, karena ia sebagai warga negara Amerika menganut hak asasi manusia yang menentang menghilangkan nyawa
orang lain, dan bertentangan dengan Declaration of Human Rights. Adapun kelompok kedua, penulis kategorikan sebagai kelompok yang tetap
mempertahankan hukuman mati, antara lain Bambang Poernomo, Muladi, dan Mahmud Mulyadi. Seperti Bambang Poernomo menyatakan bahwa tidak tertarik
pada persoalan pro dan kontra pidana mati, karena menurut Beliau memisahkan antara ancaman pidana mati, penerapan pidana mati dan eksekusi pidana mati. Sesuai
pula dengan perkembangan hukum pidana yang meliputi tiga dimensi, yaitu hukum pidana materiil yaitu ancaman hukuman mati, hukum acara pidana yaitu penerapan
pidana mati oleh hakim, dan hukum eksekusi pidana yang dalam kasus pidana mati menimbulkan pro dan kontra, karena memakan waktu yang cukup lama.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Muladi berargumen bahwa penjatuhan pidana mati hanya diputuskan oleh hakim apabila kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat
meyakinkan. Berkaitan dengan penilaian pidana mati dianggap melanggar hak asasi manusia, maka Muladi menandaskan bahwa tidak sependapat atas anggapan tersebut
karena pada hakikatnya terpidana mati tersebut juga telah melanggar hak asasi manusia yang lebih besar.
Pendapat Mahmud Mulyadi tentang dipertahankannya hukuman mati, telah mengemukakan beberapa argumentasinya yang pada intinya penulis simpulkan
sebagai berikut: Ide penghapusan pidana mati yang dipelopori oleh aliran positif dengan metode treatment dan juga diadopsi oleh aliran social defence radikal
merupakan ide yang telah gagal, karena kenyataannya hanya sedikit negara yang mampu memfasilitasi program rehabilitasi, menimbulkan tirani individu, dan semua
ilmu tak mampu merehabilitasi seseorang yang mempunyai sikap anti sosial. Kegagalan ini akhirnya menyebabkan para ahli kembali ke aliran retributive
dan deterrent dengan alasan bahwa secara alami manusia cenderung kepada balas dendam, sehingga perlu dilegalkan, penjatuhan pidana sesuai dengan kualitas moral
dari perbuatan pidana seseorang, melindungi individu dan masyarakat. Sanksi pidana mati tidak berakar dari falsafah balas dendam, melainkan
berdasarkan pemberian hukuman yang sesuai atau proporsional antara perbuatan pelaku dengan tetap memperhatikan kualitas dari perbuatan kejahatan tersebut, yang
meliputi niat, kehendak bebas untuk menentukan perbuatan, kualitas moral dari
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
perbuatan kejahatan, dan pertanggungjawaban individu atas perbuatan jahatnya. Sanksi pidana mati juga secara filosofis ditujukan untuk memberikan perlindungan
kepada individu dan masyarakat keseluruhan. Pidana mati tidak bertentangan dengan agama, pancasila dan UUD 1945,
karena hak untuk hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang tercantum dalam pasal 28 A dan 28 I ayat 1 yang sesungguhnya didasarkan atas
argumentasi bahwa hidup dan matinya seseorang memang telah ditentukan oleh Tuhan, tetapi cara untuk hidup dan matinya ditentukan oleh seseorang, karena Tuhan
telah memberikan alternatif dan acuan-acuan dalam menjalani kehidupan ini. Pembatasan dalam rumusan pasal 28 J UUD 1945 berlaku pula untuk
ketentuan pasal 28 I ayat 1, karena hak asasi seseorang harus diimbangi dengan kewajiban asasi untuk menghormati hak asasi orang lain, termasuk hak untuk hidup
orang lain, sehingga kalau melanggar dihukum. Dengan demikian pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Muladi, sejalan dengan pendapat Mahmud Mulyadi dan Bambang Poernomo, maka kaitannya dengan opini saya yaitu pada prinsipnya melanggar hak
atas hidup seseorang dan melanggar kedaulatan negara termasuk kejahatan berat. Sebagai contoh: tindak pidana pembunuhan dan pengkhianatan terhadap negara yang
telah dilakukan oleh seseorang. Dalam hal ini, ia telah melanggar kewajiban asasi manusia. Karena hak asasi seseorang itu harus diimbangi dengan kewajiban asasi
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
untuk menghormati hak asasi orang lain, termasuk hak untuk hidup orang lain. Sehingga apabila melanggar, harus dihukum.
Penulis berpendapat bahwa adanya pro dan kontra dikalangan para pakar tersebut, semuanya kembali kepada landasan agama. Negara Indonesia yang
mayoritas beragama Islam ini membenarkan adanya hukuman mati. Berhubungan dengan pandangan Islam tentang hukuman mati.
Sebagaimana diungkapkan oleh Eldin H. Zainal dalam disertasinya tentang hukuman mati, sebagai berikut: sebagai wujud dari keadilan ini adalah keadilan yang
menyangkut dengan hukum jinayah tentang pidana mati, dalam hal ini Al-Qur’an
menyebutkan beberapa bentuk kejahatan yang mengakibatkan dijatuhi pidana mati dan selebihnya dijelaskan oleh Al-Sunnah. Hukuman mati dalam pidana jinayah
Islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an dan Al-Sunnah untuk menegakkan keadilan dan menjauhi kezaliman. Realisasi dari keadilan hukum sebagai bagian yang
integral dari berbagai macam keadilan terlihat dalam sistem jinayah Islam, di mana hukuman pidana mati hanya diberlakukan pada beberapa bentuk kejahatan yang amat
terbatas jumlahnya dan dilaksanakan dengan berbagai persyaratan yang detail dan ketat.
118
Secara khusus hukuman pidana mati dalam sistem jinayah Islam hanya diperuntukkan atas kejahatan dalam bentuk pembunuhan dengan sengaja yang
118
Lihat: Eldin H. Zainal, Paradigma Hukum dan Keadilan Tentang Pidana Mati Disertasi, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam, 2008, hal. 2-3. Dan lihat: Perbandingan Hukum Pidana
Islam, Medan: IAIN SU, 2004.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
menyebabkan diberlakukan qisas bagi pelaku pembunuhan. Hal itu didasarkan Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Pemberlakuan qisas dalam tindak
pidana pembunuhan merupakan hukum asal yang bersifat ‘azimah. Akan tetapi si pembunuh tidak dapat dihukum qisas apabila diminta untuk membayar diat atau
mendapat maaf dari mustahiq al-qisas yaitu keluarga terbunuh. Dalam konteks ini, Ibn Quddamah mengemukakan tentang cara pelaksanaan
hukuman mati terhadap orang yang murtad yaitu dilakukan pemancungan dengan pedang. Sedangkan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja telah
diuraikan oleh para fuqaha secara detail, karena qisas meskipun bertujuan untuk mematikan pelaku pembunuhan sebagai suatu hukuman atas perbuatannya, namun
qisas mempunyai konsep dan pengertian tersendiri.
119
Berdasarkan pengertian qisas sebagai hukuman dalam bentuk persamaan atau keserupaan, maka sebagian besar fuqaha menganggap tidak ada bentuk khusus dalam
pelaksanaan qisas. Hal itu terkait dengan keberadaan qisas sebagai hak mutlak keluarga si terbunuh dan keluarga dibolehkan untuk melaksanakan qisas seperti apa
yang dilakukan pembunuh terhadap si terbunuh atau dengan cara lain tanpa mempertimbangkan alat atau senjata yang dipergunakan oleh si pembunuh.
Kebolehan hal yang demikian dengan syarat tidak sampai melampaui batas yang bersifat kezaliman.
