Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti KRT Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948, wilayah
Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan formal. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah
Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Sleman. Pada tahun 1950, Bupati KRT Projodiningrat digantikan oleh KRT Dipodiningrat hinga tahun
1955. Selanjutnya,
KRT Dipodiningrat
digantikan oleh
KRT Prawirodiningrat yang menjabat Bupati Sleman hingga tahun 1959.
Pada masa itu Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 mengenai Pembagian Daerah
Republik Indonesia dan Aturan Otonomi Daerah, maka penyebutan Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah Swatantra. Sebagai
implementasinya, Departemen Dalam Negeri menerbitkan peraturan bahwa selain memiliki seorang Bupati yang diangkat secara sektoral
sebagai pegawai Kementrian Dalam Negeri, Kabupaten juga harus memiliki kepala daerah yang dipilih legislatif DPRD.
Dapat dinyatakan bahwa dalam periode pemerintahan ini, sebuah kabupaten memiliki 2 dua Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala
Daerah Swatantra adalah Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan
Presiden Nomor 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan kembali UUD
1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai seorang BupatiKepala Daerah, yang dijabat oleh KRT Murdodiningrat.
Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat memindahkan pusat pemerintahan ke Dusun Beran, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman. Pada
masa ini pula Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman mulai memiliki lambang daerah.
Munculnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Hak Otonomi Daerah ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II
Sleman dengan menerbitkan SK. Nomor 19 Tahun 1966 yang mengubah sebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah
Kabupaten Sleman, dan DPRD Gotong Royong Tingkat II Sleman menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten Sleman. Pada masa tersebut
ketua DPRD Gotong Royong dijabat oleh Soekirman Tirtoatmodjo. Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong
pada tahun 1971, jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto. Selanjutnya pada tahun 1974, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
tentang Hak Otonomi Daerah digantikan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada undang-
undang ini Pemerintah Daerah Sleman menggunakan penyebutan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974, KRT Murdodiningrat digantikan oleh KRT Tedjo Hadiningrat yang hanya menjabat selama 3 tiga bulan.
Selanjutnya posisi bupati dijabat oleh Drs. KRT. H Prodjosuyoto Hadiningrat yang menjabat 2 dua periode yakni tahun 1974 hingga 1985,
dengan 2 dua kali penggantian ketua DPRD. Pada tahun 1977, posisi Soelanto sebagai ketua DPRD digantikan oleh R. Soelarjo hingga tahun
1982, yang selanjutnya digantikan oleh Samingan H.S. Pada tahun 1974, Drs. KRT. H Prodjosuyoto Hadiningrat
digantikan Drs. Samirin, yang menjabat selama satu periode yakni tahun 1985 hingga 1990. Pada masa jabatan Drs. Samirin, terdapat satu kali
pergantian ketua DPRD Sleman yakni pada tahun 1987. Pada tahun 1987, Samingan H.S digantikan Letkol. Sudiyono yang menjabat 2 dua periode
masa jabatan yakni tahun 1987 hingga 1997.
B. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Nilai-nilai Kearifan Lokal yang Telah Dilaksanakan di Pemerintah
Kabupaten Sleman
Berdasarkan hasil penelitian, batasan budaya Jawa meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa sebagai perwujudan cipta, karsa
dan karyanya. Budaya Jawa disini merupakan salah satu budaya daerah, yaitu perwujudan budaya nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila
yang diselaraskan dengan jati diri masyarakat setempat, yang tak lain adalah masyarakat Jawa. Unsur-unsur yang ada di dalam budaya jawa
yakni, meliputi:
1. Bahasa dan kesusasteraan Jawa;
2. Sistem pengetahuan, pemikiran dan filsafat Jawa;
3. Sistem religi atau religiotas Jawa;
4. Sistem mata pencaharian hidup, peralatan hidup dan teknologi;
5. Kesenian Jawa termasuk arsitektur Jawa;
6. Adat istiadat Jawa; dan
7. Sistem Sosial Jawa.
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta “buddhayah”, yakni bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Menurut
Koentjaraningrat 2002: 181 kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Dengan demikian budaya adalah daya
dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Menurut Budiono Herusatoto 2008: 1 setiap bangsa memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku
bangsa lainnya, membuktikan bahwa peradaban suatu bangsa atau suku bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan, dasar-dasar pemikiran
dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Dasar- dasar pemikiran masyarakat Jawa memiliki kekhasan sendiri, dimana
dalam kebudayaannya digunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-
nasehat bagi bangsanya. Dari data sejarah Jawa memang menunjukkan
tentang penggunaan simbol-simbol itu dalam tindakan, bahasa dan religi orang Jawa yang telah digunakannya sejak jaman prasejarah. Penggunaan
simbol dalam ketiga wujud budayanya itu dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman, dan penghayatan yang tinggi, dan dianut secara
tradisional dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Menurut Anas Mubakkir selaku Kepala Seksi Sejarah, Nilai dan
Tradisi, secara umum nilai-nilai kearifan lokal yang ada di Kabupaten Sleman masih banyak dijumpai di masyarakat. Hal ini juga didukung oleh
Kardjono selaku Kepala Desa Tirtoadi, yang menyatakan bahwa nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman banyak mengajarkan ajaran yang
mulia dan adiluhung, salah satu contoh adalah terkait dengan budaya gotong royong, guyub rukun, golong gilig, dimana ajaran yang terkandung
didalamnya mengajarkan manusia untuk senantiasa bekerja sama dalam segala aspek. Hal ini sejalan dengan kearifan kebudayaan Jawa yang bisa
dikembangkan sebagai dasar filosofis dan sistem nilai dalam penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Sleman.
