Nilai-nilai kearifan lokal di Kabupaten Sleman yang Dapat Diangkat
disebut pulung, wahyu, atau ndaru kedekatan seorang pemimpin dengan Tuhan, dan memiliki kedalaman kehidupan rohani.
Spiritualitas yang dalam membawa mereka untuk bisa menghargai pluralitas dan multikulturalitas, sehingga mereka dapat menjadi
pengayom bagi masyarakat yang jamak. Sejarah munculnya kearifan lokal ini juga mengacu pada Tata
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kemudian juga diterapkan di seluruh Kabupaten Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di bidang birokrasi, nilai-nilai kearifan diaplikasikan kedalam watak pemimpin sebagai representasi birokrasi. Berikut ini nilai-nilai kearifan
lokal yang diwujudkan dalam watak kepemimpinan: 1.
Ajaran dari Ki Hajar Dewantara a.
Ing ngarsa sung tuladha Ing ngarso itu didepan dimuka, sun berasal dari kata ingsun
yang artinya saya, tuladha berarti tauladan. Jadi makna ing ngarso sun tuladha adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu
memberikan suri tauladan bagi orang-orang disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.
b. Ing madya mangun karsa
Ing madya artinya di tengah-tengah, mangun berarti membangkitan atau menggugah dan karso diartikan sebagai bentuk
kemauan atau niat. Dapat disimpulkan bahwa seseorang ditengah
kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan
inovasi-inovasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan.
c. Tut wuri handayani
Tut wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Tut
wuri handayani mempunyai makna bahwa seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
2. Hamangku, Hamengku, Hamengkoni
a. Hamangku.
Mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan dengan pengabdian tanpa pamrih. Membesarkan
hati, dengan lebih banyak memberi daripada menerima. Hakekat dari berbudi bawaleksana itulah Hamangku diaktualisasikan.
b. Hamengku.
Mengandung makna
hangrengkuh atau
ngemong, melindungi dan mengayomi secara adil,tanpa membeda-bedakan
golongan, keyakinan, dan agama. Hamengku identik dengan hambeg adil paramarta.
c. Hamengkoni.
Mengandung makna keteladanan dan watak gung binathara. Dalam situasi sulit, pemimpin adalah juga pengayom
yang berdiri paling depan, menjadi panutan dan tampil
mengambil tanggung jawab dengan segala resikonya. Apabila sifat kepemimpinan ini dilandasi dengan falsafah Sawiji,
Greget, Sengguh, Ora Mingkuh dan dijiwai dengan idealisme yang kuat, komitmen yang tinggi, integritas moral, serta nurani yang bersih disertai
dengan semangat Golong-Gilig, maka lengkaplah sebutan Wataking Satriya Ngayogyakarta. Hal hal inilah salah satu faktor hal mendasari
prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan di kabupatenkota. Dalam rangka menerapkan asas umum pemerintahan negara yang
baik yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, norma hukum, serta untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
dari kolusi, korupsi, dan nepotisme diperlukan budaya pemerintahan. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak sekali nilai-nilai kearifan
lokal yang sifatnya luhur, akan tetapi nilai-nilai kearifan lokal yang paling menonjol dan mumpuni untuk dikembangkan dalam prinsip-prinsip umum
tata kelola pemerintahan yang baik, yakni nilai filosofi Hamemayu Hayuning Bawana, semangat Golong Gilig, dan Sawiji Greget Sengguh
Ora Mingkuh. Kekhasan budaya yang telah disebutkan di atas perlu dimiliki oleh setiap aparatur di Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh karena
itu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan
Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Gubernur
Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, ruang lingkup dari Peraturan Gubernur ini adalah aparatur
pemerintahan Provinsi dan KabupatenKota yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Sleman sebagai bagian dari Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta juga melaksanakan budaya pemerintahan tersebut. Budaya organisasi merupakan tata nilai dan kerangka kerja yang
menjadi pedoman tingkah laku sehari-hari, pedoman dalam membuat keputusan, serta mengarahkan tindakan anggota organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi yang ideal harus sejalan dengan tindakan-tindakan organisasi, mulai dari kepemimpinan,
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian hingga pertanggungjawaban dalam pelaksanaan tugas. Keberhasilan sebuah
organisasi dalam mencapai visi dan misinya salah satunya sangat ditentukan oleh kuat lemahnya budaya organisasi yang dimiliki dan
dilakukan oleh organisasi tersebut. Filosofi yang mendasari pembangunan daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita- cita luhur untuk mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta
berdasarkan nilai budaya. Hakikat budaya adalah hasil cipta, karsa, dan rasa yang diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan indah.
