laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender.
http:id.shvoong.comhumanities1796119-sejarah feminisme Pada penelitian ini yang mendasari peneliti untuk menganalisa konsep
feminisme dari tokoh perempuan yang terdapat dalam novel ”Perempuan Keumala” karena tokoh perempuan ini memiliki peran yang sangat sentral dan
dapat menimbulkan tanda tanya besar dimana dalam konsep feminisme seorang perempuan yang seharusnya lemah lembut tapi justru tampak garang dan agresif
dan posisi perempuan dalam novel ini disejajarkan dengan pria.
1.2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan permasalahan penelitian ini, yaitu “Bagaimana Representasi Perempuan dalam Novel
Perempuan Keumala?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui “Bagaimana Representasi Perempuan dalam Novel Perempuan Keumala?”
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapan dapat memberikan kontribusi untuk penelitian berikutnya mengenai kajian komunikasi, yaitu tentang analisa novel
dengan pendekatan semiotika.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengetahuan bagi pembaca terhadap pesan yang disampaikan dalam novel Perempuan Keumala. Dan dapat
menjadi masukan bagi pihak-pihak yang menggeluti dunia sastra yang juga
memahami bahwa novel adalah sebagai media komunikasi massa.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Novel sebagai Media Komunikasi Massa
Menurut Cecep Syamsul Hari www.kompas.comkompas-cetak
, istilah novel berasal dari Italia, novella, yaitu prosa naratif fiksional yang panjang dan
kompleks, yang secara imajinatif berjalin dengan pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan
melibatkan sekelompok atau sejumlah orang tokoh, karakter di dalam latar setting yang spesifik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, novel
diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku. Menurut De Fleur dan Dennis Mc Quail dalam Gunarsih 2006:33, secara
garis besar media komunikasi massa dapat digolongkan kedalam tiga hal yaitu media cetak atau print buku, majalah, surat kabar, dan film khususnya film
komersil serta media broadcasting yaitu radio dan televisi. media cetak sebagai salah satu bentuk media komunikasi umumnya memiliki fungsi sebagai pemberi
informasi, artikel, majalah yang lebih bersifat mempengaruhi dan novel mempunyai fungsi utama untuk menghibur. Selain itu, novel juga memberi
informasi dan mempersuasi pembacanya. Dalam arti umum, novel diartikan sebagai suatu cerita rekaaan yang
panjang dalam bentuk prosa. Sebagai bentuk karya sastra, novel merupakan
11
struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun
dari unsur-unsur yang terpadu Sugihastuti dan Suharto, 2002:43. Isi pesan novel menjadi penting, berkaitan dengan fungsi novel yang
dikemukakan oleh Culler, yaitu novel merupakan wacana yang di dalamnya dan lewatnya masyarakat mengartikulasikan dunia. Di dalam novel kata-kata disusun
sedemikian rupa agar melalui aktivitas pembacaan akan muncul suatu model mengenai suatu dunia sosial, model-model personalitas individual, model
hubungan dengan masyarakat. Dan yang lebih penting lagi, model signifikasi dari aspek dunia tersebut Faruk, 2001:47.
Novel sebagai suatu karya satra merupakan salah satu bahasa untuk berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya yang berkembang sesuai dengan
perubahan masyarakat dimana ia hidup Sunardi,2004:14.
2.1.2. Bahasa dalam Karya Sastra
Bahasa dalam perspektif semiotika hanyalah salah satu sistem tanda-tanda system of sign. Bahasa adalah sebuah institusi sosial yang otonom, yang
keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya Sobur, 2005:14. Menurut Rolland Wardhaugh, seorang linguis barat, dalam Introductions to
linguistic memberikan definisi sebagaii berikut : “Bahasa ialah suatu sistem simbol-simbol bunyi arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia a system
Berdasarkan uraian di atas kita dapat member arti penting tentang “simbol” yaitu sebagai sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain things that
stand for other things. Pengertian ini berarti bahwa di sekeliling kita terdapat banyak symbol dan kita akan senatiasa dihadapkan pada berbagai symbol
Hidayat,2006:23. Menurut Amiruddin ada delapan belas ciri bahasa manusia, yaitu:
1. Alat fisis yang digunakan bersifat tetap dan memiliki kriteria tertentu. 2. Organisme yang digunakan memiliki hubungan timbal balik .
