Implementasi manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat: studi kasus kampung citalahab Sentral-Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

(1)

IMPLEMENTASI MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM

PENGELOLAAN EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

(Studi Kasus: Kampung Citalahab Sentral - Cikaniki, Taman Nasional

Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

WULANDARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

WULANDARI. THE IMPLEMENTATION OF COLLABORATIVE MANAGEMENT IN THE IMPLEMENTATION OF COMMUNITY BASED ECOTOURISM. A Case Study of Kampong Citalahab-Cikaniki, Halimun Salak Mountain National Park, Sukabumi District, Province of West Java. (Supervised by TITIK SUMARTI)

This study aimed to learn about the implementation of collaborative management in the implementation of community-based ecotourism in the village of Citalahab-Cikaniki, Halimun Salak Mountain National Park. By using the principles of collaboration it will be seen how far the process of collaboration that have been implemented. They will also be reviewed regarding the benefits of implementing these community-based ecotourism. This study uses a qualitative approach, specially uses primary and secondary data. The primary data obtained from interviews and field observation, while the secondary data obtained from various sources such as reference books, and reports of research (thesis or a thesis) about community-based ecotourism management and collaboration. The study shows that the implementation of collaboration in community-based ecotourism program in Kampong Citalahab has run on the third phase of implementing the agreement. However, collaboration was limited to the implementation of activities only and not been held to review the deal. If the analysis by using the seven principles of collaboration put forward by Borrini-Feyerabend, et al (2000), the execution of this collaboration can be said to have fulfilled the principle of first to fifth. Benefits of collaborative management of community-based ecotourism in the Kampong Citalahab include economic benefits, social and ecological benefits.

Key word: implementation of collaborative management, community-based ecotourism, ecotourism management, the village of Citalahab-Cikaniki, Halimun Salak Mountain National Park.


(3)

RINGKASAN

WULANDARI. Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Studi Kasus Kampung Citalahab Sentral - Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI

Ekowisata merupakan alternatif sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu menjamin kelestarian sumberdaya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat karena ekowisata hanya memanfaatkan jasa-jasa lingkungan yang disediakan oleh sumberdaya alam dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku penting. Oleh karena itu salah satu usaha yang dilakukan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah dengan mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat dimana tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan dan budaya tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pihak yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini tidak hanya pihak taman nasional dan masyarakat setempat. Pihak lain yang banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan ekowisata ini adalah keberadaan Yayasan Ekowisata Halimun (YEH) dan berbagai travel agent. Kerja sama multi pihak ini dikenal juga dengan istilah manajemen kolaboratif. Melalui manajemen kolaboratif ini diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan TNGHS yang lebih baik sehingga bermanfaat optimal bagi kepentingan ekologis, sosial dan ekonomi sesuai dengan karakteristik taman nasional.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah: (1) Mengkaji penerapan manajemen kolaboratif dalam implementasi program ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab TNGHS dan (2) Mengkaji manfaat pengelolaan kolaboratif dalam ekowisata Kampung Citalahab. Skripsi ini ditulis dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan observasi lapang, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai sumber rujukan seperti buku, dan laporan penelitian (skripsi atau tesis) mengenai ekowisata berbasis masyarakat dan manajemen kolaborasi. Penulis kemudian melakukan reduksi serta analisis mengenai pelaksanaan manajemen kolaborasi dalam pelaksanaan ekowisata berbasis masyarakat.


(4)

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pelaksanaan kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab telah berada pada tahap ke tiga yaitu melaksanakan kesepakatan. Namun, kolaborasi hanya sebatas pelaksanaan saja dan belum diadakan kegiatan mereview kesepakatan. Apabila dianalisis dengan menggunakan tujuh prinsip kolaborasi yang dikemukakan oleh Borrini- Feyerabend, et al (2000) dalam Suporahardjo (2005) maka pelaksanaan kolaborasi tersebut dapat dikatakan telah memenuhi prinsip pertama sampai kelima yaitu: (1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para stakeholder; (2) terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan SDA; (3) terciptanya transparansi dan kesetaraan; (4) masyarakat sipil mendapatkan peranan dan tanggung jawab yang lebih punya arti; (5) memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat. Akan tetapi penerapan prinsip kolaborasi yang keenam yaitu menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil serta prinsip ketujuh yaitu meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan SDA belum dapat dilihat dari pelaksanaan ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab ini. Manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab meliputi manfaat ekonomi, sosial dan manfaat ekologis. Manfaat ekonomi yang dirasakan yaitu adanya penyerapan tenaga kerja lokal sebagai penyedia home stay, pemandu lokal, porter dan juru masak. Selain itu juga membuka peluang usaha bagi masyarakat lain untuk membuka warung di sekitar tempat wisata. Manfaat sosial yaitu mencakup meningkatnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang ekowisata, pelestarian budaya lokal khususnya budaya sunda dan terjadi pula transfer informasi antara masyarakat dan para wisatawan. Kemudian manfaat ekologis dari kegiatan ekowisata ini yaitu masyarakat ikut membantu taman nasional untuk menjaga sumberdaya alam yang ada dalam kawasan.


(5)

IMPLEMENTASI MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM

PENGELOLAAN EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT

Oleh WULANDARI

I34060348

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Februari, 2011


(6)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:

Nama : Wulandari

NRP : I34060348

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan

Ekowisata Berbasis Masyarakat

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS NIP. 19610927 198601 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“IMPLEMENTASI MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM

PENGELOLAAN EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH

Bogor, Februari 2011

Wulandari I34060348


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Binahar dan Ibu Martalena. Penulis memulai pendidikannya di TK Pertiwi pada tahun 1992. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang SD, tepatnya di Sekolah Dasar (SD) 136 Kota Jambi pada tahun 1993-1999. Penulis kemudian melanjutkan ke SMP N 20 Kota Jambi pada tahun1999-2002, dan SMA N 2 Kota Jambi pada tahun 2002-2005. Setelah lulus dari jenjang pendidikan SMU, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun kedua, penulis memilih untuk melanjutkan studinya di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.

Selama masa perkuliahan di IPB, penulis pernah menjadi asisten Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi serta aktif di beberapa organisasi dan kepanitiaan. Diantara organisasi yang pernah diikuti yaitu Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA), Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB dan Badan Pengurus Himpunan Profesi (BP HIMPRO) Mahasiswa peminat komunikasi dan pengembangan masyarakat (Himasiera) Fakultas Ekologi Manusia. Penulis juga pernah menjadi panitia di beberapa event, seperti Communication and Community Development Expo (COMMNEX 2008), International Education Expo (IEE), Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB 44), Masa Perkenalan Fakultas dan Departemen (MPF dan MPD 44), dan lain-lain. Selain itu penulis juga lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang penulisan Artikel Ilmiah (PKM AI).


(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat” berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, dengan rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen pembimbing skripsi, Dr. Ir. Titik Sumarti, MS atas saran-saran, bimbingan dan kritikannya selama proses penulisan proposal, penelitian dan penulisan laporan.

2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama sekaligus pembimbing akademik dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku perwakilan komisi pendidikan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ayahanda tercinta Binahar dan Ibunda terkasih Martalena yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis baik moril maupun materi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Kakak dan adik tersayang, Harlisa Putri dan Mirna Wati yang telah menjadi semangat bagi penulis untuk dapat membanggakan dan membahagiakan keluarga.

5. Muhammad Rizky Nasuhi yang selalu ada untuk berbagi suka dan duka serta selalu memberikan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. 6. Staf Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah memberikan

izin dan kemudahan sehingga penulis dapat melakukan penelitian di tempat ini, terutama kepada Ibu Desi dan Ibu Sri yang telah bersedia berbagi informasi kepada penulis.

7. Para penghuni Stasiun Penelitian Cikaniki, Pak Momo, Pak Paul, Pak Askom, Pak Amir, Pak Hendi, Pak Apud dan Pak Odi atas kebersamaan dan keceriaan selama penulis melakukan penelitian.

8. Masyarakat Kampung Citalahab yang sangat ramah dan KSM Warga Saluyu terutama kepada Pak Suryana yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.


(10)

9. Pak Teguh Hartono dari Yayasan Ekowisata Halimun atas informasi, pinjaman buku dan kesediaan nya untuk berdiskusi dengan penulis.

10. Teman-teman satu bimbingan studi pustaka dan skripsi (Dwi Sulistyorini dan Erna Puji Purwanti) yang selalu berbagi cerita dan memotivasi satu sama lain dalam penyelesain skripsi ini.

11. Teman-teman Departemen SKPM angkatan 43 (terutama Rahayu Khoeruni’mah, Nirmaladewi Binti Marfin, Angel Indah Permata, Desni Utami) yang selalu memberikan semangat serta berbagi suka duka dengan canda tawa dan kenangan yang tidak terlupakan.

