5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari tambahan- tambahan sifat maskulin. Tong, 1998.
2.1.8. Pengertian Semiotika Komunikasi
Secara estimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain Sobur, 2006:16. Dalam Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti significant dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan. Sedangkan definisi semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna. Sobur,
2006:17 Sedangkan yang dimaksud dengan semiotika signifikasi adalah semiotika
yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam suatu sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Sobur, 2006:16
Pada dasarnya semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima
istilah, yaitu:
Ss,i,e,r,c
S adalah untuk semiotic relation hubungan semiotik; s untuk sign tanda; i untuk interpreter penafsir; e untuk effect pengaruh. Misalnya suatu disposisi
dalam I akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi
tertentu c karena s.r untuk reference rujukan; dan c untuk context kontek atau condition kondisi. Sobur, 2004:17.
2.1.9. Teori Semiotika Roland Barthes
Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya
Sutrisno Putranto, 2005:117. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam kurun waktu tertentu.Sobur, 2006:63 Signifiant penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep
aspek mental dari bahasa. Kurniawan, 2001:30 Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan
petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai penanda baru yang kemudian memiliki penanda baru
sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis.
Sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Kurniawan, 2001:115
Barthes mengatakan sutu karya atau teks merupakan sebuah bentuk konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dan bahan-
bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin
menemukan makna di dalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks, atau wacana naratif yang terdiri atas
penenda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi sebagian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan
panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu-dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa kalimat atau beberapa paragraph.
Kurniawan, 2001:93 Dimensi leksia beragantung kepada kepekatan density dari konotasi-
konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak
pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh sebagian fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi. Budiman, 2003:54 Dalam sutu naskah atau teks, terdapat lima kode pokok five major codes
yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes adalah kode hermeneutik kode teka- teki, kode semik makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik logika
tindakan, dan kode gnomik kode kultural. Sobur, 2006:65 Kode
hermeneutik atau kode teka teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita Sobur, 2006:65. Kode ini merupakan sebuah kode “penceritraan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. Budiman, 2003:55
Kode semik code of seems atau kode konotatif adalah kode yang
memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu Budiman, 2003:56. Kode semik menawarkan banyak
sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh, dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling
kuat dan paling “akhir’. Sobur, 2006:65-66 Kode
simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-
istilah teoritis seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes Sobur, 2006:66. Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang
dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual. Budiman, 2003:56
Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku
manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi
sekuans yang bersangkutan Budiman, 2003:56. Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua
teks yang bersifat naratif. Sobur, 2006:66 Kode
gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu Sobur, 2006:66. Selanjutnya dalam Budiman, kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang
terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
Dalam teori Barthes akrab dengan apa yang disebut dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua
ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2006:69
1. signifier 2. signified penanda petanda
4. connotative signifier penanda konotatif
6. connotative sign tanda konotatif
5.
connotative signified petanda konotatif
3. denotative sign tanda denotatif
Gambar 1 : Peta Tanda Roland Barthes Sumber : Drs. Alex Sobur Msi, 2004, Semiotika komunikasi, Remaja
Rosda Karya, hlm 69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Sobur, 2006:69 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sobur, 2006:69.
2.2. Kerangka Berpikir