1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan, dalam pendidikan, hak politik dan ekonomi.
2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom. 3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara sosial.
4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan laki-
laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata dan juga sebaliknya.
5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan.
6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alas an atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan. Tong, 1998
2.1.7. Feminisme Radikal-Kultural
Alice Echols menyatakan dalam feminis radikal-kultural mengungkapakan salah satu pandangan bahwa lebih baik menjadi perempuan atau feminin daripada
menjadi laki-laki atau maskulin. Karena itu, perempuan tidak seharusnya mencoba untuk menjadi seperti laki-laki. Sebaliknya, perempuan harusnya mencoba untuk
menjadi lebih seperti perempuan dan menekankan nilai-nilai dan sifat-sifat, yang secara kultural, dihubungkan terhadap perempuan “ saling ketergantungan,
komunitas, hubungan, berbagi, emosi, tubuh, kepercayaan, ketiadaan hirarki,
alam, imanensi, proses, kesukariaan, perdamaian, dan kehidupan”, dan meninggalkan penekananatas nilai - nilai dan sifat – sifat yang secara kultural
dihubungkan terhadap laki laki “ independensi, otonomi, intelek, kemauan, kehati hatian, hirarki, dominasi, kebudayaan, transendensi, produk, askestisme, perang,
dan kematian”. Meskipun begitu, Echols dan Acoff mengakui, bahwa tidak semua feminis radikal-kultural percaya bahwa perbedaan perempuan – laki-laki
berakar pada alam. Beberapa diantara mereka, menurut Echlos, berpendapat bahwa perdedaan seksgender mengalir bukan semata mata jika memang
demikian dari biologi, melainkan juga dari “sosialisasi” atau dari sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang petriarkal Tong,
1998: 71. Salah satu pandangan feminis radikal-kultural yang lainnya adalah seperti
yang diungkapkan oleh Marilyn French, beliau mengantribusikan perbedaan laki laki terhadap perempuan lebih kepada biologi nature alam daripada kepada
sosialisasi nature pengasuhan. Jika mungkinmemberikan pembenaran atas dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka mungkin pula memberikan
pembenaran atas segala dan setiap bentuk dominasi. “Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan, pada gilirannya
mengarahkan kepada stratifikasi kelas: yang elit menguasai orang-orang yang dipandang sebagai “lebih dekat ke alam”
French menyimpulkan bahwa manusia awal hidup dalam harmoni dengan alam. Dalam hasrat laki-laki untuk menguasai kombinasi “perempuan
alam”lahirlah patriarkhi, sebagai suatu sistem hirarki yang menghargai apa yang disebut sebagai power-over Tong, 1998: 79-81. Karena ketidaksukaannya yang
sangat jelas atas nilai-nilai maskulin power-over, French mengklaim bahwa soerang manusia yang androgini, harus menyeimbangkan diri bukan antara
pleasure with dengan power-over, melainkan antara pleasure with dengan versi yang sudah difeminisikan dari power-over , yang dibelinya sebagai power-to.
French menekankan bahwaadalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa, dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan
sebagai hasrat untuk menghancurkan power-over, tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta power-to Tong, 1998: 83.
Pada feminisme radikal-kultural, konsep yang diambil dan digunakanuntuk meneliti antara lain:
1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi dimana, laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan.
2. Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi
aktif dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik
mereka masing-masing. 3. Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan dan
dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu. 4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya
merupakan aspek “baik” dari femininitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas ”buruk” karena semua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-
laki”.
5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari tambahan- tambahan sifat maskulin. Tong, 1998.
2.1.8. Pengertian Semiotika Komunikasi