12. Teman-teman KSHE, terutama Kak Ardi KSHE 42 yang telah membantu penulis selama penelitian dan literatur-literatur yang dipinjamkan.

13. Teman-teman dari Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement (OISCA) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). 14. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

II PENDEKATAN TEORITIS ... 5

2.1 Tinjauan Pustaka ... 5

2.1.1 Konsep Ekowisata ... 5

2.1.2 Konsep Taman Nasional ... 6

2.1.3 Ekowisata sebagai Konsep Pengembangan Kawasan Taman Nasional ... 7

2.1.4 Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Taman Nasional ... 8

2.1.5 Manajemen Kolaboratif ... 12

2.2 Kerangka Pemikiran ... 18

2.3 Definisi Konseptual ... 19

III PENDEKATAN LAPANGAN ... 22

3.1 Metode Penelitian ... 22

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

3.3 Teknik Pemilihan Subyek Penelitian ... 22

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.5 Teknik Analisis Data ... 24

IV GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK ... 26

4.1 Letak Geografis Kawasan ... 26

4.2 Kondisi Ekologi ... 26

4.3 Kondisi Sosial ... 29

4.4 Kondisi Ekonomi ... 31

4.5 Kondisi Kampung Citalahab Sentral ... 32

V PROFIL PROGRAM EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAMPUNG CITALAHAB-CIKANIKI ... 35

5.1 Sejarah Pengembangan Program Ekowisata di Citalahab-Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 35

5.2 Obyek dan Daya Tarik Wisata ... 40


(12)

VI PROSES KOLABORASI DALAM PROGRAM EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAMPUNG CITALAHAB-

CIKANIKI ... 44

6.1 Mitra Kolaborasi ... 44

6.2 Tahapan Pelaksanaan Kolaborasi ... 47

6.2.1 Tahapan Pertama: Mempersiapkan Kemitraan Ekowisata Berbasis Masyarakat ... 47

6.2.2 Tahapan Kedua: Mengembangkan Kesepakatan untuk Pengembangan Ekowisata ... 50

6.2.3 Tahapan Ketiga: Melaksanakan dan Mereview Kesepakatan 51 6.3 Kendala Pelaksanaan Manajemen Kolaboratif dalam Pengembangan Ekowisata di Kampung Citalahab ... 54

VII MANFAAT PENGELOLAAN KOLABORATIF EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAMPUNG CITALAHAB- CIKANIKI ... 58

7.1 Manfaat Ekonomi ... 58

7.2 Manfaat Sosial ... 59

7.3 Manfaat Ekologis ... 60

VIII KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

8.1 Kesimpulan ... 62

8.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 66


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 20 Gambar 2. Matriks Data yang Diperlukan, Metode dan Sumber Data


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata merupakan salah satu industri terbesar dunia. Pariwisata memberikan kontribusi lebih dari 10% dari total lapangan pekerjaan, 11% dari Gross Domestic Product (GDP) dunia dan total perjalanan wisata diperkirakan meningkat menjadi 1,6 miliar pada Tahun 2020 (WWF International, 2001). Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata global, maka perkembangan industri pariwisata Indonesia juga mengalami perkembangan yang pesat. Pada Tahun 2006, wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia mencapai 4,87 juta orang, sehingga sektor pariwisata dapat memberikan kontribusi devisa negara sebesar US$ 4,45 juta (Statistik Pariwisata dalam Widada, 2008).

Perkembangan pariwisata yang semakin pesat di Indonesia akan membawa semakin banyaknya jumlah wisatawan yang berkunjung ke berbagai obyek wisata alam di Indonesia. Hal tersebut tentunya memberikan dampak yang positif dan negatif. Dampak positif yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal, regional dan nasional, sedangkan dampak negatifnya yaitu terjadinya degradasi lingkungan alam, sosial dan budaya tempat tujuan wisata (Widada, 2008).

Seiring dengan meningkatnya kesadaran lingkungan secara global, maka dibidang pariwisata terjadi pula kecenderungan perubahan dari pariwisata yang eksploitatif ke arah pariwisata yang berkelanjutan. Ekowisata merupakan pariwisata alternatif yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, dan lebih mementingkan keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata (Fennel, 1999 dalam Nugraheni, 2002). Menurut Rahardjo (2005), ekowisata merupakan alternatif sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu menjamin kelestarian sumberdaya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat karena ekowisata hanya memanfaatkan jasa-jasa lingkungan yang disediakan oleh sumberdaya alam dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku penting.


(15)

Salah satu tempat yang dijadikan tujuan ekowisata adalah taman nasional. Hal ini karena taman nasional memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan berbagai daya tarik obyek ekowisata yang sangat menarik. Salah satu taman nasional yang banyak menjadi tujuan ekowisata adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Rencana Aksi Pengembangan Ekowisata TNGS Tahun 2008-2011 menyebutkan bahwa TNGHS memiliki potensi ekowisata yang tinggi karena terdapat flora, fauna yang khas, gejala alam, panorama alam, peninggalan sejarah, dan atraksi budaya yang spesifik.

Setiap tahun jumlah pengunjung yang datang ke TNGHS mengalami peningkatan yang signifikan. Sampai Tahun 2006 tercatat sekitar 7000 orang yang berkunjung ke kawasan ini (Hartono et al, 2007). Oleh karena itulah diperlukan suatu upaya pengembangan ekowisata dimana tidak hanya memperhatikan aspek bisnis akan tetapi tetap memperhatikan aspek konservasi bagi kawasan TNGHS.

Secara umum kawasan lindung tak dapat dikelola secara praktis atau etis tanpa mempertimbangkan masyarakat yang tinggal didalam atau dekat dengan kawasan itu (Fisher, 1995 dalam Suporahardjo, 2005). Oleh karena itu keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sangat diperlukan. Pengelolaan secara kolaboratif menjadi suatu pendekatan yang relevan diterapkan dalam kasus ini. Rao dan Geisler (1990)dalam Suporahardjo (2005) menyebutkan bahwa pengelolaan kolaboratif mengacu pada pembuatan keputusan bersama antara yang membutuhkan sumberdaya lokal dan pengelola sumberdaya yang terlatih secara formal terhadap kebijakan yang membimbing penggunaan kawasan lindung berdasarkan kepentingan bersama kedua belah pihak dalam melestarikan sumberdaya alam.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak memiliki luas 113.357 hektar. Kawasan ini menjadi hutan terluas di Pulau Jawa, dengan menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Selain banyak hutan yang asli, ada juga ragam satwa seperti elang jawa, macan tutul, dan owa jawa. Selain itu hasil survei GHSNP MP-JICA pada Tahun 2005 menyebutkan bahwa di dalam kawasan terdapat 314 kampung yang menyimpan beragam karakter-karakter perkampungan. Dengan banyaknya perkampungan dan juga rimbunnya hutan yang ada maka pada Tahun 1995 munculah konsep ekowisata berbasis masyarakat


(16)

dimana tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan dan budaya tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Untuk menunjang hal itu, maka beberapa perkampungan disana dikembangkan menjadi home-stay. Salah satu kampung yang turut dikembangkan yaitu Kampung Citalahab.

Pihak yang terlibat dalam pengembangan ekowisata di kawasan ini tidak hanya pihak taman nasional dan masyarakat setempat. Pihak lain yang banyak memberikan kontribusi dalam pengembangan ekowisata ini yaitu adanya keberadaan Yayasan Ekowisata Halimun (YEH) dan berbagai travel agent. Kerja sama multi pihak ini dikenal juga dengan istilah manajemen kolaboratif dimana menurut Tadjudin (2009) manajemen kolaboratif adalah suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Melalui manajemen kolaboratif ini diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan TNGHS yang baik sehingga bermanfaat optimal bagi kepentingan ekologis, sosial dan ekonomi sesuai dengan karakteristik taman nasional. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di TNGHS.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab TNGHS yang meliputi:

a) Siapa saja pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab?

b) Bagaimana tahapan pelaksanaan kolaborasi dalam ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab?

c) Apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kolaborasi ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab?


(17)

2. Bagaimana manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata berbasis masyarakat bagi masyarakat Kampung Citalahab dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Mengkaji proses kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab TNGHS.

2. Mengkaji manfaat pengelolaan kolaboratif ekowisata berbasis masyarakat bagi masyarakat Kampung Citalahab dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berminat maupun terkait dengan kajian mengenai Implementasi Manajemen Kolaboratif dalam Ekowisata Berbasis Masyarakat, khususnya kepada:

1. Peneliti yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai implementasi manajemen kolaboratif dalam ekowisata berbasis masyarakat.

2. Bagi Taman Nasional Gunung Halimun Salak, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam ekowisata selanjutnya.

3. Bagi pihak terkait, dapat memberikan gambaran tentang bagaimana manajemen kolaboratif dalam ekowisata berbasis masyarakat yang dilakukan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak dalam upaya pengembangan dan keberlanjutan ekowisata.

