1. Pra Kemerdekaan
Indonesia telah mengenal hukuman mati ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum maju seperti saat ini. Jadi, jauh sebelumnya di
Indonesia telah mengenal hukuman mati untuk diberlakukan kepada rakyatnya. Pada umumnya yang berlaku pada daerah-daerah tersebut adalah hukum yang bersifat
tidak tertulis, yang disebut dengan hukum adat. Indonesia terdiri dari berbagai daerah dengan suku yang berbeda. Masing-masing daerah membentuk kerajaan-kerajaan
kecil dengan membentuk hukumnya sendiri, antara daerah yang satu dengan daerah lain yang berbeda hukumnya. Salah satu kerajaan yang terkenal pada waktu itu
adalah Kerajaan Majapahit. Untuk memberikan keamanan kepada rakyatnya, Kerajaan Majapahit menetapkan jenis-jenis hukuman antara lain:
63
a. Pidana pokok, terdiri dari:
1 Pidana mati
2 Pidana potong anggota badan yang bersalah
3 Pidana denda
4 Pidana ganti kerugianpanglicawapatukucawa
b. Pidana tambahan, terdiri dari:
1 Tebusan
2 Penyitaan
63
Andi Hamzah dan Sumagelipu, loc.cit., hal. 58.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
3 Patibajumpi pembeli obat
Dari beberapa jenis hukuman tersebut, maka perbuatan kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati adalah pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang
yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbuatan perusuh seperti mencuri, memmbegal, menculik, kawin sumbang kawin semarga, meracuni dan menenung.
64
Jadi jauh sebelumnya, di Indonesia telah mengenal hukuman mati untuk diberlakukan kepada rakyatnya. Pada umumnya yang berlaku di daerah-daerah
tersebut adalah hukum yang bersifat tidak tertulis hukum Adat. Hukum adat yang ada di Indonesia ini mengenal Hukum Pidana Adat dan Hukum Perdata Privat Adat.
Dalam sistem hukum adat ini tidak dikenal pemisahan antara hukum pidana adat dengan hukum perdata adat, dimana sistem hukum adat yang berlaku di berbagai
daerah di Indonesia ini dipengaruhi oleh Agama Islam dan agama lainnya, seperti Hindu tergantung dari agama yang dianut di daerah tersebut.
Setelah kedatangan pedagang-pedagang Belanda di Indonesia yang pada mulanya adalah untuk berdagang, yaitu untuk mencari rempah-rempah yang
dibutuhkan oleh negaranya, namun kenyataannya lama-lama membawa suasana penjajahan dimana untuk kepentingan perdagangan mereka, pedagang-pedagang
Belanda tersebut telah melaksanakan berlakunya peraturannya sendiri di Indonesia, yang mana peraturan-peraturan tersebut telah melaksanakan berlakunya peraturan-
peraturannya sendiri di Indonesia yang berbentuk plakat-plakat. Plakat tersebut
64
Ibid., hal. 59.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten van Batavia Statuta Betawi pada tahun 1642, tetapi belum merupakan kodifikasi.
65
Dengan dimulainya penjajahan di Indonesia, maka bagi penduduk Indonesia masih tetap dinyatakan berlakunya hukum adat masing-masing daerah. Namun dalam
berbagai hal, penjajahan Belanda masih tetap mencampuri peradilan-peradilan adat dengan alasan sebagai berikut:
66
a. Sistem-sistem pada hukum adat tidak memadai untuk memaksakan rakyat
menaati peraturan. b.
Hukum adat adakalanya tidak mampu untuk menyelesaikan suatu perkara karena persoalan alat-alat bukti.
c. Adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan
suatu kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan suatu tindak pidana yang harus diberikan sanksi.
Salah satu contoh tentang campur tangan dari Belanda di Indonesia yaitu dengan diadakannya suatu peraturan yang disebut “Papakem Cirebon”, yang
merupakan pegangan bagi hakim-hakim adat, yang isinya antara lain: “memuat sistem hukuman seperti cap bakar, pemukulan, dirantai. Terhadap jenis hukuman ini
salah satunya Aceh, yang dikenal dengan sistem hukuman yang kejam seperti
65
Ibid.
66
Ibid, hal. 60.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
hukuman mati dibunuh bagi seorang isteri yang melakukan perzinahan, hukuman potong tangan bagi seorang pencuri.
67
Setelah papakem Cirebon diberlakukan pada tahun 1750, kemudian dikenal dengan Kitab Hukum Mograrer yang berisikan pidana Islam, yang dihimpun dan
dikeluarkan oleh penjajahan Belanda. Kemudian tanggal 22 April 1808 tentang plakat, yang berisi antara lain:
68
a. Dibakar hidup-hidup terikat pada suatu tiang paal;
b. Dimatikan dengan menggunakan keris kerissen;
c. Dicap bakar brandmerken;
d. Dipukul geeselen;
e. Dipukul dengan rantai;
f. Ditahan dimasukkan ke dalam penjara confinement;
g. Bekerja terpaksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Dengan adanya plakat-plakat ini, bahwa Indonesia pada masa lampau telah mengenal pemberlakuan pidana mati yang mana pelaksanaannya lebih kejam dan
tidak manusiawi. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa daerah yang telah lama mengenal adanya hukuman mati, seperti:
69
a. Di Gayo, pidana penjara menggantikan pidana mati.
