kalangan  seperti    LSM  lokal  dan  nasional,  pemerintah,  akademisi  dan  institusi internasional. Dengan demikian ekowisata dapat memberikan manfaat baik untuk
masyarakat setempat maupun terhadap kawasan taman nasional.
2.1.5 Manajemen Kolaboratif
Menurut PHKA-Dephut 2002, pengelolaan manajemen kolaboratif bidang pengurusan  kawasan  konservasi  adalah  kemitraan  di  antara  berbagai  pihak
kepentingan  yang  menyetujui  untuk  berbagi  fungsi,  wewenang  dan  tanggung- jawab manajemen dalam mengelola daerah atau sumber daya alam yang statusnya
dilindungi  atau  dikonservasi.  Pengelolaan  secara  ko-manajemen  hendaknya dibaca sebagai konsep yang luas yang mencakup berbagai cara dimana organisasi
yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan para stakeholders lain menerapkan manajemen  kerjasama  yang  adaptif.  Manajemen  kolaboratif  harus  dipandang
secara  pragmatis  dan  de  facto,  bukan  berbasis  pada  kondisi  de  jure  secara  de facto  kadangkala  masyarakat  lokal  tidak  memiliki  akses  dan  kontrol  di  kawasan
konservasi.  Karenanya  proses  pengembangan  pengelolaan  kolaboratif  tidak  lagi atau  tanpa  mengungkit  masalah  status  daerah  konservasi  atau  daerah  dilindungi.
Dengan  kata  lain,  setiap  stakeholder  saling  mengakui  status  kawasan  konservasi masing-masing. Setiap stakeholder berpartisipasi penuh dalam pembentukan pola
kerjasama  dan  bersedia  menyumbangkan  waktu,  pengetahuan,  keterampilan,  dan informasinya  atau  sumber  daya  lainnya  untuk  aktif  terlibat  dalam  proses
pengambilan keputusan. Upaya-upaya  penyelesaian  konflik  pengelolaan  sumberdaya  hutan  selama
ini  belum  berhasil  menyelesaikan  konflik  secara  komprehensif.  Margitawaty 2004  dalam  Tehresia  2008  menyebutkan  bahwa  konflik  pengelolaan
sumberdaya  alam  sebagai  buah  dari  missmanagement  dalam  pengelolaan  hutan dengan  demikian  memerlukan  suatu  alternatif  manajemen  pengelolaan  hutan.
Oleh  karena  itu  diperlukan  suatu  pendekatan  yang  dapat  mengakomodasikan kepentingan  semua  pihak  dan  menghasilkan  solusi  yang  dapat  diterima  oleh
semua pihak pula. Pendekatan itulah yang dikenal dengan Manajemen kolaboratif. Menurut  Marshall  1995  dalam  Tadjudin  2009,  kolaborasi  merupakan  suatu
bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif yang
tinggi.  Dengan  demikian,  kolaborasi  itu  merupakan  resolusi  konflik  yang  akan menghasilkan
situasi ”menang-menang”
dan sama
sekali tidak
mempertimbangkan  suatu  keputusan  atau  kesepakatan  yang  bersifat  zero-sum seperti yang ditunjukan oleh Thurrow 1980 dalam Tadjudin 2009.
Pengelolaan  kolaboratif  digambarkan  oleh  Borrini-Feyerabend  1996 dalam  Suporahardjo  2005  sebagai  suatu  metode  untuk  mengakomodasikan
berbagai  kepentingan  di  sekitar  kawasan  lindung.  Selanjutnya  disebutkan  bahwa pendekatan  kolaboratif  meliputi  tiga  tahap  utama  yaitu,  1  mempersiapkan
kemitraan,  2  mengembangkan  kesepakatan,    dan  3  melaksanakan  dan mereview kesepakatan.
