Latar Belakang Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dari permulaan, manusia selalu dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan sebagai masalah hidupnya. Kesemua masalah yang kompleks itu terus mengalami perkembangan dan perubahan, dalam hal jenis, kuantitas dan kualitasnya. 1 Salah satu dari masalah tersebut adalah hak asasi manusia, yang kembali mencuat ke permukaan dan selalu diperbincangkan. Ini menandai bahwa manusia sedang menuju kepada pemahaman jati dirinya sendiri, di saat masyarakat dunia tengah menghadapi terpaan arus globalisasi dan modernisasi. Konsekuensinya, penegakan hak asasi manusia itu sendiri ditengarai sebagai dari proses demokrasi, terutama di negara-negara berkembang. Kehadiran penegakan hak asasi manusia di Indonesia menambah deretan sejarah panjang yang berdampak kepada sebuah perubahan yang cukup baik, terutama dalam proses penegakan hukum. Dari arah yang dikumandangkan, seakan- akan hak asasi manusia menjadi maskot kesetaraan manusia di muka hukum dengan perlakuan yang baik dan manusiawi, dalam setiap pelaksanaan hukum. Bahkan apabila persoalan hak asasi manusia tidak diperhatikan secara serius oleh suatu rezim, 1 Todung Mulya dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati – Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Jakarta: Kompas, 2009, hal. 242. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 dapat menjadi pergunjingan di antara negara-negara, karena jika suatu negara terkesan tidak cukup memperhatikan hak asasi manusia, maka dapat dikucilkan oleh dunia internasional. Akan tetapi pada saat berkumandangnya hak asasi manusia di Indonesia tidak diimbangi dengan hak manusia untuk dapat menikmati hidup, selayaknya manusia yang akan mempertahankan kehidupannya dan meneruskan keturunannya, karena adanya suatu bentuk hukuman yang masih digunakan dalam penjatuhan hukuman oleh hakim di Indonesia yaitu “hukuman mati”. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum memberikan perlindungan hukum kepada seluruh warga negaranya dengan meletakkan kepastian hukum 2 sebagai asas dalam penegakan hukum berdasarkan kaedah umum, bahwa penjatuhan hukum harus setimpal dengan kesalahannya. Hal itu pula yang menyebabkan sistem hukum Indonesia yang menganut civil law menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berisikan tentang berbagai bentuk tindak pidana sebagai Law in Book yang di dalamnya mengatur tentang pidana mati 3 sebagai salah satu jenis hukuman pokok. 2 Istilah kepastian hukum dalam hukum pidana Indonesia mengacu kepada kodifikasi hukum Code Napoleon 1804 dan dengan menggunakan istilah itu, di luar kodifikasi itu tidak diakui adanya aturan hukum, sehingga hukum yang diterapkan Hakim hanya apa yang tercantum dalam kitab undang-undang itu saja. Jadi undang-undanglah yang dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini bertumpu pada anggapan bahwa hukum itu berasal dari kehendak mereka yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara, ialah berasal dari kehendak pembentuk undang-undang. Penciptaan hukum di luar pembentukan undang-undang tidak diakui. Lihat: Sudarto, Kapita Selekta Hukum, cet. II., Bandung: Alumni, 1986, hal. 53-54. 3 Pidana mati adalah salah satu bentuk pidana yang paling tua, setua umat manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji oleh para ahli, karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan antara yang setuju dan yang tidak setuju. Oleh karena itu jika Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ada sembilan kejahatan yang diancam dengan pidana mati yaitu: 1. Makar dengan maksud membunuh Presiden dan Wakil Presiden Pasal 104 KUHP. 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang Pasal 111 ayat 2 KUHP. 3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang Pasal 124 ayat 3 KUHP. 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara Pasal 124 KUHP. 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat Pasal 140 ayat 3 KUHP. 6. Pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP. 7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati Pasal 365 ayat 4 KUHP. 8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian Pasal 444 KUHP. 9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan Pasal 149 K ayat 2 dan pasal 149 O ayat 2 KUHP. 4 Selain itu di luar KUHP, dikenal pula beberapa macam kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, antara lain: 1. UU No. 12Drt1951 tentang senjata api, munisi atau bahan peledak. 2. UU No. 7Drt1955 tentang tindak pidana ekonomi. 