4. Bagi Taman Nasional yang lain dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penerapan manajemen kolaboratif dalam pengembangan ekowisata.


(18)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Ekowisata

Ekowisata merupakan salah satu bentuk perluasan dari pariwisata alternatif yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, dan lebih mementingkan keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata (Fennel, 1999 dalam Nugraheni, 2002). Istilah ekowisata dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam (WWF Indonesia, 2009).

Menurut Rahardjo (2005), ekowisata merupakan alternatif sistem pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu menjamin kelestarian sumberdaya alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat karena ekowisata hanya memanfaatkan jasa-jasa lingkungan yang disediakan oleh sumberdaya alam dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku penting. Oleh karena itu, bila diimplementasikan secara penuh ekoturisme adalah sebuah gagasan ideal yang bisa membantu terlaksananya pembangunan yang berkelanjutan.

Rahardjo (2005) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang bisa menjadi elemen penting dalam pencapaian sukses dari sebuah gagasan tentang ekoturisme, dimana ekoturisme semestinya:

1) Berdampak rendah terhadap kawasan lindung dan sumberdaya alam.

2) Melibatkan para pihak yang berkepentingan (perorangan, masyarakat, wisatawan, bisnis wisata, dan lembaga-lembaga pemerintahan) dalam proses perencanaan, pengembangan, pelaksanaan dan monitoring.

3) Menghargai budaya dan tradisi-tradisi lokal.

4) Meningkatkan keberlanjutan dan kesetaraan pendapatan untuk masyarakat lokal sebagai mana bagi para pihak lainnya, termasuk operator wisata dari kalangan swasta.


(19)

6) Mendidik semua pihak tentang peran mereka masing-masing dalam konservasi.

2.1.2 Konsep Taman Nasional

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata, dan rekreasi. Berdasarkan Permenhut No.: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi ini terdiri dari:

1. Zona inti, merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. 2. Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan adalah bagian

taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

3. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

4. Zona lain, antara lain: (1) Zona tradisional; (2) Zona rehabilitasi; (3) Zona religi, budaya dan sejarah; dan (4) Zona khusus.

Menurut MacKinnon (1993), taman nasional merupakan suatu kategori kawasan yang dilindungi yang bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi. Selanjutnya, kawasan alami ini relatif luas, materinya tidak diubah oleh kegiatan manusia serta pemanfaatan sumberdaya tambang tidak diperkenankan.

Widada (2008) menyebutkan bahwa secara umum taman nasional memiliki fungsi dan peranan antara lain: (a) sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan penelitian biologi dan konservasi in-situ; (b) sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dan pengunjung atau masyarakat luas tentang upaya konservasi; (c) mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus


(20)

mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan; (d) sebagai wahana kegiatan wisata alam (ekoturisme) dalam rangka mendukung pertumbuhan industri pariwisata alam dan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan; (e) sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman hayati asli; (f) untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional.

2.1.3 Ekowisata sebagai Konsep Pengembangan Kawasan Taman Nasional

Konsep pengembangan atau pengelolaan kawasan wisata menurut INDECON (1999) seharusnya didasarkan pada kaidah alam yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar dimana aspek pengelolaannya didasarkan oleh adanya kesatuan visi dari para stakeholdernya. Pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan kawasan menurut Shelly and Wall (2001) dalam Dirawan (2006) didasarkan pada beberapa unsur utama, yaitu: pertama, ketergantungan pada kualitas sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya; kedua, melibatkan masyarakat; ketiga, meningkatkan kesadaran apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya; keempat, tumbuhnya pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional dan kelima, sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Dengan kata lain, ekowisata menawarkan konsep low invest- high value bagi sumberdaya dan lingkungan sekaligus menjadikannya sarana cukup ampuh bagi partisipasi masyarakat, karena seluruh aset produksi menggunakan dan merupakan milik masyarakat lokal (Dirawan, 2006).

Pertumbuhan pemahaman mengenai usaha konservasi di seluruh dunia menyebabkan upaya untuk mempertahankan kelangsungan ekologis dunia kian meningkat. Seiring dengan bertumbuhnya kesadaran tersebut tekanan sosial ekonomi juga muncul dengan sangat pesat perkembangannya. Kawasan konservasi kemudian menjadi bagian dari pengembangan wisata dunia. Dengan melakukan kegiatan wisata pada kawasan tersebut diharapkan akan timbul kesadaran masyarakat dunia untuk dapat melestarikan lingkungan hidup.


(21)

Kawasan konservasi memiliki daya tarik yang besar sehingga dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang berarti bagi negara dan dengan perencanaan yang benar dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat. Taman Nasional sebagai salah satu kawasan konservasi dapat menunjang hal ini karena taman nasional dapat memberikan kontribusi banyak pada pengembangan wilayah dengan menarik wisatawan ke wilayah pedesaan (MacKinnon, 1993).

Taman nasional merupakan salah satu kawasan konservasi yang mengandung aspek pelestarian dan aspek pemanfaatan sehingga kawasan ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekowisata dan minat khusus. Kedua bentuk pariwisata tersebut yaitu ekowisata dan minat khusus sangat prospektif dalam penyelamatan ekosistem hutan. Pengembangan kawasan seperti inilah yang menguntungkan bagi kelestarian hutan (Fandeli, 2005 dalam Qomariah, 2009).

2.1.4 Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Taman Nasional

Pada banyak kasus daerah wisata, masyarakat setempat biasanya justru semakin terpinggirkan dengan adanya pembangunan pariwisata. Mereka hanya dijadikan objek, penonton atau bahkan keberadaanya sering tidak diakui, padahal mungkin mereka telah tinggal di tempat tersebut dalam waktu yang lama bahkan kemungkinan jauh sebelum segala kebijakan dan aturan negara diberlakukan. oleh karena itu dibutuhkan sebuah pendekatan yang mampu meningkatkan peran aktif komunitas dalam pembangunan wisata karena hal tersebut merupakan elemen penting dalam mengatasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh adanya kegiatan wisata.

Ekowisata berbasis masyarakat yang mengambil dimensi sosial ekowisata adalah suatu langkah lebih lanjut untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata. Pendekatan ini mengembangkan bentuk ekowisata dimana masyarakat lokal yang mempunyai kendali penuh dan keterlibatan di dalamnya baik manajemen dan pengembangannya, maupun proporsi yang utama menyangkut sisa manfaat di dalam masyarakat (WWF International, 2001). Selain itu, ekowisata berbasis masyarakat dapat membantu memelihara penggunaan sumberdaya alam dan lahan yang berkelanjutan.


(22)

Tempat-tempat yang mempunyai alam dan budaya yang khas merupakan tempat yang sangat potensial bagi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Taman nasional merupakan salah satu tempat yang dapat dijadikan pilihan dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat tersebut, hal ini karena dalam usaha tersebut terkandung aspek konservasi, usaha bisnis dan pembangunan masyarakat (Nugraheni, 2002). Pengembangan ekowisata memberikan manfaat secara sosial ekonomi kepada masyarakat. Saat masyarakat mendapatkan manfaat dengan pengembangan ekowisata maka mereka akan semakin termotivasi untuk melakukan konservasi (Ekowati, 2005). Melalui usaha tersebut, masyarakat turut mengelola sumberdaya alam yang berada didalam kawasan taman nasional. Selain itu potensi konflik antara masyarakat dan pihak pengelola taman nasional dalam pengelolaan kawasan pun dapat diselesaikan.

Menurut Ekowati (2005), terdapat beberapa faktor pendukung agar praktek ekowisata berbasis masyarakat ini dapat berjalan sukses, diantaranya yaitu: (1) adanya dukungan pihak pemerintah daerah secara politik dan melalui aspek lain sehingga mendorong terjadinya perdagangan yang efektif dan investasi; (2) tercukupinya hak-hak kepemilikan; (3) keamanan pengunjung terjamin, (4) resiko kesehatan rendah; (5) tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi; (6) kondisi lanskap dan flora fauna yang sangat menarik; (7) kesadaran komunitas lokal akan adanya kesempatan-kesempatan potensial untuk pengembangan ekowisata di daerah mereka; (8) intensitas kedatangan pengunjung yang datang cukup sering, (9) sumberdaya manusia yang potensial; dan (10) masyarakat bersedia terlibat secara aktif dan ikut berkorban baik tenaga, waktu atau materi untuk kegiatan-kegiatan yang mereka sadari dan mereka percayai akan membawa kemajuan dan manfaat bagi mereka dan pekon1 mereka. Adapun faktor penghambat pengembangan ekowisata adalah (1) fasilitas fisik yang tersedia kurang mendukung seperti jauhnya jarak yang harus ditempuh dan kondisi jalan yang tidak terlalu baik sehingga membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk mencapai lokasi; (2) belum ada struktur untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif; (3) kurangnya penguasaan penduduk setempat terhadap seni budaya tradisional; (4) terpecahnya masyarakat dalam golongan-golongan; dan (5)

