nilai porositas sebesar 1. Maka pada komposisi ini merupakan nilai terbaik yang diharapkan, karena untuk mendapatkan hasil beton polimer terbaik haruslah porositas
yang terkecil. Dari data diatas dapat dinyatakan semakin besar jumlah serat yang diberikan
pada sampel maka nilai porositas semakin besar juga. Akan tetapi dari sampel B1 ke Sampel B2 terjadi penurunan porositas hal ini disebabkan pada saat pencetakan
sampel B1 yang tanpa serat mengakibatkan resin epoksi relatif mengalami penguapan lebih tinggi sehingga terjadi rongga didalam bahan uji. Dengan demikian
mengakibatkan porositas pada sampel tersebut menjadi besar. Pengaruh komposisi resin epoksi pada porositas sampel dapat dinyatakan
bahwa semakin kecil jumlah resin maka porositas relatif semakin besar.
4.1.3 Pengujian Kuat Impak
Besarnya nilai kuat impak terhadap komposisi campuran pasir, batu apung dan serat kulit pinang ditunjukkan pada table dibawah ini.
Tabel 4.3 Pengujian Kuat Impak
Kode Sampel
Lebar b mm
Tebal d mm
Luas A mm
2
Energi E Joule
Impak I
s
KJm
2
A1 20
10 200
0,32 1,6
A2 20
10 200
0,64 3,2
A3 20
10 200
0,72 3,6
A4 20
10 200
0,83 4,15
A5 20
10 200
0,98 4,9
A6 20
10 200
0,93 4,65
B1 20
10 200
1,64 8,2
B2 20
10 200
1,49 7,45
B3 20
10 200
1,22 6,1
B4 20
10 200
1,14 5,7
B5 20
10 200
1,08 5,4
B6 20
10 200
0,98 4,9
Universitas Sumatera Utara
Dari data pengujian impak yang diperoleh pada tabel di atas yaitu pada kode sampel B1 merupakan nilai kuat impak maksimum dengan nilai 8,2 KJm
2
dan pada kode sampel A1 merupakan nilai kuat impak minimum yaitu 1.6 KJm
2
.
Diagram 4.3 Hubungan antara uji kuat impak dan komposisi sampel
Keterangan kode variasi campuran
A1,B1 = Pasir 50 gr; Batu Apung 50 gr; Serat 0 gr A2,B2 = Pasir 49 gr; Batu Apung 49 gr; Serat 2 gr
A3,B3 = Pasir 48 gr; Batu Apung 48 gr; Serat 4 gr A4,B4 = Pasir 47 gr; Batu Apung 47 gr; Serat 6 gr
A5,B5 = Pasir 46 gr; Batu Apung 46 gr; Serat 8 gr A6,B6 = Pasir 45 gr; Batu Apung 45 gr; Serat 10 gr
Berdasarkan diagram di atas dapat dilihat bahwa nilai kuat impak maksimum dari kode sampel A adalah pada komposisi pencampuran 8 gr limbah kulit pinang dan
46 gr pasir dan 46 gr batu apung dengan nilai 4,9 KJm
2
. Sedangkan pada kode sampel B nilai kuat impak maksimum diperoleh pada komposisi tanpa pencampuran limbah
kulit pinang dengan 50 gr pasir dan 50 gr batu apung yakni dengan nilai 8,2 KJm
2
. Untuk nilai kuat impak minimum kode sampael A diperoleh pada komposisi
pencampuran 50 gr pasir, 50 gr batu apung dan tanpa limbah kulit pinang dengan nilai
Universitas Sumatera Utara
1,6 KJm
2
. Sedangkan pada kode sampel B nilai kuat impak minimum diperoleh pada komposisi pencampuran 10 gr limbah kulit pinang dengan 45 gr pasir dan 45 gr batu
apung yakni 4,9 KJm
2
. Hubungan dari kedua jenis sampel A dan B dengan variasi resin epoksi 25 dan
30 gr terjadi trend nilai impak yang berlawanan. Pada sampel A dari komposisi 50:50:0 – 46:46:8 gr, setiap penambahan serat menyebabkan peningkatan pada kuat
impak. Hal ini terjadi karena pada komposisi resin 25 gr terdapat rongga antar komponen dan dengan penambahan serat kedalam bahan uji mengakibatkan terisinya
rongga tersebut sehingga meningkatkan kuat impak pada sampel. Tetapi pada komposisi serat 10 gr, terjadi penurunan kuat impak disebabkan batas kemampuan
daya ikat resin melemah.. Namun pada sampel B dengan komposisi resin 30 gr keberadaan celah antar komponen relatif rendah sehingga penambahan serat dapat
menurunkan kuat impak pada bahan uji. Karena serat kulit pinang pada kondisi ini cenderung menambah keberadaan rongga dalam sampel.
Pada sampel B terjadi penurunan kuat impak secara kontiniu. Hal ini disebabkan penambahan resin 30 gr dalam tiap sampel mengakibatkan tingkat
kegetasan sampel menjadi tinggi. Semakin tingginya kegetasan sampel maka kuat impak semakin rendah.
4.1.4 Pengujian Kuat Lentur