Tadjudin  2009  mendefinisikan  manajemen  kolaboratif  sebagai  suatu bentuk  manajemen  yang  mengakomodasikan  kepentingan-kepentingan  seluruh
stakeholder  secara  adil,  dan  memandang  harkat  setiap  stakeholder  itu  sebagai entitas  yang  sederajat  sesuai  dengan  tata  nilai  yang  berlaku,  dalam  rangka
mencapai  tujuan  bersama.  Selanjutnya  Tadjudin  2009  menyebutkan  bahwa tujuan manajemen kolaboratif adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan  instrumen  untuk  mengenali  stakeholder  yang  terkait  dengan
pengelolaan sumberdaya hutan secara proporsional. Dalam setiap stakeholder itu  akan  melekat  atribut-atribut  berupa  hak,  aspirasi,  tujuan  individual,
kelembagaan  dan  potensi  konfliknya.  Keberadaan  stakeholder  dipahami  dan diakui  secara  adil  tanpa  prestensi  untuk  memenangkan  kepentingan  suatu
stakeholder tertentu atas stakeholder lainnya. 2.
Meningkatkan  potensi  kerja  sama  antar  stakeholder  secara  egaliter  dengan memperhatikan  prinsip  ”sebesar-besarnya  untuk  kemakmuran  rakyat”  dan
prinsip kelestarian lingkungan. 3.
Menciptakan mekanisme
pemberdayaan masyarakat
agar dapat
mengaktualisasikan  pengetahuan  dan  kearifan  lokalnya  secara  baik  dan menyumbangkannya  dalam  wahana  manajemen  pengelolaan  sumberdaya
hutan, sehingga diperoleh sistem pendistribuasin manfaat dan resiko yang adil di antara stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
4. Menciptakan  mekanisme  pembelajaran  yang  dialogik  untuk  memperoleh
rumusan  tentang  bentuk  dan  pola  pendayagunaan  sumberdaya  hutan  yang
produktif  dan  lestari  dengan  meloloskan  sesedikit  mungkin  tindakan  coba- coba trial and error yang mengandung ketidakmenentuan yang tinggi.
5. Memperbaiki  tindakan-tindakan  perlindungan  sumberdaya  hutan  melalui
mekanisme  internalisasi  hal-hal  eksternal  yang  mengancam  kelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan.
6. Menyediakan  sistem  manajemen  yang  membuka  kesempatan  selebar-
lebarnya bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya. Menurut  Gray  1989  dalam  Suporahardjo  2005,  kolaborasi  adalah  suatu
proses  dimana  dua  stakeholder  atau  lebih  yang  berbeda  kepentingan  dalam  satu persoalan  yang  sama  menjajagi  dan  bekerja  melalui  perbedaan-perbedaan  untuk
bersama-sama  mencari  pemecahan  bagi  keuntungan  bersama.  Menurut Wondolleck  dan  Yaffe  2000  dalam  Suporahardjo  2005,  perkembangan
pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, yang demokratis, lebih mengakui
perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan
atas pilihan-pilihan bersama. Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pengembalian
kekuasaan  yang  lebih  besar  kepada  masyarakat  lokal  dan  pengakuan  otoritas manajemen  mereka  secara  formal.  Komitmen  suatu  kelompok  untuk
berkolaborasi  tergantung  pada  persepsi  bahwa  kesepakatan  di  antara  stakeholder akan  memberikan  hasil  yang  positif  bagi  anggotanya.  Menurut  Katehrine  et  al
2002 dalam Suporahardjo 2005, hasil positif itu meliputi: 1.
Keuntungan materiil 2.
Pengakuan masa pemakaian dan hak penggunaan 3.
Bertambahnya identitas budaya 4.
Pencapaian kepentingan jangka pendek dan jangka panjang Menurut  Gray  1989  dalam  Supohardjo  2005,  lima  ciri  penting  yang
menentukan proses kolaborasi meliputi: 1.
Membutuhkan keterlibatan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima untuk menghasilkan solusi bersama.
2. Menghormati  perbedaan  dan  menjadikan  sumber  potensi  kreatif  untuk
membangun kesepakatan. 3.
Peserta  dalam  kolaborasi  secara  langsung  bertanggung  jawab  untuk pencapaian kesepakatan tentang jalan keluar.
4. Membutuhkan  satu  jalan  keluar  yang  disepakati  untuk  arahan  interaksi
diantara stakeholder di masa depan. 5.
Membutuhkan  kesadaran  bahwa  kolaborasi  adalah  suatu  proses  dari  pada sebagai resep.
