deforestasi sebesar 25 persen atau berkurang sebesar 22 ribu hektar. Sebagian besar deforestasi terjadi di areal yang sebelumnya merupakan hutan lindung dan
hutan produksi. Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan
di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah tersebut, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan alih fungsi hutan menjadi bagian dari
kawasan TNGHS pada tahun 2003. secara kumulatif, kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan antara
lain: penebangan di hutan produksi, kegiatan ilegal dan bencana alam. Kegiatan ilegal yang terjadi antara lain: penambangan emas tanpa ijin PETI, penebangan
liar, perburuan satwa liar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi serta perambahan khususnya perluasan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, lahan
pertanian dan kebutuhan lainnya. Bencana alam di kawasan TNGHS mencakup kebakaran hutan, longsor dan banjir. Beberapa kasus longsor dan banjir di
kawasan TNGHS dilaporkan mempunyai kaitan erat dengan aktivitas penambangan emas dan penambangan liar.
4.3 Kondisi Sosial
Secara Administratif wilayah kerja TNGHS termasuk dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten, yaitu: Kabupaten Bogor,
Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan 9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan
dari Kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Lebak dan 108 desa yang sebagianseluruh wilayahnya di dalam danatau
berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari ke-108 desa tersebut terdiri dari 155.345
jiwa di Kabupaten Sukabumi tahun 2006, 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor tahun 2005 dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak tahun 2005. Berdasarkan
survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP – JICA pada tahun 2005,
tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.
Sebagaimana dalam taman nasional lain di Indonesia, TNGHS tidak bebas dari penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Di TNGHS penduduk
bahkan sudah tinggal di dalam taman nasional sejak lama, jauh sebelum areal
tersebut dijadikan sebagai taman nasional. Dari sebaran dan letak perkampungan, maka masyarakat lokal di TNGHS dapat dibedakan menjadi:
1 Masyarakat lokal yang tinggal di sekeliling TNGHS, seperti di Ciptarasa,
Cisitu dan Citorek. 2
Masyarakat lokal yang tinggal di dalam enclave TNGHS, seperti Leuwijamang dan Sarongge.
3 Masyarakat lokal yang tinggal di dalam wilayah TNGHS yang dirambah
secara ilegal, seperti di Garung. 4
Masyarakat lokal yang tinggal di enclave perkebunan di dalam kawasan TNGHS, seperti di Nirmala.
Sebagian besar masyarakat 1, 2 dan 3 merupakan penduduk asli wilayah tersebut, sedangkan sebagian masyarakat 4 merupakan pendatang yang berkaitan
dengan pekerjaan di perkebunan teh Harada Mulyana, 1998. Secara adat istiadat ada dua golongan masyarakat yang tinggal di TNGHS,
yaitu masyarakat Kasepuhan dan masyarakat Non Kasepuhan. Perbedaan mereka terutama adalah dalam hal kesejarahan dan pandangan hidup serta
kebudayaannya, sedangkan persamaannya adalah pada cara hidupnya yang bertani dan bahasa pengantar yang digunakannya yaitu bahasa Sunda BssC, 1995.
Masyarakat kasepuhan secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicacurub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan
Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal desa. Masyarakat Kasepuhan memiliki
kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah
berhutan berdasarkan
intensitas pemanfaatan
dan tingkat
perlindungannya, yaitu leuweung titipan hutan titipan, leuweung tutupan hutan tutupan danl leuweung sampalan hutan bukaan. Mereka memiliki pengetahuan
etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang
mampu melestarikan sumberdaya genetik padi lokal. Pada saat ini sebagian anggota masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang
mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi.
4.4 Kondisi Ekonomi