19
Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Pelmutter membatasi konsep militer hanya
kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik tidak memandang kapangkatan, apakah perwira tinggi,
menengah atau pertama
10
. Kemudian Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personal militer, lembaga militer, atau hanya perwira senior.
11
Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri seperti Letjen TNI Purn Sayidiman Suryahardiprojo
12
mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.
Sedangkan Hardito membatasi pihak militer ditekankan pada perwira professional.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang
pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu yang menduduki posisi dalam organisasi militer.
I.6.2 Orientasi militer
Tipe-tipe orientasi militer berbeda di setiap negara, tergantung bagaimana pihak militer dalam pemerintahan, selain itu juga tergantung sistem politik yang dianut negara
tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik sendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya, menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara
10
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal.25
11
Elliot A. Cohan. “Civil Millitary Relation in Contemporary World”, Dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil Militer, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru
Hubungan Sipil Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999
12
Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan-Sipil Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta: FISIP UI, 1999
Universitas Sumatera Utara
20
modren, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang di lembagakan, yakni:
13
1. Militer profesional
Militer profesional adalah militer yang memegang teguh fungsi pertahanan-kemanan, mempunyai keahlian dalam menggunakan senjata, setia pada negara bukan pada pemerintah
atau komandan, punya jiwa korsa yang kuat, dan punya etika militer yang kuat. Etika ini mementingkan ketertiban, hirarkhi dan pembagian tugas serta pengakuan atas nation-state
sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Negara yang kuat jika ada kekuatan militer yang kuat, tetapi kekuatan militer ini adalah perangkat negara. Dalam tubuh militer tidak perlu ada
demokrasi, misalnya dalam bentuk perdebatan terbuka antara komandan dan prajurit.
Seorang ilmuan politik Amerika, Samuel P. Huntington berpandangan bahwa perubahan korps perwira militer dari bentuk “penakluk” warrior menjadi kelompok
profesional ditandai dengan bergesernya nilai dari “tentara pencari keuntungan” menjadi “tentara karena panggilan suci” contohnya pengabdian kepada Negara. Huntington
memberikan elaborasi tentang tumbuhnya profesionalisme militer, menurutnya memiliki tiga ciri sebagai berikut :
14
1. Keahlian, Suatu kekuatan militer memerlukan pengetahuan yang mendukung
untuk mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya baik dalam keadaan perang maupun damai.
2. Tanggung jawab sosial yang khusus, Seorang perwira militer disamping memiliki
nilai-nilai moral yang tinggi yang terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai
13
Amos Perlmutter, Ibid, hal.141
14
David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba Rezim Militer 1975-1983, Jakarta: Komunitas Bambu, 2010, hal.266
Universitas Sumatera Utara
21
tanggung jawab pokok kepada negara. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat itu seorang perwira seolah-olah “milik pribadi” komandannya dan harus setia
kepadanya. Pada masa profesionalisme seorang perwira berhak mengoreksi komandannya jika sang komandan bertentangan dengan kepentingan negara
national interest. 3.
Karakter koorporasi corporate character yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat, Berbeda dengan kelompok profesional yang lain, korps perwira militer
merupakan suatu “birokrasi profesional” yang anggota-anggotanya mengabdi pada birokrasi negara, tapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara korps
perwira merupakan unit sosial yang otonom, yang memiliki kemandirian dalam birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, kebiasaan, dan tradisi.
Ketiga ciri tadi melahirkan yang Huntington sebut dengan “The Military Mind” yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Inti The Military Mind adalah suatu ideologi
yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Huntington menganggap intervensi militer dalam politik sebagai tanda adanya pembusukan politik
political decay. Bagi Huntington, yang menekankan pembangunan politik melalui lembaga- lembaga politik, intervensi militer paling banyak dapat diterima jika merupakan suatu periode
transisi dalam usaha menciptakan lembaga-lembaga politik yang kuat. Selain itu Amos Perlmutter mengetengahkan bahwa disamping kondisi-kondisi yang
telah dikemukakan oleh Huntington, ideologi, profesionalisme keterampilan, dan semangat koorporasi terdapat pula kondisi lain yang ikut mendukug kelanjutan tentara profesional,
kondisi pertama adalah semakin kuatnya negara sekuler, yakni negara yang yang bebas dari dominasi agama , kelas, dan kasta sehingga rekruitmen perwira militer tidak mengalami
stagnasi karena persaingan primordial. Sehubungan dengan kondisi pertama maka kondisi kedua adalah mutlak perlunya mobilitas sosial bagi perwira militer berdasarkan kemampuan
Universitas Sumatera Utara
22
dan keterampilan tanpa disangkut pautkan dengan latar belakang primordialnya. Permutter melihat bahwa model tentara profesional lebih mungkin dicapai pada negara yang
berkebudayaan homogen dan sekuler ketimbang negara yang majemuk dan tradisional. 2.
Militer praetorian
Militer pretorian adalah militer yang lebih suka berpolitik atau menjalankan aktivitas ekonomi, ketimbang mengurusi pertahanan. Militer aktif yang jadi menteri, parlemen, kepala
daerah, atau menjalankan bisnis adalah militer pretorian, alias militer yang tidak punya etika profesional. Sebagai contoh, seorang kolonel aktif yang jadi bupati akan mempunyai
tanggungjawab ganda, yang satu ke publik dan yang lain ke jenderal yang lebih tinggi. Sehingga untuk memberhentikan bupati bermasalah, harus memperoleh izin dari panglima
TNI. Seorang tentara tetap boleh menjadi pejabat politik, tetapi ia harus lepas identitas militernya sampai di titik nol atau sampai tidak lagi berhubungan dengan komando dan
organisasi militer.
Samuel P. Huntington mengemukakan Militer pretorian yaitu militer melakukan politisasi di seluruh kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya, bahkan akhir dari ujung
politisasi yang dilakukannya menciptakan atau membangun masyarkat praetorianisme, sehingga lembaga-lembaga politik menjadi tidak efektif baik dalam mensikapi perubahan
ataupun dalam upaya-upaya merumuskan kebijakan serta pada tindakan-tindakan politik. Pada aspek sistem politik, partai-partai politik yang terdapat tidak memiliki prosedural dan
otoritas dalam pemecahan konflik-konflik, yang biasanya selalu memunculkan pragmentasi kekuasaan. Pragmentasi ini oleh Huntington dibagi ke dalam tiga jenis pragmentasi rezim
pretorian yakni pretorian oligarkis, radikal dan bersifat massa.
Universitas Sumatera Utara
23
Praetorian yang oligarkis adalah kaum militer bekerja sama dengan pemilik tanah yang luas dan pemimpin-pemimpin agama, dan di luar mereka hampir-hampir tidak ada
organisasi yang diperbolehkan berkembang. Adapun mengenai pretorian radikal sering lahir dari pretorian yang oligarkis, pelopornya adalah perwira-perwira reformis dan nasionalistis
yang berasal dari golongan menengah, yang mendambakan modernisasi dan pembangunan ekonomi. Aliansi kaum militer pretorian radikal dibangun dengan kelompok-kelompok
profesi dan intelektual serta kadang dengan kaum buruh. Pretorian radikal ini yang melahirkan pemerintahan korporatis. Bentuk ketiga pretorian yang bersifat populis, umumnya
didukung oleh buruh, mahasiswa dan kelompok menengah. Namun dalam bentuk ketiga, Huntington melihat suatu paradoks dimana kaum militer akan menjadi penjaga yang
konservatif dari rezim populis untuk pada akhirnya menggulingkan dan merebut kekuasaannya.
3. Militer revolusioner professional
Militer revolusioner professional mempunyai pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan
kelompok-kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang illegal yang beroprasi secara
sembunyi, dan dilancarkan untuk mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dan dukungan
kelembagaan secara besar-besaran.
Tentara revolusioner pretorian bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Tentara revolusioner tidak mengenal
adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut
Universitas Sumatera Utara
24
bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya.
I.6.3 Batasan Sipil