3. Menggunakan kriteria pragmatik, berkaitan dengan bunyi-bunyi segmental. 4. Mengandung kriteria semantik atau fungsi semantik tertentu.
5. Memiliki kriteria sintaksis, kata-kata yang digunakan untuk menjadi suatu kalimat harus disususn sesuai dengan pola kalimat yang telah disepakati.
6. Melibatkan unsur bunyi ataupun unsur audiovisual. 7. Memiliki kriteria kombinasi dan bersifat produktif .
8. Bersifat arbiter, mana suka. 9. Memiliki ciri previkasi.
10. Terbatas dan relatif tetap. 11. Mengandung kontinuitas dan mengandung diskontinuitas.
12. Bersifat hierarkis, yaitu pemakaian yang keberadaannya memiliki tatanan yang berada dalam tata tingkat tertentu.
13. Bersifat sistematis dan simultan. 14. Saling melengkapi dan mengisi, baik secara paradigmatic maupun sintagmatis.
15. Informasi kebahasan dapat disegmentasi , dihubungkan, disatukan dan
diabadikan. 16. Transmisi budaya.
17. Bahasa itu dapat dipelajari. 18. Bahasa itu dalam pemakaian bersifat bidimensial Hidayat,2006:25-26.
Salah satu fungsi bahasa menurut P.W.J. Nababan, seorang linguistik Indonesia adalah bahasa sebagai fungsi kebudayaan, jalur penerus kebudayaan
dan invetaris ciri-ciri kebudayaan. Tanda-tanda kebahasaan, setidaknya memiliki dua buah karakteristik,
yaitu bersifat linier dan arbiter. Karakteristik pertama, linearitas penanda the linier nature of the signifier, berkaitan dengan dimensi kewaktuaanya. Penanda-
penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara sekaligus atau simultan. Karakteristik kedua, karbiterian tanda
the arbitrary nature of the sign bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”, tak termotivasi unmotivated.
Relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan kovensi Budiman, 2005:38.
2.1.3. Karya Sastra sebagai Media Komunikasi
Sastra menjadi bahasa untuk berkomunikasi dengan bidang-bidang lainnya yang berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat dimana ia hidup
Sunardi,2004:14. Karya sastra sebagai proses komunikasi menyediakan pemahaman yang
sangat luas. Menurut Duncan, dalam karya seni terkandung bentuk-bentuk ideal komunikasi, sebab karya seni menyajikan pengalaman dalam kualitas antar
hubungan Ratna,2003:142.
Entitas karya sastra sebagai representasi semetaan sosial berlangsung sepanjang sejarah. Identifikasi dan internatualiasi terhadap universum
sosiokultural mengandaikan keakraban antara subjek kreator dengan objek-objek kulturalnya. Tanpa eksistensi dan kreativitas subjek kreator, maka fakta-fakta
kultural tetap merupakan fakta-fakta alamiah, nontesis dan dengan sendirinya denotatif Ratna, 2003:42-43 .
Untuk menyajikan material kultural, dibandingkan dengan puisi, bahkan juga drama, novel memiliki medium narativitas yang sangat kaya. Secara
kronologis, transmisi material kultural kedalam karya, meliputi : pengamatan dan penelitian, penulisan dan penyebaran, pembacaan dan penilaian Ratna,2003:44.
Menurut Dr.Nyoman Kutali Ratna dalam bukunya yang berjudul Paradigma Sosial Sastra, sebagai simbol ekspresif, medium komunikasi, dan
manifestasi transdental, fungsi-fungsi sosial karya sastra tidak terbatas hanya sebagai penjelasan materialism kultural dari individu ke individu yang lain, tetapi
yang lebih penting adalah transmisi dari satu komunitas ke komunitas yang lain, dari satu generasi ke generasi yang lain. Karya sastra dengan ciri kreativitas,
kapasitas evokasi dan penggunaan sarana bahasanya yang metaforsa, merupakan mediasi-mediasi yang paling tepat untuk menanamkan unsur-unsur objektivitas
hubungan-hubungan sosial. Selanjutnya masih menurut Ratna, content isi dari suatu karya satra dapat
mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan masyarakat. Karya sastra, seperti juga karya-karya dalam ilmu kemanusiaan yang lain, mengesahkan dan
mengevaluasi bahan-bahan yang sama, tetapi dengan cara pandang yang berbeda
dan cara pemahaman yang berbeda. Karya sastra bukan semata-mata respons interaksi sosial, aktivitas-aktivitas karya seni yang mengimplementasikan
motivasi yang jauh lebih luas dan dalam, yaitu rekontruksi asumsi-asumsi kesadaran sosial, berbagai asumsi yang dikonfigurasikan secara verbal.
