BAB II ASAL-USUL TRADISI REBA
DALAM KONTEKS SEJARAH DAN BUDAYA MASYARAKAT NGADHA
2.1 Pengantar
Reba adalah satu upacara ritual yang berkaitan dengan pertanian tradisional pada masyarakat Ngadha. Budaya Reba merupakan kompleksitas nilai-
nilai sosial, filosofis, religius, moral, kesenian, rekreatif, ekonomi, hukum, pelestarian lingkungan serta gagasan vital dari keyakinan yang mampu mengatur
pelaku masyarakat pendukungnya baik dalam kehidupan sosial atau lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Budaya Reba merupakan pedoman bagi
masyarakat Ngadha untuk berinteraksi dalam komunitas sosial maupun interaksi dengan lingkungan alam sekitarnya Veronika Ulle Bhoga, 2005: 19.
Memahami tradisi Reba secara mendalam tidak mungkin di pisahkan dari konteks sosial budaya masyarakatnya. Untuk itu dalam bab ini akan di paparkan
hal-hal mengenai, data demografis Kabupaten Ngadha, sejarah asal-usul Kabupaten Ngadha, sistem kepercayaan masyarakat Ngadha, kesenian daearah
Kabupaten Ngadha, asal-usul upacara Reba, dan di akhiri dengan sebuah rangkuman.
9
2.2 Data Demografis Kabupaten Ngadha 2.2.1 Letak Geografis Kabupaten Ngadha
Kabupaten Ngadha adalah salah satu dari sekian banyak kabupaten yang ada di Propinsi Nusa Tenggara Timur, di bagian tengah Pulau Flores. Secara
geografis Kabupaten Ngadha terletak pada, koordinat 8º Lintang Selatan sampai dengan 9º Lintang Selatan, dan 120º45’ sampai dengan 121º50’ Bujur Timur.
Dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut: di sebelah Utara dengan laut Flores, di sebelah Selatan dengan laut Sawu, di sebelah Timur dengan Kabupaten
Nagekeo, dan di sebelah Barat dengan Kabupaten Manggarai Timur. Di daerah Kabupaten Ngadha beriklim tropis, dan mempunyai dua musim yakni: musim
hujan dari Bulan Oktober sampai Bulan April dan musim panas dari Bulan Mei
sampai Bulan September.
Rangkaian pegunungan dan perbukitan merupakan kekhasan topografi Kabupaten Ngadha. Gunung-gunung yang terkenal yaitu: Gunung Ebulobo 2.149
m, Gunung Inerie 2.245 m, Gunung Lobobutu 1.800 m, dan Gunung Inelika 1.631 m. Kabupaten Ngadha memiliki flora dan fauna yang bervariasi.
Panorama yang indah, adat istiadat dan kebudayaan yang unik merupakan obyek wisata yang dapat dinikmati. Sumber
http:www.ngadakab.go.id , di unduh
tanggal 23 maret 2013.
2.2.2 Bahasa dan Budaya Kabupaten Ngadha
Wilayah Kabupaten Ngadha terdiri dari sepuluh kecamatan, yaitu: Kecamatan Aimere, Kecamatan Bajawa, Kecamatan Bajawa Utara, Kecamatan
Golewa, Kecamatan Golewa Selatan, Kecamatan Riung, Kecamatan Riung Barat, Kecamatan So’a, Kecamatan Wolomeze, dan Kecamtan Jerebuu.
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di Kabupaten Ngadha adalah bahasa Ngadha. Dalam kebudayaan Ngadha, rumah adat merupakan
peranan penting dalam pola kemasyarakatan. Kabupaten Ngadha juga memiliki 3 suku besar, yaitu suku Bajawa, suku So’a, dan suku Riung. Masing-masing suku
ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih dipertahankan sampai saat ini, seperti rumah adat, dialek yang berbeda satu sama lainnya, tarian, pakian adat,
dan lain-lain. Walaupun bahasa dan kebudayaan antara satu kecamatan dengan
kecamatan lainya berbeda, masyarakat Ngadha pada umumnya masih mempercayai Madhu dan Bhaga sebagai simbol persatuan nenek moyang
masyarakat Ngadha. Sumber http:www.ngadakab.go.id
, di unduh tanggal 23 maret 2013.
2.2.3 Ekonomi Masyarakat Ngadha 2.2.3.1 Perikanan
Kabupaten Ngadha memiliki wilayah perairanlaut yang sangat potensial baik di pantai utara yaitu Laut Flores Kecamatan Riung, maupun pantai laut
selatan yaitu Laut Sawu, yang terletak di Kecamatan Golewa dan Kecamatan Aimere. Kekayaan laut yang utama yaitu ikan, lobster, rumput laut, dan mutiara.
Sumber daya perikanan dan kelautan di Kabupaten Ngadha terdapat pada garis pantai sepanjang 219 km dengan rincian sebagai berikut: pantai utara 105 Km,
dan pantai selatan 114 Km. Sesuai PP nomor 25 tahun 1999, luas laut yang menjadi kewenangan Kabupaten hanya mencapai 4 mil laut.
Luas wilayah perairan laut sebesar 344.363 Ha dengan potensi lestari sebanyak 10.334,82 tontahun yang terdiri atas potensi ikan pelagis sebanyak
6.717,63 ton, dan ikan demersal sebanyak 3.617,18 ton. Sampai dengan tahun 2000 tingkat pemanfaatannya baru mencapai 55,51 ton sisanya, dan perairan
umum serta budidaya, dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan RTP sebanyak 1.101 Rumah Tangga yang terdiri dan 989 Rumah Tangga Perikanan Nelayan,
dan 131 Rumah Tangga Perikanan Budidaya. Dan jumlah tersebut yang berstatus sebagai Nelayan Penuh sebanyak 265 orang dan 176 orang sebagai Nelayan
Sambilan. Sumber http:www.ngadakab.go.id
, di unduh tanggal 23 maret 2013.
2.2.3.2 Pertambangan
Potensi pertambangan yang terdapat di Kabupaten Ngadha, adalah sebagai berikut : BesiMangan terdapat di Mbong Milong- Riung dengan luas area
1.359 Ha. Emas terdapat di Desa Rawangkalo, Wangka, Lindi dengan luas area 1.177.100 Ha 5.789 ton. Perak, Belerang terdapat di Desa Mataloko, dengan luas
area 30 Ha. Tembaga 33.088 , Pasir, Besi dengan luas area 65 Ha, terdapat di Desa Naru dan Aimere, Tanah Liat yang terdapat di Desa Bomari-Langa dengan
luasnya 30.512.619 M3. Marmer terdapat di Kecamatan Sambinasi, Rawangkalo, Wangka sebanyak 15.452.336 M3, Granodiort 339.000.000 M3, Zeolit
266.721.653 M3, Batu Permata 12, Permata 1.00.000 M3. Sumber http:www.ngadakab.go.id
, di unduh tanggal 23 maret 2013.
2.2.3.3 Perkebunan
Kabupaten Ngadha memiliki potensi perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa jenis komoditi andalan yang dikembangkan di
Kabupaten Ngadha adalah : kopi, kakao, jambu mete, kemiri, kelapa,
cengkeh,vanili, dan merica. Luas area lahan kering yang sangat potensial yaitu 98.100 ha, dan fungsionalnya seluas 47.943 ha, sedangkan sisanya sebesar 50.157
ha belum dimanfaatkan. http:www.ngadakab.go.id
, di unduh tanggal 23 maret 2013.
2.3 Sejarah Asal-Usul Kabupaten Ngadha
Nama Kabupaten Ngada sebenarnya berasal dari kata Ngadha yang oleh bangsa Belanda konsonan “dh” tidak dapat diucapkan dengan benar sebagaimana
ucapan orang Ngadha, oleh karena itu, terucaplah konsonan “dh” menjadi konsonan “d” sehingga kata Ngadha menjadi Ngada, yang digunakan sebagai
nama tempat maupun sebagai nama klan dan kini menjadi nama wailayah administratif kabupaten.
