undang-undang. Percantuman bentuk Peraturan Daerah itu dalam susunan hierarkis
tata urutan
perundang-undangan dimaksudkan
untuk meningkatkan kedudukan hukum peraturan daerah itu, sehingga tidak
dapat diabaikan begitu saja oleh pejabat pusat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peraturan daerah hanya berlaku di dalam wilayah
pemerintahan daerah yang bersangkutan. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie 2011: 71 menjelaskan bahwa dari
segi pembentukannya, peraturan daerah itu mirip dengan undang-undang, yaitu dibentuk oleh lembaga legislatif atas pembahasan bersama dan
persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Di dalam proses pembentukan undang-undang dan peraturan daerah itu sama-sama
terkandung unsur-unsur sistem perwakilan rakyat yang berdaulat melalui pemilihan umum, maka baik undang-undang maupun peraturan daerah
dapat dikatakan sama-sama merupakan produk sistem demokrasi, baik di tingkat lokal ataupun di tingkat nasional. Pemerintahan Daerah berhak
menetapkan peraturan daerah, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 yang menyatakan pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.Artinya, peraturan daerah merupakan
sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Peraturan daerah disini adalah peraturan daerah dalam arti materiil yang bersifat
mengikat legally binding warga dan penduduk daerah otonom.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah, Peraturan Daerah adalah produk hukum daerah yang bersifat pengaturan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Daerah yang
bersifat pengaturan itu terdiri atas: 1.
Peraturan Daerah Provinsi Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
2. Peraturan Daerah KabupatenKota
Berdasarkan Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Peraturan Daerah KabupatenKota adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
KabupatenKota dengan persetujuan bersama BupatiWalikota. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur,
atau BupatiWalikota. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah KabupatenKota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah danatau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi. Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan
dalam Program Legislasi Daerah Provinsi. Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, penyusunan daftar
rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a.
perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b.
rencana pembangunan daerah; c.
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d.
aspirasi masyarakat daerah. Sedangkan untuk Peraturan Daerah KabupatenKota, perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah KabupatenKota dilakukan dalam Program Legislasi Daerah KabupatenKota. Berdasarkan ketentuan Pasal 41
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Program Legislasi Daerah KabupatenKota
dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya danatau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
b. Peraturan Gubernur
Suryo Sakti Hadiwijoyo 2011: 200 menjelaskan bahwa tugas pokok dan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat secara
umum adalah mewakili kepala negara dan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan sektoral di wilayahnya.
Sebagai wakil pusat di daerah dalam konteks “integrated perfectoral system” gubernur mempunyai kewenangan untuk mengkoordinir,
mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar daerah bawahannya mampu menjalankan otonominya secara optimal. Gubernur
mempunyai “tutelage power” yaitu menjalankan kewenangan pusat untuk
membatalkan kebijakan daerah bawahannya yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni terdiri
atas: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.
Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah KabupatenKota.
Peraturan Gubernur termasuk dalam jenis peraturan perundang- undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang telah disebutkan diatas. Peraturan Gubernur tercantum
dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah KabupatenKota, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,
Peraturan Gubernur termasuk dalam Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Gubernur merupakan jenis peraturan perundang-undangan, akan tetapi
Peraturan Gubernur baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yakni, Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Menurut Jimly Asshiddiqie 2010: 298, Peraturan Gubernur
dimaksudkan sebagai peraturan pelaksanaan terhadap Peraturan Daerah tingkat provinsi sebagai produk lembaga legislatif daerah. Hubungan antara
Peraturan Gubernur ini dengan Peraturan Daerah provinsi, sesuai tingkatannya dan lingkup muatan materinya masing-masing dapat
dianalogikan dengan hubungan Peraturan Presiden dengan Undang- undang, dan antara Peraturan Daerah KabupatenKota dengan Peraturan
BupatiWalikota serta Peraturan Desa dengan Peraturan Kepala Desa. Kewenangan pembentukan Peraturan Gubernur ada pada Gubernur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau dibentuk berdasarkan kewenangan Gubernur. Fungsi Peraturan Gubernur
yang bersifat pengaturan regeling adalah untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi atau atas kuasa peraturan
perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif wakil Pemerintah
Pusat.
c. Peraturan BupatiWalikota
Untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat menetapkan peraturan kepala
daerah dan atau keputusan kepala daerah. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasa1 146 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa, peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, Peraturan Daerah, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.
Peraturan BupatiWalikota termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
yang telah
disebutkan diatas.