Sesuai dengan pendapat Dewey, Duncan memandang bahwa masyarakat lahir dalam dan melalui komunikasi, yaitu komunikasi simbol-simbol bermakna.
Mekanisme melalui hubungan-hubungan lisan dan tulisan dianggap sebagai cara- cara berkomunikasi yang paling konstan dan lazim dalam kehidupan sosial, yaitu
dengan sendirinya merupakan fondasi, sumber, dan energi semua aktivitas Ratna,2003 :12.
Karya sastra, khususnya novel, dengan peralatan formalnya, makin lama makin dirasakan sebagai aktivitas yang benar-benar memiliki fungsi integral
dalam struktur sosial. Dalam proses komunikasi, karya sastra dianggap sebagai gejala yang sarat dengan referensi-referensi sosial. Karena itulah Duncan
menyatakan bahwa kekuatan seni yang sesungguhnya terletak dalam kapasitasnya untuk menerobos tembok pemisah antar manusia Ratna,2003:134.
Selanjutnya Dr.Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa komunikasi sastra merupakan komunikasi tertinggi. Sebab, melibatkan mekanisme unsur-
unsur yang paling luas. Schmidt misalnya,menjelaskan bahwa komunikasi sastra melibatkan proses total yang meliputi : a produksi teks, yaitu aktivitas pengarang
dalam menghasilkan teks tertentu, b teks itu sendiri dengan berbagai problematikanya, c transmisi teks melalui editor, penerbit, toko-toko buku, dan
pembaca nyata dan d penerima teks, melalui aktivitas pembaca khususnya pembaca implisit.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas hubungan yang bertujuan untuk saling menjelaskan fungsi-fungsi perilaku sosial
yang terjadi pada saat-saat tertentu Ratna,2003 :137.
2.1.4. Perempuan sebagai feminis
Sejarah feminis di Indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan
dengan Barat di masa pencerahan the enlightenment, di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang wave dan
menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama first wave feminism dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang
kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau postfeminism. Istilah perilaku sekelompok perempuan yang menolak penindasan secara vulgar.
Sebenarnya, setiap orang yang menyadari adanya ketidakadilan atau diskriminasi yang dialami oleh perempuan karena jenis kelaminnya, dan mau
melakukan sesuatu untuk mengakhiri ketidakadilan atau diskriminasi tersebut, pada dasarnya dapat disebut feminis.
Sudah sejak lama perempuan selalu diidentikkan dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, atau keibuan, pasif, serta identik dengan pekerjaan yang
dekat dengan lingkungan privat dan domestiknya, seperti mendidik anak,
mengurusi dapur. Seperti ditulis oleh Sara Ahmed, pengetahuan feminis adalah persoalan yang located dan situated. Bahkan “saya” adalah suatu hal yang located
dan situated sedemikiam sehingga cara saya menjadi feminis, termasuk cara pandang saya menjadi feminis, terhadap persoalan di sekitar saya juga mengalami
perubahan”. Aquarini, 2006:14 Berbagai permasalahan yang menimpa kaum perempuan saat ini, diyakini
akibat hegemoni budaya patriarkhi dan struktur masyarakat yang berkiblat pada sistem patriarkhi yang mendominasi semua lini kehidupan. Secara kebahasan,
patriarkhi berarti rule of the father, atau aturan dari sang Bapak. Dalam sistem patriarkhi, laki-laki yang berusia lebh tua mengendalikan kekuasaan secara
absolute terhadap pihak lain. Dari persoalan parfum sampai pada persoalan hukum, dari persoalan kulit sampai persoalan politik. Maka berbagai upaya
mencari sparing patner hegemoni budaya patriarkhi inilah kira-kira yang diagungkan oleh para feminis, dan dirasa relevan berdasarkan asumsi posisi kaum
perempuan selama ini adalah sebagai warga masyarakat kelas dua atau menduduki posisi sub ordinat dalam ruang publik, menjadi terdobrak oleh wacana
‘kesejahteraan jender’ dalam mensejahterahkan kaum perempuan. Menurut feminis permasalahan yang menimpa kaum perempuan sekarang ini akibat masih
terhegemoninya kebebasan perempuan dalam ranah publik. Keterbelakangan pendidikan membawa akibat pada sub mental bawahan. Munculnya budaya
patriarki yang diklaim oleh feminis sebagai akar keterkungkungan perempuan dalam menyuarakan kebebasannya, penderitaan yang diikut sertakan akibat
dominasi ini tidak serta merta ada begitu saja, tetapi melalui proses berkepanjangan. www.qiyanfikir.worspress.com
Menurut Aquarini, dia mengasumsikan bahwa perempuan memang dikonstruksikan untuk melayani laki-laki, baik secara sosial dan seksual, tanpa
mempertimbangkan kekuatan ekonomi, perbedaan kelas, atau bahkan “senioritas” Aquarini,2006 :35. Menurut Rieke Dyah Pitaloka seorang aktivis perempuan,
dalam budaya patriarkhi di keluarga terutama, otoritas tertinggi ada pada suami, kepala rumah tangga, yang berhak memberikan aturan apapun yang menyangkut
orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “pelajaran” kepada istri. Dengan kondisi begitu, mendorong perempuan untuk terlepas dari sistem tersebut
dan dengan istilah emansipasi wanita yang mensyarakatkan enyahnya cara pandang patriarkhi dari ruang privat sekaligus publik
www.kompas.com Sementara Kate Millet menyatakan bahwa, ideologi patriarkhi merupakan
kekuasaan laki-laki, yang mengkondisikan perempuan untuk memperlihatkan perilaku yang melayani laki-laki dan menerima peran sebagi pelayan laki-laki.
Beliau beranggapan bahwa idiologi seperti ini merembes ke segala aspek budaya dan menyentuh setiap aspek kehidupan kita bahkan kepada aspek yang sifatnya
pribadi Holidin dan Soenyono, 2004:81. Konsep penguasaan laki-laki yang bersifat absolut ini merupakan prinsip
pengorganisasian universal. Relasi yang terjadi melibatkan kekuasaan serta ideologi yang berjalan secara pasif, misalnya laki-laki merupakan sosok yang
powerful sedangkan perempuan sengaja dibuat tidak berdaya powerless. Hal ini memberikan implikasi besar, patriarkhi memberikan hukum yang tetap bahwa
laki-laki merupakan subjek yang menentukan. http:www.suaramerdeka.comharian021125khal.htm
Dominasi laki-laki itu sendiri tampaknya selalu dapat menemukan jalannya. Kekuatan ekonomi hanyalah satu dari cara-cara pendominasian
perempuan oleh laki-laki. Selain itu, perkawinan, adalah merupakan suatu instansi yang merupakan kaki tangan patriarkhi, tetapi disisi lain, jika proses sosialisasi
ideologi patriarkhi memang terutama berlangsung didalam keluarga, maka sesungguhnya keluarga menjadi sangat potensial untuk menjadi alat
pembongkaran ideologi itu sendiri Aquarini, 2006:34-35 Gayle Rubin seorang feminis radikal-libertarian, dalam pandangannya
tentang patriarkhi, mereka menolak asumsi bahwa ada atau seharusnya ada, hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang laki-laki atau perempuan
dengan gender seseorang maskulin atau feminin. Sebaliknya, mereka mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin, dan masyarkat patriarkhial
menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif penuh kasih sayng, penurut, tanggap terhadap simpati dan laki-laki tetap
aktif kuat, agresif, ambisius, bertanggung jawab. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang dianggap tidak layak
atas perempuan, adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seprti juga laki-lakitidak ditakdirkan menjadi
aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-
masing Tong, 1998:72-73
Karena struktur masyarakat yang menganut sistem patriarkhi menyebabkan budaya digunakan untuk memurukkan perempuan dalam suatu
tatanan ideologis dan sosial yang sangat eksploitatif dan diskriminatif. Patriarkhi juga menimbulkan adanya diskriminasi-diskriminasi sosial, sehingga perempuan
semata-mata dijadikan obyek eksploitasi dalam segala aspek yaitu : sosial, politik, ekonomi, dan budaya http:www.jurnalperempuan.com.
