Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

11

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Pembentukan angkatan bersenjata di sebuah negara ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat beberapa perluasan peran yang melekat pada angkatan bersenjata. Perluasan ini sangat terkait dengan ideografis dan perkembangan suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh militer dengan multi fungsinya dalam pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan bangsa dan negara yang bersangkutan. Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia Kerterlibatan militer dalam politik sudah menjadi sebuah gejala umum. disamping melakukan fungsi pertahanan, militer juga melakukan fungsi sosial politik, Keterlibatan militer dalam fungsi sosial politik berkaitan dengan kenyataan bahwa negara-negara dunia ketiga umumnya baru mendapatkan kemerdekaan atau dalam upaya membina diri sehingga belum memiliki sistem politik yang stabil dan pemerintahan yang mantap. Disamping itu, pencapaian kemerdekaan yang dilakukan dengan kekerasan senjata dalam melawan penjajah melibatkan unsur militer didalamnya. Dengan demikian, akibat belum stabilnya pemerintahan dan adanya andil militer dalam mencapai kemerdekaan, memungkinkan militer untuk masuk dalam wilayah politik, yang sesungguhnya bukan wilayah militer tetapi wilayah sipil. 1 Namun fenomena campur tangan militer dalam politik ini tidak terjadi di negara- negara yang secara politik, ekonomi, dan sosial yang telah maju dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Di negara-negara maju, militer berada dibawah supremasi sipil. 1 Ulf , Sundhauseen. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta:LP3ES, 1988, hlm 10 Universitas Sumatera Utara 12 Sistem plitik yang telah mapan, pendapatan perkapita yang cukup tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang sangat tinggi, telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya, bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju mundurnya suatu negara. Militer memerlukan dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman yang akan timbul. Begitu juga sipil membutuhkan militer sebagai perlindungan terhadap keamanan. Dalam konteks Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan, konstelasi politik dan maraknya peraturan politik tidak terlepas dari pengaruh keterlibatan kelompok militer. 2 Di Indonesia Keterlibatan militer dalam politik sedikit berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya, dimana militer Indonesia tidak masuk kedunia politik melalui perebutan kekuasaan atau kudeta militer seperti yang lazim terjadi dinegara-negara amerika latin dan beberapa negara Asia, namun keterlibatan militer kedalam dunia politik sangat terkait dengan sejarah terbentuknya militer itu sendiri, pada awalnya militer Indonesia tidak terbentuk secara instan, melainkan membentuk dirinya sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda ataupun Jepang. Perannya dalam mendapatkan kemerdekaan ini membuat militer melakukan kegiatan kesemestaan, tidak hanya bertempur secara fisik akan tetapi juga terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa Indonesia. Penggalan sejarah kemerdekaan ini kemudian menjadikan militer tidak hanya sebagai instrumen pertahanan 2 Arif, Yulianto. Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru: Ditengah Pusaran Demokrasi. Jakarta: Grafindo, 2002. Hlm 1 Universitas Sumatera Utara 13 bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi juga menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan politik Indonesia. 3 Namun selain dari itu, alasan lain yang menguatkan dwifungsi ABRI diantaranya adalah: pertama, argumentasi historis bahwa ABRI lahir dari rakyat, besar bersama rakyat dan berjuang bersama rakyat. mereka dibentuk tidak dalam kontrol pemerintah, ABRI terbentuk dari para pemuda yang berjuang untuk rakyat dan melakukan koordinasi sesuai dengan tujuan bersama, yaitu menyingkirkan penjajah. Kedua, yang dikemukakan untuk membenarkan dwifungsi ABRI adalah mengenai kegagalan pemerintahan sipil dalam mengemudikan roda pemerintahan Negara. Ketiga, mengenai paham Negara integralistik atau Negara kekeluargaan yang menjelaskan bahwa setiap Negara adalah miniatur dari sebuah keluarga inti dimana setiap anggota keluarga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Maka, mustahil memisahkan kedudukan ayah-ibu dan anak. Sehingga antara sipil dan militer hidup berdampingan tanpa perbedaan. Jika ada persinggungan antar keduanya merupakan hal yang sangat wajar. alasan lain yang menyebabkan ABRI ingin berperan di arena politik yakni alasan ekonomi. Menurut Coen Husain Pontoh inilah alasan utama dwifungsi ABRI dalam politik, penguasan ekonomi. Terutama motivasi tersebut dapat membantu dalam pendanaan operasi militer. Jadi dari alasan tersebut bisa dikatakan logis ketika militer dijadikan sebagian dari rakyat, namun permasalahannya tidak terlepas dari militer sendiri bahwa mereka sangat anti demokrasi sehingga dalam bergaul dengan masyarakat sipil sifatnya sangat kaku. Dalam arena politik, konsep demokrasi yang mengedepankan kepentingan umum dan mengedepankan hak asasi manusia tidak terdapat dalam pendidikan militer. 4 3 Soebijono, Dwifungsi ABRI:Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta: Gadjah Mada University Press,1992, Hlm .7. 4 http:id.wikipedia.orgwikiKekuasaan_politik Universitas Sumatera Utara 14 Pada awalnya militer di Indonesia lahir dan berkembangan sebagai militer yang revolusioner dengan konsep ABRI manunggal dengan rakyat, hal ini ditujukan bahwa doktrin Dwifungsi ABRI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem politik Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris, konsepsi doktrin itu telah mengalami pergeseran terutama pada tingkat operasional. Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas pembelaan negara berubah menjadi multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur dan fungsi sistem politik Indonesia. Periode Rezim pemerintahan Orde Lama merupakan fondasi bagi perjuangan militer dalam panggung pertahanan dan politik. Pada periode awalnya ketika sistem pemerintahan parlementer mereka termarginalkan oleh elit pemerintahan sipil begitu pula dengan kepala negara, Soekarno. Akibatnya pada akhir periode ini terjadi pergeseran dari marginalisasi militer dalam politik memasuki era baru yaitu berkuasanya militer dalam sistem politik Indonesia. Penguatan kepentingan ini terjadi dengan tumbangnya politisi sipil terutama kehidupan partai politik dan keterpurukan ekonomi. Disamping itu juga bergesernya aliansi kepentingan presiden dengan parpol terutama PKI ke arah aliansi dengan militer terutama setelah jatuhnya PKI akibat Kudetanya yang gagal. Periode ke dua adalah ketika rezim pemerintahan Orde Baru muncul pada tahun 1966. Periode inilah yang menjadi periode keemasan multifungsi ABRI dengan doktrin Dwifungsi ABRI tersebut. Hampir semua kelembagaan trias politica terkendali dan diduduki oleh militer. Peran aliansi diantara presiden Soeharto dengan militer sangat mendominasi sistem politik Indonesia ini selama kurun waktu 32 tahun. Kehadiran Orde Baru ditopang eksistensi kalangan militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI, khususnya Angkatan Darat AD dengan tokoh utamanya Soeharto yang melenggang ke tangga puncak kekuasaan setelah dirinya mengklaim Presiden Universitas Sumatera Utara 15 Soekarno telah memberikan mandat pemulihan keamanan, yang dikenal dengan Supersemar Surat Perintah 11 Maret. Desain politik Orde Baru merupakan desain politik yang didalamnya memberikan peluang amat dominan bagi militer untuk intervensi ke segala sektor kehidupan, terutama sektor birokrasi dan politik. Militer masuk ke wilayah politik praktis secara terang-terangan lewat Golongan Karya Golkar. sejarah Golkar dimulai dengan penugasan anggota-anggota ABRI, khususnya Angkatan Darat dalam lembaga pemerintahan dan lembaga perwakilan. 5 Pada masa Orde baru Dwifungsi hadir dalam dua wajah yaitu Dwifungsi teritorial dan struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten kota, kecamatan sampai kelurahan desa. Mendagri adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden. Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari DephankamMabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan Panglima TNI adalah pengendali utama hirarkhi militer yang bertanggungjawab pada presiden. Militer juga terlibat dalam pengendalian pemerintahan di tingkat kabupaten dengan tampil dalam Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan. Di kecamatan juga ada Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat. Dwifungsi skruktural hadir dalam bentuk kekaryaan TNIPolri atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil. Hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer baikdi wilayah eksekutif dari gubernur sampai dengan lurah kepala desa maupun legislatif MPR, DPR sampai DPRD II. Sebagai contoh dari Dwi Fungsi ABRI adalah pada jabatan Wakil Gubernur Timor-timur adalah Kolonel Infantri Suryo Prabowo, Bupati covalima Kolonel Infantri Herman Sediono. Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan 5 Arif, Yulianto. Ibid. Hlm 244 Universitas Sumatera Utara 16 Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas politik dan sosial. Dwifungsi ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi juga sampai bidang ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa premanisme. Dwifungsi menjadi ancaman serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Kerangka analisis ini bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang justru mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu karena diikuti dengan matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi lemah. 6

I.2. Perumusan masalah