Demikian pula budaya Jawa yang diyakini oleh masyarakat Yogyakarta sebagai salah satu acuan dalam hidup bermasyarakat, baik ke dalam
maupun ke luar. Ini berarti bahwa budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat gemah ripah loh jinawi, ayom, ayem, tata,
tentrem, karta raharja. Dengan perkataan lain bahwa budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan
kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar. Hamemayu Hayuning Bawana mengandung makna sebagai
kewajiban melindungi, memelihara serta membina keselamatan dunia dan lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada memenuhi
ambisi pribadi. Dunia yang dimaksud mencakup seluruh peri kehidupan baik dalam skala kecil keluarga, ataupun masyarakat dan lingkungan
hidupnya, dengan mengutamakan darma bakti untuk kehidupan orang banyak, tidak mementingkan diri sendiri. Deferensiasi atau turunan dari
filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dalam konteks aparatur dapat dijabarkan menjadi tiga aspek. Pertama, Rahayuning Bawana Kapurba
Waskithaning Manungsa kelestarian dan keselamatan dunia ditentukan oleh kebijaksanaan manusia. Kedua, Darmaning Satriya Mahanani
Rahayuning Nagara pengabdian ksatriamenyebabkan kesejahteraan dan ketentraman negara. Ketiga, Rahayuning Manungsa Dumadi Karana
Kamanungsane kesejahteraan dan ketentraman manusia terjadi karena kemanusiaannya.
Menurut Yuwono Sri Suwito, dalam makalahnya yang berjudul Substansi
Keistimewaan Yogyakarta
dalam Kebudayaan
dan Kepariwisataan, meskipun filosofi Hamemayu Hayuning Bawana adalah
filosofi yang sudah ada sebelum jaman kerajaan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, namun falsafah Hamemayu Hayuning Bawana merupakan
buah Budaya Ide Sri Sultan Hamengku Buwono I di dalam mengemban tugas dan menggerakkan jiwa untuk menuju cita-cita yang diidamkan
vision. Saat ini dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita- cita luhur untuk menyempurnakan tata nilai kehidupan masyarakat
Yogyakarta berdasarkan nilai budaya daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Secara harfiah arti hamemayu hayuning bawana adalah
membuat dunia menjadi hayu indah dan rahayu selamat atau lestari. Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah sikap dan perilaku
manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan
manusia dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan hidup dan kehidupannya. Muara dari sikap hamemayu hayuning bawana
ini akan terwujudnya negara yang panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Terwujudnya negara tersebut tidak terlepas dari pembangunan yang disertai dengan pencagaran conservation pusaka alam dan budaya,
baik fisik maupun non fisik. Ini berarti, apabila dalam proses pembangunan terjadi konflik antara budaya dan ekonomi, maka budayalah
yang didahulukan dan dimenangkan, bukan sebaliknya. Tujuannya bukan menghambat pembangunan ekonomi, melainkan justru untuk memberi
landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi, melainkan justru untuk memberikan landasan yang kuat bagi pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Budaya Pemerintahan SATRIYA merupakan nilai-nilai yang
terkandung di dalam filsofi Hamemayu Hayuning Bawana. SATRIYA memiliki dua makna. Pertama, SATRIYA dimaknai sebagai watak ksatria.
Watak ksatria adalah sikap memegang teguh ajaran moral: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah
hati, dan bertanggung jawab. Semangat yang dimaksud adalah golong gilig yang artinya semangat persatuan kesatuan antara manusia dengan
Tuhannya dan sesama manusia. Sifat atau watak inilah yang harus menjiwai seorang aparatur dalam menjalankan tugasnya. Makna kedua,
SATRIYA sebagai singkatan dari: Selaras, Akal budi Luhur-jatidiri, Teladan-keteladanan, Rela Melayani, Inovatif, Yakin dan percaya diri, dan
Ahli-profesional.
Masing-masing merupakan butir-butir dari falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang memiliki makna dan pengertian luhur, akan tetapi
Budaya Pemerintahan Satriya yang berisi nilai-nilai yang luhur tersebut nyatanya belum menjadi pokok perhatian Pemerintah Kabupaten Sleman.
Pemerintah Kabupaten Sleman belum mengeluarkan produk-produk hukum yang ada kaitannya langsung dengan Budaya Pemerintahan
Satriya. Nilai-nilai luhur dari Hamemayu Hayuning Bawana selanjutnya dijabarkan dalam indikator-indikator perilaku sebagaimana uraian berikut.
1. Selaras artinya dalam kehidupan selalu menjaga kelestarian dan
keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia. Kata kuncinya adalah selaras. Indikator perilaku :
a. Taqwa, taat dan patuh pada nilai-nilai ajaran agama;
b. Mencintai lingkungan hidup dengan peduli dan menjaga
lingkungan alam sekitar; c.
Memelihara kebersihan dan keindahan lingkungan kerja dan lingkungan hidup;
d. Menjaga hubungan yang harmonis dengan keluarga, rekan kerja
dan masyarakat. 2. Akal budi luhur-jatidiri artinya keluhuran jatidiri seseorang merupakan
pengejawantahan perikemanusiaannya. Kata kuncinya adalah budi luhur. Indikator perilaku:
a. Sadar akan rasa benar dan salah;
b. Menjunjung tinggi integritas jujur dan dapat dipercaya;
c. Taat terhadap norma agama dan hukum;
d. Menjunjung tinggi etika;
e. Berkomunikasi dengan santun dan bersedia menerima masukan;
f. Adaptif terhadap perubahan.
3. Teladan –keteladanan artinya dapat dijadikan anutansebagai
teladancontoh oleh
lingkungannya. Kata
kuncinya adalah
keteladanan. Indikator perilaku: a.
Menjadi teladan dalam perilaku; b.