1


(23)

suasana politik yang memanas. Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan ekowisata adalah hal-hal yang saling berhubungan satu sama lain sehingga perbaikan di salah satu faktor harus dilakukan bersama-sama dengan perbaikan di faktor yang lain

Untuk melihat keberhasilan praktek ekowisata berbasis masyarakat maka diperlukan suatu kriteria evaluasi. Salah satu kriteria evaluasi praktek ekowisata yang dapat digunakan adalah kriteria evaluasi dikemukan oleh Wallace (1996). Kriteria tersebut secara ringkas adalah (1) praktek berusaha meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal (2) meningkatkan kesadaran dan pemahaman sistem alam dan budaya setempat, serta keterlibatan dari pengunjung terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi sistem tersebut (3) berkontribusi terhadap konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang dilindungi (4) memaksimalkan partisipasi masyarakat setempat sejak awal dan dalam jangka panjang dalam proses pengambilan keputusan tentang jenis dan jumlah wisata yang ada (5) memberikan keuntungan ekonomis dan yang lainnya kepada penduduk setempat yang melengkapi dan tidak menggantikan jenis mata pencaharian tradisional (6) menyediakan kesempatan bagi masyarakat setempat dan karyawan ekowisata untuk mengunjungi dan belajar lebih banyak tentang keindahan alam dan objek wisata yang menjadi daya tarik pengunjung.

Peranan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dapat dianalisis dengan melihat sejak kapan dan sejauh mana keterlibatan mereka dalam tahapan proses pengembangan program ekowisata. Hal tersebut dapat dilihat dengan menggunakan kriteria partipasi masyarakat. Salah satu kriteria partisipasi yang dapat digunakan yaitu kriteria partisipasi masyarakat yang dikemukan oleh Pretty (1995) yang berdasarkan pada tipologi masyarakat meliputi, partisipasi pasif, partisipasi dalam memberikan informasi, partisipasi dengan konsultasi, partisipasi untuk insentif material, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif dan mobilisasi sendiri/madiri. Menurut Tebay (2004), faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam wisata diantaranya yaitu, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pengeluaran dan pekerjaan responden.

Menurut Tebaiy (2004), Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di kawasan dengan menggunakan konsep co-management merupakan salah satu cara


(24)

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dimana masyarakat lokal terlibat langsung mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Selain itu, arahan kebijakan untuk pengembangan kegiatan ekowisata adalah dengan menentukan strategi kebijakan yang dianalisis dengan SWOT, didapati 6 strategi yaitu: (1) memberdayakan masyarakat kawasan (2) meningkatkan kesehatan status kawasan (3) perlindungan dan pengamanan potensi kawasan (4) pemanfaatan dan pengembangan kawasan (5) pembinaan kelembagaan dan koordinasi (6) peningkatan kualitas SDM berbasis sumberdaya potensial.

Dirawan (2006) menyebutkan bahwa untuk dapat mengembangkan sebuah kawasan wisata terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai faktor utama diantaranya faktor keamanan, faktor kelestarian dan keunikan Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) dan pengembangan institusi menjadi faktor pendorong sedangkan aksesibilitas dan faktor dampak minimum menjadi faktor penghubung. Sehingga dapat dirumuskan tiga strategi utama diantaranya: (1) Skenario Progresif, faktor keamanan yang terjaga, adanya kebijakan pemerintah untuk memajukan ekowisata dengan pembentukan kelembagaan dan peraturan daerah yang mendukung upaya pelestarian kawasan dan ODTW dan aksesibilitas dari kawasan. Kondisi ini berimplikasi pada peningkatan jumlah wisatawan yang sangat tinggi. Untuk mencapai hal ini membutuhkan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk menjaga agar dampak minimum dapat ditekan serendah mungkin; (2) Skenario Moderate dibangun dengan adanya kebijakan pemerintah untuk memajukan pembangunan ekowisata secara bertahap dimana kondisi aksesibilitas dibangun secara bertahap, kondisi keamanan internal diperbaiki dengan penguatan kelembagaan adat (3) Skenario Pesimis, dimana tidak adanya upaya untuk menerapkan ekowisata sebagai bagian dari konsep pembangunan dan mempertahankan kondisi eksisting ( keberadaan wilayah) yang menyebabkan terjadinya degradasi SDA.

Pemilihan strategi yang tepat dalam pengembangan ekowisata berbasis masyarakat akan sangat menentukan keberhasilan praktek ekowisata berbasis masyarakat tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan komitmen dari berbagai pihak demi tercapainya tujuan. Para pihak yang terlibat di sini berasal dari berbagai


(25)

kalangan seperti LSM lokal dan nasional, pemerintah, akademisi dan institusi internasional. Dengan demikian ekowisata dapat memberikan manfaat baik untuk masyarakat setempat maupun terhadap kawasan taman nasional.

2.1.5 Manajemen Kolaboratif

Menurut PHKA-Dephut (2002), pengelolaan manajemen kolaboratif bidang pengurusan kawasan konservasi adalah kemitraan di antara berbagai pihak kepentingan yang menyetujui untuk berbagi fungsi, wewenang dan tanggung-jawab manajemen dalam mengelola daerah atau sumber daya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi. Pengelolaan secara ko-manajemen hendaknya dibaca sebagai konsep yang luas yang mencakup berbagai cara dimana organisasi yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan para stakeholders lain menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif. Manajemen kolaboratif harus dipandang secara pragmatis dan de facto, bukan berbasis pada kondisi de jure (secara de facto kadangkala masyarakat lokal tidak memiliki akses dan kontrol di kawasan konservasi). Karenanya proses pengembangan pengelolaan kolaboratif tidak lagi atau tanpa mengungkit masalah status daerah konservasi atau daerah dilindungi. Dengan kata lain, setiap stakeholder saling mengakui status kawasan konservasi masing-masing. Setiap stakeholder berpartisipasi penuh dalam pembentukan pola kerjasama dan bersedia menyumbangkan waktu, pengetahuan, keterampilan, dan informasinya atau sumber daya lainnya untuk aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Upaya-upaya penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya hutan selama ini belum berhasil menyelesaikan konflik secara komprehensif. Margitawaty (2004) dalam Tehresia (2008) menyebutkan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya alam sebagai buah dari missmanagement dalam pengelolaan hutan dengan demikian memerlukan suatu alternatif manajemen pengelolaan hutan. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan yang dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak dan menghasilkan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak pula. Pendekatan itulah yang dikenal dengan Manajemen kolaboratif. Menurut Marshall (1995) dalam Tadjudin (2009), kolaborasi merupakan suatu bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang


(26)

tinggi. Dengan demikian, kolaborasi itu merupakan resolusi konflik yang akan menghasilkan situasi ”menang-menang” dan sama sekali tidak mempertimbangkan suatu keputusan atau kesepakatan yang bersifat zero-sum seperti yang ditunjukan oleh Thurrow (1980)dalam Tadjudin (2009).

Pengelolaan kolaboratif digambarkan oleh Borrini-Feyerabend (1996) dalam Suporahardjo (2005) sebagai suatu metode untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan di sekitar kawasan lindung. Selanjutnya disebutkan bahwa pendekatan kolaboratif meliputi tiga tahap utama yaitu, (1) mempersiapkan kemitraan, (2) mengembangkan kesepakatan, dan (3) melaksanakan dan mereview kesepakatan.

Tadjudin (2009) mendefinisikan manajemen kolaboratif sebagai suatu bentuk manajemen yang mengakomodasikan kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selanjutnya Tadjudin (2009) menyebutkan bahwa tujuan manajemen kolaboratif adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan instrumen untuk mengenali stakeholder yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan secara proporsional. Dalam setiap stakeholder itu akan melekat atribut-atribut berupa hak, aspirasi, tujuan individual, kelembagaan dan potensi konfliknya. Keberadaan stakeholder dipahami dan diakui secara adil tanpa prestensi untuk memenangkan kepentingan suatu stakeholder tertentu atas stakeholder lainnya.

2. Meningkatkan potensi kerja sama antar stakeholder secara egaliter dengan memperhatikan prinsip ”sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” dan prinsip kelestarian lingkungan.

3. Menciptakan mekanisme pemberdayaan masyarakat agar dapat mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan menyumbangkannya dalam wahana manajemen pengelolaan sumberdaya hutan, sehingga diperoleh sistem pendistribuasin manfaat dan resiko yang adil di antara stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan. 4. Menciptakan mekanisme pembelajaran yang dialogik untuk memperoleh


(27)

produktif dan lestari dengan meloloskan sesedikit mungkin tindakan coba-coba (trial and error) yang mengandung ketidakmenentuan yang tinggi. 5. Memperbaiki tindakan-tindakan perlindungan sumberdaya hutan melalui

mekanisme internalisasi hal-hal eksternal yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan.

6. Menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya.

Menurut Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005), kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajagi dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama. Menurut Wondolleck dan Yaffe (2000) dalam Suporahardjo (2005), perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, yang demokratis, lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama.

Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pengembalian kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas manajemen mereka secara formal. Komitmen suatu kelompok untuk berkolaborasi tergantung pada persepsi bahwa kesepakatan di antara stakeholder akan memberikan hasil yang positif bagi anggotanya. Menurut Katehrine et al (2002) dalam Suporahardjo (2005), hasil positif itu meliputi:

1. Keuntungan materiil

2. Pengakuan masa pemakaian dan hak penggunaan 3. Bertambahnya identitas budaya

4. Pencapaian kepentingan jangka pendek dan jangka panjang

Menurut Gray (1989) dalam Supohardjo (2005), lima ciri penting yang menentukan proses kolaborasi meliputi:

1. Membutuhkan keterlibatan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama.


(28)

membangun kesepakatan.

3. Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar.

4. Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi diantara stakeholder di masa depan.

5. Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses dari pada sebagai resep.

Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray (1989) dalam Supohardjo (2005), beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu:

1. Komitmen kelembagaan tertentu menimbulkan disinsentif untuk berkolaborasi.

2. Sejarah hubungan yang dicirikan oleh interaksi permusuhan yang telah berlangsung lama di antara pihak.

3. Dinamika perkembangan tingkat kemasyarakatan (pendekatan kolaborasi lebih sulit dipraktekkan ketika kebijakan rendah sekali perhatiannya dalam mempertimbangkan alokasi sumberdaya langka).

4. Perbedaan persepsi atas resiko. 5. Kerumitan yang bersifat teknis. 6. Budaya kelembagaan dan politik.

Borrini-Feyerabend, et al (2000) dalam PHKA-Dephut (2002) menyatakan bahwa dalam praktik pengelolaan kolaboratif setidak-tidaknya terdapat nilai etik dan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang terlibat dalam mengelola wilayah atau kesatuan sumber daya alam, baik di luar maupun di dalam komunitas lokal.

b) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumber daya alam selain pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki pemerintah atau pihak c) Mengusahakan terciptanya transparansi dan kesetaraan dalam pengelolaan

sumber daya alam


(29)

tanggung-jawab yang lebih punya arti

e) Mendayagunakan dengan saling memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat. Menghubungkan keterkaitan hak dengan tanggung-jawab dalam konteks pengelolaan sumber daya alam

f) Lebih menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil produk fisik jangka pendek

g) Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam .

Borrini-Feyerabend (1997) dalam PHKA-Dephut (2002) menambahkan bahwa prinsip dan asumsi dari pendekatan (strategi) pengelolaan kolaboratif ditandai dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini:

a. Menggunakan pendekatan yang pluralistik dalam mengurus sumber daya; memadukan peranan para pihak kepentingan; tujuan akhirnya pada umumnya adalah konservasi lingkungan, pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan manfaat dan tanggung-jawab. b. Dalam proses pengelolaan kolaboratif membutuhkan beberapa kondisi dasar

untuk dikembangkan di antaranya: akses penuh terhadap informasi dan opsi-opsi, kebebasan dan kapasitas untuk mengorganisasi, kebebasan untuk mengekspresikan kebutuhan dan kepedulian, lingkungan sosial non-diskriminatif, keinginan para mitra untuk bernegosiasi, saling percaya dalam menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih dsb.

c. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Di dalam rejim ini, masyarakat sipil – yang terorganisir dalam bentuk-bentuk serta cara-cara yang sesuai dengan berbagai kondisi mengambil peran dan tanggung jawab yang semakin lama semakin penting. Lebih dari itu, suatu kesepakatan manajemen kolaboratif yang adil memberikan jaminan bagi kepentingan dan hak semua stakeholder – terutama yang terlemah – dengan demikian menciptakan keadilan sosial dan mengatasi ketimpangan dalam kekuasaan.

d. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas kepentingan bersama, keyakinan bahwa ada kemungkinan untuk menjalankan suatu bentuk pengelolaan yang


(30)

memadukan berbagai kepentingan, tetapi juga menanggapi – dengan cara terkecilpun – semua kepentingan itu. Khususnya, manajemen kolaborati berpendapat bahwa sumber daya alam dapat dikelola dengan efektif sambil memperlakukan semua dengan rasa hormat dan setara.

e. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta terjadi kekeliruan proses. Proses juga menghendaki perubahan setiap waktu dan perubahan mendadak, informasi yang kontradiktif serta membutuhkan peninjauan kembali dan perbaikan terus- menerus, dibandingkan dengan penerapan serangkaian peraturan yang baku dapat tidak dapat diganggu gugat. Yang paling penting adalah kerjasama pengelolaan, bukan rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi berbagai kebutuhan secara efektif f. Mengekspresikan masyarakat sipil yang dewasa dan memahami tidak ada

solusi yang ‘unik dan tidak berat sebelah’ dalam mengelola sumber daya alam, tetapi keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan pengetahuan lokal dan scientifik serta berkemampuan untuk mempertemukan kebutuhan konservasi dengan pembangunan .

g. Pengelolaan kolaboratif mempunyai asas prinsip mengaitkan antara hak-hak pengelolaan dan tanggung jawab. ‘Wewenang dan tanggung jawab terkait secara konseptual. Apabila tidak dikaitkan, dan diberikan kepada aktor yang berbeda, maka keduanya akan hancur’

h. Yang menjadi tantangan dalam pengelolaan kolaboratif adalah bagaimana menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang lebih besar jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi.

i. Secara khusus dalam proses pengelolaan kolaboratif bidang pengelolaan daerah dilindungi, persetujuan yang dibangun dalam bentuk kemitraan di antaranya: fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pemangku kepentingan, luasan dan batas daerah dilindungi atau sumberdaya alam, kisaran fungsi dan penggunaan berkelanjutan yang dapat diselenggarakan, pengakuan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat, prosedur untuk mengatasi konflik dan bernegosiasi pengambilan keputusan kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan rencana pengelolaan, prosedur menjalankan setiap k eputusan dan aturan spesifik untuk pemantauan, evaluasi dan kaji ulang persetujuan-persetujuan


(31)

kemitraan dan rencana pengelolaan .

j. Menekankan proses negosiasi ketimbang proses litigasi dalam mengatasi konflik yang hanya memenangkan salah satu pihak yang bertikai.

k. Mengkombinasikan pengetahuan scientifik ‘barat’ dengan pengetahuan lokal. Tadjudin (2009) menyebutkan bahwa hal yang penting dalam manajemen kolaboratif adalah bahwa masyarakat dilibatkan secara aktif dalam seluruh daur kegiatan. Hak-hak masyarakat dihargai dalam setiap proses pengambilan keputusan, sehingga dapat diperoleh rumusan terbaik cara pengelolaan sumberdaya hutan.

2.2 Kerangka Pemikiran

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut/2004 menyebutkan bahwa ada beberapa jenis kegiatan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang dapat dikolaborasikan. Salah satu kawasan pelestarian alam yang telah menerapkan sistem ini adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yaitu melalui pengelolaan ekowisata. Salah satu daerah pengembangan ekowisata di kawasan TNGHS yaitu terdapat di Kampung Citalahab Sentral. Kampung Citalahab sentral memiliki Keanekaragaman hayati dan keindahan alam yang menjadi daya tarik untuk pengembangan ekowisata di kawasan ini.

Kebijakan di atas menjadi motivator bagi para pihak untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi yaitu melalui manajemen kolaboratif, khususnya melalui pemanfaatan jasa lingkungan melalui pengembangan ekowisata. Manajemen kolaboratif merupakan suatu mekanisme yang bisa melibatkan stakeholder termasuk masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi. Pelaksanaan manajemen kolaboratif di TNGHS dalam pengelolaan ekowisata melibatkan beberapa aktor yang memiliki kepentingan masing-masing yaitu pihak pengelola TNGHS, masyarakat lokal dan LSM (Lembaga Swadaya Masyakat). Melalui manajemen kolaboratif maka kepentingan-kepentingan seluruh stakeholder dapat diakomodasikan secara adil, dan memandang harkat setiap stakeholder itu sebagai entitas yang sederajat sesuai dengan tata nilai yang berlaku, dalam rangka mencapai tujuan bersama (Tadjudin, 2009).


(32)

Proses berjalannya manajemen kolaborasi dalam pengelolaan ekowisata di Kampung Citalahab akan digambarkan melalui tiga tahap utama yang dikemukakan oleh Borrini-Feyerabend (1996) dalam Suporahardjo (2005). Tahap-tahap tersebut meliputi: (1) mempersiapkan kemitraan, (2) mengembangkan kesepakatan, dan (3) melaksanakan dan mereview kesepakatan.

Borrini-Feyerabend, et al (2000) dalam PHKA-Dephut (2002) menyatakan bahwa dalam praktik pengelolaan kolaboratif setidak-tidaknya terdapat nilai etik dan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para pihak yang terlibat, (2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan sumber daya alam, (3) terciptanya transparansi dan kesetaraan, (4) masyarakat sipil mendapatkan peranan dan tanggung-jawab yang lebih punya arti , (5) memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat, (6) menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil, (7) Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan sumber daya alam.

Pengelolaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masing-masing stakeholder yang terlibat (multi pihak). Manfaat tersebut diharapkan meliputi: (1) manfaat ekonomi, (2) manfaat sosial, (3) manfaat ekologi. (Gambar 1)

2.3 Definisi Konseptual

Adapun definisi konseptual yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Stakeholder adalah semua pihak yang memiliki minat, peduli dan berkepentingan dengan upaya pengelolaan ekowisata yang lebih efektif. Stakeholder disini dibagi kedalam pihak pengelola TNGHS, masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata, LSM yang terlibat, pemerintah lokal dan pihak swasta yang ikut terlibat dalam pengembagan ekowisata di TNGHS.

2. Obyek dan daya tarik ekowisata kampung Citalahab Sentral TNGHS adalah sumberdaya yang ada di kawasan kampung Citalahab Sentral TNGHS yang menjadi tujuan para wisatawan melakukan kunjungan.


(33)

3 Tahap manajemen kolaboratif adalah tahapan yang harus ditempuh dalam pengelolaan kolaboratif untuk mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholder di kawasan ekowisata Citalahab Sentral TNGHS. Tahapan kolaborasi yang digunakan yaitu yang dikemukakan oleh Borrini-Feyerabend (1996) yang meliputi: (1) mempersiapkan kemitraan; (2) mengembangkan kesepakatan; (3) melaksanakan dan mereview kesepakatan

4 Prinsip kolaborasi yang digunakan yaitu yang Borrini-Feyerabend, et al (2000) yaitu:

1) Mengakui perbedaan nilai, kepentingan dan kepedulian para stakeholder 2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan SDA

3) Terciptanya transparansi dan kesetaraan

4) Masyarakat sipil mendapatkan peranan dan tanggung-jawab yang lebih punya arti

5) Memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat

6) Menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil

7) Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan sda

5 Manfaat ekowisata di kampung Citalahab Sentral TNGHS yaitu manfaat yang timbul dari adanya manajemen kolaboratif dalam ekowisata yang dilihat dari aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek ekologi.


(34)

21 Ket:

: alur hubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Tahap Manajemen Kolaboratif (Borrini-Feyerabend (1996)): 1. Mempersiapkan

kemitraan

2. Mengembangkan kesepakatan 3. Melaksanakan dan

mereview kesepakatan Stakeholder :

1. Pihak TNGHS 2. Masyarakat lokal 3. LSM

Obyek dan daya tarik ekowisata Kampung Citalahab TNGHS

Manfaat Ekowisata Berbasis Masyarakat di Kampung Citalahab TNGHS:

1. Manfaat ekonomi 2. Manfaat sosial 3. Manfaat ekologi Prinsip kolaborasi

(Borrini-Feyerabend, et al (2000)): 1) Mengakui perbedaan nilai,

kepentingan dan kepedulian para stakeholder

2) Terbuka bagi berbagai model hak pengelolaan SDA

3) Terciptanya transparansi dan kesetaraan

4) Masyarakat sipil mendapatkan peranan dan tanggung-jawab yang lebih punya arti

5) Memperkuat kapasitas dan keunggulan komparatif dari berbagai aktor kelembagaan yang terlibat

6) Menghargai dan mementingkan proses ketimbang hasil

7) Meraih petikan pelajaran melalui kaji ulang terus menerus dan perbaikan pengelolaan sda


(35)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial. Srategi penelitian yaitu studi kasus dimana Sitorus (1998) menyebutkan bahwa studi kasus merupakan studi aras mikro yang hanya menyoroti satu atau beberapa kasus dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi metode.

Tipe studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi intrinsik. Studi kasus intrinsik yaitu studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus khusus (Sitorus, 1998). Kasus pada penelitian ini adalah pelaksanaan manajemen kolaborasi dalam program ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Instrumen yang digunakan berupa observasi langsung, wawancara mendalam dan penelusuran data sekunder.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Lokasi penelitian yaitu di Kampung Citalahab Sentral dan Stasiun Penelitian Cikaniki. Proses penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja). Tempat tersebut dipilih karena merupakan salah satu pusat kegiatan ekowisata berbasis masyarakat yang ada di kawasan TNGHS. Penelitian ini berlangsung dari Mei 2010 sampai Juli 2010.

3.3 Teknik Pemilihan Subyek Penelitian

Subyek penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu subyek kasus dan informan. Subyek kasus merupakan pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakannya. Subyek kasus dalam penelitian ini terdiri dari multi pihak yang merupakan tim kolaborasi dalam pelaksanaan program ekowisata berbasis masyarakat di Kampung Citalahab. Tim kolaborasi tersebut terdiri dari pengelola TNGHS yang diwakili oleh divisi Bina Cinta Alam (BCA) dan Yayasan Ekowisata Halimun (YEH). Dari subyek penelitian tersebut dipilih


(36)

informan kunci yang dianggap paling mengetahui tentang pelaksanaan ekowisata di kawasan TNGHS. Informan kunci dalam penelitian ini yaitu Bina Cinta Alam (BCA). Teknik pemilihan informan kunci dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Melalui informan kunci akan dipilih informan lain dengan menggunakan teknik snowball sampling. Informan lainnya digunakan untuk melengkapi data yang didapatkan dari informan kunci dan data yang diperoleh dari informan lainnya. Informan pada penelitian ini yaitu pelaku program ekowisata yaitu masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Warga Saluyu dan juga Penyuluh Ekosistem Hutan (PEH) yang menangani masalah ekowisata.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan menggunakan metode sebagai berikut:

1. Observasi, dilakukan melalui pengamatan dan interaksi sosial dengan subyek penelitian. Kegiatan observasi tidak hanya dilakukan terhadap kenyataan-kenyataan yang terlihat, tetapi juga terhadap yang terdengar (Bungin, 2003). 2. Wawancara mendalam, dilakukan dengan menggunakan metode re-call yaitu

melihat kembali proses pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata yang telah terjadi selama satu tahun terakhir. Wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh data primer dan deskriptif mengenai proses pengelolaan kolaboratif pelaksanaan ekowisata di TNGHS. Wawancara mendalam dilakukan terhadap para informan.

3. Penelusuran (analisis) data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran dokumen dan kajian pustaka terhadap berbagai literatur seperti buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, laporan, makalah dan artikel internet yang terkait dengan topik penelitian.


(37)

Gambar 2. Matriks Data yang Diperlukan, Metode dan Sumber Data menurut Tujuan Penelitian

Uraian Data yang diperlukan Metode Sumber data Tujuan 1 Mengkaji penerapan manajemen kolaboratif dalam implementasi program ekowisata berbasis

masyarakat di Kampung Citalahab TNGHS.

Setting:

• Latar belakang geografi TNGHS

• Latar belakang penerapan manajemen kolaboratif dalam ekowisata

• Sejarah pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam ekowisata Proses Kolaborasi: • Proses pelaksanaan

manejemen kolaboratif ekowisata selama satu tahun terakhir • Analisis stakeholder

yang terlibat • Penerapan

prinsip-prinsip manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata

•••• Studi dokumen •••• Wawancara

mendalam •••• observasi

•••• Informan: KSM Warga Saluyu dan PEH

•••• Subyek kasus: Pihak TNGHS (BCA), LSM YEH

•••• Data Monografi Kawasan TNGHS •••• Dokumen terkait

dengan pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata TNGHS Tujuan 2 Mengkaji manfaat pengelolaan kolaboratif dalam ekowisata Kampung Citalahab.

• Manfaat manajemen kolaboratif bagi: 1.Masyarakat lokal 2.Pihak Taman Nasional

Gunung Halimun Salak

• Wawancara mendalam • Studi literatur

•••• Subyek kasus: Pihak TNGHS (BCA), LSM YEH

•••• Informan: KSM Warga Saluyu dan PEH

•••• Dokumen terkait dengan pelaksanaan pengelolaan kolaboratif dalam ekowisata.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan adalah analisis data kualitatif. Data kualitatif, baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan akan diolah menggunakan tiga tahapan kegiatan analisis data dan dilakukan secara bersamaan. Tiga tahapan analisis data tersebut adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998).

1. Mereduksi data, bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan.


(38)

2. Data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif maupun matriks yang menggambarkan setiap proses dalam pelaksanaan manajemen kolaborasi.

