Tuhan, beliau berpendapat dengan keadilan-Nya pasti akan member ganjaran kepada orang-orang yang berbuat baik dan menjatuhkan
hukuman terhadap orang-orang yang berbuat buruk, walaupun terhadap yang terakhir Tuhan mungkin mengampuni dosanya.
M. Quraish Shihab dalam merumuskan pandangan kalamnya, hampir sepenuhnya menempuh pendekatan tradisional, dalam arti beliau
mencapai kesimpulan-kesimpulan analisisnya lebih berdasarkan analisis semantic kebahasaan yang didukung pendekatan tafsir bi al-ma’tsûr.
Beliau menghindari penggunaan takwil seperti yang banyak ditempuh kaum Mu’tazilah. Bahkan beliau mengkritik kecenderungan para mufassir
yang terlalu banyak menggunakan takwil tanpa didukung oleh makna kebahasaan.
14
Dengan demikian, secara keseluruhan, dari segi metodenya pemikiran kalam M. Quraish Shihab cenderung bercorak tradisional, maka
refleksi pemikiran kalamnya akan cenderung bercorak normativitas.
15
2. Pemikiran M. Quraish Shihab tentang Batas Aurat Pakaian
Wanita
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan
rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak
14
Drs. Mustafa P., M. Ag, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, cet. Ke-1, h. 200-202.
15
Pemikiran Kalam yang bercorak Normativitas adalah pemikiran kalam yang dalam usahanya untuk memfungsionalkan ajaran agama yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas
teoritis teks. Pemikiran kalam yang bertolak dari keprihatinan terhadap realitas teoretis pada dasarnya mengabdi kepada kepentingan doktrin, yakni bagaimana ajaran agama bias di pahami
umat secara benar.
meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat
para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai ke-
shahih-an riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang
ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhannî yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari Al-Qur’an atau
sunnah Rasul SAW., tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-
batas itu. Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-
pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-
pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas
aurat wanita merupakan salah satu masalah khilâfiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan. Kesimpulan
yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah “Tidak menunjukkan
batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi dan kebutuhan.
Memang, harus diakui bahwa kebanyakan ulama masa lampau hingga kini, cenderung berpendapat bahwa aurat wanita mencakup seluruh
tubuh mereka kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, harus pula diakui bahwa ada pendapat lain yang lebih longgar di samping
kenyataan menunjukkan bahwa banyak kalangan keluarga ulama yang terpandang wanita-wanitanya baik anak maupun istri tidak mengenakan
jilbab. Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdatul Ulama,
atau Aisyiah. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang trbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-
pertimbangannya, sehingga praktek yang mereka lakukan itu apalagi tanpa teguran dari para ulama boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas
pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak
mengundang gangguan dari mereka yang usil. M. Quraish Shihab perlu mengingatkan bahwa, kendati ditemukan
aneka pendapat tentang batas-batas aurat wanita, namun terdapat juga beberapa ketentuan yang disepakati oleh para ulama dan cendekiawan
muslim, baik masa lalu maupun masa kini dalam hubungannya dengan aurat dan pakaian wanita.
16
B. Tafsir Al-Mishbâh M. Quraish Shihab
1. Latar Belakang Pemilihan Nama al-Mishbâh
16
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah Jakarta : Lentera Hati, 2006, cet. Ke-3, h. 179-180.
Karya besar tafsir M. Quraish Shihab yang satu ini di beri nama “Tafsir al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian. Yang biasa disingkat
dengan Tafsir al-Mishbâh saja, penamaan Tafsir al-Mishbâh pada kitab tafsirnya tentunya melalui pertimbangan yang masak. Yang mengetahui
alasan-alasannya hanyalah penulisnya saja. Walaupun secara eksplisit Quraish tidak menyebutkan alasan penamaannya, namun hal tersebut dapat
dilacak dan dianalisis berdasarkan uraian-uraian yang diungkapkan pada sambutannya atau sekapur sirih.
Dalam analisis Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Pada kata pengantar Tafsir al-Mishbâh tersebut terdapat alasan pemilihan nama, al-
Mishbah ini paling tidak mencakup 2 dua hal, Pertama, pemilihan nama itu berdasarkan pada fungsinya, al-mishbâh berarti lampu gunanya
menerangi kegelapan. Dengan pemilihan nama ini dapat diduga bahwa Quraish mempunyai suatu harapan ingin memberikan penerangan dalam
mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami al-Qur’an secara langsung karena
bahasa.
17
Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan Quraish Shihab dalam hal tulis-menulis di Jakarta. Pada tahun 1980-an, ia sebagai
pengasuh rubric “Pelita Hati”, pada Harian Pelita. Rupanya uraian yang disajikannya menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang
sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994,
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan dan Keserasian al-Qur’an Jakarta : Lentera Hati, 2000, Vol. I, h. v-viii.
kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal. Karena
Lentera paduan dari kata pelita atau lampu disebut dengan nama al- Mishbâh
; dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish Shihab untuk menjadikan karyanya.
18
Pada akhir dari sekapur sirih yang terdapat pada Tafsir al-Mishbâh volume I, M. Quraish Shihab menerangkan awal penulisan tafsir Al-
Mishbâh bertempat di Kairo Mesir, pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420
H, bertepatan pada tanggal 18 Juni 1999 M. Kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada bulan Sya’ban bertepatan pada bulan November
2000 M. Oleh penerbit Lentera Hati, dicetak dengan hard cover terdiri dari 15 volume besar.
19
2. Sumber Penafsiran Al-Mishbâh
Yang dimaksud sumber penafsiran di sini adalah hal-hal atau materi yang digunakan untuk menjelaskan makna dan kandungan ayat,
atau menurut M. Yunan Yusuf, yaitu cara seorang mufassir memberikan tafsirannya, apakah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan al-
Qur’an, al-Qur’an dengan al-Hadits, al-Qur’an dengan riwayat sahabat, kisah
Israiliyyăt, atau menafsirkan al-Qur’an dengan fikiran ra’y.
20
18
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya
, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 176-177.
19
M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jakarta: Lentera Hati, 2000, h. xii.
20
M. Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia abad keduapuluh, Jurnal Ulmul Qur’an, Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. Atau dalam Ishtilah Nashruddin Baidan, sumber ini adalah
bentuk penafsiran. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998, Cet. Ke-1, h. 9.