Menjalankan perannya secara adil dan arif bijaksana; c.
Menjadi pendorong kemajuan. 4. Rela Melayani artinya memberikan pelayanan yang lebih dari yang
diharapkan masyarakat. Kata kuncinya adalah kepuasan masyarakat. Indikator perilaku:
a. Menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi
atau kelompok; b.
Mengantisipasi kebutuhan masyarakat; c.
Membangun kerjasama yang produktif. 1.
Inovatif artinya selalu melakukan pembaharuan yang bersifat positif ke arah kemajuan individu dan kelompok. Kata kuncinya adalah
pembaharuan. Indikator perilaku:
a. Berkemauan keras untuk mencari dan menciptakan sesuatu yang
baru menuju kemajuan; b.
Senantiasa belajar, baik secara individual maupun berkelompok untuk memperoleh materi pembaharuan;
c. Tidak bersikap egois dan tetap menjunjung tinggi etika.
2. Yakin dan percaya diri artinya dalam melaksanakan tugas selalu
didasari atas keyakinan dan penuh percaya diri bahwa apa yang dilaksanakan akan membawa kemajuan dan manfaat baik ke intern
maupun ke ekstern. Kata Kuncinya adalah kemajuan dan manfaat. Indikator perilaku:
a. Selalu mengasah ketajaman rasa untuk memilih dan memilah jenis
tugas dan pekerjaan yang diyakini akan membawa manfaat dan kemajuan yang positif;
b. Menjunjung tinggi azas kejujuran sebagai modal utama keyakinan
dan percaya diri dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan; c.
Memegang teguh ajaran falsafah : sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh konsentrasi, semangat, percaya diri dengan rendah hati,
dan bertanggung jawab. 3.
Ahli–profesional artinya mempunyai kompetensi, komitmen dan prestasi pada pekerjaanya. Kata kuncinya adalah kompetensi,
komitmen dan prestasi. Indikator perilaku: a.
Bertanggung jawab terhadap pekerjaannya;
b. Mempunyai komitmen yang tinggi dalam melakukan
pekerjaannya; c.
Dengan keahlian dan kecerdasan yang dimiliki selalu ingin mencapai yang terbaik;
d. Disiplin yang didasari ketulusan dan keikhlasan;
e. Cermat, tepat dan cepat;
f. Bertindak secara efektif dan efisien;
g. Mempunyai kreativitas dalam bekerja;
h. Bekerja mandiri dalam kebersamaan;
Berfikir jauh ke depan dengan melihat peluang inovasi.
3. Faktor pendukung dan Faktor Penghambat dalam Implementasi Nilai- nilai Kearifan Lokal dalam Produk-produk Hukum Daerah di Daerah
Istimewa Yogyakarta
1. Faktor Pendorong dalam Implementasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Produk-produk Hukum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa faktor yang
mendukung dari implementasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam produk- produk hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta yakni, nilai-nilai kearifan
lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan karakter dan sifat masyarakat khususnya di Kabupaten Sleman. Pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta telah menuangkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada
tumbuh dan berkembang di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4
Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta. Dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta dilatarbelakangi oleh beberapa hal yakni:
1. Dalam memahami aktivitas manusia sebagai makhluk sosio-kultural diperlukan pemahaman sistem atau konfigurasi nilai-nilai yang
melandasi cara berpikir, cara berekspresi, cara berperilaku, dan hasil tindakan manusia yang pada dasarnya bukan hanya sekadar reaksi
spontan atas situasi objektif yang menggejala di sekitarnya, melainkan jauh lebih dalam dikerangkai oleh suatu sistem atau tata nilai tertentu
yang berlaku dalam suatu kebudayaan; 2. Manusia pada hakikatnya bukan hanya produk kebudayaan, tetapi juga
pencipta kebudayaan yang dapat merancang suatu strategi kebudayaan bagi masa depannya, menuju kehidupan bersama yang lebih
berkeadaban; 3. Tata Nilai Budaya Yogyakarta merupakan kekayaan daerah tidak
berwujud intangible yang tak ternilai sehingga perlu dilestarikan, dikembangkan, dan dilindungi dengan peraturan daerah;
4. Proses globalisasi dapat mengakibatkan pergeseran tata nilai budaya, tidak terkecuali Tata Nilai Budaya Yogyakarta;
5. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberi jaminan serta amanat kepada setiap orang untuk menjaga,
melestarikan serta mengimplementasikan tata nilai budaya lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya
Yogyakarta maka diharapkan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dapat melestarikan nilai-nilai budaya Jawa dalam setiap aspek kehidupan
bermasyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai
Budaya Yogyakarta, Tata Nilai Budaya Yogyakarta bertujuan untuk: a. pedoman pelaksana bagi setiap warga masyarakat dalam bertingkah
laku dan dalam melaksanakan pembangunan di daerah; b. pedoman pelaksana bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah
KabupatenKota untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan pembangunan di daerah; dan
c. acuan pembentukan produk hukum daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011, Tata Nilai Budaya Yogyakarta meliputi:
1. Tata Nilai Religio-Spriritual
Agar dalam hidupnya manusia banyak mendapatkan
keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan dijauhkan dari malapetaka rahayu ingkang sami pinanggih, widada nir ing
sambikala, maka manusia harus senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan benar hendaklah
dimulai dengan membersihkan diri dari perbuatan tercela lima M ma- lima, yakni membunuh mateni, mencuri maling, berjudi main,
berzina madon, menghisap candu atau narkoba jenis apa pun dan meminum minuman keras yang dapat mengakibatkan lupa diri madat;
mendem; mabuk. 2. Tata Nilai Moral
Artinya, menjaga kebaikan, keindahan, dan kelestarian dunia harus dimulai dari diri manusia sendiri dengan menjaga kebenaran
pemikiran dan ucapan, kebaikan perilaku, keharmonisan dan keindahan tatanan pergaulan hidup, baik dengan sesama manusia,
dengan alam semesta, maupun terutama dengan Tuhan. Kebenaran pemikiran dan ucapan membuahkan kejujuran, dan kejujuran
membuahkan kebaikan. 3. Tata Nilai Kemasyarakatan
Artinya, masyarakat bebrayan agung dipahami sebagai suatu keluarga tetapi keluarga yang besar. Landasan utama suatu keluarga
ialah kasih sayang sih kinasihan; asih ing sesami di antara para
anggotanya. Hidup bermasyarakat haruslah dilandasi oleh kasih sayang dengan mewujudkan dan senantiasa menjaga kerukunan.