3. UU No. 11Drt1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi. 4. UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang tindak pidana narkotika dan psikotropika. 5. UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. 5 membicarakan tentang pidana mati, maka kemudian yang akan dikemukakan adalah tentang sejarah pidana mati itu sendiri, pelaksanaan pidana mati, pro dan kontra terhadap pidana mati, tindak pidana- tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati. Lihat: Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cet. I Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hal. 206-207. 4 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 19. 5 Djoko Prakoso, Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hal. 27-28. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Dalam tata hukum Indonesia, pidana mati merupakan bagian dari proses pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan oleh BPHN tentang rencana KUHP Nasional. 6 Secara eksplisit disebutkan, bahwa pemidanaan bersifat pencegahan terhadap berulangnya suatu perbuatan dan bimbingan untuk tidak melakukan perbuatan serupa. Pada dasarnya pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan yang dapat merendahkan martabat manusia, namun dalam realitanya hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia bertentangan dengan prinsip dasar dimaksud. Hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat. Hukuman ini masih diberlakukan di Indonesia meskipun Belanda sendiri yang merupakan asal dari hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870, serta negara lainnya seperti Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss dan negara-negara Skandinavia, namun adapula negara yang telah menghapuskan tetapi kemudian mengadakan lagi seperti Rusia. 7 Sejak zaman dahulu, pidana mati untuk kejahatan pembunuhan dan kejahatan- kejahatan lain yang sama beratnya telah dikenakan hampir di setiap negara di dunia, berdasarkan atas pembalasan terhadap perbuatan yang sangat kejam dari seorang pelaku. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan pidana mati selalu diarahkan 6 Tujuan pemidanaan di Indonesia adalah; 1 untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana, demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk. 2 untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna 3 untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana. Lihat: J.E.Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Edisi 2, Jakarta, Rajawali, 1982, hal. 184. 7 Andi Hamzah dan Sumagelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal. 12. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 kepada khalayak ramai, agar takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang dapat mengakibatkan mereka di pidana mati. 8 Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana yang tertua dan paling kontroversial di dunia. Pidana mati adalah satu-satunya pidana yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan berat yang tidak dapat diampuni. Oleh karena itu, pidana mati dapat dianggap paling tidak mempunyai efek menakutkan yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. Selain itu bila si penjahat tidak dieksekusi, maka ia akan selalu dapat melarikan diri dari penjara atau jika pada suatu waktu ia dibebaskan, maka ia akan dapat mengulangi kembali perbuatan kejahatannya. 9 Dalam penerapan hukuman mati ini, baik di Indonesia maupun negara-negara di dunia, masih banyak pendapat yang pro dan kontra. Dari segi kelompok yang pro terhadap pemberlakuan hukuman mati ini mengemukakan berbagai alasan, antara lain sebagai berikut: 1. Pidana mati menjamin bahwa penjahat tidak akan berkutik lagi, masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh orang tersebut sebab mayatnya telah dikuburkan sehingga tidak perlu lagi takut kepada terpidana deaarde bedekt het lejk en van den veroordeelde is niets meer te vreezen. 2. Pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah, terutama dalam memerintah di Hindia Belanda. 3. Dengan alat represi yang kuat ini, maka kepentingan masyarakat dapat dijamin sehingga suasana ketentraman dan ketertiban di masyarakat dapat tercapai. 4. Dengan adanya alat represi yang kuat ini sekaligus berfungsi sebagai prevensi umum, sehingga diharapkan calon penjahat akan mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan. 5. Terutama dengan pelaksanaan eksekusi di depan umum, diharapkan timbulnya rasa takut yang lebih besar untuk melakukan kejahatan. 8 Disampaikan pada seminar dengan tema “Keefektivan Vonis Hukuman Mati dalam Memberantas Tindak Kejahatan”, tanggal 2 Oktober 2004, di BEM IAIN SU, hal. 1. 9 Ibid. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 6. Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati itu, diharapkan adanya seleksi buatan, sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk, dan diharapkan akan tercipta warga-warga yang baik saja. 10 Dari kelompok yang kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati, mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Golongan ini berkeberatan untuk mempertahankan lembaga pidana mati, berhubung dengan sifatnya yang mutlak tidak mungkin untuk dapat ditarik kembali, sehingga apabila pidana mati telah dilaksanakan, tidak mungkin untuk diubah atau diperbaiki kembali. 2. Hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bila pidana mati ini telah dilaksanakan apalah artinya jika kemudian ternyata terbukti terpidana tidak berdosa, padahal orangnya sudah dihukum mati. 3. Dengan dilaksanakannya pidana mati tersebut, bertentangan dengan nilai pri- kemanusiaan. 4. Bahwa pidana mati juga bertentangan dengan nilai moral dan etika. 5. Mengingat akan tujuan pemidanaan, maka pidana mati itu: a. Bagi orang yang sudah dijatuhi pidana mati itu tidak dapat lagi kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki kelakuannya, dengan demikian tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki diri penjahat tidak akan tercapai. b. Pelaksanaan pidana mati itu biasanya tidak dilaksanakan di hadapan umum, sehingga dengan demikian tidak mungkin disaksikan oleh orang banyak. Hal ini menyebabkan orang akan merasa takut tidak akan tercapai. 6. Pada umumnya terhadap orang yang akan dijatuhi hukuman mati, akan menimbulkan perasaan belas kasihan terhadap orang lain dan masyarakat peristiwa isteri Rosenberg yang dijatuhi hukuman mati di atas kursi listrik di Amerika Serikat. 11 Walaupun penerapan hukuman mati dalam praktik sering menimbulkan kontroversi antara yang pro dan kontra, namun kenyataannya secara yuridis formal pidana mati itu memang dibenarkan. Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa pasal 10 J.E.Sahetapy, op.cit, hal. 71. 11 Hermin Hediati Kuswadji, op.cit, hal. 22. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 yang ada di dalam KUHP, dan di luar KUHP tetap mencantumkan adanya pidana mati. Menurut pasal 11 KUHP, bahwa pidana mati dilakukan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum, dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat si terhukum itu berdiri. Kemudian sejak Jepang menduduki Indonesia, Belanda mengeluarkan Staatsblad 1945 No. 123 bahwa pidana mati dilakukan dengan tembak mati. Lalu diperkuat dengan UU No. 2PNPS1964 yang ditetapkan menjadi UU No. 5 Tahun 1969 yang menyatakan bahwa pidana mati dilakukan dengan menembak mati terpidana. Dimana pidana mati dilakukan dengan dihadiri oleh Jaksa Kepala Kejaksaan Negeri sebagai eksekutor, dan secara teknis dilaksanakan oleh Polisi. 12 Dari ketentuan tersebut, pidana mati dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu kedamaian peace, keadilan justice, kemanfaatan utility dan kepastian certainty. Di Indonesia telah beberapa kali memiliki Rancangan KUHP Nasional. Dalam pembahasan naskah Rancangan KUHP Nasional tahun 2002 yang sebagai ius constituendum, terdapat hal-hal yang perlu antara lain: 1. Pidana mati dilaksanakan oleh regu penembak dengan menembak terpidana sampai mati. 2. Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan di depan umum. 3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak di bawah umur 18 tahun. 12 Ediwarman, Hukuman Mati dan Masalahnya, Medan, Sinar Indonesia Baru, Kamis tgl 14 Oktober 2004, hal. 13. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 4. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa, ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. 5. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan presiden atau penolakan grasi oleh Presiden. 6. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika: a. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar. b. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki diri. c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting. d. Ada alasan yang meringankan. e. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan dari Menteri Kehakiman. f. Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, serta tidak ada harapan untuk memperbaiki diri, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. g. Jika setelah permohonan grasi ditolak maka pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan dari Menteri Kehakiman. 13 Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengaturan pidana mati, maka jelas berbeda antara Rancangan KUHP Nasional tahun 2002 dengan KUHP yang masih berlaku saat ini, seperti adanya pengaturan masa percobaan 10 tahun sebagai penundaan pelaksanaan pidana mati, pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau menjadi 20 tahun penjara dengan keputusan dari Menteri Kehakiman, dan ada beberapa kejahatan dalam KUHP yang masih berlaku saat ini diancam dengan pidana mati, sedangkan pada Rancangan KUHP Nasinal tahun 2002 tidak diancam dengan pidana mati. 13 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Tahun 2002, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Bila dilihat dari hukum positif, pelaksanaan pidana mati memang sangat mencemaskan, karena setelah pidana mati dilaksanakan tidak ada lagi upaya yang terbuka untuk memperbaikinya. Hal ini sungguh dapat dipahami karena hukum positif tidak mempertimbangkan penghisaban kembali yang akan terjadi di hari akhirat nanti. Hukum positif hanya mengatur kehidupan duniawi mundane. Sedangkan hukum agama, selain mengatur kehidupan duniawi juga berkaitan dengan kehidupan ukhrowi transedental. 14 Demikian halnya apabila pidana mati ditinjau dari sudut pandang hak asasi manusia, maka hal ini bertolak belakang dengan UUD 1945 yang telah diamandemen, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 15 Dalam UUD 1945, mengenai hak asasi manusia telah dituangkan dalam batang tubuh yang dijabarkan dalam pasal 27, pasal 28 A sd 28 J, pasal 29, 30 dan 34. Ketentuan UUD 1945 ini dikaitkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tenteram yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia, dan kewajiban dasar manusia, sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 16 Dalam pasal 28 A Amandemen Kedua UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Inilah hak asasi yang non-derogable, tidak bisa dikurangi dalam 14 Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal. i. 15 Makalah Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia. 16 Pasal 35 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Mnusia. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 keadaan apapun. Sesuai dengan asas konstitusional, legalitas produk hukum positif yang masih mempertahankan pidana mati seharusnya disesuaikan dengan amandemen konstitusi. Ini harus dilakukan agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. 17 Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, oleh karena itu pidana mati yang tujuan utamanya dengan sengaja mencabut hak hidup seseorang bertentangan dengan dengan UUD 1945. 18 Menyikapi pernyataan ini, maka Mahmud Mulyadi berpendapat bahwa setiap manusia tidak berhak menentukan hidup atau matinya seseorang, karena yang berhak untuk menentukan hidup atau matinya seseorang adalah Allah SWT. Jadi dapat ditegaskan bahwa hanya Allah SWT yang berhak untuk menentukan hidup atau matinya seseorang. Akan tetapi, cara untuk hidup atau matinya seseorang bukan Allah SWT yang menentukan, terpulang kepada manusia itu sendiri dalam menentukan cara kehidupannya dan cara matinya dalam kehidupan di dunia ini. Hal ini dilandaskan pada argumen bahwa dalam agama Islam, seorang muslim diwajibkan mempercayai Rukum Iman yang salah satunya adalah percaya kepada Qhadho dan 17 Indriyanto Seno Adji, Hukuman Mati Beratmosfer HAM, Jakarta: Tempo, Edisi 23-29 Agustus 2004, hal. 110. 18 Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal.i. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 Qadhar biasa dikenal dalam masyarakat sebagai takdir yang baik dan takdir yang buruk. 19 Telah diakui bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia paling mendasar. Bahkan dapat dikatakan hak untuk hidup merupakan sumber dari seluruh hak asasi manusia lainnya, dan karena itu patut menjadi hak yang paling dihormati. Berkaitan dengan masalah penghargaan terhadap hak asasi manusia, hal itu dapat dilihat dengan semakin banyaknya tindak pidana yang mencakup sebagian besar aspek kehidupan, mulai dari pencurian, pengelapan dana, penganiayaan, hingga perampasan hak untuk hidup seseorang atau pembunuhan. Oleh karena itu, perlu adanya hukum yang jelas dan tegas untuk mengatasi masalah tersebut. Meskipun demikian, tetap saja kadang kala hukum yang tegas justru malah ditentang karena dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM. Sebagai contoh adalah hukuman mati. 20 Dengan demikian, Deklarasi Universal merupakan langkah pertama yang meningkatkan secara bertahap dan pasti perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai salah satu hasil dari perkembangan ini, pemajuan dan perlindungan terhadap hak untuk hidup sebagaimana dijamin oleh sejumlah instrumen internasional, tidak lagi dianggap 19 Lihat; Mahmud Mulyadi dalam buku Todung Mulya dan Alexander Lay, hal. 287-288. 