Walaupun pendekatan kolaborasi telah memberikan kesuksesan dan manfaat dalam menyelesaikan masalah, tapi dalam perjalanannya terdapat kendala sebagai
keterbatasan dari pendekatan kolaborasi. Menurut Gray 1989 dalam Supohardjo 2005, beberapa kendala dalam kolaborasi, yaitu:
1. Komitmen
kelembagaan tertentu
menimbulkan disinsentif
untuk berkolaborasi.
2. Sejarah  hubungan  yang  dicirikan  oleh  interaksi  permusuhan  yang  telah
berlangsung lama di antara pihak. 3.
Dinamika  perkembangan  tingkat  kemasyarakatan  pendekatan  kolaborasi lebih  sulit  dipraktekkan  ketika  kebijakan  rendah  sekali  perhatiannya  dalam
mempertimbangkan alokasi sumberdaya langka. 4.
Perbedaan persepsi atas resiko. 5.
Kerumitan yang bersifat teknis. 6.
Budaya kelembagaan dan politik. Borrini-Feyerabend,  et  al  2000  dalam  PHKA-Dephut  2002  menyatakan
bahwa  dalam  praktik  pengelolaan  kolaboratif  setidak-tidaknya  terdapat  nilai  etik dan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a Mengakui  perbedaan  nilai,  kepentingan  dan  kepedulian  para  pihak  yang
terlibat  dalam  mengelola  wilayah  atau  kesatuan  sumber  daya  alam,  baik  di luar maupun di dalam komunitas lokal.
b Terbuka  bagi  berbagai  model  hak  pengelolaan  sumber  daya  alam  selain
pengelolaan yang secara legal telah ada dimiliki pemerintah atau pihak c
Mengusahakan  terciptanya  transparansi  dan  kesetaraan  dalam  pengelolaan sumber daya alam
d Memperkenankan  masyarakat  sipil  untuk  mendapatkan  peranan  dan
tanggung-jawab yang lebih punya arti e
Mendayagunakan  dengan  saling  memperkuat  kapasitas  dan  keunggulan komparatif  dari  berbagai  aktor  kelembagaan  yang  terlibat.  Menghubungkan
keterkaitan  hak  dengan  tanggung-jawab  dalam  konteks  pengelolaan  sumber daya alam
f Lebih  menghargai  dan  mementingkan  proses  ketimbang  hasil  produk  fisik
jangka pendek g
Meraih  petikan  pelajaran  melalui  kaji  ulang  terus  menerus  dan  perbaikan pengelolaan sumber daya alam .
Borrini-Feyerabend  1997  dalam  PHKA-Dephut  2002  menambahkan bahwa  prinsip  dan  asumsi  dari  pendekatan  strategi  pengelolaan  kolaboratif
ditandai dengan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini: a.
Menggunakan  pendekatan  yang  pluralistik  dalam  mengurus  sumber  daya; memadukan  peranan  para  pihak  kepentingan;  tujuan  akhirnya  pada  umumnya
adalah  konservasi  lingkungan,  pemanfaatan  berkelanjutan  sumber  daya  alam dan pembagian yang adil yang berkaitan dengan manfaat dan tanggung-jawab.
b. Dalam  proses  pengelolaan  kolaboratif  membutuhkan  beberapa  kondisi  dasar
untuk  dikembangkan  di  antaranya:  akses  penuh  terhadap  informasi  dan  opsi- opsi,  kebebasan  dan  kapasitas  untuk  mengorganisasi,  kebebasan  untuk
mengekspresikan  kebutuhan  dan  kepedulian,  lingkungan  sosial  non- diskriminatif,  keinginan  para  mitra  untuk  bernegosiasi,  saling  percaya  dalam
menghargai kesepakatan-kesepakatan yang dipilih dsb. c.
