Makna Historis Makna Ritual Reba bagi Masyarakat Ngadha

sesama. Adapun penjelasan dari dua makna yang terkandung dalam upacara Reba, sebagai berikut ini:

4.2.1 Makna Historis

Orang pertama yang ada di Ngadha dari proses pelayaran yang panjang adalah Teru dan Tena yang melahirkan seorang anak yang bernama Sili. Tokoh Sili inilah yang selalu dikenang dalam upacara Reba karena kesuksesannya dalam menanam ubi yang pada saat itu merupakan makanan utama bagi Masyarakat Ngadha. Keberhasilannya itu tidak diperoleh dengan begitu saja, tetapi melewati proses yang panjang dan keharusan membagi dengan orang lain. Tuturan lisan su’i uwi dan o’uwi dalam pesta adat Reba ini, mengisahkan tentang asal mula orang Ngadha mulai dari Saylon sampai tanah Jawa, kemudian menuju Sumba, dan berakhir di Ngadha. Penutur su’i uwi pemotongan ubi dan o’uwi wejangan berlangsung pada malam hari sekitar pukul 20.00 seluruh anggota klan dari suatu rumah adat berkumpul untuk mendengarkan ungkapan dari ketua adat. Para wanita tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam rumah, sedangkan yang laki-laki, baik yang tua maupun yang muda bahkan anak-anak diharuskan untuk masuk ke dalam rumah adat. Sebelum penuturan dimulai, ketua adat memberikan peringatan kepada para warga agar menyiapakan diri dengan baik dan mempersilahkan untuk membuang air kecil maupun besar dan makan sirih sebelum acara dimulai, karena selama proses penuturan berlangsung, semua warga harus mendengar dengan penuh hikmat dan tidak diperbolehkan untuk keluar atau membuat sesuatu hal yang lain selain mendengarkan tuturan. Bila ada yang melanggar aturan ini maka orang tersebut akan sakit, dan juga akan terjadi musibah kelaparan. Berikut ini akan dipaparkan tuturan adat su’i uwi sebagai ajaran pokok orang Ngadha untuk mengenang para leluhurnya: a. Cuplikan Pertama. Pu’u zili giu : Dari tempat yang sangat jauh Pu’u zili gema : Dan sangat gelap Su’i Uwi, O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili meko da tere : Terdapatlah sumber terang Tolo dara sa ulu roro : Dari atas yang memberi sinar kehidupan ke segala penjuru Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Dia nenga jo jo dia : Semakin dekatlah datangnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajaranya Da lete wi go koba leke: Dengan menerobosi hutan belantara Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili selo one : Telah tibalah di Selo Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da pakogha ne’e rajo: Telah dibuatnya sebuah kapal Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da wake gha : Telah ditegakan Dhapi mangu : Tiang agung perahunya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da webha gha : Disana dibentangkan Dhapi laja : Layar perahunya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da teki gha watu : Telah diangkat jangkarnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili dha keso gha nee uki: Telah di putar haluannya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da keso go uli molo: Putarlah haluan dengan tepat Su’i O U wi : Itulah pokok ajarannya Zili mesi mite : Telah di tengah lautan Zili laja nga rie-rie : Layar sayup-sayup kelihatan Su’i O U wi : Itulah pokok ajarannya Dia nenga jo jo dia : Telah kian kemari datangnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Uraian: Syair tersebut dapat diartikan sebagai serangkaian perjalanan secara utuh sebagai berikut: Dari tempat yang sungguh-sungguh gelap itu terbitlah terang yang menyinari kehidupan keseluruh penjuru dunia. Sinar penuntun itu bergerak semakin mendekat sambil menerobosi hutan belantara yang lebat. Mereka tiba disuatu tempat yang bernama Selo. Disana mereka mengerjakan sebuah perahu besar dengan tiang agungnya. Setelah layarnya dipasang, sauhnya diangkat, mereka pun berlayar mengarungi lautan lepas, sambil jurumudinya menentukan haluan arah yang tepat. Mereka berlayar semakin mendekat menuju ketempat tujuan mereka. Pada baris pertama dan kedua dalam ajaran pokok disebutkan pu’u zili giu, puu zili gema berarti berasal dari kejauhan yang gelap. Pada baris ketiga dan keempat disebutkan meko da tere tolo da dara sa ulu roro berarti berasal dari sumber terang yang terpancar dari atas menyinari seluruh dunia dan segi-segi kehidupan manusia. Tuturan tersebut mempunyai makna bahwa dari keadaan yang gelap gulita, mereka dipimpin dan dibimbing oleh sumber terang, terang itu yang menghantar mereka berpindah. Ada proses perpindahan dari satu tempat ke tempat lain Dia nenga jo jo dia, kini sudah semakin dekat datangnya, menunjukan bahwa ada suatu proses perpindahan yang melewati dan menerobos hutan belantara. Kedua peristiwa tesebut sudah menunjukan bahwa biarpun masih samar- samar, namun jelas ada sekelompok orang yang berani mengambil resiko mengarungi lautan dan menerobosi hutan belantara. Lalu mereka tiba pada suatu tempat yang mereka namakan Selo. Disitu mereka mengerjakan sebuah perahu serta dilengkapi dengan segala keperluan pelayaran seperti tiang agung perahu, tiang layar, sauh, dan dayung. Mereka berlayar menuju ke tempat yang sungguh menjadi tujuan mereka. Ada unsur-unsur kepemimpinan dalam pengembaraan itu. Dari bait tersebut sudah jelas ada pemimpin-pemimpin yang membangun perahu, memimpin perjalanan atau mengemudi perahu, mengarungi lautan menuju arah atau tujuan yang tepat, walaupun namanya tidak disebutkan. Yang jelas ialah bahwa ada Mosa pemimpin yang disebut Mosa Ana Koda nahkoda yang memimpin pelayaran, ada Mosa Keso Uli, Tange Dala jurumudi yang mengemudikan perahu berdasarkan sinar bintang penunjuk arah. Nahkoda dan jurumudi adalah pemimpin dan pendamping yang punya pendirian dan berani mengambil keputusan yang baik dan tepat serta tahu tugas yakni mengatur jalannya perahu di laut serta pemimpin kelompok. Jadi jelaslah bahwa Mosa Keso Uli Ana Koda adalah pemimpin kelompok. Orang Ngadha mengenal ajaran pokoknya yakni su’i uwi yang diperingati tiap tahunnya serta mengenal pula pemimpin yang disebut Mosa Keso Uli Ana Koda. Berikut ini akan dipaparkan tuturan adat su’i uwi sebagai ajaran pokok orang Ngadha untuk mengenang para leluhurnya: b. Cuplikan kedua Zili Jawa one : Sudah berada di Jawa Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Da na na peti : Berhenti sejenak Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Dia da pole gha laja : Telah digulung layarnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da kolu gha watu : Telah diturunkan jangkarnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da papa maga : Telah menikah dengan Gha nee bu’e Jawa : Gadis Jawa yang suka damai Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da webha gha : Layar pun dikembangkan lagi Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili teki gha wali watu: Jangkarpun diangkat kembali Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili pedha gha wali tuku: Sudah dirangkul lagi kayuh Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili keso gha wali uli : Sudah diputar haluan yang tepat Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili mesi mite : Sudah ditengah lautan lepas Zili laja nenga rie-rie : Layarnya samar-samar kelihatan Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Dia nenga jo jo dia : Semakin kemari datangnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili Raba one : Tiba di Raba Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Da na na peti : Berhenti sejenak Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da pole gha laja : Menggulung kembali layarnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da kolu gha watu : Sudah diturunkanya sangkar Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili da ghale gha hae : Sudah ada bibit jagung yang disiapkan Zili da dhada gha : Sudah menikah dengan Ne’e Bu’e Raba : Gadis Raba Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Uraian : Dari syair-syair tersebut menunjukan adanya singgahan-singgahan sementara dalam pelayaran itu dan terang dari atas tetap mengarahkan dan menunjukan jalan kepada jurumudi yang mengikuti bintang sebagai penunjuk arah. Bintang penunjuk arah semakin menguatkan semangat yang diisyaratkan dalam perjalanan mereka menuju ketempat tujuannya. Dalam perjalanan yang jauh itu terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu: Da papa magha gha ne’e Bue Jawa, secara harafiah berarti menikah dengan gadis Jawa yang suka damai. Eksistensi dari pernikahan dangan gadis Jawa tersebut mempunyai bukti hingga kini terdapat monumen sejarah di kecamatan Aimere bernama Bo Jawa Meze yang berarti kampung Jawa besar serta berada di rumah adat Ratu Jawa di Mangulewa yang berasal dari kelompok Raghi Meze dan kelompok Jawa yang berada di kota Bajawa ibu kota dari Kabupaten Ngadha. Begitu juga dalam bait Dhada gha ne’e bu’e Raba, yang berarti membawa lari gadis kawin lari dengan gadis dari Raba Bima, mempunyai bukti yaitu monumen berupa rumah adat yang benama Bu’e Raba atau Milo Raba yang berarti gadis Raba atau yang suci dari Raba dari satu kesatuan hukum adat yang disebut kelompok Raba di Desa Foa, kecamatan Aimere. Selanjutnya dengan ungkapan Da ghale gha ne’e ngawo sae yang berarti telah membawa serta bibit jagung, terbukti di Kabupaten Ngadha di kenal dengan jenis makanan yang berasal dari jagung yang disebut Sae Bima. c. Cuplikan ketiga Zili da webha gha wali laja : Telah dibentangkan lagi layar Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili teki gha wali watu : Jangkarpun diangkat kembali Zili da peda gha wali tuku : Telah dirangkul kayunya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili keso gha wali uli : Sudah diputar haluan yang tepat Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Zili mesi mite ` : Sudah ditengah lautan lepas Zili laja nenga rie-rie : Layarnya samar-samar kelihatan Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Dia nenga jo jo dia : Semakin kemari datangnya Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Lau mai Wio : Telah tiba di Sumba Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Lau da wito gha ne’e : Telah menikah dengan gadis Sumba Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Lau da kati gha ne’e : Dibawa serta dengan Li’e maghi : Buah lontar Su’i O Uwi : Itulah pokok ajarannya Uraian: Dari syair-syair tersebut mengatakan bahwa perjalanan mereka masih di pimpin jurumudi Ana Koda yang berpedoman pada terang bintang penunjuk jalan menuju tempat tujuan. Satu hal lain yang penting yang punya eksisetensi lanjutannya sampai sekarang dan membutuhkan penjelasannya yakni: Da wito gha ne’e Bu’e Wio, yang berarti mengajak bersama pergi dengan gadis Sumba, yang mengandung pengertian menikah dengan gadis Sumba dan mereka membawa serta bibit lontar. Jadi dalam perjalanan kehidupan orang Ngadha, selain orang inti, juga keturunannya telah menikahi dengan gadis Jawa, Raba, dan terakhir dengan gadis Sumba, yang semuanya itu dituturkan lewat tuturan Su’i Uwi pemotongan ubi yang diadakan sehari sebelum peryaan Reba. Selama penuturan su’i uwi dan o’uwi berlangsung semua dalam keadaan duduk bersila. Sang ketua adatpenutur memakai pakian adat, sedangkan para warga tidak diharuskan memakai pakian adat, kecuali untuk tuturan O’Uwi, para penutur dan warga diharuskan memakai pakian adat, karena para wargapendengar diharuskan menari, dan tarian yang ditarikan adalah O’ Uwi. Dalam melakukan tarian ini, perempuan memegang tuba alat yang di buat dari bambuaur yang dipasang dengan bulu ayam atau bulu kuda di tangan dan sapu tangan atau bulu ayam di sebelah kiri. Tarian ini dilakukan dalam bentuk lingkaran, dan siapa yang hendak bersyair diharuskan maju ke tengah lingkaran dalam bentuk kelompok 2-4. Proses ini dilakukan secara bergantian oleh laki- laki dan perempuan. Alat dan perlengkapan yang digunakan dalam proses penuturan ini adalah: 1. Tanaman ubi yang lengkap dengan batang, daun, buah, dan akar ubi rambat 2. Pisau adat Sau Ga’e 3. Buah pinang yang lengkap dengan kelopaknya. 4. Daun sirih 5. Batang bambu kecil aur 6. Moke yang dituangkan dalam tempurung kelapa yang sudah dibersihkan. Ubi yang telah disiapkan akan di potong-potong selama proses penuturan berlangsung. Pemotongan ini dilakukan pada saat sang penutur menyebutkan setiap daerah yang disinggahi para leluhur, sehingga potongan-potongan ubi ini mewakili setiap daerah persinggahan. Pisau digunakan untuk memotong ubi. Pisau ini hanya khusus dipakai untuk memotong ubi dan tidak boleh untuk memotong sembarang benda. Buah pinang, dikunyah bersama daun sirih dan ditaburkan pada daun ubi. Batang bambu digunakan sebagai penolak hal-hal yang bersifat negatif. Bila ada yang sakit pada saat itu, maka ketua adat akan menggosokan batang bambu itu kepada sekujur tubuh penderita, dan secara ajaib, orang yang sakit itu sembuh dengan seketika, sedangkan moke adalah minuman khas daerah Ngadha sehingga pada setiap upacara adat moke harus selalu ada. Teks Tuturan 7 Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh Bapak Fransiskus Dhosa 61 tahun, Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha. Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba 23 tahun

4.2.2 Makna Persaudaraan