2.5. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu SPS: -
S sewaktu: dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. -
P Pagi: dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK Unit
Pelayanan Kesehatan. -
S sewaktu: dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi Depkes 2006
2.5.1. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksan dahak secara makroskopis. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.
- Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -sewaktu SPS.
Universitas Sumatera Utara
- Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB BTA. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya. - Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Fototoraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
- Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
2.5.2. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan
pencegahan tertier, sebagai berikut:
1. Pencegahan Primer
Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi
WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin BCG segera setelah bayi lahir. Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an,
efektivitasnya dalam pencegahan TB masih merupakan kontroversi karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar antara 0-80. Namun ada satu hal yang
diterima secara umum, yaitu BCG memberi perlindungan lebih terhadap penyakit tuberkulosis yang parah seperti tuberkulosis milier atau meningitis tuberkulosis.
Universitas Sumatera Utara
Karena itu kebijakan pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi tuberkulosis di suatu negara. Di negara dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, BCG harus
diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIVAIDS, demikian juga anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak 1-2 dapat
mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan kumpulan nanah abses lokal. Selain pemberian imunisasi BCG, pencegahan primer juga dapat
didukung dengan konsumsi gizi yang baik.
2. Pencegahan Sekunder
Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining screaning, yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila
hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid INH dengan dosis 5–10 mgkg BBhari selama 6 bulan. Bila anak tersebut
belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai Depkes, 2006.
Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru
merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien
tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan Depkes RI, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas gold standard. Namun, pemeriksaan kultur
memerlukan waktu lebih lama paling cepat sekitar 6 minggu dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen SPS dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif
dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium Depkes RI, 2007. Untuk mendukung kinerja penanggulangan, diperlukan ketersediaan
Laboratorium tuberkulosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia. Tujuan manajemen
laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya
melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat Depkes RI, 2007.
Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya
laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring pemantauan dan
evaluasi Depkes RI, 2007. Selanjutnya upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan kegiatan diagnosis
penderita tuberkulosis paru dengan mengkaji:
Universitas Sumatera Utara
1 Gejala-gejala Tuberkulosis Paru
Menurut Mason et al 2005 dalam textbook of respiratory medicine, disebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru. Peradangan
pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat menyebabkan nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan juga dapat terjadi,
sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil dari keterlibatan parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.
Menurut Muherman, dkk dalam Retno 2007 gejala-gejala tuberkulosis paru yaitu : batuk, sering flu, berat badan turun, sakit dinding dada, demam dan
berkeringat, nafas pendek dan rasa lelah. Sedangkan menurut Tjokronegoro dan Utama dalam Retno 2007, bahwa gejala-gejala yang terbanyak adalah : demam,
sesak napas, batuk, batuk berdarah dan nyeri dada. 2 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru
A. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak
penderita tuberkulosis paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu
2 hari berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu SPS Depkes RI, 2002.
Universitas Sumatera Utara
B. Penemuan Penderita Pada Anak Penemuan penderita tuberkulosis paru pada anak merupakan hal yang sulit.
Sebagian besar tuberkulosis paru anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis, dan uji tuberkulin Depkes RI, 2002.
Berdasarkan penemuan penderita tuberkulosis paru, maka dilakukan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:
1 Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura selaput paru. Berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam : a. Tuberkulosis paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis paru
aktif. b. Tuberkulosis paru BTA negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis paru aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. 2 Tuberkulosis Paru Ekstra Paru
Tuberkulosis paru ekstra paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Tuberkulosis paru ekstra paru dibagi lagi pada tingkat keparahan
Universitas Sumatera Utara
penyakitnya, yaitu tuberkulosis paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis paru ekstra paru berat Depkes RI, 2002.
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Tjokronegoro dan Utama dalam Retno 2007, Tipe penderita dibagi dalam :
1 Kasus Baru adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti Tuberkulosis paru OAT lebih dari satu bulan.
2 Kasus Kambuh relaps adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru aktifnya.
3 Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 satu bulan sebelum akhir pengobatan atau
lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
4 Kasus Kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
Menurut Depkes RI 2002, tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe, yaitu kasus baru; kambuh relaps; pindahan transfer in; setelah lalai drop-out;
gagal dan kasus kronik.
3. Pencegahan Tertier
Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun
Universitas Sumatera Utara
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah
resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar
bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil WHO, 2003.
Pengobatan TB umumnya dilakukan dengan rawat jalan outpatient basis, namun ada beberapa kondisi yang membutuhkan perawatan di RS. Kondisi-kondisi
tersebut seperti : meningitis dan tuberkulosis milier, anak dengan gangguan pernapasan dan tuberkulosis tulang belakang.