119
Ibid, hal. 6.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum memberikan perlindungan hukum kepada seluruh warga negaranya dengan
meletakkan kepastian hukum sebagai asas dalam penegakan hukum berdasarkan kaedah umum bahwa penjatuhan hukum harus setimpal dengan kesalahannya. Hal itu
pula yang menyebabkan sistem hukum Indonesia yang menganut Civil Law menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berisikan tentang
berbagai bentuk tindak pidana sebagai Law in Book yang di dalamnya mengatur tentang hukum pidana mati sebagai hukuman dari berbagai tindak pidana termasuk
tindak pidana menghilangkan nyawa seseorang Dalam sistematika KUHP sebagai hukum pidana materiil yang diberlakukan
di Indonesia sejak tahun 1918, tindak pidana terhadap nyawa dimuat dalam Bab XIX dengan judul “Kejahatan Terhadap Nyawa Orang” yang diatur dalam Pasal 338-349.
Kejahatan terhadap nyawa dalam pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut; a.
Pembunuhan Pasal 338; b.
Pembunuhan dengan pemberatan Pasal 339; c.
Pembunuhan berencana Pasal 340; d.
Pembunuhan bayi oleh ibunya Pasal 341; e.
Pembunuhan bayi berencana Pasal 342; f.
Pembunuhan atas permintaan yang bersangkutan Pasal 344; g.
Membujukmembantu orang agar bunuh diri Pasal 345; h.
Pengguguran kandungan dengan izin ibunya Pasal 346; i.
Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya Pasal 347; j.
Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya Pasal 348;
k. Dokterbidantukang obat yang membantu pengguguranmatinya kandungan
Pasal 349.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Pidana mati selain disebabkan kejahatan terhadap nyawa orang dalam berbagai bentuknya seperti diatur dalam pasal 340 tentang pembunuhan berencana,
juga dikenakan terhadap kejahatan pembajakan di udara, seperti diatur dalam KUHP Pasal 479 ayat 2 yang menyebutkan bahwa; jika perbuatan itu menyebabkan
matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh
tahun. Di samping itu dalam sistem hukum positif Indonesia dikenal pula beberapa
bentuk kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati seperti tindak pidana subversi, psikotropika dan terorisme yang masing-masing diatur dalam Undang-undang
tersendiri. Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan bahwa dalam tata hukum Indonesia
pidana mati merupakan bagian dari proses pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan oleh BPHN tentang rencana KUHP Nasional. Secara eksplisit disebutkan
bahwa pemidanaan bersifat pencegahan terhadap berulangnya suatu perbuatan dan bimbingan untuk tidak melakukan perbuatan serupa. Pada dasarnya pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan yang dapat merendahkan martabat manusia, namun dalam realitanya hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia
bertentangan dengan prinsip dasar dimaksud. Mengacu kepada beberapa pendapat pakar hukum pidana di atas, penulis
dapat mengambil kesimpulan bahwa hukuman mati masih diperlukan di Indonesia
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, bahkan melindungi hak asasi manusia karena masa depan bangsa Indonesia menjadi taruhannya. Terselamatkannya
masa depan bangsa ini, tergantung kepada bangsa Indonesia sendiri dengan memperbaiki sistem hukum menjadi lebih baik lagi, serta dilandasi oleh komitmen
yang tinggi terhadap masa depan Indonesia. Menurut penulis, bahwa hukum itu ada berdasarkan kepada nilai budaya yang
digali dari dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia, dan nilai-nilai agama. Apalagi dalam ketentuan agama Islam telah jelas membenarkan diberlakukannya
hukuman mati, agar kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana, yang melanggar kewajiban asasi manusia itu tidak menimbulkan penderitaan bagi orang
banyak, dan bagi calon penjahat akan timbul rasa takut untuk melakukan suatu kejahatan lagi. Mengenai masalah kontroversi biarkanlah tetap ada, sebagai warna
dari hidup dan kehidupan.
B. Keberadaan Pidana Mati Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi