Implementasi Peraturan Bersama Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 Terhadap Perilaku Hakim
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ahmad Haidar Muiny NIM : 1111048000054
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
iv
No.02/PB/P.KY/IX/2012 Terhadap Perilaku Hakim, Strata satu (S1), Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H / 2015 M. ix + 82 halaman. Skripsi ini membahas tentang permasalahan tentang kode etik dan perilaku hakim yang ada di Indonesia. yaitu penerapan Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut, (1) Untuk mengetahui kode etik dan perilaku hakim yang telah diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melalui peraturan bersama. (2) Untuk mengetahui bagaimana efektifitas peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi yudisial dalam mengawasi kode etik dan perilaku hakim. (3) Untuk mengetahui penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melanggar.
Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kepustakaan bersifat normatif. Normatif artinya penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu mengadakan penelitian terhadap masalah hukum dan perilaku yang ada di masyarakat.
Kesimpulan dari analisis yang dilakukan adalah Kode etik profesi merupakan inti yang melekat pada suatu profesi, ialah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim dituntut untuk profesional dan menjunjung etika profesi. Pelanggaran atas suatu kode etik profesi tidaklah terbatas sebagai masalah internal lembaga peradilan, tetapi juga merupakan masalah masyarakat.
Kata Kunci : Implementasi Peraturan Bersama Terhadap Perilaku Hakim Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, SH., MH.
(6)
v
KATA PENGANTAR
مسب
ميحرلا نمحرلا ها
Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil
„alamin terucap dengan ikhlas segala rasa syukur kepada-Nya atas terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW.
Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya
yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui.
Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka
duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua
pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan.
Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum.
(7)
vi
5. Bapak Ahmad Bahtiar, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik penulis
dari semester awal hingga semester akhir perkuliahan.
6. Kedua orang tua penulis bapak H. Fahrul Fuadi, Spd. dan ibu Dra. Hj. Tuti
Ulwiyah, M.H. yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis,
memberikan motivasi, doa dan selalu mendukung penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri.
7. Kepada seluruh keluarga besar almarhum Drs. Ahmad Amin dan al
marhum K.H. Irsyad Muiny S.H yang telah memberikan semangat,
motivasi, dan doa kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Program Studi Ilmu Hukum.
9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan
seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011.
10. Semua sahabat penulis dari Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2011 B,
teman dari Pusat Studi Hukum Kelembagaan Negara, dan
teman-teman KKN yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu.
Atas semua jasa, dukungan dan bantuan dari semua pihak yang telah
disebutkan diatas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan
(8)
vii
berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah
SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih
sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.
Jakarta, Juni 2015
(9)
vii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Kerangka Teoritis ... 9
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 13
F. Metode Penelitian... 15
G. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Mahkamah Agung (MA) ... 20
B. Mahkamah Konstitusi (MK) ... 22
C. Lembaga Pendukung Kekuasaan Kehakiman ... 32
BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL A. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung ... 34
(10)
viii
B. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial ... 42
C. Korelasi Antara Kewenangan Mahkamah Agung Dengan Komisi Yudisial
Terhadap Kode Etik Perilaku Hakim……….. …………. 48
BAB IV IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Tindakan Mahkamah Agung Dalam Menangani Kode Etik dan Perilaku
Hakim ... 54
B. Tindakan Komisi Yudisial Dalam Menangani Kode Etik dan Perilku
Hakim ... 57
C. Analisis Implementasi Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 Terhadap
Kasus Hakim Agung Achmad Yamanie dan Kasus Hakim Vica
Natalia……….59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran-Saran ... 79
(11)
1
A. Latar Belakang Masalah
Implementasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
penerapan atau pelaksanaan dalam sebuah pekerjaan.1 Dalam kode etik
hakim, hakim dituntut untuk bersikap adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap
mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga
diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional.
Semua hal tersebut demi mewujudkan keadilan sepenuhnya yang ada di
Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal ini hakim tidak hanya dituntut untuk
memutuskan sebuah perkara dengan hanya menggunakan undang-undang
saja tapi juga menggunakan yurisprudensi.
Cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa berlandasakan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi
luhur dan jujur, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi
prinsip-prinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku sesuai dengan agama
dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong hakim untuk berperilaku baik
dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing.2
1
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, cet-ke 1, (Mitra Pelajar: Surabaya, 2005), h.196
2
(12)
2
Untuk melaksanakan suatu fungsi, pada semua lini dalam setiap bidang
pada dasarnya terdapat beberapa unsur pokok, yaitu : tugas, yang merupakan
kewajiban dan kewenangan. Aparat, orang yang melaksanakan tugas tersebut.
Lembaga, yang merupakan tempat atau wadah yang dilengkapi dengan sarana
dan prasarana bagi aparat yang akan melaksanakan tugasnya. Bagi seorang
aparat, mendapatkan tugas merupakan mendapatkan kepercayaan untuk dapat
mengemban tugas dengan baik dan harus dikerjakan dengan sebaiknya.
Untuk mengerjakan tugas tersebut akan terkandung sebuah tanggung jawab
dalam melaksanakan dan mengerjakan tugas tersebut.
Tanggung jawab dapat dibedakan menjadi 3 hal yakni : moral, teknis
profesi dan hukum. Tanggung jawab hukum merupakan tanggung jawab yang
menjadi beban aparat untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan
rambu-rambu hukum yang telah ada, dan wujud dari pertanggung jawaban ini
merupakan sebuah sanksi. Sementara itu tanggung jawab moral merupakan
tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan kehidupan yang bersangkutan (kode etik profesi).
Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya sistem peradilan yang
diharapkan dapat membuat keseimbangan sosial dan kedamaian didunia ini.
Namun perlu kita sadari aparat-aparat hukum juga merupakan seorang
manusia yang memiliki kekurangan dan memiliki kesalahan yang tidak dapat
dipungkiri. Beberapa tekanan terkadang dapat membuat seseorang melakukan
hal-hal yang kadang tidak sesuai maka dari itu diperlukannya kode etik dalam
(13)
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga Negara yang menjalankan
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. MA
adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas dari campur tangan kekuasaan
lainnya dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakan hukum dan
keadilan. MA merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga
negara, karena MA sebagai Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak
dibentuk sekarang ini.3
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari
masa penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana
terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian
waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan
terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di
Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.
Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi
Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan
jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris.
Deandels banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan terhadap apa yang diciptakan oleh VOC, diantaranya pada tahun
1798 telah mengubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian
tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Piagam atau
3
Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet-ke 10, (Gajah mada University Press : Yogyakarta, 1994) h. 13
(14)
4
Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86 Piagam tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan nyata dari zaman
pemerintahan Daendels terhadap peradilan di Indonesia, ditentukan sebagai
berikut :
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan degan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga.”
Piagam tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek
segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan di dalam
“Piagam” tidak sedikit memengaruhi Deandels di dalam menjalankan
tugasnya.
Komisi Yudisial (KY) merupakan lembaga yang akan berperan dalam
proses seleksi hakim agung dan melakukan pengawasan para hakim. Melalui
Komisi Yudisial, diharapkan proses seleksi hakim agung lebih objektif dan
transparan, dan moralitas serta kejujuran para hakim akan semakin terawasi.
Keberadaan Komisi Yudisial diperlukan sebagai bagian dari perbaikan
peradilan akibat kegagalan sistem yang telah ada untuk menciptakan
(15)
lembaga pengadilan dan kemajuan pelaksanaan peradilan.4 Sejarah
Pembentukan Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide
pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang
berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan
akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan
pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan
tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil
dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang
semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim,
yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri
agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan
profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR
tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan,
penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk
di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
4
Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM : Jakarta, 2004) h. 23
(16)
6
Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada
tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang
ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui
Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus
2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan
Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, di
bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau
lebih dari lima hal sebagai berikut:
1. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.5
Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial
adalah:
1. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang
5
Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM : Jakarta, 2004), h. 54
(17)
luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan semangat korps (l‟esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
2. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga
peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan
pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
4. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.6
Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena
lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan
bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga
diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan
rekrutmen hakim yang ada.
B. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
1. Batasan Masalah
6
Thohari, A Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, cet-ke 1, (ELSAM : Jakarta, 2004), h. 64
(18)
8
Pengawasan kode etik hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah terlalu luas, oleh karena itu
pembahasan penulisan ini dibatasi hanya pada implementasi Peraturan
Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial terhadap perilaku
hakim.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dan
Komisi Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dalam peraturan bersama?
b. Apakah Mahkamah Agung 02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi
Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 sudah menerapkan peraturan
bersama terhadap hakim yang melanggar?
C. Tujuan dan Manfaat penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini secara umum untuk mengetahui
implementasi atau penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial dalam hal menangani perilaku hakim dalam menjalani
tugas yang diembannya. Sedangkan secara khususnya, penilitian ini
bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui kode etik dan perilaku hakim yang telah
diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
(19)
b. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas peraturan bersama
Mahkamah Agung dan Komisi yudisial dalam mengawasi kode etik
dan perilaku hakim.
c. Untuk mengetahui penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial terhadap hakim yang melanggar.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan wawasan hakim dibidang kode etik dan perilaku hakim.
D. Kerangka Teoritis
Sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia menganut sistem
pemisahan kekuasaan (separation of power), dengan sistem pemisahan
kekuasaan ini lembaga negara menjadi kekuasaan yang dinisbatkan
sebagai fungsi lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan
satu sama lainnya.7 Maka lembaga negara mempunyai kewenangan yang
terpisah dari dengan lembaga negara lainnya. Hal ini dimaksudkan agar
tidak adanya monopoli kekuasaan terhadap kewenangan lembaga negara
lain, sesuai dengan prinsip checks and balances.
Pemerintahan pada awalnya dibentuk untuk menghindari
keadaan dimana sebuah wilayah yang dihuni oleh manusia mengalami
7
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 2004, h. 58
(20)
10
serba kekacauan.8 Dalam rangka pelaksanaan pekerjaan dan untuk
mencapai tujuan dari pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada
pengawasan, karena dengan pengawasan tersebut, maka tujuan yang akan
dicapai dapat dilihat dengan berpedoman rencana yang telah ditetapkan
terlebih dahulu oleh pemerintah.