Peraturan BupatiWalikota tercantum dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, yakni mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota, BupatiWalikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,
Peraturan BupatiWalikota termasuk dalam Peraturan Kepala Daerah. Dalam hubungannya dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah, menurut
Suryo Sakti Hadiwijoyo 2011: 202, hubungan antara gubernur dengan bupatiwalikota bersifat bertingkat, dimana gubernur dapat melakukan
peran pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya bupatiwalikota dapat melaporkan permasalahan yang
terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan
antarkabupatenkota. Selanjutnya,
fungsi Peraturan
BupatiWalikota yang bersifat pengaturan regeling yaitu untuk menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Daerah
KabupatenKota atau atas kuasa peraturan perundang-undangan lain, sesuai dengan lingkup kewenangan KabupatenKota sebagai daerah otonom
sepenuhnya.
d. Peraturan Kebijaksanaan Daerah
Philipus M. Hadjon 2008: 152 menjelaskan bahwa peraturan kebijaksanaan terkait dengan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari yang
menunjukkan betapa badan atau pejabat tata usaha negara acapkali menempuh pelbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain
menciptakan apa yang kini sering dinamakan peraturan kebijaksanaan beleidsregels, policy rule. Produk semacam peraturan kebijaksanaan ini
tidak terlepas dari kaitan penggunaan freies Ermessen yaitu, badan atau pejabat
tata usaha
negara yang
bersangkutan merumuskan
kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk juridische regels, seperti halnya
peraturan, pedoman,
pengumuman, surat
edaran, dan
mengumumkan kebijaksanaan itu. Suatu peraturan kebijaksanaan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang
bertujuan “naar buiten gebracht schriftelijk beleid menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis” namun tanpa disertai kewenangan perbuatan
peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut.
Senada dengan Philipus M. Hadjon, SF Marbun 2003: 139 juga menjelaskan, bahwa peraturan kebijaksanaan adalah kebebasan atau
keleluasaan bertindak atas inisiatif sendiri yang dimungkinkan oleh hukum, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak
yang muncul secara tiba-tiba, yang pengaturannya belum ada atau
kewenangannya yang tidak jelas atau samar-samar, yang harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun moral.
e. Keputusan atau Penetapan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dinyatakan bahwa keputusanpenetapanketetapan adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata.
Dikutip dari website resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang menjadi unsur-unsur dari keputusanpenetapanketetapan
ialah: 1.Penetapan tertulis
Syarat tertulis dari suatu penetapan tidak ditujukan pada bentuk formalnya, tetapi ditujukan pada isi atau sustansi dari keputusan
tersebut. Persyaratan tertulis ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam perbuktian apabila terjadi sengketa antara pemerintah dengan
rakyatnya sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
Yang dimaksud dengan badan atau pejabat tata usaha negara adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melaksanakan kegiatan
yang bersifat eksekutif. 3. Berisi tindakan hukum tata usaha negara
Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan
hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban kepada orang lain.
4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Artinya bahwa keputusan itu harus didasarkan pada kewenangan dari
pejabat tata usaha negara, sedangkan kewenangan pejabat tersebut bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
kata lain bahwa keputusan itu berfungsi untuk melaksanakan peraturan yang bersifat umum, sehingga harus ada peraturan yang menjadi
dasarnya. 5. Bersifat konkrit, individual dan final
Konkrit berarti objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan.
Individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju, jika lebih dari seorang harus disebutkan
satu persatu dalam keputusan. Final artinya keputusan tersebut sudah definitif dan karenanya menimbulkan akibat hukum.
6. Menibulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Akibat hukum dalam hal ini adalah menimbulkan hak dan kewajiban
kepada seseorang atau badan hukum perdata yang terkena keputusan tersebut.
Keputusanpenetapanketetapan yang termasuk dalam produk-produk hukum daerah yakni meliputi Keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati.
