Kondisi Ekologi Implementasi manajemen kolaboratif dalam pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat: studi kasus kampung citalahab Sentral-Cikaniki, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

BAB IV GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

4.1 Letak Geografis Kawasan

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175Kpts-II2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun TNGH dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani , maka TNGH yang luasnya 40.000 ha berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS dengan luas kawasan menjadi 113.357 ha. Pengelolaan TNGHS berada dibawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak BTNGHS. Secara geografis TNGHS terletak pada 106°1258 BT – 106°4550 BT dan 06°3214 LS – 06°5512 LS. Secara Administratif wilayah kerja TNGHS termasuk dalam tiga wilayah administratif pemerintahan tingkat kabupaten , yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lebak. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan 9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan dari Kabupaten Sukabumi dan 9 kecamatan merupakan bagian dari Kabupaten Lebak dan 108 desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya di dalam dan atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS.

4.2 Kondisi Ekologi

TNGHS memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati di Indonesia. Sampai saat ini jenis-jenis satwa liar yang telah diidentifikasi di TNGHS antara lain 244 jenis burung atau setara dengan 50 dari jumlah jenis burung yang hidup di Jawa dan Bali, 61 jenis mamalia, 27 jenis Amfibi, 50 jenis reptilia dan 26 jenis capung. Jenis Penciri Flagship Species TNGHS adalah Owa Jawa Hylobates moloch, Macan Tutul Pantehra Pardus melas dan Elang Jawa Spizaetus bartelsi serta kukang Nycticebus coucang. Diduga masih banyak jenis kehidupan liar yang belum teridentifikasi, terutama serangga dan organisme mikro. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah 100-1000 m dpl yang didominasi oleh Zona Collin 500-1000 m dpl, hutan hujan pegunungan bawah atau sub montana ketinggian 1000-1.500 m dpl, dan hutan hujan pegunungan tengah atau hutan montana ketinggian 1.500-1.929 m dpl. Khusus di Gunung Salak juga ditemukan ekosistem alpin lebih dari 2000 m dpl dan ekosistem kawah yang memiliki vegeatasi spesifik. Lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam di dalam TNGHS, yang meliputi 391 marga dari 119 suku. Pada ketinggian 1.400-1.929 m dpl banyak dijumpai jenis-jenis Gymnospermae seperti Jamuju Dacrypus imbricatus, Kiputri Podocarpus neriifolius dan Kibima P. amara. Sedangkan pada ketinggian 1.000-1.200 m dpl terdapat pohon-pohon yang tingginya mencapai 40-45 m dengan diameter mencapai 120 cm, jenis-jenisnya antara lain; rasamala Altingia excelsea, Saninten Castanopsis argentea, Pasang Quercus sp. dan Huru Litsea sp. Pada ketinggian 600-700 m dpl beberapa jenis anggota Suku Dipterocarpaceae yang merupakan ciri hujan dataran rendah dapat ditemukan di kawasan Gunung Halimun, yaitu: Dipterocarpus trinervis, D. Gracilis dan D. Hasselti. Lebih dari 100 jenis tumbuhan hutan dimanfaatkan untuk obat tradisional, upacara adat, bahan bangunan dan manfaat penting lainnya oleh masyarakat di sekitar kawasan TNGHS. Di dalam TNGHS tercatat 12 jenis bambu, antara lain: bambu Cangkore Dinochloa scandens dan bambu tamiang Schyzostachyum sp. yang merupakan tumbuhan asli jawa barat. Di daerah perluasan ditemukan hutan tanaman, terutama di areal yang dulunya berstatus sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani, antara lain: hutan tanaman rasamala Altingia excelsa, pinus Pinus merkusii , damar Agathis sp. dan puspa Schima wallichii. Di areal yang telah menjadi lahan garapan masyarakat banyak ditemui berbagai jenis tanaman budidaya yang penting, antara lain: padi, pisang, ketela pohon, jagung, cabai dan sebagainya. Tanaman buah-buahan dan tanaman hutan rakyat yang dibudidayakan oleh masyarakat antara lain: durian, nangka, melinjo, pala, alpukat, mangga, aren, kelapa, sengon dan manii. Kondisi Ekosistem di TNGHS, baik ekosistem alam maupun buatan yang kaya akan keanekaragaman hayati, air dan mineral menunjukan potensi sumberdaya alam yang sangat tinggi. Potensi tersebut belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pengelolaan TNGHS, pemberdayaan masyarakat di dalamsekitarnya dan pengembangan ekonomi wilayah. Beberapa sumberdaya alam yang menunjukkan potensi untuk dikembangkan melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan Payment for Environmental Services antara lain: daya serap karbon. Keindahan lanskap, perlindungan DAS dan tata air, serta kekayaan keanekaragaman hayati. Mekanisme pembayaran daya serap karbon dapat dikembangkan melalui rehabilitasirestorasi ekosistem di wilayah-wilayah yang terdegradasi guna mengatasi masalah keterbatasan dana pemerintah. Selain itu, pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat di wilayah-wilayah tertentu juga bisa dilakukan dalam skema perdagang karbon. Selain daya serap karbon, pengelolaan TNGHS untuk tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan tata air juga merupakan bagian dari skema pembayaran jasa lingkungan yang dapat dikembangkan. TNGHS merupakan hulu 117 sungai dan anak sungai yang mengalir di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Demikian juga pemanfaatan air minum untuk masyarakat dan air minum dalam kemasan yang bertumpu pada banyak mata air yang sumbernya berasal dari dalam kawasan TNGHS, khususnya Gunung Salak. Kondisi ini menyediakan potensi pengembangan mekanisme pendanaan melalui mekanisme dana perwalian trust fund. Kondisi keindahan lanskap, kekayaan keanekaragaman hayati dan kondisi sosial budaya masyarakat dapat dikemas sebagai produk wisata yang memiliki nilai jual tinggi. Demikian juga produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan budidaya masyarakat dapat diberi label “konservasi TNGHS” untuk meningkatkan daya jualnya di pasar hijau. Pada saat ini, kawasan TNGHS telah mengalami degradasi sumberdaya alam dan lingkungan pada tingkat yang membutuhkan perhatian serius. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya penutupan hutan deforestasi yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam kurun waktu tahun 1989-2004 diperkirakan telah terjadi deforestasi sebesar 25 persen atau berkurang sebesar 22 ribu hektar. Sebagian besar deforestasi terjadi di areal yang sebelumnya merupakan hutan lindung dan hutan produksi. Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah tersebut, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan alih fungsi hutan menjadi bagian dari kawasan TNGHS pada tahun 2003. secara kumulatif, kerusakan habitat dan ekosistem di dalam kawasan TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan antara lain: penebangan di hutan produksi, kegiatan ilegal dan bencana alam. Kegiatan ilegal yang terjadi antara lain: penambangan emas tanpa ijin PETI, penebangan liar, perburuan satwa liar dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi serta perambahan khususnya perluasan pemanfaatan lahan untuk pemukiman, lahan pertanian dan kebutuhan lainnya. Bencana alam di kawasan TNGHS mencakup kebakaran hutan, longsor dan banjir. Beberapa kasus longsor dan banjir di kawasan TNGHS dilaporkan mempunyai kaitan erat dengan aktivitas penambangan emas dan penambangan liar.

4.3 Kondisi Sosial