pembaca nyata dan d penerima teks, melalui aktivitas pembaca khususnya pembaca implisit.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas hubungan yang bertujuan untuk saling menjelaskan fungsi-fungsi perilaku sosial
yang terjadi pada saat-saat tertentu Ratna,2003 :137.
2.1.4. Perempuan sebagai feminis
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan
dengan Barat di masa pencerahan the enlightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang wave dan
menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama first wave feminism dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang
kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau postfeminism. Istilah perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar.
Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau
melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan atau diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis.
Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan pekerjaan yang
dekat dengan lingkungan privat dan domestiknya, seperti mendidik anak,
mengurusi dapur. Seperti ditulis oleh Sara Ahmed, pengetahuan feminis adalah persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang located
dan situated sedemikiam sehingga cara saya menjadi feminis, termasuk cara pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar saya juga mengalami
perubahan”. Aquarini, 2006:14 Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini
akibat hegemoni budaya patriarkhi dan struktur masyarakat yang berkiblat pada sistem patriarkhi yang mendominasi semua lini kehidupan. Secara kebahasan,
patriarkhi berarti rule of the father, atau aturan dari sang Bapak. Dalam sistem patriarkhi, laki-laki yang berusia lebh tua mengendalikan kekuasaan secara
absolute terhadap pihak lain. Dari persoalan parfum sampai pada persoalan hukum, dari persoalan kulit sampai persoalan politik. Maka berbagai upaya
mencari sparing patner hegemoni budaya patriarkhi inilah kira-kira yang diagungkan oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum
perempuan selama ini adalah sebagai warga masyarakat kelas dua atau menduduki posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana
‘kesejahteraan jender’ dalam mensejahterahkan kaum perempuan. Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan sekarang ini akibat masih
terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental bawahan. Munculnya budaya
patriarki yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkungkungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya, penderitaan yang diikut sertakan akibat
dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan. www.qiyanfikir.worspress.com
Menurut Aquarini, dia mengasumsikan bahwa perempuan memang dikonstruksikan untuk melayani laki-laki, baik secara sosial dan seksual, tanpa
mempertimbangkan kekuatan ekonomi, perbedaan kelas, atau bahkan “senioritas” Aquarini,2006 :35. Menurut Rieke Dyah Pitaloka seorang aktivis perempuan,
dalam budaya patriarkhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi ada pada suami, kepala rumah tangga, yang berhak memberikan aturan apapun yang menyangkut
orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri. Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem tersebut
dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyarakatkan enyahnya cara pandang patriarkhi dari ruang privat sekaligus publik
www.kompas.com Sementara Kate Millet menyatakan bahwa, ideologi patriarkhi merupakan
kekuasaan laki-laki, yang mengkondisikan perempuan untuk memperlihatkan perilaku yang melayani laki-laki dan menerima peran sebagi pelayan laki-laki.
Beliau beranggapan bahwa idiologi seperti ini merembes ke segala aspek budaya dan menyentuh setiap aspek kehidupan kita bahkan kepada aspek yang sifatnya
pribadi Holidin dan Soenyono, 2004:81. Konsep penguasaan laki-laki yang bersifat absolut ini merupakan prinsip
pengorganisasian universal. Relasi yang terjadi melibatkan kekuasaan serta ideologi yang berjalan secara pasif, misalnya laki-laki merupakan sosok yang
powerful sedangkan perempuan sengaja dibuat tidak berdaya powerless. Hal ini memberikan implikasi besar, patriarkhi memberikan hukum yang tetap bahwa
laki-laki merupakan subjek yang menentukan. http:www.suaramerdeka.comharian021125khal.htm
Dominasi laki-laki itu sendiri tampaknya selalu dapat menemukan jalannya. Kekuatan ekonomi hanyalah satu dari cara-cara pendominasian
perempuan oleh laki-laki. Selain itu, perkawinan, adalah merupakan suatu instansi yang merupakan kaki tangan patriarkhi, tetapi disisi lain, jika proses sosialisasi
ideologi patriarkhi memang terutama berlangsung didalam keluarga, maka sesungguhnya keluarga menjadi sangat potensial untuk menjadi alat
pembongkaran ideologi itu sendiri Aquarini, 2006:34-35 Gayle Rubin seorang feminis radikal-libertarian, dalam pandangannya
tentang patriarkhi, mereka menolak asumsi bahwa ada atau seharusnya ada, hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang laki-laki atau perempuan
dengan gender seseorang maskulin atau feminin. Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin, dan masyarkat patriarkhial
menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif penuh kasih sayng, penurut, tanggap terhadap simpati dan laki-laki tetap
aktif kuat, agresif, ambisius, bertanggung jawab. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang dianggap tidak layak
atas perempuan, adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seprti juga laki-lakitidak ditakdirkan menjadi
aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-
masing Tong, 1998:72-73
Karena struktur masyarakat yang menganut sistem patriarkhi menyebabkan budaya digunakan untuk memurukkan perempuan dalam suatu
tatanan ideologis dan sosial yang sangat eksploitatif dan diskriminatif. Patriarkhi juga menimbulkan adanya diskriminasi-diskriminasi sosial, sehingga perempuan
semata-mata dijadikan obyek eksploitasi dalam segala aspek yaitu : sosial, politik, ekonomi, dan budaya http:www.jurnalperempuan.com.
2.1.5 Feminisme