3. Penarikan kesimpulan, dilakukan melalui verifikasi. Verifikasi dilakukan sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir, dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan dan subyek kasus.


(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG

HALIMUN SALAK

4.1 Letak Geografis Kawasan

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani , maka TNGH yang luasnya 40.000 ha berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha. Pengelolaan TNGHS berada dibawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS).

Secara geografis TNGHS terletak pada 106°12'58'' BT – 106°45'50'' BT dan 06°32'14'' LS – 06°55'12'' LS. Secara Administratif wilayah kerja TNGHS termasuk dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten , yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan dari Kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Lebak) dan 108 desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya di dalam dan atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS.

4.2 Kondisi Ekologi

TNGHS memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati di Indonesia. Sampai saat ini jenis-jenis satwa liar yang telah diidentifikasi di TNGHS antara lain 244 jenis burung atau setara dengan 50% dari jumlah jenis burung yang hidup di Jawa dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis Amfibi, 50 jenis reptilia dan 26 jenis capung. Jenis Penciri (Flagship Species) TNGHS adalah Owa Jawa (Hylobates moloch), Macan Tutul (Pantehra Pardus melas) dan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) serta kukang (Nycticebus coucang). Diduga masih banyak jenis kehidupan liar yang belum teridentifikasi, terutama serangga dan organisme mikro.


(40)

Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1000 m dpl) yang didominasi oleh Zona Collin (500-1000 m dpl), hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana (ketinggian 1000-1.500 m dpl), dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana (ketinggian 1.500-1.929 m dpl). Khusus di Gunung Salak juga ditemukan ekosistem alpin (lebih dari 2000 m dpl) dan ekosistem kawah yang memiliki vegeatasi spesifik. Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku.

Pada ketinggian 1.400-1.929 m dpl banyak dijumpai jenis-jenis Gymnospermae seperti Jamuju (Dacrypus imbricatus), Kiputri (Podocarpus neriifolius) dan Kibima (P. amara). Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 m dpl terdapat pohon-pohon yang tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter mencapai 120 cm, jenis-jenisnya antara lain; rasamala (Altingia excelsea), Saninten (Castanopsis argentea), Pasang (Quercus sp.) dan Huru (Litsea sp). Pada ketinggian 600-700 m dpl beberapa jenis anggota Suku Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hujan dataran rendah dapat ditemukan di kawasan Gunung Halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D. Gracilis dan D. Hasselti. Lebih dari 100 jenis tumbuhan hutan dimanfaatkan untuk obat tradisional, upacara adat, bahan bangunan dan manfaat penting lainnya oleh masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Di dalam TNGHS tercatat 12 jenis bambu, antara lain: bambu Cangkore (Dinochloa scandens) dan bambu tamiang (Schyzostachyum sp.) yang merupakan tumbuhan asli jawa barat.

Di daerah perluasan ditemukan hutan tanaman, terutama di areal yang dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, antara lain: hutan tanaman rasamala (Altingia excelsa), pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis sp.) dan puspa (Schima wallichii). Di areal yang telah menjadi lahan garapan masyarakat banyak ditemui berbagai jenis tanaman budidaya yang penting, antara lain: padi, pisang, ketela pohon, jagung, cabai dan sebagainya. Tanaman buah-buahan dan tanaman hutan rakyat yang dibudidayakan oleh masyarakat antara lain: durian, nangka, melinjo, pala, alpukat, mangga, aren, kelapa, sengon dan manii.


(41)

Kondisi Ekosistem di TNGHS, baik ekosistem alam maupun buatan yang kaya akan keanekaragaman hayati, air dan mineral menunjukan potensi sumberdaya alam yang sangat tinggi. Potensi tersebut belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pengelolaan TNGHS, pemberdayaan masyarakat di dalam/sekitarnya dan pengembangan ekonomi wilayah. Beberapa sumberdaya alam yang menunjukkan potensi untuk dikembangkan melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) antara lain: daya serap karbon. Keindahan lanskap, perlindungan DAS dan tata air, serta kekayaan keanekaragaman hayati. Mekanisme pembayaran daya serap karbon dapat dikembangkan melalui rehabilitasi/restorasi ekosistem di wilayah-wilayah yang terdegradasi guna mengatasi masalah keterbatasan dana pemerintah. Selain itu, pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di wilayah-wilayah tertentu juga bisa dilakukan dalam skema perdagang karbon.

Selain daya serap karbon, pengelolaan TNGHS untuk tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan tata air juga merupakan bagian dari skema pembayaran jasa lingkungan yang dapat dikembangkan. TNGHS merupakan hulu 117 sungai dan anak sungai yang mengalir di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Demikian juga pemanfaatan air minum untuk masyarakat dan air minum dalam kemasan yang bertumpu pada banyak mata air yang sumbernya berasal dari dalam kawasan TNGHS, khususnya Gunung Salak. Kondisi ini menyediakan potensi pengembangan mekanisme pendanaan melalui mekanisme dana perwalian (trust fund).

Kondisi keindahan lanskap, kekayaan keanekaragaman hayati dan kondisi sosial budaya masyarakat dapat dikemas sebagai produk wisata yang memiliki nilai jual tinggi. Demikian juga produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan budidaya masyarakat dapat diberi label “konservasi TNGHS” untuk meningkatkan daya jualnya di pasar hijau.

Pada saat ini, kawasan TNGHS telah mengalami degradasi sumberdaya alam dan lingkungan pada tingkat yang membutuhkan perhatian serius. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya penutupan hutan (deforestasi) yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam kurun waktu tahun 1989-2004 diperkirakan telah terjadi


(42)

deforestasi sebesar 25 persen atau berkurang sebesar 22 ribu hektar. Sebagian besar deforestasi terjadi di areal yang sebelumnya merupakan hutan lindung dan hutan produksi.

Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah tersebut, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan alih fungsi hutan menjadi bagian dari kawasan TNGHS pada tahun 2003. secara kumulatif, kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan antara lain: penebangan di hutan produksi, kegiatan ilegal dan bencana alam. Kegiatan ilegal yang terjadi antara lain: penambangan emas tanpa ijin (PETI), penebangan liar, perburuan satwa liar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi serta perambahan khususnya perluasan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, lahan pertanian dan kebutuhan lainnya. Bencana alam di kawasan TNGHS mencakup kebakaran hutan, longsor dan banjir. Beberapa kasus longsor dan banjir di kawasan TNGHS dilaporkan mempunyai kaitan erat dengan aktivitas penambangan emas dan penambangan liar.

4.3 Kondisi Sosial

Secara Administratif wilayah kerja TNGHS termasuk dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan dari Kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Lebak) dan 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS.

Komposisi jumlah penduduk dari ke-108 desa tersebut terdiri dari 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP – JICA pada tahun 2005, tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.

Sebagaimana dalam taman nasional lain di Indonesia, TNGHS tidak bebas dari penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Di TNGHS penduduk bahkan sudah tinggal di dalam taman nasional sejak lama, jauh sebelum areal


(43)

tersebut dijadikan sebagai taman nasional. Dari sebaran dan letak perkampungan, maka masyarakat lokal di TNGHS dapat dibedakan menjadi:

1) Masyarakat lokal yang tinggal di sekeliling TNGHS, seperti di Ciptarasa, Cisitu dan Citorek.

2) Masyarakat lokal yang tinggal di dalam enclave TNGHS, seperti Leuwijamang dan Sarongge.

3) Masyarakat lokal yang tinggal di dalam wilayah TNGHS yang dirambah secara ilegal, seperti di Garung.

4) Masyarakat lokal yang tinggal di enclave perkebunan di dalam kawasan TNGHS, seperti di Nirmala.

Sebagian besar masyarakat 1), 2) dan 3) merupakan penduduk asli wilayah tersebut, sedangkan sebagian masyarakat 4) merupakan pendatang yang berkaitan dengan pekerjaan di perkebunan teh (Harada & Mulyana, 1998).

Secara adat istiadat ada dua golongan masyarakat yang tinggal di TNGHS, yaitu masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Non Kasepuhan. Perbedaan mereka terutama adalah dalam hal kesejarahan dan pandangan hidup serta kebudayaannya, sedangkan persamaannya adalah pada cara hidupnya yang bertani dan bahasa pengantar yang digunakannya yaitu bahasa Sunda (BssC, 1995). Masyarakat kasepuhan secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicacurub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal (desa). Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu leuweung titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) danl leuweung sampalan (hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi lokal. Pada saat ini sebagian anggota masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi.


(44)

4.4 Kondisi Ekonomi

Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga (RT) miskin. Secara umum jumlah RT miskin masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi jumlah RT miskin berjumlah 15.699 RT atau 10 % dari jumlah RT (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga), di Kabupaten Bogor berjumlah 29.718 RT atau 10 % dari jumlah RT (data tahun 2005), sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RT atau 15 % dari jumlah RT (data tahun 2005, tidak termasuk Desa Wangun Jaya). Degradasi ekosistem hutan banyak terjadi di desa-desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan TNGHS dan diduga terkait erat dengan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat.

Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi dan galena), pembanguna infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten, propinsi dan desa) dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS.

Di dalam kawasan TNGHS beroperasi 2 perusahaan pertambangan , yaitu PT Aneka Tambang dan PT Chevron Geotehrmal Salak. PT Aneka Tambang melakukan penambangan emas di Cikidang (Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak) dan Gunung Pongkor (Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor). PT Chevron Geotehrmal Salak melakukan penambangan panas bumi di kawasan Gunung Salak. Kedua perusahaan pertambangan tersebut mendapatkan ijin pinjam pakai kawasan sebelum perluasan TNGHS, yakni dari kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani. Kawasan TNGHS dikelilingi pula oleh perusahaan perkebunan yaitu PT Nirmala Agung, PTPN VIII Cianten, PTPN VIII Cisalak Baru, PT Jayanegara, PT Intan Hepta, PT Yanita Indonesia dan PT Salak Utama, PT Baros Cicareuh, PT Hevea Indonesia (HEVINDO) dan PT Pasir Madang. Selain itu, kawasan TNGHS juga dikelilingi oleh banyak perusahaan pengguna air yaitu air minum dalam kemasan, PDAM, industri makanan-minuman,


(1)

Qomariah. 2009. Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri. Skripsi. Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Rahardjo, Budi. 2005. Ekoturisme Berbasis Masyarakat. Bogor: Pustaka Latin. Sitorus, Felix MT. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor:

Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sproule. K.W. & Suhandi. 1998. Guidelines for Community-based Ecotourism Programs. Lessons from Indonesia, in Ecotourism a Guide for Planners and Managers, vol. 2. edited by Lindberg, K, M.E. Wood, and D. Engeldrum. North Bennington Vermont: Teh Ecotourism Society.

Suporahardjo, 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus / Penerjemah Mokhsen Assagaf, Dudik Trajudi [et al]. Pustaka Latin: Bogor.

Tadjudin, Djuhendi. 2009. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin: Bogor.

Tebay, Selvi. 2004. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove Berbasis Masyarakat Di Taman Wisata Teluk Youtefa Jayapura Papua. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tehresia, Clara Christina. 2008. Efektivitas Pengelolaan Hutan Kolaboratif Antara Masyarakat dengan Perum Perhutani Kasus PHBM di KPH Kuningan dan KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor

Wallace GN. 1996. Toward a Principled Evaluation of Ecotourism Ventures. Bulletin Series 99 Teh Ecotourism Equation Measuring teh Impacts. Yale School of Forestry and Environmental Studies dalam http://environment.yale.edu/topics/809 diakses tanggal 27 Januari 2010 pukul 15.45 WIB.

Widada. 2008. Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efektif Melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi yang Sejahtera. Jakarta: Ditjen PHKA – JICA.

WWF International. 2001. Guidelines for Community-Based Ecoutourism Development dalam http://www.icrtourism.org/publication/WWF1eng.pdf. diakses tanggal 3 Januari 2010 pukul 09.23 WIB.

WWF Indonesia. 2009. Prinsip dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF-Indonesia


(2)

(3)

Lampiran 1. Form : Panduan Wawancara Informan Kajian Penerapan

Manajemen Kolaboratif dalam Pengelolaan Ekowisata

berbasis Masyarakat

Petunjuk:

• Kajian mengenai penerapan manajemen kolaboratif dalam implementasi program ekowisata berbasis masyarakat di TNGHS ini bermaksud untuk memperoleh data mengenai proses pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata yang ada.

• Teknik utama pengumpulan data meliputi: (a) wawancara mendalam dengan para informan, (b) observasi terhadap kenyataan-kenyataan di lapangan, (c) studi arsip / dokumentasi dan literature yang terkait.

• Wawancara dilakukan secara mendalam dan bersifat informal dan penting menerapkan prinsip “penggalian informasi” (probing)

• Informan yang dimaksud adalah: pihak pengelola TNGHS, masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan ekowisata, LSM terkait dan pihak swasta yang terlibat.

1. Sejauh mana Anda mengetahui tentang pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan Ekowisata Taman Nasional Gunung Halimun Salak? 2. Siapa saja pihak-pihak tersebut?

3. Apa saja kepentingan dari masing-masing pihak tersebut?

4. Apa yang melatarbelakangi pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata TNGHS?

5. Bagaimana sejarah pelaksanaan manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata TNGHS?

6. Apa saja sumberdaya yang dimanfaatkan dalam pengelolaan kolaboratif ekowisata di TNGHS?

7. Bagaimana keadaan sumberdaya tersebut sebelum dan sesudah dilaksanakannya pengelolaan kolaboratif?

8. Apa barang dan jasa langsung yang lembaga Anda dapat dari pengelolaan kolaboratif tersebut?

9. Pembatasan apa yang lembaga Anda hadapi dalam hal penggunaan sumberdaya tersebut?

10. Apa hak de jure dan de facto atau klaim yang lembaga Anda miliki dalam meggunakan dan mengelola sumberdaya tersebut?

11. Sejauh mana pendapat anda tentang kerjasama pengelolaan kolaboratif ekowisata di TNGHS?

12. Bagaimana alur dan proses kolaboratif itu berlangsung?

13. Bagaimana Anda berinteraksi dengan stakeholder lain dalam hal pengelolaan kolaboratif ekowisata TNGHS?

14. Bagaimana pengambilan keputusan dalam pengelolaan kolaboratif tersebut? 15. Dalam hal ini, apa fungsi dan peran lembaga/instansi anda dalam kerjasama

pengelolaan Ekowisata di TNGHS?

16. Sejauh ini bagaimana fungsi dan peran yang ada tersebut bermanfaat bagi kerjasama pengelolaan ekowisata di TNGHS?


(4)

17. Apa hak yang lembaga/instansi anda dapat, dengan adanya pengelolaan kolaboratif ekowisata di TNGHS?

18. Bagaimana pemenuhan terhadap hak-hak tersebut selama ini?

19. Kewajiban apa yang harus dipenuhi lembaga/instansi anda dengan adanya hubungan kerjasama tersebut?

20. Bagaimana pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban tersebut selama ini? 21. Menurut Anda, apa potensi permasalahan yang terjadi dari kegiatan

kemitraan yang ada tersebut?

22. Bagaimana solusi yang lembaga/instansi anda lakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut?

23. Menurut anda, apa saja dampak positif secara sosial-ekonomi dari kegiatan kemitraan tersebut?

24. Bagaimana dengan dampak negatifnya?

25. Hal apa saja yang anda harapkan dari adanya pengelolaan kolaboratif ekowisata TNGHS?


(5)

Lampiran 2. Form : Panduan Wawancara Informan Studi Dukungan Kelembagaan Masyarakat dalam Pelaksanaan Ekowisata di TNGHS

Petunjuk:

• Studi mengenai dukungan kelembagaan masyarakat dalam pelaksanaan ekowisata di TNGHS bermaksud untuk memperoleh data mengenai kelembagaan yang ada di masyarakat yang turut mendukung pelaksaanan pengelolaan kolaboratif ekowisata di TNGHS.

• Teknik utama pengumpulan data meliputi: (a) wawancara mendalam dengan para informan, (b) observasi terhadap kenyataan-kenyataan di lapangan, (c) studi arsip atau dokumentasi dan literature yang terkait.

• Wawancara dilakukan secara mendalam dan bersifat informal dan penting menerapkan prinsip “penggalian informasi” (probing).

• Informan yang dimaksud adalah: pihak pengelola TNGHS dan masyarakat yang terlibat dalam pelaksanaan ekowisata.

1. Apa saja jenis kelembagaan di kampung ini yang Anda ketahui? Sebutkan. 2. Bagaimana fungsi dan peranan kelembagaan tersebut dalam kehidupan

sehari-hari?

3. Adakah kelembagaan di masyarakat yang berpengaruh pada pelaksanaan ekowisata TNGHS? Sejauhmana pengaruhnya?

4. Bagaimana hubungan Anda dengan pihak pengelola TNGHS sebelum dan sesudah pelaksanaan ekowisata secara kolaboratif?

5. Menurut Anda apa saja potensi yang dimiliki masyarakat yang dapat mendukung pelaksanaan ekowisata TNGHS?

6. Apakah terdapat perubahan dalam aspek sosial ekonomi sebelum dan sesudah Anda terlibat dalam pelaksanaan ekowisata TNGHS? Sebutkan!


(6)

DOKUMENTASI PENELITIAN

Jalan menuju Citalahab Station Penelitian Cikaniki

papan nama Cikaniki Curug Macan

Perkebunan Teh Nirmala petunjuk arah menuju Citalahab

home stay Citalahab wisatawan di home stay