Setelah dilakukan cross check antar subjek diatas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ada di masyarakat
Kabupaten Sleman masih tumbuh subur khususnya masyarakat pedesaan. Masih ada dan dipertahankan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
dilaksanakan secara bersama-sama baik dari sisi dana, tenaga, pemikiran, musyawarah dan sebagainya. Nilai-nilai kearifan lokal dituangkan dalam
bentuk acara-acara seremonial, seperti misalnya pernikahan mantenan, kematian, kelahiran, bersih desa dan makam, dan dalam kegiatan swadaya
masyarakat yang memang masih diperlukan adanya kerja kolektif atau gotong royong dan semangat kekeluargaan, seperti misalnya dalam
memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, dan peringatan hari besar keagamaan seperti Hari Lebaran 1 Syawal dan
tahun baru JawaIslam 1 Sura 1 Muharram, sedangkan dalam lingkup organisasi kemasyarakatan yakni Rukun TetanggaRukun Warga yang
merupakan organisasi swadaya masyarakat dan bukan menjadi bagian struktur organisasi pemerintahan formal, tetapi keberadaan Rukun
TetanggaRukun Warga masih diakui kemanfaatannya sebagai lingkup kemasyarakatan yang membantu tugas-tugas umum administrasi
pemerintahan Dusun dan Kelurahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal
yang ada di Padukuhan Sanggrahan dan Desa Tirtoadi termasuk musyawarah, gotong royong antar sesama warga, toleransi. Terutama
toleransi antar umat beragama juga sangat kental dirasakan. terbukti dengan jarang munculnya konflik antar umat beragama.
Hal ini sesuai dengan sifat dan karakteristik budaya Jawa yakni menekankan aspek kerukunan, hormat dan keselarasan sosial. Ada
beberapa kegiatan yang rutin dilaksanakan di masing-masing desa yang ada di Kabupaten Sleman. Kegiatan-kegiatan tersebut diusulkan melalui
Musyawarah Rencana Pembangunan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut dapat melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di
kehidupan para warga. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa pelatihan- pelatihan untuk pengembangan Sumber Daya Masyarakat, bidang
kesenian tradisional, pelatihan kewirausahaan dan penanggulangan kemiskinan. Seluruh kegiatan tersebut dikoordinasikan kepada seluruh
kepala dukuh yang ada di setiap desa. Program-program kemasyarakatan yang dilakukan sesuai arahan langsung dari Pemerintah Kabupaten
Sleman sebagai upaya memfasilitasi warga masyarakat yang tersebar di desa-desa di seluruh Kabupaten Sleman.
Kegiatan-kegiatan tersebut diajukan oleh Kepala Dukuh sesuai dengan permintaan warga masyarakatnya dalam Musyawarah Rencana
Pembangunan Musrenbang. Musyawarah Rencana Pembangunan dihadiri setiap Kepala Dukuh yang ada di setiap desa, dan di dalam
musyawarah tersebut dibahas mengenai rencana-rencana kegiatan terutama kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan, kesenian dan
kebudayaan yang akan dilaksanakan setiap padukuhan. Nilai-nilai kearifan lokal masih hidup dan berkembang di setiap
padukuhan di Kabupaten Sleman yakni meliputi gotong royong antar warga, musyawarah, dan toleransi antar umat beragama. Dalam kegiatan
kemasyarakatan warga masih melaksanakan berbagai kegiatan yang mengarah pada pelestarian nilai-nilai kearifan lokal yakni:
1. Kegiatan Siskamling yang dilaksanakan setiap hari, kegiatan ini bertujuan untuk menjaga kemanan warga masyarakat;
2. Rapat pertamuan antar ketua RT dan warga setiap dua minggu sekali. Pertemuan itu bertujuan untuk membahas kemajuan pembangunan di
setiap padukuhan; 3. Gotong royong, yakni kerja bakti yang diadakan setiap 1satu bulan
sekali. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai pemupuk rasa persaudaraan antar warga masyarakat di setiap padukuhan;
4. Merti Dusun. Upacara Merti Dusun biasanya diiringi dengan acara kenduri, malam tahlilan, dan puncaknya diadakan Pagelaran Wayang
Kulit. Joko Sumarsono selaku Kepala Bagian Tata Pemerintahan
menjelaskan bahwa dengan latarbelakang berbagai perubahan kebudayaan di Kabupaten Sleman, Pemerintah Kabupaten Sleman juga memiliki
Program Kecamatan sebagai Pusat Pelestarian Kebudayaan. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Anas Mubakkir bahwa kecamatan dalam
pengertian wilayah kerja, diarahkan sebagai wahana masyarakat untuk melakukan aktivitas pelestarian kebudayaan agar tetap terjaga eksistensi
kebudayaan yang dimiliki dan berinteraksi dalam masyarakat sehingga tumbuh kantong-kantong budaya. Selanjutnya, camat sebagai pemimpin
unit kerja diarahkan agar camat mampu memberikan inspirasi dan keteladanan dalam lingkungan kerjanya, termasuk peningkatan koordinasi