2.1.5 Feminisme
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah dengan membedakan terlebih dahulu antara konsep seks
jenis kelamin dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala kalamenjing dan
memiliki sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Sedangkan konsep gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalkan bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang bisa dipertukarkan.Artinya ada laki-laki yang emisonal, lemah lembut, keibuan,
sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari
sifat-sifat itu dapa terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain Fakih, 2001:7.
Istilah gender sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan jender. Jender diartikan sebagai,
“interpretasi mental dan kultural terhadapa perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja
yang tepat bagi laki-laki dan perempuan”. Sedangkan oleh Peter R. Beckman dan Francine D’ Amico, Eds, jender didefinisikan sebagi karakteristik sosial yang
diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Karakteristik sosial ini merupakan hasil perkembangan sosial dan budaya sehingga tidak bersifat permanen maupun
universal. Berdasarkan karakteristik sosial ditetapkan peran untuk laki-laki dan perempuan yang pantas. Akibatnya timbul asosiasi dunia publik bersifat maskulin
pantas untuk kaum laki-laki dan dunia privat, domestik, dan rumah tangga bersifat feminin adalah milik perempuan Sumiarni, 2004:1-3.
Humm 2002: 158, dalam Kasiyan adalah menunjuk pada pengertian sebagai pemaknaan istilah feminisme yang ada di masyarakat tidaklah tunggal,
melainkan kompleks. Definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan realitas sosiokultural yang melatarbelakangi lahirnya faham tersebut dan
perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para feminis itu sendiri Kasiyan, 2008: 72. Istilah feminisme berasal dari kata Latin
femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan Sumiarni, 2004. Namun, secara umum, menurut ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat
dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami
ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Di bawah payung lebar berbagai feminisme ini, ditawarkan berbagai analisis mengenai penyebab serta pelaku dari
penindasan perempuan. Diskriminasi yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang
dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu
memunculkan apa yang disebut dengan emansipasi atau feminisme. Dimana emansipasi sendiri memiliki pengertian sebgai gerakan yang mencita-citakan
kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Karena konstruksi sosial diciptakan
manusia maka feminitas dan gender tidaklah ajeg dan dengan demikian dapat berubah. Apa yang dianggap “feminin” bergantung pada siapa yang
mendefinisinya, tempat orang-orang itu berada, dan apa yang telah mempengaruhi hidup mereka Aquarini, 2006:22. Feminisme telah dibedakan dengan feminin
dalam pengertiannya, feminin berasal dari bahasa Perancis “feminine” yang merupakan sebuah kata sifat adjektif yang berarti “kewanitaan” atau
menunjukkan sifat perempuan. Makna feminis disini adalah mencari peluang kebebasan atau kemrdekaan
perempuan untuk perempuan itu sendiri. Dengan demikian, gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan bias perlakuan laki-laki
karena perempuan hanya ingin memperhatikan dirinya sendiri dengan lebih baik.
Feminisme sebagai suatu gerakan memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti
kesamaan gender jenis kelamin dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia.
2. Menolak setiap perbedaan manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin.
3. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.
4. Berjuang untuk membentuk pengakuan manusia yang menyeluruh tentang laki- laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan
kemanusiaan. Hubbies dalam Sumiarni,2004 :20 Gerakan feminisme meskipun dianggap sudah tua, namun baru tahun 60-
an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu. Muncul di Amerika sendiri sebagai bagian dari kultural radikal. Lantas gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada dan
Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan mengguncang Dunia Ketiga. Secara kuantitatif, dampak feminisme memang nyata di mana
dalam 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut nasib perempuan. Setelah pada tahun 1975 PBB mengumumkan International
Decade Of Woman, terjadi beberapa peristiwa bagi kaum perempuan. Kini hampir setiap negara memiliki perundang-undangan anti diskriminasi yang
menguntungkan kaum perempuan. Fakih,1997:106 Menurut Fakih 2001: 80-98, di antara sekian banyak jenis gerakan
feminisme dalam sepanjang sejarah perkembangannya yang ada di masyarakat di
berbagai belahan dunia, ada beberapa jenis gerakan yang menjadi arus utama mainstream dan mempunyai pengaruh yang cukup luas, sehingga banyak
dijadikan sebagai tokoh perempuan gerakan di berbagai tempat. Secara garis besar arus utama jenis gerakan feminisme tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori
besar, yakni paradigma fungsionalisme struktural, yakni Feminisme Liberal. Dan kedua adalah yang dipengaruhi oleh paradigma konflik, yakni Feminisme Radikal,
Feminisme Marxis dan Feminisme Sosialis.