Kerukunan merupakan tiang utama kehidupan kemasyarakatan, karena kerukunan memberikan kekuatan, sedangkan pertikaian mendatangkan
kehancuran rukun agawé santosa, crah agawé bubrah. Apabila timbul persoalan di antara anggota masyarakat, maka harus
diselesaikan sebaik-baiknya
dengan bermusyawarah
secara kekeluargaan ana rembug ya dirembug, karena masyarakat itu
sejatinya merupakan suatu keluarga besar. 4. Tata Nilai Adat dan Tradisi
Adat berarti sesuatu yang dikenal, diketahui, dan diulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan dalam kehidupan komunitas atau
masyarakat tertentu. Adat berupa nilai-nilai yang dikemas dalam norma-norma tertentu. Adat yang melembaga dan dijalankan terus-
menerus secara turun-temurun disebut tradisi. Dengan kata lain, tradisi merupakan pemberlangsungan adat secara terus-menerus, turun-
temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Adat yang diekspresikan dalam kehidupan kongkrit sehari-
hari disebut “cara hidup” yang bagi penganutnya dianggap biasa, wajar, lazim, dan sudah
semestinya. Sedangkan pengekspresian suatu adat yang dilaksanakan secara resmi dan melibatkan banyak orang biasanya disebut “upacara”.
Upacara merupakan media atau wahana bagi ekspresi suatu adat.
Dengan upacara, adat yang bermuatan nilai dan norma tertentu yang bersifat abstrak itu kemudian “diikrarkan”, dinyatakan, diwujudkan.
5. Tata Nilai Pendidikan dan Pengetahuan Pendidikan merupakan proses pembudayaan manusia yang
bertujuan untuk menumbuhkan, mengelola, dan meningkatkan kualitas kecerdasan kehidupannya, baik kecerdasan kejiwaan yang meliputi
religio-spiritualitas takwa, moralitas karsa, emosionalitas rasa, dan intelektualitasnya cipta, maupun kesehatan dan pengembangan
raganya. Pengetahuan merupakan daur proses dan hasil pengenalan secara akumulatif dan terus-menerus yang dilakukan manusia terhadap
diri sendiri dan apa saja di luar dirinya, baik mengenai benda-benda tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan, sesama manusia, maupun hal-
hal yang bersifat adi-duniawi supranatural. Dalam konteks hidup bersama dan konteks kesejarahan,
pengetahuan sebagai hasil pengenalan manusia secara kolektif dipraktekkan,
dipertukarkan, diajarkan,
dihimpun, dikoreksi,
dikembangkan, dan diwariskan dari zaman ke zaman. Pengetahuan merupakan sarana yang penting bagi manusia dalam rangka
menunaikan tugas mulianya, yakni mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan kelestarian dunia
hamemayu hayuning bawana. 6. Tata Nilai Teknologi
Dalam sejarah peradaban yang panjang, budaya Jawa Yogyakarta telah memiliki begitu banyak dan beragam kecakapan dan
ketrampilan teknologis. Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam, meliputi kegiatan
pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pemukiman, dan pengelolaan lingkungan hidup, telah dipraktekkan dengan prinsip
keselarasan, serasian, dan keseimbangan antara ekploitasi dan konservasi,
antara pemenuhan
kebutuhan masa
kini dan
keberlanjutannya bagi masa depan lumintu; sustainable, jangan sampai terjadi keserakahan eksploitasi secara berlebihan angkara
murka sehingga dapat mengguncangkan dan merusak harmoni alam. Kelestarian alam amat ditentukan oleh kecakapan dan kebijaksanaan
manusia rahayuning bawana kapurba waskithaning manungsa. Kecakapan dan ketrampilan teknologis yang berkenaan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya manusia dipraktekkan dengan dilandasi oleh prinsip kemanusiaan.
7. Tata Nilai Penataan Ruang dan Arsitektur Secara historis dan filosofis, nilai-nilai dasar penataan ruang
Yogyakarta telah diletakkan dan disusun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan dilanjutkan oleh para penerusnya. Pemilihan lokasi
topografis keraton baik sebagai pusat spiritual, kekuasaan, maupun budaya, penentuan wujud dan penamaan sosok bangunan hingga
detail ornamen dan pewarnaannya, tata letak dan tata rakit bangunan, penentuan dan penamaan ruang terbuka, pembuatan dan penamaan
jalan, bahkan hingga penentuan jenis dan nama tanaman, kesemuanya itu secara simbolis-filosofis melambangkan nilai-nilai perjalanan
hidup manusia dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Perjalanan hidup manusia dilambangkan dalam tata rakit bangunan dan tanaman dalam alur garis simbolis-filosofis dari
Panggung Krapyak ke utara hingga Kompleks Kraton sektor selatan. Lambang itu menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir
dari rahim ibunya Panggung Krapyak sebagai lambang “Yoni”, representasi
gender perempuan
dan benih
manusia wiji;
dilambangkan dengan nama Kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak, kemudian memasuki masa remaja enom; sinom;
dilambangkan dengan pucuk daun asam jawa yang senantiasa menyenangkan hati nyengsemaken; dilambangkan dengan jajaran
tanaman pohon asam jawa dan penuh sanjungan dilambangkan dengan jajaran tanaman pohon tanjung. Setelah melewati masa
remaja, manusia memasuki kedewasaan yang ditandai dengan akil baligh dilambangkan dengan tanaman pohon pakel dan keberanian
wani; dilambangkan dengan tanaman pohon kweni untuk meraih peluang dan menjangkau jauh ke masa depan, melesat laksana anak
panah yang lepas dari busurnya dilambangkan dengan tanaman ringin kurung di Alun-Alun Kidul yang dikelilingi pagar berbentuk busur.
Setelah melewati masa remaja dan memasuki kedewasaan, sampailah kehidupan manusia pada tahap saling menyukai lawan
jenis, yang kemudian dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Konsekuensi perkawinan ialah bercampurnya “darah” lelaki dilambangkan dengan
tanaman pohon mangga cempora yang berbunga putih di Sitihinggil Kidul dan “darah” perempuan dilambangkan dengan tanaman soka
yang berbunga merah. Percampuran darah lelaki dan perempuan itu dilandasi kemauan bersama gelem; dilambangkan dengan pohon
pelem atau mangga di halaman Kamandhungan Kidul. Dengan didasari kemauan dan cinta kasih di antara keduanya kaderesan sihing
sesama; dilambangkan dengan tanaman jambu dersana, sehingga menggumpallah kedua unsur itu kempel; dilambangkan dengan
tanaman pohon kepel menjadi bakal bayi embrio. Bayi itu kelak akan
lahir sebagai
calon magang;
dilambangkan dengan
Kemagangan manusia dewasa. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pada akhirnya manusia juga
akan kembali kepada penciptanya. Garis simbolis-filosofis dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih hingga Kraton melambangkan
perjalanan manusia menghadap Sang Khalik. Dalam menempuh perjalanan kembali kepada Sang Khalik, manusia harus memulainya
dengan tekad bulat menyatukan golong-gilig; dilambangkan dengan Tugu Golong-Gilig segenap kemampuan cipta, rasa, dan karsa untuk
menyucikan hati dilambangkan dengan cat warna putih pada Tugu Golong-Gilig tersebut sehingga tugu itu sering juga disebut sebagai
Tugu Pal Putih. Tekad menyucikan diri itu harus melalui jalan keutamaan dilambangkan dengan Margatama, nama jalan dari tugu ke
selatan sampai kawasan Stasiun Kereta Api Tugu; sekarang bernama Jalan Pangeran Mangkubumi dengan berbekal penerangan obor;
dilambangkan dengan nama jalan Malioboro berupa ajaran para wali, lalu ditempuhlah jalan kemuliaan mulya; dilambangkan dengan
Margamulya, dahulu nama jalan yang menghubungkan Malioboro dengan Alun-Alun Utara. Dalam menempuh perjalanan itu,
diharapkan manusia dapat melewatinya dengan perasaan senang sengsem; dilambangkan dengan tanaman wit asem atau pohon asam
jawa dan teduh hatinya ayom; dilambangkan dengan tanaman pohon gayam yang dahulu ditanam di sepanjang jalan Margatama - Maliabara
- Margamulya. Kemuliaan itu harus dimantabkan dengan pengusiran segenap
hawa nafsu dan perangai buruk urakan; dilambangkan dengan Pangurakan. Memang tidak mudah jalan menuju Sang Khalik,
laksana mengarungi samudera dengan deburan ombak yang dahsyat alun; dilambangkan dengan Alun-Alun Lor. Setelah perjalanan hidup
berakhir, manusia tidak serta merta langsung dapat bertemu dengan Sang Khalik, melainkan harus dengan sabar menanti nganti-anti;
dilambangkan dengan bangunan Bangsal Sri Manganti di alam kubur menunggu giliran untuk ditimbang atau diteraju terlebih dahulu amal
baik dan buruknya ditraju; dilambangkan dengan bangunan Bangsal Trajumas selama menjalani hidup di dunia, untuk kemudian
memasuki kehidupan kekal di alam kelanggengan dilambangkan dengan lampu Kyai Wiji yang berada di Gedhong Prabayaksa, lampu
yang senantiasa hidup sejak pemerintahan Sultan Hamengku Bowono I hingga sekarang. Dengan demikian, tata rakit bangunan, jalan,
beserta tanaman dari Panggung Krapyak ke Kraton melambangkan asal mula dan tahap-tahap kehidupan manusia, sedangkan tata rakit
dari Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-Gilig ke Kraton melambangkan jalan dan tahap-tahap kembalinya manusia kepada Sang Khalik
sangkan paraning dumadi. Nilai-nilai yang dipesankan secara simbolik dalam seluruh tata
rakit keruangan yang telah dirintis Sultan Hamengku Buwono I dan para penerusnya itu pada dasarnya, pertama, mengingatkan manusia
agar senantiasa sadar diri éling tentang asal-muasal kehidupannya dan tempat kembalinya kelak Sang Khalik. Kedua, nilai penting
yang dipesankan dari perlambangan tata rakit keruangan Yogyakarta ialah terlaksananya hubungan antarmanusia secara wajar dan
harmonis. Ketiga, nilai-nilai hubungan yang sinergis-harmonis antara manusia dan alam. Dengan perkataan lain, penataan atau tata rakit
keruangan harus menjunjung tinggi nilai-nilai ekologis dan mematuhi norma-normanya.
8. Tata Nilai Mata Pencaharian Artinya, meskipun hidup di dunia hanya sementara, tetapi
tugas mulia yang harus ditunaikan manusia ialah bersungguh-sungguh berusaha keras secara terus-menerus sepi ing pamrih ramé ing gawé
mengusahakan dan menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, keselamatan, dan kelestarian dunia hamemayu hayuning bawana.
Wujud nyata tugas mulia itu dilakukan manusia dengan bekerja. Orang tidak boleh berpangku tangan saja tanpa bekerja lungguh jégang sila
tumpang, dengan mengharap rejeki seakan-akan bakal jatuh dengan sendirinya dari langit thenguk-thenguk nemu kethuk; ngentèni endogé
blorok. 9. Tata Nilai Kesenian
Terdapat beraneka ragam kesenian yang tergelar di tengah- tengah masyarakat Yogyakarta. Secara garis besar, kesenian itu dapat
digolongkan menjadi empat golongan, yakni 1 seni rupa, 2 seni pertunjukan, 3 seni sastra, dan 4 seni multimedia. Secara garis
besar, kelompok seni rupa mencakup a seni kriya, b seni lukis, dan c seni patung. Sedangkan seni pertunjukan mencakup a seni musik,
b seni tari, dan c seni teaterdrama; baik seni musik tradisional maupun modern, seni tari tradisional maupun modern, dan seni
teaterdrama tradisional maupun modern. Kesenian juga berfungsi sebagai ekspresi simbolik kehidupan manusia: siklus hidupnya,
kegembiraannya, kesedihannya, penjelajahan baik lahir maupun batinnya, kegelisahannya, kecemasannya, dan juga pengharapannya.
Di samping sebagai media komunikasi dan ekspresi simbolik, kesenian juga menjadi sarana hiburan dan sekaligus media edukasi
tontonan lan tuntunan. 10. Tata Nilai Bahasa
Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah Yogyakarta yang masih dipergunakan dalam keseharian masyarakat Yogyakarta, di samping
bahasa Indonesia dan bahasa asing. Sebagai “arsip kebudayaan”, Bahasa Jawa memuat begitu banyak kearifan yang telah diciptakan
dan dipraktekkan oleh komunitas Jawa dalam sepanjang sejarahnya. Sebagai sarana komunikasi, Bahasa Jawa menunjukkan dan sekaligus
mengatur hubungan antarmanusia, baik strata usia, strata sosial, hubungan kekerabatan, maupun konteks komunikasinya. Oleh sebab
itu, dalam Bahasa Jawa dikenal tingkatan-tingkatan berbahasa dalam berkomunikasi unggah ungguhing basa sesuai posisi masing-masing
pihak dalam tata komunikasi, agar harmoni pergaulan sosial tetap terjaga dengan baik.
11. Tata Nilai Benda Cagar Budaya Wujud fisik kebudayaan budaya material sebagai hasil
aktualisasi kemampuan cipta, karsa, dan rasa masyarakat Yogyakarta yang kasat mata tangible merepresentasikan tahap-tahap peradaban
beserta ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Dari segi bentangan waktu kronometris temporal, peninggalan benda-benda
budaya di Yogyakarta menunjukkan jejak-jejak peradaban prasejarah, Hindu-Buddha, Islam, Kolonial, hingga zaman modern. Dari segi
keruangan spacial, benda-benda budaya bersejarah itu tersebar mulai dari pegunungan, daratan, hingga pesisir laut selatan. Dari segi bentuk
formal, benda-benda budaya yang ditemukan menunjukkan bermacam-ragam varian dan tingkat-tingkat kemajuan teknologi
zaman pembuatan benda-benda itu mulai dari peralatan sederhana yang dipergunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup hingga
bangunan-bangunan megah baik sebagai tempat pemujaan maupun tempat kebesaran pusat pemerintahan.
Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang berbudaya wajib dan harus berusaha keras agar setiap benda budaya bersejarah
dan kawasan situs yang melingkupinya senantiasa dijaga, dilestarikan, dan dilindungi sebagai benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya.
12. Tata Nilai Kepemimpinan dan Pemerintahan
Dalam hidup bersama, sekumpulan manusia membutuhkan pemimpin. Seorang pemimpin dituntut memiliki kelebihan dibanding
yang dipimpin baik dalam hal pengetahuan, keberanian, maupun kearifan. Seorang pemimpin harus berani tampil di depan memberi
teladan bagi yang dipimpin ing ngarsa sung tuladha, seorang pemimpin harus mampu menggugah semangat atau memotivasi yang
dipimpin ing madya mangun karsa agar lebih giat dalam perjuangan hidup, dan memberi dorongan, kekuatan, dan perlindungan ing
wuntat tut wuri handayani agar yang dipimpin kian percaya diri dan senantiasa memperoleh kemajuan dalam menapaki kehidupan.
Menurut Yasadipura I 1729-1803 M dari keraton Surakarta, Hastha Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru
filosofisifat alam, yaitu: 1 Mahambeg Mring Kismo meniru sifat bumi. Seperti halnya bumi,
seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun.
2 Mahambeg Mring Warih meniru sifat air. Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejukdingin.
Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya.
3 Mahambeg Mring Samirono meniru sifat angin. Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana sajatak mengenal tempat dan adil
kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua stratalapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah
diskriminatif membeda-bedakan. 4 Mahambeg Mring Condro meniru sifat bulan. Seperti sifat bulan,
yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegasjelas dan
keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. 5 Mahambeg Mring Suryo meniru sifat matahari. Seperti sifat
matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi
petunjukjalanarah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya.
6 Mahambeg Mring Samodra meniru sifat lautsamudra. Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja air
dan sampah dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai.
7 Mahambeg Mring Wukir meniru sifat gunung. Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki
keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya.
8 Mahambeg Mring Dahono meniru sifat api. Seperti sifat api, energi
positif seorang
pemimpin diharapkan
mampu
menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan
perlindungan kepada rakyatnya. Kedelapan watak dan kecakapan tersebut amat penting bagi
pemimpin yang
berjiwa kesatriya
sebagai sarana
untuk mendharmabaktikan dirinya kepada negara dan rakyat, karena dharma
bakti pemimpin yang benar akan menjamin kesejahteraan dan keselamatan negara dan rakyatnya darmaning satriya mahanani
rahayuning nagara. 13. Tata Nilai Kejuangan Dan Kebangsaan
Yogyakarta merupakan salah satu komponen yang amat penting dalam sejarah Republik Indonesia. Semua itu dipersembahkan
tampa pamrih sepi ing pamrih demi tegaknya eksistensi Negara Republik
Indonesia. Semangat
berani dan
rela berkorban,
kesetiakawanan sosial solidaritas; sabaya pati, sabaya mukti, persatuan dan kekompakan saiyek saéka praya baik antarpemimpin,
antarrakyat, maupun antara rakyat dan pemimpin manunggaling kawula gusti, jiwa tanpa pamrih, cinta tanah air patriotisme, rasa
kebangsaan nasionalisme, dan kegigihan menjaga martabat bangsa dan negara sedumuk bathuk senyari bumi; dilabuhi pecahing jaja
wutahing ludira merupakan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi masyarakat Yogyakarta.
14. Tata Nilai Semangat Keyogyakartaan Dalam mengaktualisasikan nilai-nilai luhur adiluhung
sebagaimana diuraikan di atas, dan dalam rangka meraih cita-cita mulia yakni menjaga kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kelestarian
dunia hamemayu hayuning bawana, masyarakat Yogyakarta memiliki nilai-nilai khas sebagai penciri khusus keyogyakartaan dan
dijadikan semangat dalam mengaktualisasikan nilai-nilai luhur itu. Sebelum dituangkannya nilai-nilai kearifan lokal ke dalam
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta, Kabupaten Sleman telah
memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang juga dituangkan dalam Slogan SLEMAN SEMBADA dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman
Nomor 4 Tahun 1992 tentang Slogan Pembangunan Daerah Terpadu SLEMAN SEMBADA. SLEMAN SEMBADA dinilai sangat strategis
untuk digunakan sebagai Visi, Misi, Slogan Pembangunan dan prioritas pembangunan pemerintahan.
Secara umum pengangkatan nilai-nilai kearifan lokal memang senantiasa diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang
baik, karena kearifan lokal memiliki nilai-nilai yang adiluhung dan makna filosofi yang tinggi. Nilai-nilai kearifan lokal yang luhur itu dapat
memberikan kontribusi dalam pemerintahan. Banyak nilai-nilai luhur yang berasal dari luar, akan tetapi dipilih nilai-nilai yang tumbuh dan merasuk
dalam daerah emosional dari jiwa para individu yang menjadi warga masyarakat, sehingga nilai-nilai kearifan lokal dalam suatu kebudayaan
tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu singkat. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono X 2008: 27, dalam masyarakat modern sekarang ini memang tengah dibutuhkan nilai-nilai lama kearifan lokal yang
diharapkan bisa memberi jawaban atas kebutuhan masa kini terutama kepemimpinan yang pantas dijadikan suri tauladan.
Masyarakat di Kabupaten Sleman dan KabupatenKota di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sosok suri tauladan yakni Sri Sultan
Hamengkubuwana X yang sampai saat ini menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwana X memiliki
visi yakni bersatu dan merangkul aspirasi masyarakat untuk mengembangkan Daerah Istimewa Yogyakarta demi kesejahteraan rakyat.
Sri Sultan Hamengku Buwana X bersikap netral, dan memang itulah yang diharapkan oleh rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sejak dinobatkan
sebagai Sultan pada 7 Maret 1989, masyarakat sangat berharap sebagai panutan dan pengayom rakyat Sri Sultan Hamengku Buwana X bisa
berdiri di atas semua golongan. Harapan ini memahami makna Hamengku Buwana, yang pada dasarnya menyandang tiga substansi yang bersumber
dari Hamangku, Hamengku dan Hamengkoni.
Sri Sultan Hamengku Buwana X dinilai sangat demokratis dan selalu mengakomodir bawahan disetiap jajaran pemerintahan. Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta tengah dijadikan percontohan bagi provinsi- provinsi lain di Indonesia, agar setiap kepala daerah dapat meninggalkan
jubah partai politik setelah dilantik menjadi kepala daerah. Baik Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, maupun Bupati Kabupaten Sleman dapat
ditemui oleh semua lapisan masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal itu mencerminkan bahwa Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Bupati Kabupaten Sleman memiliki sifat yang mengayomi rakyatnya. Dalam upaya melayani masyarakat, Pemerinah Kabupaten Sleman
selalu berusaha menciptakan suasana yang baik di dalam pemerintahan yakni pamong praja. Pamong berasal dari bahasa Jawa yang kata dasarnya
adalah among. Kata ini serupa dengan momong yang artinya mengasuh, misalnya seperti kata mengemong seorang bayi atau anak berarti
mengasuh anak kecil. Sedangkan praja adalah pegawai pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pamong Praja berarti Pegawai
Negeri yang mengurus pemerintahan Negara. Pegawai Pemerintah baik di Provinsi maupun di Kabupaten Sleman dibekali dengan nilai-nilai karakter
melalui Budaya SATRIYA melalui diklat.
2. Faktor Penghambat dalam Implementasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Produk-produk Hukum Daerah di Kabupaten Sleman
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan
di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan alasan bahwa dengan adanya nilai-nilai kearifan lokal yang luar biasa yang tumbuh dari masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta. Nilai-nilai luhur tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi di dalam pemerintahan, akan tetapi selama
6 enam tahun Peraturan Gubernur tersebut dijalankan, pejabat pemerintahan baik di Pemerintah Provinsi maupun di Pemerintah
KabupatenKota masih ada yang belum memahami dan melaksanakan sepenuhnya kewajiban mereka sebagai pelayan masyarakat.
Sebagaimana hasil wawancara terhadap subjek penelitian, diketahui bahwa dalam implementasi nilai-nilai kearifan lokal dalam
produk-produk hukum daerah selalu diupayakan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman akan tetapi implementasi dari nilai-nilai kearifan lokal
ke dalam produk-produk hukum di Kabupaten Sleman masih secara implisit dan belum secara gamblang.
Nilai-nilai kearifan lokal memang tidak tersurat dalam pasal-pasal secara langsung, tetapi akan tersirat dalam
pasal-pasal setiap produk hukum yang ada di Kabupaten Sleman. Walaupun nilai-nilai kearifan lokal berfungsi sebagai pedoman hidup
manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, nilai-nilai kearifan lokal itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Sebagai contoh dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Kerja Sama
Desa, Kerja sama desa dilakukan dengan prinsip efisiensi; efektivitas; sinergi; saling menguntungkan; kesepakatan bersama; itikad baik;
mengutamakan kepentingan desa dan daerah; persamaan kedudukan; transparansi; keadilan; dan kepastian hukum, di dalam pasal ini
menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai kearifan lokal yakni kebersamaan, saling menghormati, dan integritas.
Selanjutnya melihat dari ketentuan Pasal 5 ayat 1 Peraturan Bupati Sleman Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah, menyebutkan bahwa Musyawarah Perencanaan Pembangunan desa merupakan wahana
partisipasi masyarakat di desa. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat nilai- nilai musyawarah mufakat dan kebersamaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 Peraturan Bupati Sleman Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Rencana Kerja Pembangunan Daerah, menyebutkan bahwa peserta musrenbang desa paling sedikit terdiri atas unsur Pemerintahan Desa,
Lembaga Kemasyarakat Desa, organisasi sosial atau organisasi kemasyarakatan, tim penanggulangan kemiskinan desa, organisasi
keagamaan, tokoh masyarakat, organisasiforum anak yang didampingi aparat SKPD kecamatan, tokoh dan organisasi perempuan setempat.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal yakni, manunggaling kawula gusti, yakni menyatunya rakyat dengan pemerintah,
kebersamaan dan musyawarah mufakat.