Setelah pengobatan dimulai, kadang gejala tuberkulosis atau gambaran X-ray dada menjadi lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan
tubuh karena perbaikan gizi, pengobatan tuberkulosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak dengan HIV.
Efek samping pengobatan TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting diperhatikan adalah
keracunan pada hati hepatotoksisitas yang dapat disebabkan oleh isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim hati
secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6 pyridoxine pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin
Universitas Sumatera Utara
B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusui ASI, dan remaja yang hamil WHO, 2006.
Menurut Maher et al 2008 dalam Oxford Textbook of Public Health disebutkan bahwa konsep pengobatan anti-TB kemoterapi sebagai latar belakang
untuk pengembangan dan implementasi dari strategi untuk penanggulangan TB yang dikenal sebagai DOTS Directly Observed Treatment, Short-Course. Penilaian
terhadap kemajuan yang telah dilakukan terhadap target internasional untuk penanggulangan TB tahun 2005, dan kemudian respon internasional yang
berkembang untuk tantangan TB, termasuk pengembangan Strategi Stop TB dan Global Plan untuk menerapkannya dengan penilaian prospek untuk pengendalian
tuberkulosis di masa depan, melihat ke depan untuk 2015 tahun target Millenium Development Goals dan kemudian tahun 2050 tahun target untuk penghapusan TB
sebagai masalah kesehatan publik secara global. 2.6. Faktor-faktor Penyebab Determinan Penyakit Tuberkulosis Paru
Menurut teori Gordon dalam Soemirat 2000, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit
agent, penjamu host, dan lingkungan environment. Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi epidemiologi triangle, hubungan ketiga faktor
tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai
penumpunya.
Universitas Sumatera Utara
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan
akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi
sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya
bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat Soewasti, 2000.
Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit
akibat pengaruh berbagai faktor berikut : a. Agent
Mycobacterium Tuberculosis adalah suatu anggota dari famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan infeksi.
Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium Leprae, Mycobacterium paratuberkulosis paru dan Mycobacterium yang dianggap sebagai
Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan Depkes, RI. 2006.
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficientmemenuhi syarat untuk
menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit
Universitas Sumatera Utara
dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi Soewasti, 2000. Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit
pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas bakteri tuberkulosis paru termasuk
pada tingkat rendah Depkes, RI. 2006. Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh
host dan berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas bakteri tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah
keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi bakteri tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi bakteri ini tidak dapat dianggap remeh
begitu saja Soewasti, 2000. b. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium Tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet nuclei. Seorang
penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang Depkes RI, 2002. Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan 1991, menunjukkan tingkat penularan
tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam
rumah dengan ventilasi baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih
Universitas Sumatera Utara
baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa
menangkap bakteri penyebab tuberkulosis.
Faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru secara umum terkait dengan faktor bakteri penyebab penyakit agent, yang telah diuraikan sebelumnya.
Faktor lainnya adalah yang terdapat pada individu host yang dalam penelitian ini di ukur dari kebersihan diri, sedangkan faktor lingkungan environment di ukur dari
sanitasi Depkes, RI. 2006. 2.7. Faktor yang Memengaruhi Terjadinya TB Paru
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB paru. Pada dasarnya berbagai faktor saling berkaitan satu sama lain. Karakteristik individu dan
faktor risiko lingkungan. Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit Notoatmojo, 2007.
2.7.1. Umur
Faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Variabel umur berperan dalam
kejadian penyakit TB. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan
mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Prevalensi tuberkulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia.
Pada wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun kemudian dan
Universitas Sumatera Utara
kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangya mencapai usia 60 tahun Crofton 2002.
Berdasarkan data surveilans menunjukkan bahwa penderita TB yang berumur tua lebih dari separuh, penderita tersebut dengan sputum BTA positif yang
dapat menularkan kepada orang lain. Hal ini dikarenakan pada kelompok umur tersebut mempunyai riwayat kontak di suatu tempat yang lama serta hubungan sosial
yang erat adalah kunci terjadinya transmisi penyakit. Kelompok umur ini cendrung bergaul dengan kelompok umur yang sebaya, sehingga beresiko untuk tertular
penyakit, hal inilah yang membuktikan bahwa resiko penularan TB berhubungan dengan umur Aditama, 2006.
Hasil penelitian Hariyanto 2013 menyatakan dari 80 responden didapatkan 11 13,8 dengan BTA positif. Hasil analisis dengan uji Chi square didapatkan x
2
= 4,396;p=0,036 p0,05 menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antar umur
dengan TB paru BTA positif. Berbeda pendapat dengan Ruswanto 2010 mengatakan hasil analisis statistik menunjukkan nilai p= 0,361 p0,05 bahwa umur
bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian paru.
2.7.2. Status Gizi