dengan daya tampung 50kg, dan rume anyaman yang berbentuk seperti karung yang digunakan untuk menampung padi atau beras sampai 12 ton, sedangkan
anyaman yang lain yang terbuat dari kulit bambu yaitu kodo manu sangkar ayam, k’pe tempat sirih pinang yang juga bisa menyimpan barang lain seperti
uang dan sosa perangkap ikan. Hasil kerajinan tangan yang lain lagi misalnya fego sendok yang terbuat dari kayu, bambu atau tempurung kelapa dll
Wawancara Djawanai, 5 Januari 2013.
2.6 Mitos Asal-Usul Tradisi Reba
Pada zaman dahulu ada seorang petani yang bernama Sili pergi mencari air. Ia membawa wadah pengambil air yang disebut bhoka. Dalam perjalanan tersebut,
Sili menemukan suatu tanaman yang begitu rimbun yang merambat pada sebatang pohon Reba. Sili mengamati, menelusuri dari ujung hingga ke pangkalnya, tanah
di sekitarnya retak atau terbelah. Sili memotong sebatang aurbambu guru butu melancipkan ujungnya dan mencoba menggali. Ia menemukan sebuah umbi yang
begitu besar dan panjang yang dalam bahasa Ngadha disebut uwi. Sili kembali membawa ubi dan air, ubi tersebut dipotong-potong, 4 potong disisihkan untuk
ditanam kembali, sedangkan yang lain direbus lalu ubi dimakan berlaukkan kelapa kukur.
Keempat potong yang disisihkan ditanam pada sebidang tanah kecil yang berukuran kira-kira 2x2 m. Bidang tanah tersebut diberi nama mata tewi. Sisi
mata tewi dibatasi dengan potongan kayu Reba sebanyak 3 potong sehingga seluruhnya berjumlah 12 potong. Pada salah satu sudut bagian kiri ditanami tebu,
sedangkan pada sudut kanan ditanami pisang. Pada bagian tengah diletakan tempurung kelapa yang sudah diikat kembali dengan sabutnya. Kelapa merupakan
simbol manusia pemiliknya yaitu Sili. Keempat potong ubi ditanam pada keempat sudut mata tewi bagian luar,
tongkat penopangnya ialah kayu pohon Reba. Batang kayu Reba tidak bisa bertunas lagi, maka ubi bertumbuh subur, setelah ditanam mereka belum tahu
persis berapa lama ubi itu akan berisi. Yang diingat ialah pada saat menanam ubi, posisi bulan adalah tegak lurus wula neno Wae Roa yang artinya bulan
bercermin pada kali yang bernama Wae Roa. Pada bulan berikutnya ketika bulan pada posisi seperti di atas, mereka terus mengamatinya. Sampai dengan 12 kali
atau 12 bulan barulah terlihat bahwa ubi itu berisi dan dapat menggalinya untuk dimasak dan dimakan. Ubi yang digali dapat disimpan lama, bila dilepas begitu
saja ia dapat bertunas. Ubi tidak bertunas lagi bila disimpan di dalam bambu tuku leko atau disimpan dalam dhoka uwi tempat penyimpanan dalam tanah. Hingga
kini pelestarian ubi mata tewi tetap dipelihara dan dilestarikan. Setiap suku memiliki tempat untuk mata tewi. Ubi mata tewi inilah yang dipakai pada upacara
Reba selain ditanam di dalam kebun. Aur guru butu yang dipakai Sili untuk menggali ubi hingga kini dijadikan simbol su’a, baik su’a uwi maupun su’a sa’o.
Su’a artinya tova atau tajak. Su’a uwi merupakan simbol bidang tanah untuk pekerjaan berladang, bertani, seperti terungkap pada syair berikut ini: “ su’a uwi
sewunga wi dua uma, sewunga wi jaga nua,da kedha zele mataraga kedhi bhanga wi noa zanga” artinya tova ubi, sebatang untuk ke kebun, sebatang untuk menjaga
kampung yang diletakan di atas mataraga, agar semua keturunan dapat melihatnya.
Selanjutnya diceritakan bahwa Sili membagi potongan ubi ke mana-mana untuk ditanam dan dikembangkan. Sili mengatur semuanya itu agar selalu
diulang, diperingati, maka dikemaslah dalam bentuk adat kebudayaan Reba. Dalam perayaan Reba, ubi sebagai simbol seluruh tanaman, budaya, dan
kehidupan bagi masyarakat Ngadha, yang diungkapkan secara puitis sebagai berikut:
Uwi meze go lewa laba : Ubi sebesar gong, sepanjang
gendang Lobo wi so’i Dewa
: Pucuk menjulang kepada Tuhan
Kabu nga role nitu :
Akar tertanam memeluk Dewa Bumi Ladu wai poso
: Kayu penyangga poso nama gunung Koba rako lizu
: Rambatnya mencapai langit
Uwi sedu peka rua wali : Ubi tetap bertumbuh tunas
Kutu koe dhano ana koe: Meski digali babi landak, tetap selalu
ada Hui moki, moki bhai moi:
Meski disungkur babi hutan tak akan habis.
Makna simbolisnya: sumber kehidupan tidak akan habis, suatu budaya tidak akan punah, manusia pendukungnya tetap berkembang biak bersama alam
lingkungannya, begitu besar dan tinggi maknanya.
Teks Tuturan 3 Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh
Bapak Fransiskus Dhosa 61 tahun, Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha.
Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba 23 tahun
Dari mitos asal-usul tersebut, tokoh utamanya adalah Sili orang pertama yang menemukan tanaman ubi Reba, dan sekaligus perintis kebudayaan Reba
melalui tanaman ubi yang ditemuinya. Alur cerita tersebut adalah alur maju, karena menceritakan peristiwa dari awal sampai akhir cerita. Sedangkan latar
tempat terjadinya peristiwa tersebut yaitu di daerah Kabupaten Ngadha. Selama pesta Reba, tanaman ubi disanjung-sanjung, dipuja-puja seperti
terungkap dalam syair di atas. Ubi dihias dengan daunnya, diikat gabung dengan sebatang aurbambu sepanjang 50 cm kemudian diikat pakai ijuk dengan syarat
harus tiga kali lilitan, dan diarak-arak keliling kampung. Secara tersirat Reba merupakan sebuah upacara ritual adat pada
masyarakat Ngadha untuk mengingat kembali amanat yang telah ditinggalkan oleh Sili Ana Wunga, pionir pertama penyelenggara budaya Reba, atau peletak
perayaan adat Reba. Pesta adat Reba sangat spesifik, sebab sukunya masing- masing secara bergiliran perdesa mengadakan upacara tersebut secara bergantian
sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Selama perayaan Reba, tanaman ubi disebut-sebut, disanjung-sanjung, dan dipuja-puji oleh masyarakat yang
menyelenggarakan upacara tersebut Djawanai, 5 Januari 2013. Berkaitan dengan Reba sebagai suatu budaya, ada beberapa pengertian
yang pernah dikemukakan:
Daeng 2000, menamakan Reba sebagai perayaan tahun baru tradisional pada sub kelompok etnik Bajawa, lebih lanjut Daeng menjelaskan masa waktu
selama upacara Reba disebut waktu sakral, suci atau tempus sacrum karena orang yakin bahwa dahulu telah terjadi peristiwa yang membawa keberuntungan atau
kebahagiaan bagi seluruh anggota kelompok etnik. Pada masa itu ada hal-hal yang dianggap tabu atau pemali, bila dilanggar akan menimbulkan malapetaka.
Reba adalah upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun sesuai kalender adat dimulai dengan Reba Bena pada akhir Desember dan berakhir pada bulan
Februari yaitu Reba Loga. Upacara ini merupakan upacara ritual yang selalu dinantikan karena semua anggota keluarga dari seluruh penjuru datang berkumpul
di rumah adat merayakan Reba secara bersama-sama. Upacara Reba terdiri atas 3 rangkaian upacara, yaitu: Kobe Dheke, O Uwi, dan Su’i Uwi yang dilaksanakan
selama 2 sampai 3 hari atau lebih Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.
2.7 Rangkuman : Asal-Usul Tradisi Reba dalam Konteks Sejarah dan Budaya Ngadha