Dua Kecenderungan Manusia Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan berbagai padanan kata

lempung menuju Allah, berusaha untuk naik meningkat, sehingga hewan yang berasal dari lumpur dan endapan itu bisa mendapatkan karakteristik Allah. 29 Oleh karena itu, manusia yang memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu agama yang mampu merealisasikan semua aspek-aspek kemanusiannya yang bersifat material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam, sebab manusia di dalam Islam tidak dipandang tanpa daya dihadapan Tuhannya. Sebagai makhluk bidimensional, yang dikaruniai misi ke-Tuhanan, manusia memerlukan bimbingan agama yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub keduniawiannya.

B. Dua Kecenderungan Manusia Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan berbagai padanan kata

manusia di dalam al-Qur`an. Dalam hal ini, Ali Syari`ati hanya memakai dua padanan kata saja mengenai kecenderungan manusia walaupun juga ia mengutip dari al- Qur`an. a. Basyar Dalam pandangan Ali Syari`ati, basyar adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis, biologis, dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh manusia, tak perduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit bening, bangsa Barat, beragama atau tidak beragama; ia didasarkan atas hukum- hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi, psikologi dan lain-lain. 30 29 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982, h. 125. 30 Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Jakarta: Paramadina, 2003 h. 300. Penulis melihat bahwa basyar yang dimaksud oleh Ali Syari`ati ialah manusia sebagai makhluk biasa. Karena dilihat dari proses penciptaan manusia yang ada di al-Qur`an, manusia terbentuk dari dua unsur, salah satunya yaitu lempung. Unsur lempung ini lebih dominan pada basyar. Oleh karena itu basyar dianggap rendah dan tidak mencapai tingkat kemanusiaan. Seperti yang di katakan Ali Syari`ati: “Ketika kita mengkaji sejarah manusia, maksud saya adalah sejarah kebodohan manusia, sungguh lebih panjang dan karenanya lebih menarik ketimbang sejarah kepandaiannya. Manusia basyar adalah kera yang sudah berhenti berevolusi sejak waktu yang sudah lama sekali. Senjata, pakaian, dan makanannyatelah berubah, tetapi sifat-sifatnya sama saja. Tidak ada perbedaan antara Jengis Khan Raja Mongol, 1162-1227 yang berkuasa atas suku-suku liar, raja-raja besar yang berkuasa atas masyarakat luas yang berperadaban, dan orang- orang sekarang yang berkuasa atas peradaban-peradaban besar yang beradab. Tentunya, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Jengis Khan jujur ketika ia mengatakan bahwa ia datang untuk membunuh, sementara para pemimpin sekarang yang berperadaban menyatakan bahwa mereka ingin menciptakan perdamaian. Hanya retorika pidato, penipuan, pengelabuan dan rasionalisasi sajalah yang telah berubah begitu halus, tetapi esensi kemanusian ternyata sama saja. Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuknya yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.” 31 b. Insân Insân dalam pandangan Ali Syari`ati merupakan sebuah proses menuju kesempurnaan. Tipe manusia ini, berbeda dengan tipe umum, memiliki karakteristik khusus yang berlainan antara satu orang dengan orang lainnya sesuai dengan tingkatan realitas atau esensinya. Jadi bila menyebut insân, bukanlah penduduk 31 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68. dunia pada umumnya. Jadi tidak semua manusia adalah insân, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai taraf insân dalam kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tertentu dapat bergerak ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insân . Bagaimanapun, kemanusiaan dapat dipandang sebagai terus maju ke arah realitasnya. 32 Jika melihat proses penciptaan manusia pada al–Qur`an, unsur yang paling dominan pada insân ialah unsur ruh Tuhan. Unsur ini mendorong manusia agar terlepas dari kerendahan dan kehinaan. Maka, pada saat manusia mencapai pada tingkatan insân , dia telah terbebas dari belenggu dan kontradiksi antara “dua kutub”. Ia merupakan negasi terhadap semua standar konvensional, dan ia juga merupakan gerak maju ke arah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu evolusi abadi dan tidak terhingga. Dalam konteks ini, Ali Syari`ati menafsirkan ayat “ Innâ Ilaihi Râji`ûn ” Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya, dia menyatakan bahwa perjalanan “kembai kepada-Nya” Ilaihi , bukanlah berarti didalam-Nya atau pada-Nya, tetapi kepada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti yang menuju kepada-Nya. Tetapi Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, Ali Syari`ati mengkritik sufisme yang menyatakan manusia bisa bersatu dengan Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang tetap. Ali Syari`ati, menyatakan bahwa selalu ada jarak antara manusia dean Tuhan, dan manusia hanya bisa sebatas menghampiri dan tidak bisa bersatu dengan Tuhan. Karena itu gerakan ini adalah gerakan manusia terus menerus tanpa 32 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 64. henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah definisi manusia yang “menjadi”. 33 Setelah melihat adanya dua kecenderungan manusia menurut Ali Syari`ati, maka pada pembahasan selanjutnya, penulis akan membedakan antara manusia insân dan manusia basyar sesuai dengan konteksnya.

C. Tiga Sifat