2.1.6. Feminisme Liberal
Gerakan Feminisme Liberal merupakan gerakan perjuangan proyek kesetaraan gender yang usianya paling tua sejak abad ke-17. Gerakan ini diilhami
oleh aliran fungsionalisme struktural sebuah mazhab besar dalam ilmu sosial, yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Aliran ini muncul
sebagai kritik terhadap politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang
sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Beberapa feminis awal berusaha memasukkan ide bhwa perempuan merupakan makhluk yang sama
dengan pria, dan mempunyai hak yang sama dengan pria. Asumsi dasarnya adalah tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Feminisme liberal memberikan
landasan teoritis akan kesamaan wanita dalam potensi rasionalitasnya dengan pria. Perspektif gerakan ini, memandang bahwa keterbelakangan kaum
perempuan selain bersumber dari sikap irasional yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak
berpartisipasi dalam pembangunan. Karenanya melibatkan kaum perempuan
dalam industrialisasi dan program pembangunan, dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status kaum perempuan Kasiyan, 2008:86-87.
Gerakan feminisme liberal meningkatkan status perempuan dengan menerapkan tekanan legal, sosial, dan lain-lain. Feminis liberal bekerja keras
terhadap reformasinya di bidang pendidikan dan hukum yang telah memperbaiki kualitas hidup perempuan. Sangatlah diragukan bahwa tanpa usaha feminis liberal
begitu banyak perempuan dapat mencapai posisi profesi untuk meningkatkan status pekerjaan dan posisi kerja yang tinggi Tong, 1998: 66.
Dasar pemikiran kelompok ini adalah bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang dan serasi mestinya tidak terjadi penindasan
antara satu dengan lainnya. Meskipun tetap menolak persamaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa hal terutama yang berhubungan
dengan fungsi reproduksi Sumiarni, 2004:62 Untuk mencapai persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dapat
terjamin pelaksanaannya, perlu ditunjang oleh dasar hukum yang kuat. Ada tiga aspek yang ingin dihindari dari hukum perkawinan Amerika Serikat oleh para
feminis liberal, yaitu anggapan suami sebgai kepala keluarga, anggapan bahwa suami bertanggung jawab atas nafkah isteri dan anak-anaknya, dan anggapan
bahwa isteri bertanggung jawab atas pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga.
Pada feminisme liberal, konsep yang digunakan dan diambil untuk meneliti antara lain seperti:
1. Perempuan sebagai feminis menginginkan adanya kesetaraan kesempatan, dalam pendidikan, hak politik dan ekonomi.
2. Perempuan sebagai feminis menjadi pembuat keputusan yang otonom. 3. Perempuan sebagai feminis mengkonstruksi ulang peran gender secara sosial.
4. Perempuan sebagai feminis tidak dapat membenarkan hukum atau tabu yang melarang semua perempuan untuk melakukan hal yang dapat dilakukan laki-
laki rata-rata dan dianggap tidak dapat dilakukan perempuan rata-rata dan juga sebaliknya.
5. Menyangkal adanya perbedaan intelektual atau moral antara laki-laki dan perempuan.
6. Membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alas an atau pembenaran untuk memberikan tempat
yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan. Tong, 1998
2.1.7. Feminisme Radikal-Kultural
Alice Echols menyatakan dalam feminis radikal-kultural mengungkapakan salah satu pandangan bahwa lebih baik menjadi perempuan atau feminin daripada
menjadi laki-laki atau maskulin. Karena itu, perempuan tidak seharusnya mencoba untuk menjadi seperti laki-laki. Sebaliknya, perempuan harusnya mencoba untuk
menjadi lebih seperti perempuan dan menekankan nilai-nilai dan sifat-sifat, yang secara kultural, dihubungkan terhadap perempuan “ saling ketergantungan,
komunitas, hubungan, berbagi, emosi, tubuh, kepercayaan, ketiadaan hirarki,
alam, imanensi, proses, kesukariaan, perdamaian, dan kehidupan”, dan meninggalkan penekananatas nilai - nilai dan sifat – sifat yang secara kultural
dihubungkan terhadap laki laki “ independensi, otonomi, intelek, kemauan, kehati hatian, hirarki, dominasi, kebudayaan, transendensi, produk, askestisme, perang,
dan kematian”. Meskipun begitu, Echols dan Acoff mengakui, bahwa tidak semua feminis radikal-kultural percaya bahwa perbedaan perempuan – laki-laki
berakar pada alam. Beberapa diantara mereka, menurut Echlos, berpendapat bahwa perdedaan seksgender mengalir bukan semata mata jika memang
demikian dari biologi, melainkan juga dari “sosialisasi” atau dari sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang petriarkal Tong,
1998: 71. Salah satu pandangan feminis radikal-kultural yang lainnya adalah seperti
yang diungkapkan oleh Marilyn French, beliau mengantribusikan perbedaan laki laki terhadap perempuan lebih kepada biologi nature alam daripada kepada
sosialisasi nature pengasuhan. Jika mungkinmemberikan pembenaran atas dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka mungkin pula memberikan
pembenaran atas segala dan setiap bentuk dominasi. “Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan, pada gilirannya
mengarahkan kepada stratifikasi kelas: yang elit menguasai orang-orang yang dipandang sebagai “lebih dekat ke alam”
French menyimpulkan bahwa manusia awal hidup dalam harmoni dengan alam. Dalam hasrat laki-laki untuk menguasai kombinasi “perempuan
alam”lahirlah patriarkhi, sebagai suatu sistem hirarki yang menghargai apa yang disebut sebagai power-over Tong, 1998: 79-81. Karena ketidaksukaannya yang
sangat jelas atas nilai-nilai maskulin power-over, French mengklaim bahwa soerang manusia yang androgini, harus menyeimbangkan diri bukan antara
pleasure with dengan power-over, melainkan antara pleasure with dengan versi yang sudah difeminisikan dari power-over , yang dibelinya sebagai power-to.
French menekankan bahwaadalah baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa, dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa yang muncul bukan
sebagai hasrat untuk menghancurkan power-over, tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta power-to Tong, 1998: 83.
Pada feminisme radikal-kultural, konsep yang diambil dan digunakanuntuk meneliti antara lain:
1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi dimana, laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan.
2. Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi
aktif dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik
mereka masing-masing. 3. Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan dan
dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu. 4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya
merupakan aspek “baik” dari femininitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas ”buruk” karena semua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-
laki”.
5. Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari tambahan- tambahan sifat maskulin. Tong, 1998.
2.1.8. Pengertian Semiotika Komunikasi
Secara estimologis, istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain Sobur, 2006:16. Dalam Sobur, semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti significant dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang
menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan. Sedangkan definisi semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan makna. Sobur,
2006:17 Sedangkan yang dimaksud dengan semiotika signifikasi adalah semiotika
yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam suatu sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Sobur, 2006:16
Pada dasarnya semiotika dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima
istilah, yaitu:
Ss,i,e,r,c
S adalah untuk semiotic relation hubungan semiotik; s untuk sign tanda; i untuk interpreter penafsir; e untuk effect pengaruh. Misalnya suatu disposisi
dalam I akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi
tertentu c karena s.r untuk reference rujukan; dan c untuk context kontek atau condition kondisi. Sobur, 2004:17.
2.1.9. Teori Semiotika Roland Barthes
Barthes bersama dengan Levi-Strauss adalah tokoh awal yang mencetuskan paham struktural dan yang meneliti sistem tanda dalam budaya
Sutrisno Putranto, 2005:117. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam kurun waktu tertentu.Sobur, 2006:63 Signifiant penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna aspek material, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep
aspek mental dari bahasa. Kurniawan, 2001:30 Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan
petanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai penanda baru yang kemudian memiliki penanda baru
sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem terminologis.
Sedang sistem tanda tingkat kedua disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Kurniawan, 2001:115
Barthes mengatakan sutu karya atau teks merupakan sebuah bentuk konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dan bahan-
bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin
menemukan makna di dalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks, atau wacana naratif yang terdiri atas
penenda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi sebagian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan
panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu-dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa kalimat atau beberapa paragraph.
Kurniawan, 2001:93 Dimensi leksia beragantung kepada kepekatan density dari konotasi-
konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak
pertama diantara pembaca dan teks maupun pada satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh sebagian fungsi pada tataran-tataran
pengorganisasian yang lebih tinggi. Budiman, 2003:54 Dalam sutu naskah atau teks, terdapat lima kode pokok five major codes
yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes adalah kode hermeneutik kode teka- teki, kode semik makna konotatif, kode simbolik, kode proaretik logika
tindakan, dan kode gnomik kode kultural. Sobur, 2006:65 Kode
hermeneutik atau kode teka teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode
teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita Sobur, 2006:65. Kode ini merupakan sebuah kode “penceritraan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. Budiman, 2003:55
Kode semik code of seems atau kode konotatif adalah kode yang
memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu Budiman, 2003:56. Kode semik menawarkan banyak
sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada
suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh, dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling
kuat dan paling “akhir’. Sobur, 2006:65-66 Kode
simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini
didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara,
maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-
istilah teoritis seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes Sobur, 2006:66. Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang
dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual. Budiman, 2003:56
Kode proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku
manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam “judul” bagi
sekuans yang bersangkutan Budiman, 2003:56. Kode ini dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua
teks yang bersifat naratif. Sobur, 2006:66 Kode
gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya.
Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah
dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu Sobur, 2006:66. Selanjutnya dalam Budiman, kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang
terus menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.
Dalam teori Barthes akrab dengan apa yang disebut dengan sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada
sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua
ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2006:69
1. signifier 2. signified penanda petanda
4. connotative signifier penanda konotatif
6. connotative sign tanda konotatif
5.
connotative signified petanda konotatif
3. denotative sign tanda denotatif
Gambar 1 : Peta Tanda Roland Barthes Sumber : Drs. Alex Sobur Msi, 2004, Semiotika komunikasi, Remaja
Rosda Karya, hlm 69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Sobur, 2006:69 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sobur, 2006:69.
2.2. Kerangka Berpikir
Dalam sebuah penelitian, diharapkan ada kecakapan dan ketelitian. Dua hal tersebut yang nantinya secara keseluruhan akan dapat mempengaruhi peneliti
dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel. Sebab, pandangan setiap individu dalam memaknai suatu peristiwa atau objek tertentu berbeda. Hal ini
dikarenakan pengaruh yang didapat dari latar belakang pengalaman field of experience dan pengetahuan frame of reference yang berbeda-beda pada setiap
individu. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, pesan disampaikan melalui teks novel, maka seorang penulis novel dalam menyampaikan pesan yang
dituliskan didalam novelnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
Peneliti harus menemukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan
karya sastra mempunyai makna. Sobur, 2006:144. Sastra juga dijabarkan dan
digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiologi, tanda yang berupa indeks yang paling banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan sebab-
akibat. Novel “Perempuan Keumala” karya Endang Moerdopo adalah sebuah
karya novel yang dapat dijadikan wahana bagi para perempuan Indonesia untuk bangkit dan melanjutkan semangat kepahlawanannya. Dalam penelitian ini
peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada novel “Perempuan Keumala”. Dalam hubungannya dengan representasi
Perempuan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan.
Representasi Perempuan dalam novel kali ini akan diinterpretasikan melalui dua tahap pemaknaan. Langkah pertama, novel “Perempuan Keumala”
akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan units of reading dengan
menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan
kode cultural. Pada tahap kedua novel “Perempuan Keumala” sebagai sebuah bahasa
dalam tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai
berikut: a.
Dalam tataran linguistik, yaitu sistem semiologi tingkat pertama penanda-penanda berhubungan dengan penanda-penanda sedemikian
sehingga menghasilkan tanda. b.
Dalam tataran mitos, yaitu semiologi lapis kedua, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-
penanda yang berhubungan pula pada petanda-petanda pada tataran kedua. Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan
interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal.
t
Novel “Perempuan
Keumala” Karya Endang
Moerdopo
Analisis Menggunakan
metode semiotik
Roland Barthes Hasil
Interpretasi Data
Gambar 2.1.9 Kerangka Berpikir Peneliti
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian