Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                Regeringsreglement  buat  daerah-daerah  jajahan  di  Asia.  Dalam  Pasal  86 Piagam  tersebut,  yang  merupakan  perubahan-perubahan  nyata  dari  zaman
pemerintahan  Daendels  terhadap  peradilan  di  Indonesia,  ditentukan  sebagai berikut :
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum  serta  adat  mereka.  Pemerintah  Hindia  Belanda  akan  menjaga
dengan  alat-alat  yang  seharusnya,  supaya  dalam  daerah-daerah  yang langsung  ada  dibawah  kekuasaan  Pemerintahan  Hindia  Belanda  sedapat-
dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan,  yang masuk dengan tidak  diketahui,  yang  bertentangan  dengan  tidak  diketahui,  yang
bertentangan  degan  hukum  serta  adat  anak  negeri,  lagi  pula  supaya diusahakan  agar  terdapat  keadilan  dengan  jalan  yang  cepat  dan  baik,
dengan  menambah  jumlah  pengadilan-pengadilan  negeri  ataupun  dengan mangadakan  pengadilan-pengadilan  pembantu,  begitu  pula  mengadakan
pembersihan  dan  pengenyahan  segala  pengaruh-pengaruh  buruk  dari kekuasaan politik apapun juga
.” Piagam  tersebut  tidak  pernah  berlaku,  oleh  karena  Betaafse  Republiek
segera  diganti  oleh  Pemerintah  Kerajaan,  akan  tetapi  ketentuan  di  dalam “Piagam”  tidak  sedikit  memengaruhi  Deandels  di  dalam  menjalankan
tugasnya. Komisi  Yudisial  KY  merupakan  lembaga  yang  akan  berperan  dalam
proses seleksi hakim agung dan melakukan pengawasan para hakim. Melalui Komisi  Yudisial,  diharapkan  proses  seleksi  hakim  agung  lebih  objektif  dan
transparan, dan moralitas serta kejujuran para hakim akan semakin terawasi. Keberadaan  Komisi  Yudisial  diperlukan  sebagai  bagian  dari  perbaikan
peradilan  akibat  kegagalan  sistem  yang  telah  ada  untuk  menciptakan pengadilan  yang  lebih  baik.  Sehingga  dapat  mendukung  dan  memperkuat
lembaga  pengadilan  dan  kemajuan  pelaksanaan  peradilan.
4
Sejarah
Pembentukan  Komisi  Yudisial  Berawal  pada  tahun  1968  muncul  ide
pembentukan  Majelis  Pertimbangan  Penelitian  Hakim  MPPH  yang berfungsi  untuk  memberikan  pertimbangan  dalam  mengambil  keputusan
akhir  mengenai  saran-saran  dan  atau  usul-usul  yang  berkenaan  dengan pengangkatan,
promosi, pindahan
rumah, pemberhentian
dan tindakanhukuman  jabatan  para  hakim.  Namun  ide  tersebut  tidak  berhasil
dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru  kemudian  tahun  1998  muncul  kembali  dan  menjadi  wacana  yang semakin  kuat  dan  solid  sejak  adanya  desakan  penyatuan  atap  bagi  hakim,
yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan
profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR
tahun  2001  yang  membahas  amandemen  ketiga  Undang-Undang  Dasar Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945,  disepakati  beberapa  perubahan,
penambahan  pasal  yang  berkenaan  dengan  kekuasaan  kehakiman,  termasuk di  dalamnya  Komisi  Yudisial  yang  berwenang  mengusulkan  pengangkatan
hakim  agung  dan  mempunyai  wewenang  lain  dalam  rangka  menjaga  dan menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku  hakim.
4
Thohari,  A  Ahsin,  Komisi  Yudisial  dan  Reformasi  Peradilan,
cet-ke  1,
ELSAM  : Jakarta, 2004 h. 23
Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial  yang  disahkan  di  Jakarta  pada
tanggal 13 Agustus 2004. Setelah  melalui  seleksi  yang  ketat,  terpilih  7  tujuh  orang  yang
ditetapkan  sebagai  anggota  Komisi  Yudisial  periode  2005-2010  melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Selanjutnya pada tanggal 2 Agustus
2005,  ketujuh  anggota  Komisi  Yudisial  mengucapkan  sumpah  dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau
lebih dari lima hal sebagai berikut: 1.
Lemahnya  monitoring  secara  intensif  terhadap  kekuasaan  kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
2. Tidak  adanya  lembaga  yang  menjadi  penghubung  antara  kekuasaan
pemerintah  executive  power  dalam  hal  ini  Departemen  Kehakiman –
dan kekuasaan kehakiman judicial power. 3.
Kekuasaan  kehakiman  dianggap  tidak  mempunyai  efisiensi  dan efektivitas  yang  memadai  dalam  menjalankan  tugasnya  apabila  masih
disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum. 4.
Tidak  adanya  konsistensi  putusan  lembaga  peradilan,  karena  setiap putusan  kurang  memperoleh  penilaian  dan  pengawasan  yang  ketat  dari
sebuah lembaga khusus. 5.
Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik,  karena  lembaga  yang  mengusulkan  dan  merekrutnya  adalah
lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
5
Masih  menurut  A.  Ahsin  Thohari,  tujuan  pembentukan  Komisi  Yudisial adalah:
1. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan
cara  melibatkan  unsur-unsur  masyarakat  dalam  spektrum  yang  seluas-
5
Thohari,  A  Ahsin,  Komisi  Yudisial  dan  Reformasi  Peradilan,  cet-ke  1,  ELSAM  : Jakarta, 2004, h. 54
luasnya  dan  bukan  hanya  monitoring  secara  internal  saja.  Monitoring secara  internal  dikhawatirkan  menimbulkan  semangat  korps
l‟esprit de corps, sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
2. Menjadi  perantara  mediator  antara  lembaga  peradilan  dengan
Departemen  Kehakiman.  Dengan  demikian,  lembaga  peradilan  tidak perlu  lagi  mengurus  persoalan-persoalan  teknis  non-hukum,  karena
semuanya  telah  ditangani  oleh  Komisi  Yudisial.  Sebelumnya,  lembaga peradilan  harus  melakukan  sendiri  hubungan  tersebut,  sehingga  hal  ini
mengakibatkan  adanya  hubungan  pertanggungjawaban  dari  lembaga peradilan
kepada Departemen
Kehakiman. Hubungan
pertanggungjawaban  ini  menempatkan  lembaga  peradilan  sebagai subordinasi
Departemen Kehakiman
yang membahayakan
independensinya. 3.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena  tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan
langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta  pengelolaan  keuangan  lembaga  peradilan.  Dengan  demikian,
lembaga  peradilan  dapat  lebih  berkonsentrasi  untuk  meningkatkan kemampuan  intelektualitasnya  yang  diperlukan  untuk  memutus  suatu
perkara.
4. Menjaga  kualitas  dan  konsistensi  putusan  lembaga  peradilan,  karena
senantiasa  diawasi  secara  intensif  oleh  lembaga  yang  benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan
tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan  yang  ketat  dari  Komisi  Yudisial.  Dengan  demikian,
putusan-putusan  yang  dianggap  kontroversial  dan  mencederai  rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
6
Meminimalisasi  terjadinya  politisasi  terhadap  rekruitmen  hakim,  karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan
bebas  dari  pengaruh  kekuasaan  lain,  bukan  lembaga  politik  lagi,  sehingga diidealkan  kepentingan-kepentingan  politik  tidak  lagi  ikut  menentukan
rekrutmen hakim yang ada.
                