Sebagaimana pendapat Situmorang dan Juhir mengemukakan agar
terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu
sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta
ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali
dalam wujud pengawasan masyarakat (control social) yang obyektif,
sehat dan bertanggung jawab.
Dapat diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah
membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang
telah dibuat, untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau
kegagalan serta efisiensi dan efektivitas kerja dan untuk mencari jalan
keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan atau dengan kata
lain disebut tindakan korektif.9 Pendapat ini terbukti jika sebuah lembaga
negara tidak melakukan pengawasan terhadap para pekerjanya maka
akan ada kelemahan dan kegagalan dalam kinerja lembaga tersebut.
Dalam mengelola pemerintahan secara baik dan benar, pemerintah
hendaknya jangan hanya sebagai penjaga malam yang memetingkan
8
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : tinjauan dari segi etika dan kepemimpinan, cet-ke 2, (PT. Yarsif Watampone : Jakarta, 1997),h. 1
9
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, cet-ke 3, ( Prenada Media Group : Jakarta, 2011), h.452- 454
(21)
ketertiban tetapi juga jangan lupa pada ketentraman dan kesejahteraan
jadi jangan hanya mampu berkuasa tetapi juga mampu untuk melayani,
oleh karena itu disebut sebagai pemerintah yang baik dan benar atau
dengan kata lain good governance dan cleant government.
Menurut Sumendar, ilmu pemerintahan sebagai badan yang penting
dalam rangka pemerintahannya, pemerintah musti memperhatikan
ketentraman dan ketertiban umum, tuntutan dan harapan serta pendapat
rakyat, kebutuhan dan kepetingan masyarakat, pengaruh lingkungan,
pengaturan, komunikasi, peran serta seluruh lapisan masyarakat, serta
keberadaan legitimasi. Dan menurut Munasef, ilmu pemerintahan adalah
suatu ilmu yang dapat menguasai dan memeimpin serta menyelidiki
unsur-unsur dinas, berhubungan dengan keserasian ke dalam hubungan
antar dinas-dinas itu dengan masyarakat yang kepentingannya diwakili
dinas tersebut.10
Kepastian hukum adalah apa yang berusaha dipertahankan teori
hukum tradisional, dengan sadar atau pun tidak.11 Kepastian hukum
merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan
sosiologis, tapi kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara
jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan
10
Inu Kencana Syafie, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, cet-ke 1, (PT. Refika Aditama : Bandung, 2003), h. 6
11
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, cet-ke 1, (Nusa Media : Bandung, 2010), h. 130.
(22)
12
tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian.
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi
batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.12
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
12
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, cet-ke 5, (Kencana : Jakarta, 2008), h. 158.
(23)
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu13.
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan
menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan
tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:
Sumber pembahasan ini diambil dari buku Kode Etik Hakim, penulis
Wildan Suyuthi Mustofa, dari penerbit Kencana yang membahas tentang
kode etik dan perilaku hakim.
Adapun skripsi yang pernah membahas seputar kode etik dan perilaku
hakim diantaranya adalah:
No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu
1. a. Judul Skripsi
b. Fokus
Pengawasan Perilaku Hakim Oleh Majelis
Kehormatan Hakim Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Bagaimana aturan-aturan mengenai perilaku
dan kode etik hakim dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran
13
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, cet-ke 1, (Citra Aditya Bakti : Bandung, 1999), h. 23.
(24)
14
c. Waktu/Tempat
martabat hakim, serta bagaimana cara
pengawasan majelis kehormatan hakim
terhadap perilaku hakim dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia.
Universitas Andalas, Padang 2011
2. a. Judul Skripsi
b. Fokus
c. Waktu/Tempat
Komisi Yudisial Dalam Mengawasi Hakim
Persepektif Peradilan Islam.
Komisi yudisial dalam pengawasan putusan,
administrasi, dank ode etik hakim harus
sesuai dengan peradilan islam yang selama ini
telah dijalankan dari mulai Rasul dan para
sahabatnya, yaitu menjunjung tinggi keadilan
bagi masyarakat luas.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta 2013
Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penulisan yang akan
diangkat oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus
mengenai penerapan peraturan bersama Mahkamah Agung No.
02/PB/MA/IX/2012 dan Komisi Yudisial No. 02/PB/P.KY/IX/2012 terhadap
(25)
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk
memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil
penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian merupakan metode ilmiah untuk mendapatkan tujuan
dan kegunaan tertentu. Indikasi hendaknya sebuah penelitian dapat diukur
dari sisi : rasionalitas, empris, dan sistematis, rasionalitas artinya penelitian
dilakukan dengan cara yang masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran
manusia, sementara empiris metode yang digunakan dengan cara indra
manusia, dan sitematis artinya proses penelitian tersebut menggunakan
langkah-langkah yang bersifat logis. menurut Peter Mahmud Marzuki,
penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum
yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan
know-how penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah
hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi
dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.14
2. Pendekatan Yang Dipakai
14
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet-ke 5, (Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2013), h. 60.
(26)
16
Atas dasar itu pembahasan pokok dalam penulisan ini menggunakan
sebuah metode kajian buku atau normatif maka penulis menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan
yang berkaitan dengan kode etik atau perilaku hakim. Pendekatan konsep
digunakan untuk memahami konsep aturan perundang-undangan tentang
kode etik dan perilaku hakim. Pendekatan historis dilakukan untuk
mengetahui sejarah tentang undang-undang yang mengatur tentang
permasalahan kode etik dan perilaku hakim yang ada di Indonesia.
3. Bahan dan Sumber Penelitian
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi
perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.15 Dalam
penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UUD
1945, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang- Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang amandemen
Undang-Undang Mahkamah Agung, Peraturan Bersama Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
No. 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/IX/2012 Tentang Panduan
Penegakan Kode Etik Hakim Dan Pedoman Perilaku Hakim.
15
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet-ke 5, (Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2013),h. 181.
(27)
b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang dipandang perlu.16
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku hakim, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan kode etik dan perilaku hakim. pendapat
sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari
internet.
5. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang
mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber
kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian
dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif
yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk
menjawab permasalahan yang ada.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet-ke 5, (Kencana Prenada Media Group : Jakarta, 2013), h. 183.
(28)
18
6. Pedoman Penulisan Skripsi
Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”
G. Sistematika Penulisan
Adapun dalam penulisan proposal skripsi ini, Penulis membaginya ke
dalam lima bab sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam Bab I ini terdiri dari uraian mengenai latar belakang
permasalahan, pokok permasalahan, maksud dan tujuan
penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori dan kerangka
konseptual, metodologi penulisan dan sistematika penulisan
skripsi.
BAB II : LANDASAN TEORI
Dalam Bab II ini terdiri dari uraian yang menjelaskan kajian
konsepsi yang merupakan dasar dari etika profesi hukum
atau kode etik profesi.
BAB III : KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL
Dalam Bab III ini terdiri dari uraian mengenai persamaan
dan perbedaan kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi
(29)
BAB IV : IMPLEMENTASI PERATURAN BERSAMA KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
Dalam Bab IV ini terdiri dari uraian hasil analisis yang
dikembangkan serta berkaitan dengan teori pada Bab II dan
Bab III. Kemudian analisis atas Peraturan Bersama Komisi
Yudisial 02/PB/P.KY/IX/2012 dan Mahkamah Agung
02/PB/MA/IX/2012 dikaitkan dengan penerapan Peraturan
Bersama terhadap perilaku hakim.
BAB V : PENUTUP
Dalam Bab V ini penulis akan menyimpulkan materi karya
ilmiah dari pokok permasalahan dan memberikan
saran-saran yang berguna bagi negara Indonesia, lembaga atau
(30)
20
BAB II
LEMBAGA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
A. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga Negara yang
menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi. MA adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas dari
campur tangan kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan
untuk menegakan hukum dan keadilan. MA merupakan puncak
perjuangan keadilan bagi setiap warga negara, karena MA sebagai
Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak dibentuk sekarang
ini.17
Mahkamah Agung menurut Ketentuan umum Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah
Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Beberapa
kewenangan Mahkamah Agung dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan Peradilan
bersama Mahkamah Konstitusi dengan tugas dan kewenangan
masing-masing yang berbeda. tentang Kekuasaan Kehakiman.“Kekuasaan
17
Philipus M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet-ke 10,
(31)
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.18 Mahkamah Agung adalah pemegang Kekuasaan Peradilan
bersama Mahkamah Konstitusi dengan tugas masing-masing yang
berbeda. Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi Badan Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.19 Pasal
tersebut menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
melaksanakan Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung membawahi
badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, Dan Peradilan Tata Usaha Negara.Mahkamah Agung
membawahi suatu Pengadilan Khusus.
Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.20 yang dimaksud dengan
“Pengadilan Khusus” antara lain adalah Pengadilan Anak, Pengadilan
Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial Dan Pengadilan Perikanan yang
18
Pasal 18 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
19
Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
20
(32)
22
berada di ingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Pajak yang
berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung berwenang:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali
undang-undang menentukan lain.
b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Mahkamah
Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat
masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan
dan tempat pengajuan peninjauan kembali (PK) 21.
B. Mahkamah Konstitusi (MK)
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam
amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang
Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember
21
(33)
2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah
Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana
diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13
Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran
Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden
melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim
konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan
sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal
16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003
yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu
cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.22
22http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses tanggal 3 Juli 2015 hari jumat, pukul 16:00
(34)
24
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi
yang telah ditentukan dalam UUD 1945 perubahan ketiga Pasal 24C
ayat (1) yaitu:23
1. Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD.
3. Memutuskan pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewajiban
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran hukum oleh presiden dan wakil presiden
menurut UUD.
Dengan demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban
konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tinggal pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada upaya
hukum lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang terjadi
pada pengadilan lain. Kasus-kasus yang menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi antara lain yaitu:
1. Perselihan Hasil Pemilihan Umum.
23
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, cet-ke 1, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 111
(35)
Pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil
presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama,
pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta
pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi
Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara
peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan
perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka
hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah
Konstitusi.24
Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah
Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara
pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara
nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara
dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti
bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap
peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan
akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
24
(36)
26
Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti
yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan
perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi
sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan
pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika
permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak
terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak.
Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD,
DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.
2. Pembubaran Partai Politik
Kebebasan Partai politik dan berpartai adalah cermin
kebebasan berserikat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar
1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang
bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena
itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang
bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan
konstitusi atau inkonstitusional.
Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan
berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran
suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan
konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam
perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per
(37)
tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai
politik itu adalah Mahkamah Konstitusi.25
Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang
dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang
pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang
kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini,
dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik
yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik
yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak
sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
3. Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil
presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban
Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya. Atau perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan Wakil Pesiden. 26
Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi
bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden atau Wakil
Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya
25
Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 26
(38)
28
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya
memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa
Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa
Presiden atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional
atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan
bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga
atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan
usul pemberhentian atas Presiden atau Wakil Presiden tersebut kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan
karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah
Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak
berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk
menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun,
kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap
ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan
MPR.
Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja
(39)
pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR
maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis.
Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat
jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat
dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat
DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau
tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil
Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang
bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
4. Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari
keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau dapat pula
disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang.
Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan
apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah
singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat
dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu
pengetahuan adalah pengujian atas konstitusionalitas UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur
Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara materiel
(40)
30
UU, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU
yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD.
Yang diuji dapat terdiri hanya 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1
kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil
adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut
menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau
tidak. Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai
sejak kasus Marbury versus Madison ketika Mahkamah Agung
Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803.
Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara
luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi
sehingga „the fouding fathers‟ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah
Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA
diberi kewenangan untuk membanding undang-undang.27 Akan
tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai
dengan paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan
UUD 1945, yaitu bahwa UUD Indonesia itu menganut sistem
supremasi MPR dan tidak menganut ajaran „trias politica‟
27
Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22
(41)
Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan ide pengujian UU
dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.28
Namun, sekarang, setelah UUD 1945 mengalami perubahan 4
kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya jelas sudah
berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi mengenal
prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya
MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan
sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan
tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka sekarang
setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu bukan lagi
lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.29
Karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku
kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami
kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai pelaku
kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat
langsung dari rakyat melalui pemilihan umum.
Di samping itu, karena sejak Perubahan Pertama sampai
Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari
tangan Presiden ke tangan DPR,30 maka mau tidak mau kita harus
28
Republik Indonesia, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 26 Mei 1945 – 22
Agustus 1945, Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995, hal 303-306.
29
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
30
(42)
32
memahami bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan
kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya hubungan
„checks and balances‟ antara satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk menolak ide pengujian
undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini, telah
mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang
itu tidak dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia di bawah UUD 1945.
C. Lembaga Pendukung Kekuasaan Kehakiman
Lembaga pendukung kekuasaan kehakiman yang ada di
Indonesia yaitu Komisi Yudisial (KY), Komisi Yudisial adalah
Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi
(constitutionally based power). Artinya, sebagai lembaga negara yang
bersifat mandiri dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah
ditentukan dalam UUD, kewenanganya Komisi Yudisial juga
diberikan dan diatur dalam UUD.
Kewenangannya yang mengekslusifkan dan membedakan
Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Dengan konstruksi
demikian, Komisi Yudisial memiliki legitimasi yuridis amat kuat
(43)
Pada hakekatnya, tugas utama Komisi Yudisial adalah
mewujudkan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka melalui
pencalonan Hakim Agung serta pengawasan terhadap Hakim yang
trasparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku Hakim. dengan tugas dan
wewenang tersebut, keberadaan Komisi Yudisial memiliki arti penting
dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini
karena segala ketentuan dan kebijakan yang dibuat penyelenggara
Negara dapat diukur dalam kehormatan dan keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Wewenang konstitusional Komisi Yudisial tersebut secara
khusus diatur dalam pasal 24B ayat 1 UUD 1945 pasca amandemen.
Pasal 24B ayat 1 perubahan UUD 1945 tersebut merangkum
sekaligus, fungsi, tugas dan wewenang Komisi Yudisial dalam wujud
rumusan umum.
Berdasarkan pokok pengaturan tersebut, UU No.22 tahun 2004
menjabarkan tugas strategis Komisi Yudisial melalui pasal 13 yang
menyatakan bahwa, Komisi Yudisial mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat erta menjaga
perilaku hakim.31
31
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 151-152.
(44)
34
BAB III
KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL
A. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung
Menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah:
a. Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan
nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga
pemerintahan.
b. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.32 Dalam
Pasal tersebut Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada Lembaga Negara
dan Lembaga Pemerintahan dan terhadap putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang.
Peran Mahkamah Agung dalam pengajuan Hakim Konstitusi diatur
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
32
(45)
Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah
Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang
oleh Presiden.33 dalam hal ini Mahkamah Agung berhak untuk
mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi.
1. Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung
a. Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung
sebelum reformasi, dan setelah reformasi, dengan amandemen UUD
1945.Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim
Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif
(Presiden) dan Menteri Kehakiman, Yudikatif (MA) dan Legislatif
(DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung,
sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak
yudikatif dan eksekutif.
Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (KRIS) ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim
Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari
sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan.
Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa orde lama meski
melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir
tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
33
(46)
36
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba
menjadi hangat dibicarakan. “Reformasi ekonomi”, “reformasi
struktural”, dan “reformasi politik” menjadi bahan diskusi berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak
mendambakan reformasi yang segera agar dapat keluar dari himpitan
krisis ekonomi pada saat itu34 dan diantaranya reformasi dalam bidang
hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu35
1. Kajian Dan Forum Ilmiah;
2. Perancangan Peraturan;
3. Implementasi Peraturan;
4. Pelatihan Hukum;
5. Advokasi Dan Kesadaran Masyarakat;
6. Lembaga Hukum; dan
7. Penyusunan Rencana.
Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk
amandemen UUD Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen,
34
Satya Arinanto, Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia, Hukum dan Pembangunan,nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, h. 124-125.
35
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, (Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia : Jakarta, 2002), h. 35.
(47)
mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa. Calon
Hakim Agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk
mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :
“Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”
Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan
pekerjaan, di mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai
keahlian khusus yang diperoleh melalui training dan pengalaman kerja.36
Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas yang dicirikan dengan
tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan disiplin
ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua,
mempunyai kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah
praktis dengan baik. Ketiga, mempunyai banyak pengalaman kerja.37
Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung
tersebut juga berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya
akuntabilitas (public accountability) dalam pengangkatan, dan juga dalam
pemberhentian Hakim Agung. bagaimanapun juga, pengakuan akan
penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence
of judiciary) sebagai Negara Hukum modern haruslah diimbangi dengan
36
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum,cet-ke 1, (Penerbit Kanisius : Yogyakarta, 1995), h. 32.
37
E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, cet-ke 1, (Penerbit Kanisius : Yogyakarta, 1995), ., h. 33-34.
(48)
38
penerapan prinsip akuntabilitas publik. karena itu, fungsi partisipasi publik
dipandang penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY
sebagai lembaga teknis yang bersifat administratif.
Cara perekrutan hakim, Mahkamah Agung dapat disebut
multi-voters model karena melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan
peran Komisi Yudisial sebagai panitia tetap seleksi MA yang hasil
akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya
menerbitkan keputusan pengangkatan Hakim Agung. KY mengimbangi
Presiden dan DPR meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan
persetujuan DPR.
b. Pemberhentian Hakim Agung
Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi
Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung.
Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung
yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya. Dalam
hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik pelanggaran
etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi
pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi
Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR
sebagaimana mestinya.
Apabila DPR menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(49)
sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat
dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian
terhadap keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan
dengan sebaik-baiknya.
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan
kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur
resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,
penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua ini
dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran
martabat dan perilaku hakim.38 Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu
mendapat persetujuan DPR, maka Komisi Yudisial segera mengajukan
usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif dengan
Keputusan Presiden.
Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan
usul calon pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
sebelum diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung
sebagaimana mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan
jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar
bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang
sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam
jabatan Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa
mendatang.
38
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, cet-ke 2, (Pusat Studi HukumTata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta, 2002), h. 42.
(50)
40
Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan
“merangkap jabatan” antara lain:
a. Wali, Pengampu, Dan Pejabat Yang Berkaitan Dengan Suatu
Perkara Yang Diperiksa Olehnya,
b. Pengusaha, dan
c. Advokat.
Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain
Hakim yang merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang
saham perseroan atau mengadakan usaha perdagangan lain.39 Di dalam
Komisi Yudisial ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat
diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat
pelanggarannya, yaitu:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.40
Manakala Hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka menegaskan:
“Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal
permintaan Komisi Yudisial diterima.41
39
Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
40
pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
41
(51)
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban
tersebut, Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk
memberikan keterangan atau data yang diminta42.
Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau
paksaan tetapi tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan
badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundangundangan dibidang kepegawaian.43 Semua
keterangan dan data ini bersifat rahasia.44 Sedangkan mengenai ketentuan
tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada pasal 22 ayat (1)
di atur oleh Komisi Yudisial.
Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi
Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam
melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal
32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang
berbunyi sebagai berikut :
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
42
pasal 22 ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
43
pasal 22 ayat 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
44
(52)
42
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim
di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan
terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik,
harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh
hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk
mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan
prasyarat bagi tegaknya rule of law.
Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut
terkandung kewajiban bagi hakim untuk membebaskan dirinya dari
bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa takut akan adanya
tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau
golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa
keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta
tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai
untuk berlindung dari pengawasan
B. Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial
Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan
dalam kekuasaan kehakiman, dengan sebagaimana terlihat bahwa
Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam
pasal 24A ayat 3 dan pasal 24B. menurut Undang-Undang Dasar 1945
(53)
meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pengaturan yang demikian
menunjukkan keberadaan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan
adalah terkait dengan Mahkamah Agung. Akan tetapi, pasal 24 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan, bahwa Komisi Yudisal
bukan merupakan pelaksan kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai
supporting element atau state auxiliary organs.45 Adapun tugas dan
Wewenang Komisi Yudisial adalah sebagai berikut;
1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung kepada DPR.
Komisi Yudisial sebagai pengontrol dan pengimbang (checks and
balances) kekuasaan kehakiman, diharapkan mampu menjamin terciptanya perekrutan Hakim Agung yang kredibel dan menjaga kontinuitas
hakim-hakim yang bertugas di lapangan agar tetap berpegang teguh pada
nilai-nilai moralitasnya sebagai seorang hakim yang harus memiliki integritas
dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai profesionalisme yang melekat padanya.
Wewenang Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya politisasi
perekrutan Hakim Agung. Secara alamiah, kekuasaan politik presiden dan
parlemen selalu ingin mendudukan orang-orangnya sebagai Hakim Agung.
Komisi Yudisial diharapkan mampu meminimalisasi, kalau bukan
mengeliminasi, terjadinya politisasi itu.
45
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 117.
(54)
44
Sesuai dengan sebutanya sebagai Hakim Agumg, maka persyaratan
keanggotaanya harus benar-benar memenuhi syarat yang ideal tentang
kualifikasi hakim yang benar-benar diagungngkan.46 Mengingat
komplesitasnya persyartan, maka proses rekrutmen hakim agung harus
dilakukam secara selektif.
Di dalam Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004
secara jelas diatur, bahwa yang dapat mengajukan calon Hakim Agung
kepada Komisi Yudisial antara lain: Mahkamah Agung, Pemerintahan, dan
Masyarakat. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa calon
hakim agung dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: Hakim
Karir dan Hakim Non Karir.
Ini membuka kesempatan bilamana dibutuhkan, maka dapat
dicalonkan menjadi hakim agung tidak berdasarkan sistem karir kepada
Komisi Yudisial. Ada perbedaan persyaratan seseorang yang dapat
dicalonkan menjadi hakim agung antar karir dan non karir.47
2. Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Serta Menjaga
Perilaku Hakim.
Dalam melaksanakan tugas dan peranannya menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim tersebut, Komisi
Yudisial diberi tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
46
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cet-ke 1, (FH UII Press : Yogyakarta, 2005), h. 224
47
Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang Nomor 5 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
(55)
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.48 Disamping itu Komisi Yudisialdalam
menjalankan peranannya diberi tugas lain yaitu mengajukan usul
penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung
atau Mahkamah Konstitusi.49
Sebaliknya Komisi Yudisial didalam menjalankan peranannya diberi
kewenangan untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas
prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim.50
Jadi untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim Komisi Yudisial diberi beberapa kewenangan
antara lain yaitu: pengawasan terhadap perilaku kaim, pengajuan usulan
penjatuhan sanksi terhadap hakim, pengusulan penghargaan kepada hakim
atas prestasi dan jasanya.
a. Pengawasan Perilaku Hakim
Ruang lingkup kewenangan Komisi Yudisial, dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta peilaku hakim,
sesungguhnya merujuk kepada code of ethics atau code of conduct.
Dikatakan bahwa suatu code of conduct menetapkan tingkah laku atau
48
Pasal 20 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
49
Pasal 21 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial 50
(56)
46
perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima. Code of
conduct akan mengingatkan hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan
sanksi.
Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di
bawah standar yang ditetapkan. Oleh sebab itu etik berbeda dari perilaku
yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah
tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai, yaitu untuk sedapat mungkin
menjadi hakim yang terbaik.51
b. Mengusulkan Pemberian Sanksi
Peranan Komisi Yudisial melakukan pengawasan perilaku hakim
dapat dilakukan secara mandiri, karena tidak mempunyai hubungan
administrasi, struktural, kolega maupun secara psikologis yang selama ini
menjadi menjadi hambatan dalam melaksanakan pengawasan di dalam
instansi atau lembaga sendiri.
Sebaliknya menegakkan kehormatan dan keluhuran mmartabat serta
menjaga perilaku hakim terlihat dari usul penjatuhan sanksi seperti
teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial bersifat mengikat.52 Selanjutnya usul
penjatuhan sanksi tersebut diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada
51
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 165.
52
(57)
Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun, usulan tersebut
masih dapat dianulir oleh ketentuan yang berbunyi bahwa hakim yang
akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.53
c. Mengusulkan Pemberian Penghargaan
Selain kedua langkah di atas satu hal yang tidak kalah penting dalam
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku para
hakim adalah pemberian reward and punishment bagi para hakim yang
benar-benar telah menunjukkan kinerja yang baik dan prestasi tinggi yang
mampu menjadi teladan bagi lingkungannya.
Berkaitan dengan itu, bahwa dalam menjalankan peranannya
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjag perilaku
hakim, Komisi Yudisial diberi wewenang untuk dapat mengusulkan
kepada Mahkamah Agung atau Mahakamah Konstitusi untuk
memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam
rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.54 ketentuan tersebut cukup logis, hal ini mengingat
semakin minimnya para hakim yang mampu menunjukkan kredibilitas
dan loyalitas serta perilaku hakim yang terpuji di negeri ini.
Kewenangan Komisi Yudisial dalam menegakkan dalam
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
53
Pasal 23 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
54
(58)
48
hakim pada dasarnya merupakan bentuk kesadaran bahwa pengawasan
objektif terhadap kekuasaan kehakiman hanya dapt dilakukan denga cara
melibatkan unsur-unsur masyarakat seluas-luasnya, bukan hanya
pengawasan secara internal agar terhindar dari semangat korupsi,
manipulasi, dan distori.55
C. Korelasi Antara Kewenangan Mahkamah Agung Dengan Komisi Yudisial Terhadap Kode Etik Perilaku Hakim
Dalam pasal 24A Undang-Undang kekuasaan kehakiman mengatur
tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial diatur dalam pasal 24A
ayat 3 dan pasal 24B. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan,
bahwa menurut Undang-Undang Dasar 1945 Komisi Yudisial berada
dalam lingkup kekuasaan kehakiman,meskipun bukan pelaku kekuasaan
kehakiman. Pengaturan yang menunjukkan keberadaan Komisi Yudisial
dalm sistem ketatanegaran adalah terkait Mahkamah Agung.
Akan tetapi, pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 telah
menegaskan, bahwa Komisi Yudisial bukan merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element (unsur
penunjang) atau state auxiliary organ (organ penunjang negara), Oleh
karena itu, prinsip check and balances (prinsip saling mengimbangi antar
lembaga negara) tidak benar jika diterapkan pola hubungan internal
55
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 178.
(59)
kekuasaan kehakiman, karena hubungan check and balances tidak dapat
berlangsung antar Mahkamah Agung sebagai principal organ (lembaga
utama) dengan Komisi Yudisial sebagai auxiliary organ (lembaga
penunjang)
Komisi Yudisial bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman,
melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun
untuk melaksanakan tugasnya tersebut Komisi Yudisial sendiri pun
bersifat mandiri.
Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara
Komisi yudisial sebagai supporting organ dan Mahkamah Agung sebagin
main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa
mengganggu kemandirian lembaga masing-masing. Terdapat beberapa
ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur korelasi
kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Yaitu
pencalonan hakim agung dan pengawasan perilaku hakim.56
a. Pencalonan Hakim Agung
Pasal 24A ayat 3 UUD 1945 menyatakan, bahwa Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan calon hakim agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan. Dan di dalam pasal 24 ayat 4 UUD 1945
56
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 117-119
(60)
50
menyatakan ketua dan wakil Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh
hakim agung.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum dibentuknya Komisi Yudisial,
mekanisme pengisian calon hakim agung dan hakim konstitusi berbeda
pula. Hakim konstitusi diusulkan Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden,
sedangkan hakim agung dipilih melalui fit dan proper test di DPR. Untuk
menjaga kemandirian dari Mahkamah Agung,
Dibentuklah Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung. Permasalahannya adalah, bahwa Komisi
Yudisial hanya merekrut calon sedangkan kewenangan penuh untuk
memilih calon tetap berada di tangan DPR. Dengan demikian kedudukan
Komisi Yudisial tidak sama dengan DPR yang menyetujui, juga tidak
sama dengan Presiden yang menetapkan.
Melalui konstruksi demikian, maka kedudukan Komisi Yudisial
dalam hal ini adalah lemah, sebab apa yang telah dilakukan Komisi
Yudisial melaui proses seleksi calon hakim sewaktu-waktu dapat saja
dibatalkan oleh DPR atu Presiden bahkan Mahkamah Agung selaku user,
jika timbul indikasi like and dislike dari apa yang dihasilkan oleh Komisi
Yudisial.57
b. Pengawasan Perilaku Hakim
57
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, (Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007), h. 119-121.
(61)
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan
peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan
yang merdeka58 sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya
lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain.
Mekanisme pengawasan dalam lingkungan peradilan, saat ini dilakukan
oleh dua lembaga, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Mahkamah Agung yang dibentuk menurut pasal 24 UUD 1945,
adalah pemegang kekuasaan kehakiman. Untuk pengawasan terhadap
peradilan, oleh pasal 32 UU no.14 tahun 1985, ia diberikan tugas
melakukan pengawasan tertinggi atas penyelenggaraan peradilan di
semua lingkungan peradilan dan jugamengawasi perilaku para hakim di
semua lingkungna peradilan.
Lembaga kedua adalah Komisi Yudisial. Lembaga ini dibentuk
berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, Komisi Yudisial bersifat
mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain demi menjaga dan menegakkan kehormatan,
martabat, dan perilaku hakim.59
Secara spesifik, pasal 20 UU no 22 tahun 2004 menyatakan upaya
menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, dan perilaku hakim
dilakukan melalui pengawasan perilaku hakim. Kemudian pasal 22
menguraikan tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan pengawasan itu,
yaitu dengan menerima laporan masyarkat tentang perilaku hakim, serta
58
pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 59
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)