55 Nota Sekjen PBB ini diterima oleh kedua belah pihak yang saling
bertikai. Pada tanggal 15 Agustus 1962, bertempat di Markas Besar PBB di New York ditandatangani persetujuan antara pihak Republik Indonesia dengan
Kerajaan Belanda tentang Irian Barat. Pihak Indonesia di wakili oleh Menteri Luar Negeri Subandrio sedangkan pihak Belanda di wakili oleh Menteri Luar
Negeri Luns. Persetujuan perdamaian ini kemudian disahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB, dan dikenal dengan persetujuan New York.
75
Presiden Soekarno menerima persetujuan New York, karena didalam persetujuan tersebut jelas dan tegas bahwa administrasi Irian Barat diberikan
kepada Indonesia melalui sebuah tim PBB. Kemudian, ia juga menekankan bahwa bangsa ndonesia yang cinta damai akan menghormati persetujuan New
York. Ini merupakan kemenangan bangsa Indonesia karena mulai 1 Oktober kolonialis Belanda akan meninggalkan Irian Barat. Presiden Soekarno juga
menegaskan untuk tetap waspada terhadap Belanda jangan sampai terjadi penghianatan perjanjian New York. Angkatan Perang Republik Indonesia
harus tetap siaga penuh untuk menghadapi hal-hal yang sangat merugikan pemerintah Indonesia.
76
B. Masa Pemerintahan Transisi UNTEA
Berdasarkan persetujuan New York yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 1962, maka dibentuk badan pelaksana sementara PBB. Badan PBB
ini bernama UNTEA United Nations Temporary Executive Authority yang
75
Ridhani, op.,cit, hlm. 224
76
Baharuddin Lopa, op.cit, hlm. 144.
56 langsung di bawah kendali Sekjend PBB. UNTEA dipimpin oleh seorang
administrator PBB yang telah disetujui baik oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Belanda. Sekretariat Jendral PBB U Thant menunjuk
Rolsz Bennet dari Guatemala sebagai Gubernur UNTEA dan merangkap sebagai wakil Sekjend PBB di Irian Barat. Akan tetapi kemudian digantikan
oleh Dr. Djalal Abdoh Khan dari Iran untuk menjadi kepala pemerintahan interim di Irian Barat. Dr. Djalal Abdoh Khan mempunyai kewenangan yang
penuh untuk memerintah Irian Barat selama masa transisi.
77
Untuk menjalankan tugas administrasi pemerintahan peralihan, kemudian dibentuk staf administrasi lengkap dengan susunan personilnya dari
Malayan Civil Service, sebagai berikut: 1.
George S. Harley sebagai Residen Biak. 2.
Da Somerville sebagai Residen Distrik Manokwari. 3.
Gordon Carter sebagai Residen Distrik Fak-Fak. 4.
David C.L. Wilson sebagai Kepala Bagian Dalam Negeri. Adapun tugas pokok UNTEA antara lain:
1. Menerima penyerahan pemerintahan atau wilayah Irian Barat dari pihak
Belanda. 2.
Menyelenggarakan pemerintahan yang stabil di Irian Barat selama suatu masa tertentu.
3. Menyerahkan pemerintahan atas Irian Barat kepada pihak Republik
Indonesia.
77
Ibid , hlm.147.
57 Sedangkan dalam menyelenggarakan pemerintahan di Irian Barat,
UNTEA wajib melaksanakan tugasnya sebagai berikut: 1.
Memelihara keamanan dan ketertiban umum. 2.
Mengumumkan dan menerangkan secara luas ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Indonesia dan Belanda serta memberitahukan kepada
penduduk Irian Barat mengenai penyerahan pemerintahan kepada pihak Indonesia dan mengenai ketentuan penentuan nasib sendiri sebagaimana
ditetapkan dalam persetujuan. Dalam menjalankan tugasnya, UNTEA juga mempunyai kewenangan
untuk mempekerjakan pegawai-pegawai bangsa Indonesia dan Belanda. Biaya operasional UNTEA di Irian Barat akan ditanggung bersama antara
pemerintah Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 15 Agustus 1962, UNTEA juga berwenang untuk mengeluarkan paspor bagi penduduk Irian Barat yang
memerlukannya. Untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum, PBB menyiapkan suatu United Nations Security Forces UNSF. UNSF ini
beranggotan pasukan yang berasal dari Negara Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada. Pasukan keamanan PBB ini di bawah komandan Mayor Jenderal Said
Uddin Khan dari Pakistan. Brigader Jenderal Hindrajit Rikhye dari India menjabat sebagai perwira penghubung PBB.
78
Sedangkan pasukan Indonesia yang telah ada di Irian Barat digabungkan dengan pasukan PBB sebagai kontingen Indonesia. Pada tanggal
21 September 1962, dalam Sidang Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi
78
Saleh A. Djamhari, dkk, op.cit, hlm. 288.
