Latar Belakang Masalah Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat segala

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat segala

sesuatu di alam ini, diantaranya adalah manusia. Menurut filsafat, manusia menempati posisi yang sangat penting, karena hanya manusia yang mampu berpikir dengan akalnya tentang kebaikan dan keburukan. Selain itu, dengan akalnya, manusia juga mampu mengatur segala sesuatu yang ada di alam dan mengolahnya dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini, manusia termasuk kedalam salah satu kajian yang paling penting dalam ilmu filsafat. Meskipun kajian tentang manusia menempati posisi sentral dalam ilmu filsafat, namun para filosof memahami hal ini dengan beragam persepsi. Hal demikian terjadi karena perbedaan dari definisi tentang hakikat manusia di antara mereka. Di Barat, kita kenal dengan paham Eksistensialisme yang melahirkan beberapa tokoh didalamnya. Salah seorangnya yaitu, Soren Kierkegard. Dalam pandangan Kierkegard, manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa bereksistensi. Di samping itu, Kierkegard percaya bahwa manusia berasal dari Allah dan berada sedang dalam proses menuju hubungan kepada kesatuan tertinggi dengan-Nya. Dalam proses penciptaan manusia menurut Kierkegard, digunakan istilah to exist yang artinya dalam proses “menjadi”, dan disisi lain ditemukan pula istilah existence yang artinya adalah suatu perjuangan terus menerus menuju yang 1 tak terbatas. Jika demikian, perjuangan yang terus menerus inilah yang merupakan suatu proses pencapaian eksistensi manusia yang sesungguhnya. 1 Banyak diantara para pemikir menggolongkan Kierkegard sebagai filosof, meskipun berbagai persoalan yang dirumuskannya lebih bernuansa metafisika, dengan kata lain, mereka lebih menyukai untuk menempatkan Kierkegard sebagai seorang filosof ketimbang seorang mistikus. Tidak berbeda dengan Kierkegard, `Abd al-Karîm ibn Ibrâhîm al-Jîllî juga membangun argumentasi tentang manusia yang berdasarkan tema-tema teologis. Namun, al-Jîllî lebih dipandang sebagai seorang mistikus ketimbang seorang filosof, padahal berbagai persoalan yang diangkat tidak terlalu jauh dari persoalan yang telah dibanguin oleh Kierkegard. Dalam pandangannya, al-Jîllî berpendapat bahwa eksistensi manusia bersifat koheren dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia memiliki potensi untuk meneladani sifat-sifat ketuhanan. Dengan usaha ini, maka seseorang berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan, dan ketika pengembaraan itu telah mencapai tujuannya, maka manusia menjadi intim dengan dengan Tuhan. Pada saat keintiman ini, maka manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya, dalam bahasa al-Jîllî disebut Insân Kâmil . Bagi al-Jîllî, Insân Kâmil telah merangkum semua metafor asma-asma dan sifat-sifat-Nya yang berdimensikan zat di dalam diri Insân Kâmil itu sendiri. 2 Maksudnya, potensi-potensi Ilâhiyah bersemayam dalam diri Insân Kâmil , sehingga tahap inilah yang disebut puncak pengalaman spiritual manusia. Menurut al-Jîllî, manusia yang paling tampak mempunyai potensi-potensi Insân Kâmil adalah Nabi Muhammad Saw, karena, dirinya menjadi manifestasi dari Esensi Tuhan. 1 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta: Teraju, 2004, h. 57 2 Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jîllî, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman , terj. Misbah El Majid, Lc., Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006, h. 319. Dengan demikian, dapat diketahui, Kierkegard dan al-Jîllî telah sepakat bahwa substansi manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari Tuhan. Hal demikian merupakan bukti bahwa persoalan-persoalan yang sering diangkat oleh mereka adalah persoalan yang bersifat metafisik. Kierkegard dan al-Jîllî bukan satu-satunya pemikir dari kalangan religius yang mempresentasikan mengenai persoalan substansi manusia itu sendiri. Jika al-Jîllî adalah seorang mistikus, maka dari kalangan filosof muslim, juga banyak yang mempresentasikan persoalan serupa. Salah seorang filosof Muslim Iran, Ali Syari’ati juga angkat bicara dalam persoalan tersebut. Bagi Ali Syari’ati, persoalan substansi manusia sine qua non harus dikupas tanpa adanya kontradiksi terhadap dogmatisme Islam. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa, jika Ali Syari`ati berangkat dari dogma-dogma Islam dalam memahami hakikat manusia, maka pengaruh kitab suci al-Qur’an menjadi tampak pada pemikirannya. Menurut Ali Syari`ati, konsep penciptaan Adam yang ada di al-Qur`an merupakan pernyataan humanisme yang paling dalam dan paling maju. Adam mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis, bukan biologis. Bila al-Qur`an berbicara biologis, maka itu berarti al-Qur`an menggunakan bahasa ilmu-ilmu alam. Tetapi setelah berbicara pada kejadian Adam, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa metaforis dan filosofis yang penuh dengan makna dan simbol. 3 Berdasarkan konsep penciptaan manusia yang ada di al-Qur`an, Syari`ati berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui dua unsur penting, yaitu, ruh Tuhan 3 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982, h. 113. dan tanah lempung. Ruh Tuhan mengajak manusia menuju puncak spritual tertinggi, sedangkan tanah lumpur berasal dari tanah yang rendah dan hina yang membawanya ke hakikat yang rendah. Pada akhirnya, kedua unsur ini saling tarik menarik sehingga manusia harus menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang mempunyai kehendak bebas untuk menetukan nasibnya sendiri. Setelah itu, Tuhan mengajarkan nama-nama pada manusia. Jadi Tuhan merupakan Guru Pertama manusia, dan pelajaran pertamanya adalah pengenalan “nama-nama”. Manusia juga pemberi nama pada dunia. Lantas, untuk menjawab protes para malaikat yang merasa Tuhan mengistimewakan manusia, padahal mereka hanya diciptakan dari tanah, sementara malaikat tercipta dari cahaya. Tuhan menyatakan diri-Nya mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui, dan menyuruh para malaikat untuk bersujud sebagai tanda hormat kepada manusia. Ali Syaria`ti mengatakan sujudnya malaikat merupakan arti sebenarnya humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian mulia, setingkat di atas malaikat, meski ada unsur yang hina pada manusia. Keunggulan manusia ini bukan atas dasar rasial, karena manusia dianugrahkan oleh Tuhan pengetahuan, yaitu pengenalan nama- nama terhadap segala sesuatu, sedangkan malaikat tidak. 4 Ali Syari’ati memposisikan manusia sebagai makhluk yang punya martabat tinggi, makhluk yang punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, makhluk bidimensional yang di dalamnya terdapat unsur kesucian ketuhanan dan sekaligus unsur lumpur kehinaan. Manusia adalah makhluk yang punya potensi intelektual, potensi kebebasan, dan potensi spiritual. Oleh karena itu, manusia dikaruniai amanat yang paling agung, yaitu sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi ini. 4 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, Jakarta: Teraju, 2004, h. 32. Dalam hal ini, manusia harus melakukan evolusi, merubah dirinya dari keadaan lumpur menjadi ruh ketuhanan. Dari kehinaan ke kemuliaan. Dari kebodohan ke pencerahan. Dari penindasan ke kemerdekaan. Dari keadaan basyar ke insan. Selain itu, manusia juga harus membebaskan dirinya dari belenggu alam, sejarah, masyarakat dan egonya sendiri. Ia harus bisa menentukan dirinya sendiri dengan kesadaran dan ideologi yang diyakininya. Manusia juga harus punya kepedulian sosial yang tinggi, baik dalam dataran pikiran maupun aksi. Oleh karena itu, dalam keterangan selanjutnya manusia dibedakan menjadi dua kecenderungan, yaitu, manusia insân dan manusia basyar . Dengan demikian, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat kebajikan maupun kejahatan. Jika seorang manusia cenderung berbuat kebajikan, maka dia akan selalu dekat kepada Tuhan, sehingga dia menjadi insân yang sesungguhnya. Namun pendakian menuju Tuhan tidak mudah karena banyak rintangan yang harus dihadapi. Setelah mengetahui pandangan manusia menurut Ali Syari’ati, maka dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara Ali Syari’ati dengan para pemikir lainnya seperti Kierkegard dan al-Jîllî. Adapun persamaannya antara lain, ketiga tokoh tersebut masing-masing menjelaskan konsep substansi manusia itu sendiri, sedangkan perbedaannya, jika Syari`ati mengupas persoalan tersebut dengan berlandaskan kepada dogmatisme Islam, meskipun melalui analisa filosofis, namun berbeda dengan Kierkegard yang berlandaskan kepada dogmatisme Kristen. Begitu pula dengan al-Jîllî, meskipun Ali Syaria`ti mempunyai keimanan yang sama dengan al-Jîllî, akan tetapi, Ali Syaria`ti menggunakan analisa filosofis ketimbang al- Jîllî yang lebih mengedepankan analisa mistis. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melihat banyak persoalan yang harus dijawab yang salah satunya adalah pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep manusia insân menurut Ali Syari`ati. Dalam hal ini, penulis melihat pengaruh filosofis dan teologis sama-sama menghiasi pemikirannya. Namun dalam skripsi ini, selain untuk mengetahui konsep manusia, penulis juga bermaksud untuk menentukan pengaruh filosofis atau teologis yang lebih dominan. Oleh karena itu, dengan ditemukannya dua persoalan mendasar tersebut, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih dalam mengenai konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Berkaitan dengan ini penulis menyusun laporan penelitian dengan judul “KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Pembatasan masalah dalam menyusun tema yang akan diangkat ini, penulis membatasi pokok permasalahan pada konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Selain itu penulis juga bermaksud untuk meneliti pengaruh filosofis dan teologis namun tetap dalam konsep yang ditawarkan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak bermaksud untuk meneliti pemikiran Ali Syari`ati seperti, sosiologi, etika, revolusionisme, dan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar penelitian konsep manusia menurut Ali Syari`ati lebih mendalam. Sedangkan di dalam perumusan masalah, penulis menetapkan pokok permasalahan dengan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan berikut: • Bagaimana konsep manusia menurut Ali Syari`ati? • Sejauh manakah landasan filosofis dan teologis mempengaruhi pemahaman Ali Syari`ati terhadap konsep manusia insân ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah :