Sedo Uwi Perayaan Inti

berkumpul, bernostalgia, saling melepas rindu, bercerita tentang pengalamannya masing-masing. Pada upacara kobhe dheke, bila tidak ada yang mengantar tua manu mas kawin, kepala suku dan semua warga rumah adat yang mengikuti upacara tersebut diberi kesempatan untuk menyampaikan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan penanaman tanaman, pengggarapan lahan, kebun, atau ladang, perhatian kepada rumah adat, upacara-upacara adat, pemeliharaan lingkungan, masalah moral dan kebajikan, serta masalah perkawinan dan rumah tangga. Pada malam itu di setiap rumah adat seluruh warga atau peserta Reba wajib mengikuti jalannya upacara dheke reba, biasanya orang mengikuti upacara dheke reba di rumah adat pihak mama terlebih dahulu matrilineal, baru dilanjutkan merayakan di rumah adat pihak bapak patrilineal Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27 Desember 2012.

3.2.3.2 Sedo Uwi

Sedo Uwi adalah tarian tanda khusus pada perayaan Reba, seni pertunjukan massal yang dilakonkan oleh seluruh masyarakat baik anak-anak, orang muda, maupun orang tua. Semua penari harus berpakaian adat lengkap. Laki-laki menggunakan Sapu Lu’e, Keru, Boku, Marangia, Lega Jara, Sau atau Tuba, nama pakian adat yang dikenakan oleh laki-laki. Sedangkan perempuan menggunakan Lawo, Kasa, Kese, Keru, Marangia, dan Lega Jara atau Tuba, nama pakian adat yang dikenakan oleh wanita. Sedo Uwi dilaksanakan pada hari kedua setelah Dheke Reba bertempat di pelataran kampung. Para penari membentuk lingkaran, melakukan gerakan hentakan kaki dalam irama maju mundur selangkah bergantian kaki kiri maju, dan kaki kanan maju. Gerakan lingkaran berputar ke kanan sambil bernyanyi O Uwi e. Refrein lagu tandak tersebut dinyanyikan bersama oleh seluruh peserta, sedangkan di bagian dalam lingkaran ada kelompok kor kecil yang masing-masing terdiri atas tiga orang yang melantunkan bait-bait solonya. Kedua kelompok terebut yang satu bernama Jara atau Tu sebagai kelompok chorus 1, yang lainnya bernama Naro atau Doa sebagai kelompok chorus 2. Menurut Bapak Yohanes Wawo 58, seorang seniman Ngadha mengatakan bahwa musik seperti ini bergaya polifoni, artinya beberapa kelompok penyanyi tiga kelompok melantunkan melodi yang berbeda dengan syair yang berbeda tetapi dalam kesatuan irama dan harmoni. Syai-syair solo yang dilantunkan kebanyakan menggambarkan tentang leluhur penjasa, atau pionir, dan ungkapan puja-puji tanaman ubi. Contoh syair-syair tentang ubi antara lain: Uwi meze go lewa laba: Ubi sebesar gong, sepanjang gendang Ubi tebu toko, koba rao wolo: Ubi merambat menutupi gunung Uwi ladu wai poso: Ubi penopangnya gunung poso Koba rako lizu : Merambat menutupi langit Uwi kutu ko’e: Ubi digali babi landak Dhano ana ko’e: Tetapi masih tetap ada Uwi hui moki: Ubi disungkur celeng Moki bhai moli: Tetapi tetap masih ada Uwi tegu nee da luba: Ubi suku tegu dan luba Wua benu Nabe Fusa: Tetap penuh di Nabe Fusa Dizi ne’e da metu : Ubi suku Dizi Wua benu nabe tegu: Dan metu penuh nabe tegu Uwi ngata Gale Beo: Ubi panenan Gale Beo Riwu dhanga ngadha ngedho: Selalu dikagumi semua orang Uwi halo leza: Ubi biar musim panas Sedu peka rua wali: Tetap bertunas dan bertumbuh Uwi reba ana Nage: Ubi reba Nage Sama ngawu rake: Bagaikan harta malaikat yang takkan habis. Teks Tuturan 6 Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh Bapak Fransiskus Dhosa 61 tahun, Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha. Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba 23 tahun

3.2.3.3 Su’i Uwi Upacara Pemotongan Ubi