1. Bagaimana ratio dan pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap hukuman mati?
2. Mengapa hukuman mati tetap dipertahankan di Indonesia?
3. Bagaimanakah pertimbangan Hakim di dalam penjatuhan hukuman mati terhadap
kasus Ahmad Suradji dalam perkara no. 176KPid1998?
C. Tujuan Penelitian
Berangkat dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui ratio dan pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap
hukuman mati. 2.
Untuk mengetahui mengapa hukuman mati tetap dipertahankan di Indonesia. 3.
Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan Hakim di dalam penjatuhan hukuman mati terhadap kasus Ahmad Suradji dalam perkara no.
176KPid1998.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi dan praktisi, untuk memperluas wawasan dan
menambah cakrawala berpikir, tentang kontroversi hukuman mati. Juga untuk melihat sejauh mana relevansi penerapannya dalam kehidupan masyarakat di tengah-
tengah wacana penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dewasa ini.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat luas, khususnya para penegak hukum, praktisi, akademisi, maupun teoritisasi hukum, agar
dapat lebih memahami permasalahan hukuman mati. Sehingga dapat diterapkan dan dimanfaatkan untuk menentukan kebijakan, secara konkrit dan tepat di dalam hal
penjatuhan pidana terhadap para pelaku kejahatan, dalam rangka mencegah maupun mengurangi angka kejahatan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai “Hukuman Mati Kaitannya dengan HAM Dalam Perkara No. 1076 KPid1998” ini didasarkan pada ide dan gagasan murni penulis,
dan belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun universitas-universitas lainnya di Indonesia.
Dengan demikian penelitian ini adalah asli, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Di dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro, bahwa “untuk memberikan
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
landasan yang mantap, pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”.
23
Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan dengan hukuman. Pemidanaan dapat juga diartikan sebagai penghukuman. Hukuman ini
dimaksudkan adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana.
24
Tujuan pemidanaan menurut Hazewinkel Suringa adalah pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak
disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara justru menjatuhkan hukuman itu. Sehingga pribadi manusia tersebut oleh pemerintah
negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak, pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa
pun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah negara menyerang manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
25
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pemidanaan secara umum adalah: a.
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna di masyarakat, bangsa dan negara.
23
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghali, 1982, hal. 37.
24
Djoko Prakoso, Nurwachid, op.cit., hal. 13.
25
Utrecht, Hukum Pidana I, Bandung: t.p, 1967, hal. 158-159.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d.
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Di dalam mencapai tujuan ini, untuk memidana seseorang yang telah
melakukan kesalahan maka harus berdasarkan tujuan retributif, deterrence, treatment, dan social defence.
a. Teori Retributif
Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan morally justified pembenaran secara moral, karena pelaku
kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu
kejahatan, karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum, yang dilakukannya secara sengaja dan
sadar, dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.
26
Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan
yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus
26
Aleksandar Fatic, Punishment and Restorative Crime – Handling, USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, 1995, hal. 9. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, Criminal Policy – Pendekatan Integral
Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008, hal. 68.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.
27
Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant 1724- 1804 dan Hegel 1770-1831 adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana,
sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan diarahkan pada masa lalu, bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani
penderitaan.
28
Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu imperatif kategoris yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan
kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya, berdasarkan kemauannya sendiri.
29
Nigel Warker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist yang
murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua
golongan:
30
1. Retributivist terbatas the limitating retributivist berpendapat bahwa pidana
tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana
27
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Cet. II Bandung: Bina Cipta, 1997, hal. 25.
28
C. Ray Jeffery, Crime Prevention Through Environmental Design, Beverly Hills-London: SAGE Publication, Inc., 1977, hal. 16. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, op.cit, hal. 69.
29
J.G.Murphy, Marxism and Retribution dalam a Reader on Punishment, New York: Oxford University Press, 1995, hal. 7. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 70.
30
Nigel Warker, Reductivism and Deterrence dalam a Reader on Punishment, New York: Oxford University Press, 1995, hal. 14-16. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 70-71.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku.
2. Retributivist yang distribusi retribution in distribution, yang berpandangna
bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang
bersalah. Berdasarkan pembagian aliran retributif tersebut, maka hanya the pure
retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkanya pidana. Oleh karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan.
Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham
retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributive. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limitating retributivist,
yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.
31
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:
32
1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban,
baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan ini
31
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana Bandung: Alumni, 1992, hal. 13.
32
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995, hal. 83-84.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran ini disebut vindicative.
2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan
dan anggota masyarakat yang lainnya, bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara
tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe ini disebut fairness. 3.
Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe ini disebut
proportionality.
b. Teori Deterrence
Menurut Zimring dan Hawkins, terminology “deterrence” digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan
tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun ”the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada
seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.
33
Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivism karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah
untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Penganut reductivism meyakini bahwa
33
Franklin E. Zimring, Deterrence, The Legal Threat in Crime Control, Chicago: The University of Chicago Press, 1976, hal. 71. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, op.cit., hal. 72.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:
1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan deterring the offender, yaitu membujuk
si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan.
2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial deterring potential imitators, dalam
hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku,
sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.
3. Perbaikan si pelaku reforming the offender, yaitu memperbaiki tingkah laku si
pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana.
4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan,
sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan.
5. Melindungi masyarakat protecting the public melalui pidana penjara yang
cukup lama.
34
Tujuan pemidanan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, karena tujuan
deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh utamanya yaitu Cessare Beccaria 1738-1794 dan Jeremy Bentham 1748-1832.
Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene 1764, bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan
kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat.
35
Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini dapat dibagi menjadi:
36
1. Prevensi umum general deterrence
34
Nigel Warker, Reductivism and Deterrence dalam a Reader on Punishment, hal. 212. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid.
35
Ibid, hal. 73.
36
Ibid.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan, yang memiliki tiga fungsi yaitu
menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. 2.
Prevensi khusus individual or special deterrence Bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada
pelaku, sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain Beccaria, tokoh aliran klasik yang juga sepakat dengan tujuan
pemidanaan sebagai deterrence adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitarianism adalah untuk
deterrence, incapacitation and rehabilitation. Tujuan pemidanaan menurut Bentham adalah:
37
1. Pencegahan prevention
Merupakan upaya yang paling utama diperlukan dalam pandangan masyarakat untuk menanggulangi korban kejahatan, yang terdiri dari:
a. Pencegahan khusus particular prevention, terbagi atas disablement,
deterrence dan reformation. b.
Pencegahan umum general prevention. 2.
Kepuasan perasaan danatau kompensasi satisfaction andor compensation
37
Ibid, hal. 77.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Diperlukan secara utama untuk memuaskan perasaan korban atau keluarga korban terhadap serangan oleh kejahatan.
Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-
besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada falsafah sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan
hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kebahagiaan tersebut.
38
c. Teori Treatment
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,
bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud adalah untuk member tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku
kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit, sehingga
membutuhkan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation.
39
Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lambroso 1835-1909, Enrico Ferri 1856-1928, dan Raffaele Garofalo 1852-1934. Mereka
menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan, dengan mengkaji
38
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Chandra Utama, 1996, hal. 87.
39
Mahmud Mulyadi, op.cit., hal. 79.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi, dan obyek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya.
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan, dalam kaitannya dengan
kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya, karena manusia
tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai factor, baik watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu, pelaku
kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan treatment untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku.
40
Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model
yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial, dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu
perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik, dan menurut aliran ini masyarakat
perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas free will, dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya.
41
40
Freda Adler, et. al., Second Edition, Criminology, USA: McGraw-Hill, 1995, hal. 59-61. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid.
41
John M. Wilson, The Role of Therapeutic Community in Correctional Institution dalam The Future of Imprisonment in a Free Society, Journal of Controvercial Issues in Criminology, Volume
Two, Page. 63. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 82.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Herbert L. Packer mengajukan suatu varian yang berdasarkan pandangan aliran klasik, yang disebut sebagai behavioralisme, dimana terdapat empat pokok
pikiran:
42
1. Kehendak bebas free will adalah suatu ilusi saja, karena tingkah laku
manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mengubahnya.
2. Tanggung jawab moral, juga merupakan suatu ilusi karena dosa tidak dapat
dibebankan pada suatu tingkah laku yang kondisinya dibentuk. 3.
Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikan. 4.
Fungsi hukum pidana secara murni dan sederhana, seharusnya membawa seseorang menuju suatu proses pengubahan kepribadian dan tingkah laku
mereka yang telah melakukan perbuatan anti sosial, sehingga mereka tidak akan kembali melakukan kejahatan pada masa akan datang. Atau jika semua
tujuan ini gagal, maka untuk menahan mereka melakukan kejahatan adalah dengan penggunaan paksaan, misalnya dengan pidana kurungan.
d. Teori Social Defence
Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnya adalah Filippo Gramatica, yang pada tahun 1945
mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949, pandangan ini terpecah menjadi dua aliran yaitu
aliran yang radikal ekstrim dan aliran yang moderat reformis.
43
Pandangan yang radikal
44
dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The Fight Against Punishment” La Cotta
Contra La Pena. Gramatica berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus
42
Herbert L. Packer, The Limit of The Criminal Sanction, California: Stanford University Press, 1968, hal. 11. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 87.
43
Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 88.
44
Muladi dan Barda Nawawi Arief, loc.cit., hal. 35.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial, dan bukan
pemidanaan terhadap perbuatannya”. Pandangan Moderat
45
dipertahankan oleh Marc Ancel Perancis yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “ New Social
Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan yang tidak hanya
sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum
pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat antara lain:
46
1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi
perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana. 2.
Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan
masyarakat itu sendiri.
3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-
fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyatan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.
Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif dengan paham rehabilisionisnya.
45
Marc Ancel, Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem, London: Roatledge Paul Keagen, 1965, hal. 74. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 88.
46
Marc Ancel, ibid, hal. 35. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 89.
Eliza Oktaliana Sari : Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Dalam Perkara Nomor 176 K Pid1998, 2009
Dari keempat teori tersebut, maka penerapan hukuman mati untuk memidana seseorang yang telah melakukan tindak pidana, harus sesuai dengan tujuan teori
“retributive” dan “deterrence”.
2. Landasan Konsepsional