58 No. 1752 tentang penyerahan Irian Barat kepada UNTEA. Sekjend PBB akan
mengirimkan diplomatnya ke Irian Barat untuk menerima penyerahan dari pihak Belanda.
79
Pada tanggal 1 Oktober 962 mulai berlangsung pemerintahan peralihan PBB di Irian Barat. Bendera PBB mulai berkibar di samping
bendera Belanda sampai tanggal 31 Desember 1962. Setelah itu bendera Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dikibarkan bendera Indonesia Merah
Putih. Dr. Djalal Abdoh selaku administrator PBB mulai menjalankan pemerintahan peralihan dengan mengganti pejabat-pejabat tinggi Belanda.
80
Hanya 11 orang berkebangsaan Belanda yang tetap dipekerjakan dan selebihnya para pekerja dari PBB. UNTEA juga mempekerjakan penduduk
Irian Barat dibidang administrasi dan teknis. Sedangkan untuk jabatan pemerintah seperti pengadilan, kejaksaan, perhubungan dan lain-lain para
pegawainya berasal dari pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu, pejabat-pejabat dari Indonesia juga diangkat sebagai Deputy Directur dan
Deputy Resident untuk memimpin tiap-tiap departemen dan divisi. Kemudian
para pegawai yang berasal dari Belanda berangsur-angsur meninggalkan Irian Barat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dan memperlancar
pemerintahan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia dikemudian hari.
81
Pemerintahan UNTEA di Irian Barat dapat berjalan dengan lancar berkat kerjasama yang baik antara perwakilan Indonesia dan juga Belanda.
Keberhasilan UNTEA ditandai dengan terpeliharanya stabilitas keamanan, ketertiban dan perekonomian dengan tercukupi kebutuhan penting.
79
Ridhani, op.cit, hlm. 231,
80
Idem .
81
Ibid, hlm. 233.
59 Pembangunan sarana dan prasarana umum seperti rumah sakit, sekolah, jalan,
dermaga dan sebagai dapat terlaksana dengan baik. Pada bulan Desember 1962, tujuh orang delegasi Irian Barat yang dipimpin oleh Eliezer Jan Bonay
mendesak UNTEA agar menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia secepatnya.Akan tetapi usaha mereka ini tidak membuahkan hasil karena
ditolak oleh PBB. Penolakan ini berdasarkan perjanjian New York yang menyatakan bahwa penyerahan kekuasaan kepada Indonesia akan dilakukan
tanggal 1 Mei 1963. Selain itu, menurut peraturan tata tertib PBB suatu delegasi atau perutusan yang menghadap PBB harus mendapatkan dukungan
dari satu negara anggota PBB.
82
Penolakan tersebut telah mengakibatkan terjadinya gelombang demonstrasi pro Indonesia di berbagai kota di Irian Barat. Menghadapi aksi
demonstrasi, UNTEA mendesak pihak Indonesia tetap netral supaya tidak menimbulkan gejolak yang merugikan bagi semua pihak. Akan tetapi tuntutan
rakyat Irian Barat untuk memperpendek masa pemerintahan UNTEA terus terjadi. Pada tanggal 14 Januari 1963, di Kotabaru rakyat Irian Barat
menyampaikan pernyataan kepada Dr. Djalal Abdoh Khan selaku administrator UNTEA yang berisikan:
83
1. Menuntut perpendekan pemerintahan UNTEA.
2. Menggabung segera kepada Republik Indonesia secara mutlak dan tanpa
syarat. 3.
Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945.
82
Ibid , hlm. 234.
83
Saleh A. Djamhari, dkk, op.,cit, hlm. 302.
60 4.
Menghendaki adanya negara kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
5. Menghendaki otonomi yang seluas-luasnya dari Republik Indonesia bagi
wilayah Irian Barat. Walaupun dalam perjalanan pemerintahan UNTEA di Irian Barat
dihadapkan pada permasalahan namun dapat diatasi. Berbagai tugas yang diemban oleh UNTEA dapat dilaksanakan dengan baik. Proses penyerahan
kekuasaan yang telah disiapkan UNTEA kepada pemerintah Indonesia sesuai persetujuan New York juga sudah matang.
84
Menjelang berakhirnya pemerintahan UNTEA di Irian Barat, seluruh personel militer yang tergabung dalam UNSF secara bertahap mulai ditarik.
Pada tanggal 21 April 1963, pasukan UNSF yang berasal dari Pakistan yang berjumlah 800 personil meninggalkan Irian Barat dengan KRI Halmahera.
Begitu juga perlengkapan perang milik Belanda juga diserahkan kepada pihak Indonesia. Perlengkapan perang tersebut meliputi:
85
1. Komplek pangkalan militer beserta perumahan angkatan laut di Biak.
2. Landing Craft Tank.
3. Landing Craft Personil
4. Landing Craft dengan seluruh perlengkapannya.
84
Ibid , hlm237.
85
Saleh A. Djamhari, dkk, op.,cit, hlm. 306.
61
C. Irian Barat Kembali ke Pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia