BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita dalam masyarakat Indonesia berpengaruh terhadap kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Dalam upaya
memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat memiliki kesadaran akan gizi, diantaranya yang berasal dari ternak, sehingga terjadi peningkatan permintaan produk-produk
peternakan. Salah satu diantaranya adalah daging sapi. Kebutuhan akan daging sapi untuk konsumsi penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahun sesuai dengan
pertambahan jumlah penduduk, tetapi dilain pihak pengadaan daging sapi setiap saat mengalami penurunan yang disebabkan oleh gangguan penyakit Iskandar, 2007.
Menurut Dewi et al., 2011, gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan, diantara sekian banyak
penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapatkan perhatian dari para peternak. Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun
menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan. Diantara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit
yang disebabkan oleh cacing. Hasan 1970 menjelaskan bahwa, pada umumnya masyarakat peternak tidak memperhatikan masalah penyakit cacing, karena penyakit
tersebut jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung.
Menurut Subronto Tjhajati 2001 dalam Sugama Suyasa 2011, gejala umum dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain adalah badan lemah, bulu kusam,
dan gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses untuk mengetahui keberadaan telur cacing.
Perubahan populasi cacing dalam perut sapi dapat diketahui dengan menghitung total telur per gram feses EGP secara rutin.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa faktor yang menyebabkan sapi terinfeksi parasit cacing antara lain hijauan yang masih berembun serta tercemar vektor pembawa cacing, kondisi
kebersihan kandang yang tidak diperhatikan oleh peternak sehingga kotoran dari sapi tersebut mencemari pakan, dan pemeliharaan sapi dengan sistem gembala yang
merupakan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak Levine, 1994. Selanjutnya Harmindah 2001 menjelaskan bahwa, peternak kecil menggunakan sistem
semi intensif dengan membiarkan ternak mencari makan sendiri bahkan ada yang sama sekali tidak dikandangkan sehingga sangat mudah terinfeksi oleh vektor pembawa
cacing dan terkontaminasi telur cacing.
Menurut Tantri et al., 2013, hasil pengamatan terhadap feses sapi di RPH Pontianak menunjukkan bahwa dari 80 sampel yang diambil seluruhnya telah terinfeksi
telur cacing parasit. Menurut Harminda 2011, berdasarkan hasil penelitian 147 sampel feses sapi di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, dimana 141 ekor sapi pesisir
positif teinfeksi parasit cacing Neoascaris vitulorum dengan tingkat prevalensi sebesar 96 dan tingkat keparahan infestasi dikategorikan ringan yaitu jumlah telur cacin 499
telur per gram feses sapi.
Sapi-sapi yang ada di Rumah Potong Hewan RPH Medan pada umumnya dirawat secara intensif, dimana sapi-sapi tersebut dikandangkan dan seluruh pakan
disediakan oleh peternak, serta sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan kesehatan ternak. Tempat Pemotongan Tradisional Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah
merupakan peternakan tradisional, dimana sapi-sapi dibiarkan mencari makan sendiri, bahkan ada yang tidak dikandangkan. Adanya perbedaan tingkat infeksi parasit cacing
yang terdapat pada sapi di Rumah Pemotongan Hewan RTH Medan dan Tempat Pemotongan Tradisional Andam Dewi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang
“Jumlah dan Jenis Cacing Endoparasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan RPH Medan dan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah
”.
Universitas Sumatera Utara
I.2 Permasalahan