Menurut Suryo Sakti Hadiwijoyo 2011: 200, tugas pokok dan kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat secara umum adalah mewakili
kepala negara dan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan umum dan sektoral di wilayahnya. Wakil pemerintah pusat karena kedudukan,
tugas dan kewenangannya mempunyai tanggungjawab menjamin tetap tegaknya
negara dan
kelangsungan penyelenggaraan
pemerintahan, sehubungan dengan hal tersebut wakil pemerintah pusat mempunyai
kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan dalam wilayahnya atas nama presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai wakil pusat
di daerah gubernur mempunyai kewenangan untuk mengkoordinir, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar daerah bawahannya
mampu menjalankan otonominya secara maksimal.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Hadari Nawawi 2002: 63, penelitian deskriptif adalah penelitian yang prosedur
pemecahan masalahnya diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek ataupun obyek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat, dan
lainnya pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya yang meliputi interpretasi data dan analisis data. Penelitian ini termasuk
dalam penelitian deskriptif karena ditujukan untuk mengetahui permasalahan pokok yaitu nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman untuk pengembangan
prinsip-prinsip umum tata kelola pemerintahan yang baik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
dengan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah Lexy J. Moleong, 2005: 6. Dari pelaksanaan prosedur pendekatan metode kualitatif
maka akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan
mampu menghasilkan uraian mendalam tentang ucapan, tulisan dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau suatu
organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik Basrowi Suwandi, 2008: 23.
Berdasarkan pengertian diatas, maka metode penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan menguraikan tentang nilai-nilai kearifan lokal yang telah
dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman, nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip
umum pengelolaan pemerintahan, dan faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya di Kabupaten Sleman.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sleman dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, mengingat ada prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang berlaku di Kabupaten Sleman.
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan bulan Juli 2014.
C. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik sampel bertujuan pusposive sampling, yaitu penentuan subjek penelitian dengan
berdasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu Sugiyono, 2012: 300. Kriteria
atau pertimbangan menentukan subjek penelitian ini adalah orang-orang yang karena posisinya memiliki pengetahuan, pengalaman, dan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan mengenai data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah
Kabupaten Sleman, nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan,
dan faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Adapun kriteria yang ditetapkan sebagai subjek penelitian adalah: 1.
Orang-orang yang mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan dilaksanakan di Kabupaten Sleman.
2. Orang-orang yang mengetahui tentang produk-produk hukum di Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan juga di Kabupaten Sleman. 3.
Orang-orang yang mengetahui tentang tata pemerintahan di Kabupaten Sleman.
Sesuai dengan kriteria tersebut maka subjek penelitian ini terdiri dari: 1.
Anas Mubakkir S.S , selaku Kepala Seksi Sejarah, Nilai, dan Tradisi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman.
2. Sumadi, Kepala Biro Hukum, Setda Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Suwasti, selaku Staff Perundang-undangan, Bagian Hukum, Setda Kabupaten
Sleman.
4. Joko Sumarsono M.Pd, selaku Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Setda
Kabupaten Sleman. 5.
Kardjono, selaku Kepala Desa Tirtoadi, Mlati, Kabupaten Sleman. 6.
Totok, selaku Kepala Dukuh Sanggrahan, Mlati, Kabupaten Sleman.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Menurut Lexy J. Moleong 2005: 186 wawancara atau interview adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan sejumlah
pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Ciri utama dari wawancara atau interview adalah kontak langsung dengan tatap muka
antara pencari informasi interviewer dan sumber informasi interviewee. Komunikasi yang berlangsung menurut Sugiyono 2012: 317
berupa tanya jawab dalam hubungan tatap muka sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata
secara verbal. Dengan kata lain wawancara merupakan interaksi antara peneliti dengan responden dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
untuk memperoleh informasi sesuai dengan data yang diperlukan dalam penelitian.
Teknik wawancara mempunyai kedudukan yang utama sebagai metode pengumpulan data dalam penelitian ini. Tujuan dilaksanakan
wawancara dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh keterangan informasi dan penjelasan dari subyek penelitian tentang nilai-nilai kearifan
lokal yang telah dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman, nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang bisa diangkat dalam
pengembangan prinsip-prinsip umum pengelolaan pemerintahan, dan faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi nilai-nilai kearifan
lokal di dalam produk-produk hukum daerah di Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta utamanya yang berlaku di Kabupaten Sleman.
Metode wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang hanya
memuat garis besar yang akan ditanyakan terhadap responden. Penyusunan pedoman wawancara ini dilakukan sebelum melakukan
wawancara. Pedoman wawancara ini digunakan peneliti agar tetap fokus tentang persoalan yang akan ditanyakan.
2. Dokumentasi
Selain menggunakan teknik wawancara, pengumpulan data juga menggunakan teknik dokumentasi. Menurut Margono 2005: 181
dokumentasi adalah teknik pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat,
teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain. Berdasarkan uraian diatas, dokumentasi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah data-data serta catatan baik berupa dokumen resmi maupun pribadi yang berkaitan dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah
dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Sleman, nilai-nilai kearifan lokal