20 Validuser, Jurnal Hukum: Hubungan HAM dengan Pidana Mati, 6 Januari 2008. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 masalah eksklusif dalam yurisdiksi suatu negara tertentu, tetapi merupakan permasalahan internasional. 21 Akhir-akhir ini, sebagian dari kita mungkin telah mendengar banyak berita tentang protes dan kritik dari berbagai elemen masyarakat tentang pelaksanaan hukuman mati. Sebagian besar dari mereka yang memprotes adanya hukuman mati tersebut beranggapan bahwa hukuman mati merupakan suatu praktik pelanggaran HAM; yaitu hak untuk hidup. Mereka beranggapan bahwa dengan menghukum mati seseorang maka secara jelas kita telah merampas hak untuk hidup orang terhukum tersebut. Akan tetapi, dilihat dari sisi hukum dan keadilan, maka hukuman mati merupakan sebuah praktik hukum yang adil. Pendapat yang sering diajukan sebagai pembelaan atas pelaksanaan hukuman mati adalah bahwa orang terhukum tersebut pantas dihukum mati. Jadi dapat kita lihat disini ada dua sisi yang bertentangan. Satu sisi adalah hak asasi manusia, sedangkan sisi lainnya adalah keadilan. Berbagai macam kasus pidana mati yang telah terjadi di Indonesia, antara lain dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1. Data terpidana mati yang telah dieksekusi di Indonesia selama tahun 2008 22 No. Nama Umur Warga Negara Kasus Tahun Kejadian Kompetensi Pengadilan Tahun Vonis PN Tahun Eksekusi 1. Samuel Iwuchukwu OkoyeL 31Nigeria Narkotika 9 Januari 2001 PN Tangerang 5 Juli 2001 27 Juni 2008 2. Hansen Anthony Narkotika 29 Januari PN Tangerang 13 Agustus 27 Juni 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. 22 Data tertulis diperoleh dari Lembaga Bantuan Hukum Medan. Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 NwaolisaL30 Nigeria 2001 2001 2008 3. Ahmad Suradji alias Nasib Kelewang alias DatukL45 WNI Pembunuhan 42 wanita di Desa mandamai, Deli Serdang Sumut 1986-1997 PN Lubuk Pakam, Medan 27 April 1998 10 Juli 2008 4. Sumiasih P40WNI Pembunuhan 5 anggota keluarga Letkol Mar Purwanto 13 Agustus 1988 PN Surabaya 19 Januari 1989 19 Juli 2008 5. Sugeng L 24WNI Pembunuhan 5 anggota keluarga Letkol Mar Purwanto 13 Agustus 1988 PN Surabaya 19 Januari 1989 19 Juli 2008 6. Tubagus Yusuf Maulana alias UsepL37WNI Penipuan dan pembunuhan 8 orang Mei dan Juli 2007 PN Rangkas Bitung Lebak, Banten 10 Maret 2008 18 Juli 2008 7. Rio Alex Bullo L 23 WNI Pembunuhan terhadap Jeje Suradi, dan 3 orang supir kendaraan rental 21 Januari 2001 PN Purwokerto 14 Mei 2001 8 Agustus 2008 8. Amrozi bin H. Nurhasyuim L 41 WNI Peledakan bom Bali terorisme 12 Oktober 2002 PN Denpasar 7 Agustus 2003 9 November 2008 9. Abdul Aziz alias Imam Samudera LWNI Peledakan bom Bali terorisme 12 Oktober 2002 PN Denpasar 10 September 2003 9 November 2008 10. Ali Ghufron alias Mukhlas LWNI Peledakan bom Bali terorisme 12 Oktober 2002 PN Denpasar 2 Oktober 2003 9 November 2008 Lanjutan Tabel 1 Latar belakang dilakukannya penelitian kasus pidana mati dalam perkara nomor 1076 KPid1998 tentang pembunuhan 42 orang wanita, yang dilakukan oleh Ahmad Suradji adalah karena proses pembunuhan berencana terhadap 42 wanita tersebut sangatlah sadis dan tidak berperikemanusiaan. Perbuatan Dukun AS yang Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009 dimulai dengan cara menggali lubang tanah, lalu menyuruh korbannya yang datang satu persatu untuk masuk ke dalam lubang tanah tersebut, mengikat kedua kaki dan kedua tangan korban dengan tali, dan menimbun korban dari kaki sampai sebatas dada dengan tanah, dimaksudkan untuk memudahkan Dukun AS menghilangkan nyawa para korbannya. Setelah korban ditimbun dengan tanah dari kaki sampai sebatas dada, lalu Dukun AS jongkok di dekat kepala korban,dan menyandarkan kepala korban di atas paha Dukun AS, setelah itu Dukun AS menutup mulut dan hidung korban dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya mencekik batang tenggorokan korban dengan kuat, sehingga korban meninggal dunia. Akhirnya Dukun AS membuka mulut korban, lalu menghisap air liur mayat korban, bermaksud untuk meningkatkan ilmu perdukunannya. Berangkat dari realitas tersebut, maka opini penulis mengenai hal ini adalah bahwa hukuman mati itu penting untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut, bukan hanya merupakan perwujudan dari beban batin yaitu sebagai panggilan yuridis-akademis, melainkan juga suatu perwujudan dari panggilan yuridis-praktis untuk menjadikan hukum pidana yang bersumber pada Pancasila, sebagai salah satu sarana dan kekuatan budaya untuk membudayakan manusia itu sendiri.

B. Rumusan Masalah