Ngadha, Kabupaten yang terletak di antara Kabupaten Nagekeo di Timur, dan Manggarai di Barat merupakan salah satu kabupaten yang potensial
di Pulau Flores. Beribukotakan Bajawa sebuah kota kecil terletak di atas pegunungan, kira-kira 1000 m diatas permukaan laut. Secara umum orang luar
menyebut bahwa Ngadha hanya ada pola pembagian etnis antara orang Bajawa Ngadha dan orang Nagekeo, namun sebenarnya di Kabupaten ini dikenal tiga
kesatuan adat kelompok etnis yang memiliki tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan adat tersebut adalah: Ngadha, Riung, dan So’a. Wilayah kesatuan adat
Ngadha meliputi, Kecamatan Aimere, Jerebu’u, Golewa, Bajawa, dan Kecamatan Ngadha Bawa dengan lambang persatuan adat Ngadhu dan Bhaga. Sedangkan
orang Riung memiliki tradisi dan adat istiadat sendiri dengan ciri campuran dengan etnis Manggarai dan Ngadha. Kesatuan adat So’a memiliki campuran adat
antara Ngadha dan Nagekeo dengan lambang kesatuannya Ngadhu. Ngadha sebenarnya nama seorang ibu asal dari klan Ngadha
Arndt,terjemahan Lege,1984. Dari penelusuran sejarah, Ngadha adalah nama suatu suku Bangsa Aria di India dan juga nama tempat tinggalnya. Salah satu suku
bangsa yang terkenal pada orang-orang Aria adalah suku Magadha. Ngadha sebenarnya berasal dari Magadha, M dan NG sering bergantian dari banyak dialek
Ngadha seperti Madhu dan Ngadhu yang berarti lambang kakek moyangnya leluhur. Dalam sejarah pengembaraan orang-orang Aria di India, perpindahan
suku-suku bangsa dari barat ke timur telah mulai lebih dahulu dibandingkan dengan suku-suku bangsa lainnya. Karena itu, baik di barat maupun ke timur kita
temukan nama-nama dari suku-suku bangsa yang terkenal, seperti: Bharata, Tritsu, dan Puru. Tiga suku bangsa tersebut kemudian bergabung menjadi satu
suku bangsa yaitu Bangsa Kuru di Kuruksthera. Sementara itu suku bangsa Magadha, yang adalah nenek moyang orang Ngadha, terus melanjutkan perjalanan
ke timur hingga ke Ngadha dan menetap disana. Sebelum tiba di Ngadha, nenek
moyang orang Ngadha melakukan perjalanan yang lama dan panjang. Seperti telah disebut di awal bahwa nenek moyang orang Ngadha berasal dari klan
Magadha di India, yang artinya perjalanan mereka lakukan tidak saja melalui hutan, gunung, dan padang pasir, tetapi juga melalui lautan. Oleh karena itu,
mereka memiliki banyak pengalaman, khususnya pengalaman berlayar. Pengalaman mereka terlihat dari kesamaan beberapa nama gelar pemimpin
dalam kehidupan suku seperti: Mosa Keso Ulitange Dala Jurumudi, Mosa Ana Koda Nahkoda dan pemberian nama kampung dengan memakai nama bagian-
bagian perahu seperti: Mangu Lewa puncak tiang layar yang tinggi, dan Laja layar perahu. Bagian-bagian dari rumah juga memakai nama bagian-bagian dari
perahu seperti Mangu yang berarti tiang layar, yang adalah juga tiang tengah dari rumah pada serambi depan rumah; atap rumah berbentuk layar. Tangga yang
berada diserambi depan rumah disebut juga padha jo yang berarti jembatan perahu. Beberapa kampung di gunung pun mempunyai nama-nama sebagai
berikut: Mangulewa yang berarti tiang layar yang tinggi, Rajolewa yang berarti perahu yang panjang, Jo Jawa yang berarti perahu Jawa, karena itu juga mungkin
sekali Jawa adalah tanah yang mempunyai kesan yang mendalam selama pengembaraan, nama dari pulau yang merupakan tempat tinggal terakhir sebelum
Flores. Kalau orang menemukan unsur-unsur budaya Hinduisme seperti yang ada pada orang Ngadha di daerah-daerah lain di timur, maka hal ini disebabkan oleh
penyerpihan dari suatu kelompok yang lebih besar yang kemudian menetap di tempat lain Dra. Veronika Ulle Bogha, 2005: 8-9
2.4 Kepercayaan Masyarakat Ngadha