Merupakan  proses  perubahan  politik  dan  budaya  untuk  mencapai  keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Di dalam rejim ini,
masyarakat sipil – yang terorganisir dalam bentuk-bentuk serta cara-cara yang sesuai  dengan  berbagai  kondisi  mengambil  peran  dan  tanggung  jawab  yang
semakin  lama  semakin  penting.  Lebih  dari  itu,  suatu  kesepakatan  manajemen kolaboratif  yang  adil  memberikan  jaminan  bagi  kepentingan  dan  hak  semua
stakeholder  –  terutama  yang  terlemah  –  dengan  demikian  menciptakan keadilan sosial dan mengatasi ketimpangan dalam kekuasaan.
d. Pengelolaan  kolaboratif  mempunyai  asas  kepentingan  bersama,  keyakinan
bahwa  ada  kemungkinan  untuk  menjalankan  suatu  bentuk  pengelolaan  yang
memadukan  berbagai  kepentingan,  tetapi  juga  menanggapi  –  dengan  cara terkecilpun  –  semua  kepentingan  itu.  Khususnya,  manajemen  kolaborati
berpendapat  bahwa  sumber  daya  alam  dapat  dikelola  dengan  efektif  sambil memperlakukan semua dengan rasa hormat dan setara.
e. Proses yang kompleks dan seringkali membutuhkan waktu panjang serta terjadi
kekeliruan  proses.  Proses  juga  menghendaki  perubahan  setiap  waktu  dan perubahan  mendadak,  informasi  yang  kontradiktif  serta  membutuhkan
peninjauan  kembali  dan  perbaikan  terus-  menerus,  dibandingkan  dengan penerapan serangkaian peraturan yang baku dapat tidak dapat diganggu gugat.
Yang  paling  penting  adalah  kerjasama  pengelolaan,  bukan  rencana pengelolaan, yang sanggup menanggapi berbagai kebutuhan secara efektif
f. Mengekspresikan  masyarakat  sipil  yang  dewasa  dan  memahami  tidak  ada
solusi yang ‘unik dan tidak berat sebelah’ dalam mengelola sumber daya alam, tetapi keanekaragaman dari perbedaan pilihan sesuai dengan pengetahuan lokal
dan  scientifik  serta  berkemampuan  untuk  mempertemukan  kebutuhan konservasi dengan pembangunan .
g. Pengelolaan  kolaboratif  mempunyai  asas  prinsip  mengaitkan  antara  hak-hak
pengelolaan  dan  tanggung  jawab.  ‘Wewenang  dan  tanggung  jawab  terkait secara  konseptual.  Apabila  tidak  dikaitkan,  dan  diberikan  kepada  aktor  yang
berbeda, maka keduanya akan hancur’ h.
Yang  menjadi  tantangan  dalam  pengelolaan  kolaboratif  adalah  bagaimana menciptakan situasi di mana semua mendapatkan keuntungan yang lebih besar
jika berkolaborasi dibandingkan dengan berkompetisi. i.
Secara  khusus  dalam  proses  pengelolaan  kolaboratif  bidang  pengelolaan daerah  dilindungi,  persetujuan  yang  dibangun  dalam  bentuk  kemitraan  di
antaranya: fungsi dan tanggung-jawab masing-masing pemangku kepentingan, luasan  dan  batas  daerah  dilindungi  atau  sumberdaya  alam,  kisaran  fungsi  dan
penggunaan  berkelanjutan  yang  dapat  diselenggarakan,  pengakuan  bagi  para pemangku  kepentingan  yang  terlibat,  prosedur  untuk  mengatasi  konflik  dan
bernegosiasi pengambilan keputusan kolektif, persetujuan prioritas pengelolaan dan  rencana  pengelolaan,  prosedur  menjalankan  setiap  k  eputusan  dan  aturan
spesifik  untuk  pemantauan,  evaluasi  dan  kaji  ulang  persetujuan-persetujuan
kemitraan dan rencana pengelolaan . j.
Menekankan  proses  negosiasi  ketimbang  proses  litigasi  dalam  mengatasi konflik yang hanya     memenangkan salah satu pihak yang bertikai.
k. Mengkombinasikan pengetahuan scientifik ‘barat’ dengan pengetahuan lokal.
Tadjudin  2009  menyebutkan  bahwa  hal  yang  penting  dalam  manajemen kolaboratif  adalah  bahwa  masyarakat  dilibatkan  secara  aktif  dalam  seluruh  daur
kegiatan.  Hak-hak  masyarakat  dihargai  dalam  setiap  proses  pengambilan keputusan,  sehingga  dapat  diperoleh  rumusan  terbaik  cara  pengelolaan
sumberdaya hutan.
2.2 Kerangka Pemikiran