Irian Barat Kembali ke Pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia

61

C. Irian Barat Kembali ke Pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pada tanggal 1 Mei 1963, dilaksanakan upacara penyerahan pemerintahan UNTEA kepada pemerintah Republik Indonesia. Proses penyerahan ini dilakukan oleh ketua UNTEA Dr. Djalal Abdoh Khan kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh Sudjarwo Tjondronegoro. Penyerahaan kekuasaan ini ditandai dengan upacara penurunan bendera UNTEA dan pengibaran bendera Merah Putih. Disamping itu, juga dilakukan defile pasukan dari Pakistan, APRI, dan polisi Papua. Adanya penyerahan kekuasaan ini maka berakhirlah masa kolonial Belanda di Irian Barat. Irian Barat menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan Persetujuan New York, pemerintah Indonesia berkewajiban Untuk melaksanakan penentuan pendapat rakyat PEPERA di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969. 86 Untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia di Irian Barat, Presiden Soekarno mengangkat Eliezer Jan Bonay sebagai kepala pemerintahan atau gubernur.Secara de jure dan de facto Irian Barat kembali ke pangkuan ibu pertiwi, maka wilayah kekuasaan Republik Indonesia meliputi seluruh bekas jajahan pemerintah Belanda. Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Penpres Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963 tentang ketentuan pokok penyelenggaraan pemerintahan masa peralihan. Susunan pemerintahan masa peralihan di Irian Barat adalah sebagai berikut: 87 86 Idem. 87 Ibid , hlm. 39 62 1. Pimpinan pemerintah dipegang oleh Gubernur. 2. Wakil Gubernur membantu Gubernur dalam semua tugas pemerintahan dan mewakilinya apabila Gubernur berhalangan. 3. Gubernur mempunyai sekretariat yang dikepalai oleh sekretaris propinsi. 4. Dalam menjalankan tugasnya, Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu oleh kepala-kepala dinas, semua tenaga pemerintahan dalam arti luas, dibagi dalam dinas-dinas yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala dinas. Pada tanggal 19 September 1966, pemerintah Indonesia melakukan kerjasama aktif kembali dengan PBB yang sebelumnya sempat terhenti. Menteri Luar Negeri Adam Malik menegaskan bahwa Indonesia akan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan isi persetujuan New York. Sekjend PBB U Thant kemudian menugaskan Rolz Bennet ke Indonesia untuk membahas Pepera di Irian Barat. Kunjungannya ke Indonesia menghasilkan kesepakatan tentang: 1. Pemerintah Indonesia akan melaksanakan Pepera sebelum Sidang XXIV Majelis Umum PBB TAHUN 1969. 2. Pemerintah Indonesia akan melakukan konsultasi dengan dewan daerah di Irian Barat mngenai bentuk paling tepat bagi Pepera dan menyetujui partisipasi PBB dalam konsultasi itu. 3. Pemerintah Indonesia memberikan persetujuan atas penugasan wakil- wakil PBB sebagaimana disebut dalam pasal XVI Persetujuan New York. 63 4. Pemerintah Indonesia setuju agar suatu pernyataan singkat dari Sekjend PBB mengenai pengertian ini dimasukan dalam laporan tahunan kepada Majelis Umum PBB. 5. Mengenai dana pembangunan PBB untuk pembangunan Irian Barat, pemerintah menyampaikan harapan agar proyek-proyek di Irian Barat dapat dilaksanakan secepatnya. Kesepakatan ini merupakan langkah diplomatik yang sangat penting untuk menunjukan kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia berkomitmen melaksanakan persetujuan New York. Sekjend PBB merasa senang dengan sikap pemerintah Indonesia yang proaktif untuk melaksanakan persetujuan New York. 88 Pada tanggal 23 Agustus 1968, Fernando Ortiz Sanz utusan PBB mengadakan kunjungan ke Irian Barat untuk melihat kondisi masyarakatnya. Selama berada di Irian Barat, ia menyaksikan kehidupan sendiri tentang geografis dan keprimitifan penduduk asli yang merupakan satu kendala. Setelah melakukan peninjauan secara langsung untuk persiapan pelaksanaan Pepera di Irian Barat, kemudian melaporkan hasilnya kepada Sekjend PBB U Thant. Dalam laporannya ia mengatakan bahwa: “Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum Indonesia, pembangunan sekolah dan menunjukan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat. Kita juga mengetahui bahwa prinsip „satu orang satu suara‟ tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. Kita Juga mengakui bahwa Pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidak pastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud- 88 Darnoto,dkk, op.cit hlm. 325. 64 maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan- perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah. Proses pelaksanaan Pepera akan dilaksanakan tanggal 24 Juli sampai Agustus 1969 secara musyawarah. Pepera dilaksanakan di 8 kabupaten yang meliputi: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Pelaksanaan Pepera diikuti oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera DMP yang mewakili jumlah penduduk Irian Barat kurang lebih 809.327 jiwa. Ke 1026 anggota DMP itu terdiri atas 400 orang mewakili unsur adat, 360 orang mewakili unsur daerah dan 226 orang mewakili unsur organisasi baik politik ataupun kemasyarakatan. Dalam pelaksanaan Pepera ini berlangsung secara demokratis dan dalam situasi yang kondusif. Pepera ini diawasi oleh masyarakat internasional di bawah naungan PBB. 89 Presiden Soekarno, atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia menyatakan terimakasih kepada Ortiz Sanz yang telah membantu pelaksanaan Pepera. Dengan selesainya Pepera di Irian Barat maka tuntaslah tugas pemerintah Indonesia melaksanakan kewajibannya sesuai persetujuan New York. Perjuangan diplomasi bangsa Indonesia untuk memasukan Irian Barat menuai hasil yang memuaskan. 90 Pepera yang dilaksanakan di 8 kabupaten menghasilkan keputusan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Indonesia. Hasil ini kemudian disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan dari semua yang hadir dalam rapat Pepera. Keputusan ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Irian 89 Ridhani, op.,cit, hlm. 242. 90 Darnto, dkk, op.,cit, hlm. 348. 65 Barat memilih berintegrasi dengan wilayah Indonesia. Pada tanggal 19 November 1969, dilaksanakan Sidang Umum PBB membahas hasil pelaksanaan Pepera di Irian Barat. Sidang Umum PBB ini menghasilkan sebuah resolusi tentang pelaksanaan Pepera di Irian Barat yang dituangkan dalam Resolusi 2504. Resolusi ini diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara sebanyak 84 setuju, 30 abstain dan tidak ada satupun negara yang menentang. Resolusi PBB ini merupakan penegasan pengakuan bahwa Irian Barat adalah bagian integral dari wilayah kesatuan Indonesia .91 Dengan demikian, maka Pepera merupakan bentuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri oleh rakyat Irian Barat tidak cacat hukum. Pelaksanaannya sendiri dilakukan secara demokratis dan transparan karena melibatkan semua komponen masyarakat Irian Barat. Prosesnya juga melibatkan partisipasi, pemberian nasihat, dan bantuan dari PBB. Hasilnya juga disahkan oleh masyarakat internasional melalui Sidang Umum PBB. Secara hukum internasional Irian Barat diakui merupakan bagian yang sah dari wilayah kesatuan Indonesia. 91 Ridhani, op.,cit, hlm. 244. 66

BAB V KESIMPULAN