67
Ibid, hal. 61.
68
J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hal. 50.
69
Andi Hamzah dan Sumagelipu, op.cit., hal.71-72.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Bila seseorang dengan sengaja membakar desa, maka semua miliknya termasuk anak dan isterinya ikut merasakan, hal ini tidak lain agar jangan melakukan hal itu
lagi, seperti menculik, membunuh dan berkhianat, dimanapun mereka ditemukan dapat saja ditembak mati, baik itu di tempat pesta. Di Gayo ini juga
dikenal dengan pembalasan terhadap pembunuh. b.
Di daerah Batak. Apabila seseorang telah membunuh maka kepada pembunuh tersebut diwajibkan
untuk membayar uang salah kepada keluarga yang terbunuh. Jika tidak sanggup membayar uang salah kepada keluarga yang terbunuh, atau keluarga yang
terbunuh tidak mau menerima uang salah ini dan tetap menginginkan diberlakukannya hukuman mati, maka hukuman mati akan segera dilaksanakan.
Begitu pula kalau ada yang kawin semarga, maka hukumannya juga hukuman mati.
c. Di Minangkabau, dikenal dengan hukuman balas membalas. Bagi siapa yang
pernah mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Terhadap pelaksanaan hukuman mati ini, eksekusi dilaksanakan di muka umum pada suatu tempat di
negeri itu dan semua penduduk harus datang melihat. Kepala dibalut seperti haji, kemudian diikat pada suatu tiang, dan yang harus melaksanakan hukuman mati
itu adalah mamak atau salah seorang keluarga dari yang dibunuh, tetapi boleh juga si pendendam keluarga yang terbunuh harus menarik tanduk dengan keris
terhunus di muka penjahat itu, dan kadang-kadang memberi tusukan kepada si
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
penjahat tersebut. Bila jiwa si pendendam sudah panas maka barulah ia boleh memberikan tikaman yang menentukan pada bagian batang leher sebelah kiri.
Kalau keluarganya tidak mau melaksanakan hal tersebut, maka dubalang yang yang menjalankan tugas tersebut dinamakan dengan talio.
Dari contoh di atas yang sebagian daerah ada di Indonesia ini, pada umumnya mengenal hukuman mati terutama bagi yang membunuh, perkawinan sumbang di
daerah Batak dikenal dengan kawin semarga, isteri yang berzinah, mencuri, memakar desa. Walaupun masing-masing daerah tersebut di dalam pelaksanaan
hukuman mati itu berbeda-beda. Kemudian terjadilah perebutan daerah jajahan antara Belanda dengan Inggris
untuk menduduki Indonesia di bawah pimpinan Raffles sebagai penguasa di Indonesia. Inggris sangat menghormati hukum adat di Indonesia, kecuali terhadap
sistem hukum yang tidak sesuai lagi. Pada tahun 1810 Belanda berkuasa kembali di Indonesia, dengan berkuasanya kembali Belanda di Indonesia maka hukum yang ada
di Indoneisa berdasarkan asas konkordansi. Dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen yang telah dikodifikasi diumumkan dalam Staatsblad
1866 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1867. Sedangkan bagi masyarakat non Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander yang
dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1873 Staatsblad 1872 yang konkordan
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
dengan WvS untuk golongan Eropa, namun memiliki perbedaan dalam hal berat ringannya ancaman pidana.
70
Dengan demikian pada waktu itu telah terjadi dualisme dalam hukum pidana, yang mana keadaan ini terus berlaku hingga 1 Januari 1918. Setelah tanggal 1 Januari
1918, WvS ini berlaku bagi golongan Eropa maupun yang bukan. Sejak itu terdapat unifikasi hukum pidana Indonesia, walaupun belum dapat sepenuhnya
terlaksana. Hal ini disebabkan karena peraturan yang ada terdapat tiga macam lingkungan hukum atau lingkungan peradilan, antara lain:
71
a. Peradilan pemerintah umum yang berlaku untuk setiap orang.
b. Peradilan swapraja.
c. Peradilan pribumi.
Dalam hal untuk peradilan pemerintah digunakan WvS, sedangkan untuk peradilan swapraja dan pribumi digunakan hukum adat. Akibat dari Belanda kalah
perang, maka di Indonesia pun beralih ke penjajahan Jepang. Di masa inilah keluar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, yang mana menurut undang-undang ini bahwa
undang-undang zaman penjajahan Belanda masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan bala tentara Jepang.
2. Pasca Kemerdekaan